Friday, June 29, 2012

SERAT SABDA TAMA: SELAIN AJI MUMPUNG, APA YANG TERJADI PADA JAMAN KALA BENDU?


Salah satu kelakuan manusia pada jaman Kala Bendu adalah “Aji Mumpung”. Mumpung sugih, mumpung kuwasa, mumpung enom, dan lain-lain Selain itu, apa lagi yang terjadi?

RAGU-RAGU

Pada mulanya R Ngabehi Ranggawarsita ragu-ragu untuk menjelaskan situasi Jaman Kala Bendu. Selain sudah merasa tua, beliau juga sedang prihatin karena beban hidup yang dirasa berat. Jangan-jangan terjadi salah tafsir  karena tingkat intelektualitas dan cara pandang manusia tidak ada yang sama. 

 Hal ini dijelaskan pada pupuh Gambuh bait ke enam dan tujuh sebagai berikut:

6. Rong asta wus katekuk; Kari ura-ura kang pakantuk; Dandanggula lagu palaran sayekti;; Ngleluri para leluhur; Abot ing sih swami karo

Terjemahannya: Dua tangan sudah dilipat (dilipat didada maksudnya bersedekap, sudah tidak bekerja lagi); Tinggal mampu berdendang (ura-ura); Dandanggula lagu palaran tentunya; Mengenang para leluhur; Berat pada kasih sayang raja (Swami: Tuan; Raja; Suami/Istri)

7. Galak gangsuling tembung; Ki Pujangga panggupitanipun; Rangu-rangu pamanguning reh harjanti; Tinanggap prana tumambuh; Katenta nawung prihatos

Terjemahannya: Benar-salahnya kata (galap-gangsul); Dalam ucapan Ki Pujangga; ragu-ragu termangu dalam perasaan; Tanggapan bisa salah tafsir


SETELAH KERAGUAN HILANG

Keragu-raguan tersebut rupanya bisa disingkirkan, sehingga Ki Pujangga menjelaskan pada bait ke 8 – 13 masih dalam pupuh Gambuh sebagai berikut:

8. Wartine para jamhur; Pamawasing warsita datan wus; Wahanane apan owah angowahi; Yeku sansaya pakewuh; Ewuh aya kang linakon

Terjemahannya: Puncaknya Kala Bendu; hati yang lupa semakin menjadi-jadi; Tidak bisa dikalahkan oleh budi yang baik; Bila belum saatnya; Panasnya semakin luar biasa

9. Sidining Kala Bendu; Saya ndadra hardaning tyas limut; Nora kena sinirep limpating budi; Lamun durung mangsanipun; Malah sumuke angradon

Terjemahannya: Puncaknya Kala Bendu; hati yang lupa semakin menjadi-jadi; Tidak bisa dikalahkan oleh budi yang baik; Bila belum saatnya; Panasnya semakin luar biasa

10. Ing antara sapangu; Pangungaking kahanan wus mirud; Morat-marit panguripaning sesami; Sirna katentremanipun; Wong udrasa sak anggon-anggon

Terjemahannya: Dalam waktu yang cepat; Keadaan semakin larut; kehidupan semakin morat-marit; Ketenteraman sirna; Dimana-mana orang berkeluh-kesah

11. Kemang isarat lebur; Bubar tanpa daya kabarubuh; Paribasan tidhem tandhaning dumadi; Begjane ula dahulu; Cangkem silite angaplok

Terjemahannya: Semuanya tanda kehancuran; Bubar tanpa daya kena perang (brubuh: perang campuh banyak korban); Ibarat tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan; Yang beruntung adalah ular kepala dua; kepala dan ekornya dapat mencaplok

12. Ndhungkari gunung-gunung; Kang geneng-geneng padha jinugrug; Parandene tan ana kang nanggulangi; Wedi kalamun sinembur; Upase lir wedang umob

Terjemahannya: Gunung-gunung dibongkar; Yang tinggi-tinggi diruntuhkan; Tetapi tidak ada yang berani melawan; Takut kalau disembur; Bisanya seperti air mendidih

13. Kalonganing kaluwung; Prabanira kuning abang biru; Sumurupa iku mung soroting warih; Wewarahe para Rasul; Dudu jatining Hyang Manon

Terjemahannya: Lengkungan pelangi; Berwarna merah kuning biru; Ketahuilah itu hanya cahaya pantulan air; Ajaran para Rasul; Itu sebenarnya bukan Tuhan.


MASIH ADAKAH HARAPAN?

Kalau dibayang-bayangkan memang cukup mengerikan. Kebaikan tidak mampu mengalahkan kejahatan. Bahkan alam pun ikut bergejolak. Menggaris-bawahi bait ke 13, barangkali dalam ketakutan maka orang melihat pelangi di langit dikira Tuhan menampakkan diri. Dijelaskan oleh R Ng Ranggawarsita bahwa itu hanya pantulan cahaya air. Tuhan tidak bisa dibayangkan akal manusia.

Adanya pelangi mungkin merupakan petunjuk bahwa dunia belum kiamat. Masih ada harapan. Jaman Kala Bendu bukanlah akhir jaman. Apakah masih ada harapan? Jawaban Ki Pujangga akan saya lanjutkan pada posting berikut, “Serat Sabda Tama: Pulih duk jaman rumuhun” (IwMM)

Wednesday, June 27, 2012

AJI MUMPUNG DALAM PARIBASAN JAWA

Melanjutkan posting Serat Sabda tama: Aji Mumpung, dalam perbendaharaan “Paribasan Jawa” pun disebutkan tentang orang-orang yang mempraktekkan “aji mumpung” alias memanfaatkan peluang (dalam konotasi jelek) ini. Memang tidak disebut secara eksplisit, tetapi kelakuannya adalah “aji mumpung”, dan yang menarik, pengguna aji-aji ini adalah semua jenis manusia. Tidak ada bedanya antara yang besar maupun yang kecil. Satu kesamaannya, mereka adalah orang-orang yang tidak bisa memegang amanah. Kita lihat tujuh peribahasa di bawah ini:

1. PALANG MANGAN TANDUR

Peribahasa yang sama dalam bahasa Indonesia adalah “pagar makan tanaman”. Artinya orang yang diberi kepercayaan menjaga, malah merusak tanaman yang dipercayakan kepadanya. Yang menyedihkan, tugas orang ini memang “palang” atau “pagar”, jadi yang bertanggung-jawab terhadap semua yang dikelilingi pagar yang dipercayakan kepadanya. 

2. NGEMUT LEGINING GULA

Kalau kita mengulum kembang gula dan terasa enak (misalnya: manis) pasti akan kita habiskan. Maksud peribahasa ini adalah: Orang yang dipercaya untuk menjaga sesuatu milik orang lain, setelah tahu manfaatnya lalu digerogoti pelan-pelan, dimanfaatkan sendiri, bisa terjadi juga  tidak dikembalikan kepada pemiliknya.

3. PITIK TRONDHOL DIUMBAR ING PEDARINGAN

Trondhol: Tidak punya bulu; Pedaringan: Tempat menyimpan beras. Pitik trondol menggambarkan orang miskin (mohon dibaca juga: Pitik trondhol dibubuti). Peribahasa ini menggambarkan orang miskin dipercaya menjaga sesuatu yang ia butuh tetapi tidak punya. Jadi tentunya ingin “ngincipi legining gula”. Ya kasihan orang miskin kalau kemudian dijadikan “lebak ilining banyu”. Tetapi paribasan ini menunjukkan bahwa “aji mumpung” juga bisa digunakan oleh orang yang tidak berada.

4. WEDHUS DIUMBAR ING PEKACANGAN

Kalau ini jelas sekali, mana ada kambing tidak suka daun kacang. Orang yang disuruh menjaga barang yang memang ia suka, seandainya ia tidak kuat imannya pasti memanfaatkan peluang untuk menyalahgunakan wewenang.

5. PECRUK TUNGGU BARA

Pecruk: Sejenis burung pemakan ikan; Bara: Semacam keramba. Sama dengan nomor 4 di atas, hanya disini pecruk menggantikan kambing.

6. NYEMPAL SAMBI MANCAL

Nyempal: mematahkan; Mancal: mengayuh. Semacam sambil meyelam minum air dalam konotasi buruk. Pengertiannya adalah mengambil barang milik orang yang tinggal serumah.

7. TENGU MANGAN BRUTUNE

Tengu: Kutu kecil; Brutu: bagian ekor ayam, tempat bulu ekor menancap). Disini diibaratkan tengu yang diberi tugas (sebenarnya kurang pas) menjaga brutu (tempat yang tertutup, tidak kelihatan) justru memakan (menggigit) brutu yang harus dijaganya. maksudnya adalah orang yang dipercaya menjaga sesuatu barang tetapi kemudian dicuri sendiri.


KESIMPULAN

Siapapun yang tidak kuat iman bisa tergelincir untuk menggunakan aji mumpung. Barang apapun bisa menjadi obyek aji mumpung. Aji “mumpung” yang paling bagus adalah “mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane”. Mumpung kita masih hidup, mumpung kesempatan masih sebesar rembulan dan seluas lingkarannya, banyak-banyaklah beristigfar dan berbuat kebajikan dengan memperbanyak amal ibadah,  yang pernah saya tulis dalam dalam “Tembang Ilir-Ilir” (IwMM)

Tuesday, June 26, 2012

SERAT SABDATAMA: AJI MUMPUNG



Semua orang pasti tahu apa yang disebut “aji mumpung”, yaitu gambaran orang yang memanfaatkan kesempatan untuk kebutuhannya sendiri.  Dalam bahasa sekarang kurang lebihnya dikatakan sebagai orang yang menyalahgunakan  wewenang untuk kepentingan pribadi.

Bila “jaman edan” sudah ada pada jaman Ranggawarsita (baca Serat Kalatidha dan Serat Sabda Tama: jaman kala bendu) maka “aji mumpung” pun sudah ada pada masa itu, yang disebut sebagai "jaman Kalabendu". Disebutkan oleh R Ngabehi Ranggawarsita, dalam Serat Sabdatama, pupuh Gambuh bait ke empat dan lima sebagai berikut:

4. Beda kang ngaji mumpung; Nir waspada rubedane tutut; kakinthilan manggon anggung atut wuri; Tyas riwut ruwet dahuru; Korup sinerung anggoroh

5. Ilang budayanipun; Tanpa bayu weyane ngalumpuk; Sakciptane wardaya ambebayani; Ubayane nora payu; Kari ketaman pakewoh

Terjemahannya kurang lebih sebagai berikut:

4. Lain dengan yang ngaji mumpung; hilang kewaspadaan, masalah selalu bersamanya; Mengikuti terus dari belakang; Hati amat bernafsu, ruwet, tidak tenteram; tidak setia menyembunyikan dusta

5. Hilang tatasusilanya; lemah dan amat sembrono; apa yang dipikirkan berbahaya; janjinya tidak dipercaya; akhirnya akan mendapat masalah

Disini R Ng Ranggawarsita mengingatkan orang-orang yang “Ngaji-aji mumpung” ini, sebagai orang yang lupa daratan dan kehilangan akal sehatnya. Jiwanya lemah. Tidak ada yang percaya dan sebenarnya hidupnya juga tidak tenteram. Pada akhirnya ia akan menuai masalah.

Contoh-contoh aji mumpung antara lain:

Mumpung berkuasa lalu menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi; Mumpung menang, lalu sewenang-wenang kepada yang dikalahkan; Mumpung pandai lalu memanfaatkan kepandaiannya untuk hal-hal tidak baik; Mumpung masih muda dan tampan lalu merasa paling hebat; Mumpung kaya lalu sombong dan merendahkan orang kecil

Masih banyak “mumpung-mumpung” lainnya yang  arahnya memanfaatkan peluang dengan penekanan pada penyalahgunaan, dan apa yang diperoleh adalah untuk kepentingan diri sendiri. Misalnya mumpung boss tidak ada maka kita bisa membolos. Walau demikian pengertian “mumpung” yang baik juga bukannya tidak ada. Dalam pelajaran management ada kata-kata “Strike while the iron still hot”. memanfaatkan momentum. Mumpung boss sedang semangat-semangatnya maka proposal kita masukkan. Tapi kalau proposal itu menghasilkan anggaran dan kita salahgunakan, maka namanya kembali jadi “aji mumpung”.

Satu-satunya “mumpung” yang paling bagus dan tidak bisa diplintir-plintirkan adalah kata “mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane ” yang pernah saya tulis dalam dalam “Tembang Ilir-Ilir” (IwMM)

Dilanjutkan ke Aji mumpung dalam paribasan Jawa

Monday, June 25, 2012

SERAT SABDA TAMA: JAMAN KALABENDU

 
Dalam Serat Sabdatama, R Ngabehi Ranggawarsita tergerak untuk memberikan pitutur dalam menyikapi “Jaman Kalabendu”. (Kala: Jaman, masa; Bendu: marah; kalau dikatakan “antuk bebenduning Pangeran”, artinya mendapatkan amarah atau hukuman dari Allah. Mengapa Tuhan marah? Tentunya karena perbuatan manusia di dunia sudah melampaui batas, terlalu banyak melanggar hukum-hukum Allah).
 
Dalam "Sarine Basa Jawa", Padmasukatja, 1967 disebutkan "Kalabendu" sebagai jaman dimana kesusilaan manusia sudah rusak. Ada pengaruh "Bathara Kala disitu".

Kembali ke Ranggawarsita, Niat memberikan pitutur ini dapat dibaca pada bait pertama pupuh Gambuh sebagai berikut:
 
1. Rasaning tyas kayungyun; Angayomi lukitaning kalbu; Gambir wana kalawan hening ing ati; Kabekta kudu pitutur; Sumingkiring reh tyas mirong

Terjemahannya kurang lebih:

1. Rasanya hati ini tergerak; Melahirkan perasaan jiwa; Dengan hati yang hening; Karena tergerak harus memberi pitutur; agar dapat menyingkirkan perilaku yang tidak sesuai norma.

Kapan sih jaman Kala Bendu itu? Ini lahan bagi yang suka meramal. Daripada salah, saya tidak ikut-ikut menulis tentang ini. Jaman edan itulah masanya Kala Bendu. Jaman edan sudah ada sejak era Ranggawarsita (abad ke 18) apakan sekarang masih edan? Sumangga.

Hanya saja R Ngabehi Ranggawarsita memberi pitutur kepada kita semua, sebaiknya bagaimana kita menyikapi jaman Kala Bendu ini. Pada bait ke dua dan ke tiga pupuh Gambuh disebutkan:

2. Den samya amituhu; Ing sajroning Jaman Kala Bendu; Yogya samya nyenyuda hardaning ati; Kang anuntun mring pakewuh; Uwohing panggawe awon

3. Ngajapa tyas rahayu; Ngayomana sasameng tumuwuh; Wahanane ngendhakke angkara klindhih; Ngendhangken pakarti dudu; Dinulu luwar tibeng doh

Terjemahannya kurang lebih:

2. Semuanya supaya menurut; Didalam jaman Kala Bendu; Seyogyanya mengurangi gejolak nafsu; yang membawa kepada kesusahan; buah dari perbuatan tidak baik

3. Tumbuhkanlah kesucian hati; mengayomi sesama yang hidup; Dengan cara meredam hawa nafsu; Menghindarkan diri dari perbuatan tidak baik;  Sehingga terbuang jauh

Jadi kata kunci Ki Pujangga dalam menyikapi jaman Kala Bendu adalah:
  1. Meredam hawa nafsu untuk menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Supaya kita terlepas dari kesusahan dan jauh dari bebendu Allah.
  2. Berpikiran bersih dan berbuat baik kepada sesama manusia

Godaannya adalah “amenangi jaman edan, nora edan ora keduman” yang dapat dibaca pada “Serat Kalatidha”. Salah satu orang yang ikut ngedan adalah orang yang menggunakan “aji mumpung” yang dapat dipirsani pada posting setelah ini (IwMM)

Saturday, June 23, 2012

KISAH LANDAK: CONTOH LAIN SIFAT ADIGANG

Sifat “Adigang adigung adiguna” dalam Serat Wulangreh diwakili Kijang, Gajah dan Ular, yang masing-masih mengandalkan Kesaktian, kekuasaan dan kepandaiannya. Diceriterakan dalam Serat Maduwasita, Ki Padmasusastra, 1918, kisah seekor landak, yang seperti kijang dalam Serat Wulangreh, matinya karena terlena akibat mengandalkan kesaktiannya. Disini si landak apes karena mengandalkan duri-duri tajamnya yang justru dikalahkan oleh barang yang amat sepele.

Landak adalah binatang yang bulu-bulunya panjang, keras dan tajam seperti duri. Ditabrak seekor landak, walaupun tidak mematikan, bisa terjadi perlukaan banyak pada kulit seperti luka tusukan akibat bambu penusuk sate. Kelebihan ini menumbuhkan sifat sombong dalam diri si landak, sehingga ia berani sesumbar:

Apa ada makhluk di bumi ini yang seperti aku. Walaupun kecil, tetapi semua makhluk menyingkir kalau berpapasan dengan aku. Aku tidak pernah takut cari makan di kebun manusia. Manusia justru takut sama aku. Memegang pun tidak berani apalagi kalau sampai aku labrak. Pokoknya aku selalu bisa lepas dari semua musuh jahat. Buluku ini hebat bukan main. Betul-betul bulu yang indah. Seperti pagar mengkilap yang tertata panjang pendeknya. Disamping indah, buluku juga senjata yang nggegirisi. Rumahku ada di dalam liang yang dalam dan berkelok-kelok. Tidak ada galah yang mampu menusuk dari luar. Pendek kata, tidak ada kehidupan di dunia ini yang lebih menyenangkan daripada kehidupanku. Ibaratnya aku selalu lepas dari maut selama belum waktunya.

Alkisah manusia marah karena kebunnya dirusak landak. Setiap landak dikejar selalu melarikan diri masuk lubang. Pengejaranpun berhenti. Tetapi manusia tidak pernah kekurangan akal. Dia kumpulkan sampah kering di depan lubang landak. Sampah dibakar, asapnya diarahkan masuk ke dalam lubang landak. Akibat asap yang memenuhi liang, landak pun kehabisan napas. Ia keluar, dengan sikap tempur bulu-bulu durinya ditegakkan. Tekadnya satu, mati bersama dengan lawannya, manusia.

Manusia sudah waspada. Ia sudah menyiapkan senjata, berupa potongan “batang pisang”. Begitu landak menerjang dengan duri-durinya yang berdiri, langsung ditimpa batang pisang. Keras lawan lunak, batang pisang pun menancap di duri-duri landak. Landak tidak mampu menahan batang pisang yang biarpun lunak tetapi berat. Tidak bisa bergerak dan manusia dengan mudah menangkapnya.

LIDING DONGENG

Seseorang yang merasa dirinya paling sakti bisa terlena karena lupa daratan. Sombong adalah musuh yang bersarang dalam diri sendiri dan paling sulit dikalahkan. Ketika ia dipecundangi justru oleh hal yang sepele, maka nasi sudah menjadi bubur (IwMM)

Friday, June 22, 2012

URIP, MANGAN DAN NYAMBUTGAWE

Urip (hidup), Mangan (Makan) dan Nyambutgawe (bekerja) ketiganya saling terkait.  Masih saya ambil dari tulisan R Kartawibawa, Tulungagung dalam buku Gagasan Prakara Tindaking Ngaoerip, cetakan Balai Pustaka, 1921. Ada tiga tulisan tentang hal ini dalam buku tersebut yang merupakan pitutur buat kita semua:
 
 
1.    Uripe uwong iku sarana mangan, nanging aja urip mung arep mangan
2.    Urip iku obah, wong urip kudu nyambutgawe
3.    Wong ora nyambutgawe ora wajib mangan
Saya coba sarikan apa yang disampaikan R Kartawibawa sebagai berikut:
URIPE UWONG IKU SARANA MANGAN
Semua yang pada waktu dilahirkan kecil bisa tumbuh kembang menjadi besar karena ada intake dari luar yang disebut makanan. Makanan tidak bisa dihentikan setelah pertumbuhan menjadi besar selesai karena selalu ada sel-sel tubuh yang aus dan harus diganti.. Makanan dalam hal ini dibutuhkan tubuh untuk mengganti sel-sel yang rusak/aus. Energi yang dikeluarkan manusia juga butuh bahan bakar yang diambil dari makanan. Misalnya darah kita mengalir, kita bernapas, berpikir dan lebih-lebih kalau kita perlu menggunakan energi fisik. Jadi supaya fungsi tubuh kita berjalan normal, kita butuh makanan.
 
AJA URIP MUNG AREP MANGAN
Ada istilah “Ngawula wadhuk” yang pengertiannya orang hidup yang hanya memuaskan perut, alias makan saja, malas kerja. Pernah saya tulis dalam madhangisingturu, orang hidup jangan hanya makan (madhang), ngising (berak) dan turu (tidur), seharusnya orang hidup itu juga madhangi (memberi penerangan) sing turu (yang tidur, dalam pengertian orang yang masih dalam kegelapan).
R Kartawibawa mengatakan: Walaupun demikian, orang hidup jangan hanya mengedepankan makan. Yang namanya makanan tidak begitu saja tersedia didepanmu. Harus diupayakan lebih dahulu dengan mengeluarkan “daya, kekuatan badan dan pikiran”. Manusia kalau ingin makan ya harus melakukan sesuatu dulu. Jangan mau makannya tidak mau upayanya. Mana ada aturan seperti itu
 
URIP IKU OBAH
Semua orang pasti tahu “jam”. Jam yang jarum dan roda-rodanya bergerak disebut hidup. Kalau diam namanya mati. Dapur (pada masa itu bahan bakar utama masih kayu) kalau kayunya diam disebut mati. Kalau kayunya menyala berarti hidup. Pabrik yang mesin dan buruhnya diam dikatakan mati. Air tergenang dan diam dikatakan air mati. Demikian pula manusia. Kalau diam berarti mati. Kalau ada gerakan berarti hidup.
Jadi jelas sekali “obah” adalah tanda-tanda adanya kehidupan. Berlian mungkin tidak bergerak. Tetapi kalau mengeluarkan cahaya gemerlapan, maka itulah tanda hidup dari berlian. Matahari, bulan, bintang dan semua isi jagad, semuanya hidup, karena bergerak. Ada yang gerakannya jelas ada pula yang tidak kentara. dalam kaitan dengan "mangan" maka "sapa ubet ngliwet, sapa obah mamah"
 
WONG URIP KUDU NYAMBUTGAWE
Manusia mempunyai dua jenis kehidupan, yaitu kehidupan tubuhnya dan kehidupan manusianya. Hidupnya tubuh adalah napasnya, panca indranya, dan gerakan tubuhnya. Sedang hidupnya sebagai manusia adalah apa yang dia lakukan sehari-harinya, dengan kata lain “bekerja”.
Memang benar bahwa orang bisa hidup sebagai manusia karena tubuhnya hidup. Tetapi hidup sebagai manusia harus membawa misi, mengandung makna hakekatnya sebagai manusia di dunia: memberi manfaat kepada dirinya sendiri juga memberi manfaat kepada orang lain.
Manusia yang tidak melakukan apa-apa, tidak ikut menyemarakkan kehidupan di dunia, hanya “urip-uripan” (tidak hidup betul). Siapa yang ingin dikatakan “hidup” harus bekerja. Bekerjanya manusia melalui aktifitas fisik dan aktifitas otak. Kalau bisa dua-duanya bekerja: otak dan fisik dan harus bermanfaat untuk orang lain. walaupun ada paribasan Ana dina ana sega, ana awan ana pangan tetapi bukan berarti melegalkan paribasan thenguk-thenguk nemu kethuk maupun njagakake endhoge si blorok.


WONG ORA NYAMBUTGAWE ORA WAJIB MANGAN
Yang satu ini yang paling tidak enak. Orang mau makan memang harus menempuh kesulitan, yaitu mencari makan melalui kerja keras. Orang yang bekerja hanya dengan otak saja, aktivitas fisiknya kurang, sering ada gangguan, nafsu makannya kurang, kepalanya pening. Adapun orang yang banyak menggunakan pekerjaan fisik misalnya bertani, aliran darahnya lancar, ototnya bekerja maksimal, keringat mengalir deras, racun-racun tubuh keluar, badannya pun sehat segar dan nafsu makan meningkat walau yang dimakan kurang enak. (Kisah tentang ini dapat dibaca di Bungah lan susah (2): Karep selalu mulur dan mungkret)
Sebaliknya orang yang tidak bekerja baik otak maupun fisik mestinya tidak terjadi apa-apa dalam tubuhnya. Bagian tubuh yang aus dan rusak pun mestinya sedikit, jadi tidak butuh banyak penggantian. Bagian tubuh yang aus karena tidak terbuang lama-lama mengumpul jadi racun, menimbulkan sakit, nafsu makan  akhirnya hilang, lama-lama mati juga.
Jadi jelas, kalau kita ingin enak makan ya harus bersusah-payah dulu, bekerja. Orang yang kurang keras pekerjaannya, tidak enak makannya, sedangkan orang yang tidak mau bekerja, tidak wajib makan.
Memang Hidup, gerak, makan dan kerja tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengingat manusia harus makan, kalau begitu manusia harus bekerja (IwMM)

Wednesday, June 20, 2012

MANUNGSA DHEMEN ENAK LAN KAPENAK, NANGING KUDU NUKONI KANGELAN


Judul di atas adalah tulisan R Kartawibawa, Tulungagung dalam buku Gagasan Prakara Tindaking Ngaoerip, cetakan Balai Pustaka, 1921 kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih menjadi “Manusia suka hidup enak tetapi harus dibeli dengan kesulitan”, merupakan ungkapan sederhana yang maknanya sama dengan “Jer Basuki Mawa Beya

Apa yang disampaikan R Kartawibawa tidak muluk-muluk, saya terjemahkan bebas sebagai berikut.

Hidup manusia tentunya ingin serba enak. Enak yang dimakan, enak yang didengar, enak yang dirasakan. Imbangan dari enak itu kesulitan (Kepenak iku timbangane kangelan). Sebenarnya antara enak dan tidak enak itu sama saja. Hanya beda dari apa yang kita rasakan saja, batasnya tidak ada. Kalau tidur itu enak, cobalah tidur selama tiga hari tanpa terbangun. Kalau orang tidak pernah tahu apa yang dimaksud tidak enak, darimana dia bisa tahu rasanya enak? Oleh sebab itu siapa saja yang ingin merasakan enak, harus pernah merasakan tidak enak terlebih dahulu. Merasakan beratnya orang mengalami kesulitan.

Enak menurut pendapat saya (R Kartawibawa) adalah: Utuhnya tubuh dari makan cukup dan pakaian utuh; Badan sehat, mampu menggerakkan tubuh secara maksimal; Mendengar ucapan-ucapan yang cocok dengan hatinya (pujian). Enak dan pujian sering menimbulkan pamrih yang merugikan orang lain tetapi manfaatnya besar. Perlu jadi pegangan karena manusia kalau tidak memiliki keinginan ini bisa mengacaukan negara, tidak ada peraturan, tidak ada orang nekad, tidak ada orang mau belajar dan tidak ada kemajuan.

Catatan saya: Orang suka dipuji ini tidak baik. Dalam hal ini R Kartawibawa memandang dari sudut lain. Adanya orang yang ingin enak dan ingin dipuji ini (bukankah kita semua demikian?) merupakan "motivator" untuk meningkatkan daya saing, orang akan berlomba belajar dan berkarya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk dirinya, sekaligus mendapat penghargaan atas prestasinya. Negara harus mengelola hal ini dengan baik, tentunya dengan aturan-aturan sehingga yang diperoleh adalah kemajuan bukan pertikaian. Pengertian pangalembana disini lebih tepat diterjemahkan sebagai pengakuan daripada pujian. Kita lanjutkan lagi dengan tulisan R Kartawibawa yang menjelaskan lebih lanjut:

Mengingat sekarang ini jaman kemajuan, kejarlah hal-hal tersebut: “Enak, kepenak dan pangalembana (pujian)” dengan catatan: “Tidak menyakiti orang lain (jadi sifat tenggang rasa tetap dipegang. Baca juga Tepa selira dan Ngono ya ngono ning aja ngono).

Orang yang suka mendapat apresiasi bagaimanapun akan tumbuh keberaniannya dan membulatkan tekad. Gunung tinggi yang belum pernah dirambah manusia akan dia daki. Berani bertanding dengan lawan yang sudah terkenal tanpa tanding. Belajar ilmu yang sulit-sulit. Mengambil risiko yang menantang bahaya. Tujuannya ingin diakui prestasinya

Orang ingin punya anak pandai, maka ia tidak segan-segan untuk menyekolahkan anaknya (untuk ukuran sekarang barangkali menyekolahkan anak ke luar negeri, ke sekolah favorit, mengikutkan anak ke pendidikan tambahan di luar sekolah yang sekarang bertebaran dimana-mana). Orang ingin dihormati lalu mencari sarana supaya menjadi “priyayi”. Orang ingin punya uang banyak, makan kenyang dan berpakaian baik lalu berdagang, mendirikan pabrik, supaya mendapat keuntungan banyak. Ingin anak cucunya berbahagia lalu bekerja keras siang malam supaya memperoleh keuntungan banyak, sebagian uangnya ditabung untuk keperluan keturunannya. Orang ingin santai di rumah dengan nyaman lalu banting tulang supaya bisa membangun rumah bagus lengkap dengan perabotnya. Orang yang ingin kelihatan lebih tampan atau lebih cantik lalu berhias. Demikian pula orang yang ingin setelah mati masuk sorga akan meningkatkan amal dan ibadahnya.

Demikianlah apa yang disampaikan R Kartawibawa. Berangkatnya memang dari motivasi manusia yang ingin enak dan diakui. Tetapi semuanya harus diperoleh melalui tidak enak atau kesulitan lebih dahulu. Manungsa dhemen enak lan kapenak, nanging kudu nukoni kangelan. Tidak ada dalam kamus kalimat “Thenguk-thenguk nemu kethuk”. Penjelasan sederhana dari “Jer Basuki Mawa Beya” (IwMM)

Tuesday, June 19, 2012

JER BASUKI MAWA BEYA


Kalimat “Jer Basuki Mawa Beya” amat akrab bagi telinga orang Jawa, khususnya yang di Provinsi Jawa Timur. Demikian tinggi maknanya sehingga kalimat tersebut tertera di bawah Lambang Daerah Jawa Timur yang ditetapkan dengan Perda. Ringkasnya kalimat “Jer Basuki Mawa Beya” mengandung arti “Untuk mencapai kebahagiaan diperlukan pengorbanan”

Pernah saya tulis dalam Sundah mandah: Memahami “Jer Basuki Mawa Beya”, bahwa sebenarnya sejak kanak-kanak kita sudah dididik untuk memahami bahwa “kebahagiaan butuh kerja keras” dalam hal ini melalui permainan. Dalam “Sundah mandah” sawah baru kita peroleh setelah berjuang. Intinya, manungsa dhemen enak lan kapenak, nanging kudu nukoni kangelan dhisik. Masalahnya apakah ada yang menjelaskan kepada anak-anak tersebut makna dibalik permainan “sundah mandah”, jangan-jangan tidak ada. Lebih-lebih pada jaman sekarang, apakah masih ada anak-anak yang bermain “sundah mandah”?
Dalam bahasa Jawa kata “Basuki” mengandung arti selamat sejahtera, lahir dan batin. sesuatu yang menjadi cita-cita orang Jawa pada umumnya. Dasanama (sinonim) dari kata “basuki” dalam bahasa Jawa cukup banyak. Karena nama dianggap mengandung makna, maka orang Jawa banyak (paling tidak pada masa itu) memberi nama anaknya yang mengandung makna selamat dan sejahtera. Contohnya: Basuki, Lestari, Slamet, Raharja, Rahayu, Sugeng, Widada, Wilujeng, Yuwana. bahkan bisa didobel, misalnya Slamet Raharja.

Guna mencapai “Basuki” diperlukan “Beya”, yang artinya adalah biaya. Mendengar kata “biaya” maka yang pertama kali terlintas dalam otak kita pasti “uang”. Memang semua butuh uang, dan tidak sedikit. Ada dua guyonan yang semua orang sudah tahu, yaitu pada waktu tawar-menawar tarip dengan tukang becak: (1) Sewu njaluk slamet (seribu minta selamat) dan  (2) Sewu tanpa rem (seribu tidak pakai rem). Ungkapannya sederhana, tapi silakan didalami, ternyata maknanya dalam.

Uang memang sakti. Tetapi sesakti-saktinya uang, ia tidak menyelesaikan masalah. Seorang teman yang sekarang sudah meninggal dunia, pernah mengatakan: “Uang itu pokok, tapi tidak prinsip. Jangan dibalik bahwa uang itu prinsip tapi tidak pokok. Maknanya lain”.

“Mawa beya” berarti membutuhkan biaya. “Beya” disini tidak berarti uang, walaupun pada jaman sekarang semuanya perlu dihitung dengan uang. ”Beya” dapat diartikan “input” untuk mencapai “basuki”.  Pemikiran kita, waktu kita, kerja keras kita, pengorbanan kita, semua adalah input. Semua adalah modal. Tidak ada sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Semuanya harus digali sendiri oleh manusia dari bumi.  Kita tidak boleh “njagakake endhoge si blorok” dan orang yang “thenguk-thenguk nemu kethuk” memang ada tetapi kasuistik saja. Amat langka kejadiannya. Apalagi kalau dikaitkan dengan pembangunan, jelas tidak mungkin.

“Jer Basuki Mawa Beya” adalah pesan untuk kita semua: Perorangan, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Semangat “Jer Basuki Mawa Beya” membangunkan kita semua untuk meningkatkan keikhlasan berkorban, meningkatkan partisipasi dalam mengisi kemerdekaan yang telah kita bayar dengan “beya” darah dan air mata. (IwMM)

Sunday, June 17, 2012

MEMAHAMI KERATA BASA

Dalam bahasa Jawa “kerata” berarti memahami asal usul; dalam hal ini asal usul bahasa, ditinjau dari suku katanya. Contoh paling sederhana adalah kata “Kathok” (celana). Dikaitkan dengan asal usulnya (paling tidak menurut orang Jawa), asal usul kata “kathok” adalah berasal dari mengenakannya “diangKAT mbaka siTHOK’ (mbaka sitok: satu persatu). Jadi mengapa pakaian yang kita kenakan itu disebut “kathok” karena cara mengenakannya adalah kaki diangkat satu persatu. Ya mana ada kaki kanan dan kiri diangkat bareng-bereng waktu mengenakan celana. Apa betul demikian? Wah ya tidak jelas. Menurut pendapat saya,  ini salah satu kreativitas orang Jawa dalam othak-athik gathuk.

“Kerata basa” adalah akronim. Tetapi penyusunannya tidak menggunakan kaidah seperti “Cangkriman” yaitu mengambil suku kata terakhir dari tiap kata, seperti pernah saya tulis dalam Cangkriman 2a: jenis dan kaidah (wancahan, pepindhan dan blenderan) Dalam “kerata basa” suku kata depan atau belakang bisa dicampur aduk, yang penting akronim tersebut memberi makna yang sama bagi sebuah kata. Kadang-kadang memang sedikit ada perubahan dalam suku katanya, walau dari aspek bunyi tetap dapat dipahami. Misalnya “Kotang” (Dalam bahasa indonesia “kotang” adalah “kutang” atau BH/Bra. Asal kata “kotang” dari tinjauan “kerata basa” adalah “siKUTe diuTANG”. Mengapa menjadi “sikute diutang”, Ya mana ada “kotang” (kutang) yang pakai lengan, makanya “sikunya dihutang” alias tanpa lengan.

“Kerata basa” juga disebut “jarwa dhosok” (Jarwa: penjelasan; Dhosok: salah satu artinya adalah menyatukan). Dengan demikian “jarwa dhosok” kurang-lebihnya dapat diartikan: Penjelasan dari sebuah kata (dari penyatuan suku kata). Bagaimana menyatukannya sehingga dapat memberi penjelasan yang pas? Ya dikira-kita bagaimana pasnya, hanya perlu dicatat, butuh kreativitas mengurai dan merakit suku kata.

Lalu bagaimana dengan “cengkir” dan “tebu” yang menjadi unsur “tuwuhan” yang dipasang di depan gerbang rumah dalam rangkaian upacara pernikahan adat Jawa? Menurut saya ini bukan “kerata basa” tetapi perlambang dalam memberikan pitutur kepada kedua mempelai. “Cengkir” adalah pesan untuk kenCENGing piKIR dan “Tebu” adalah pesan untuk anTEping kalBU: Maknanya nyaris sama, yaitu “kebulatan tekad” untuk berumah-tangga.

Di bawah ini adalah contoh-contoh “kerata basa” dari kata-kata bahasa Jawa yang  suku katanya bisa dijabarkan sehingga menjelaskan arti (bukan arti kiasan) dari sebuah kata:

1.    Brekat: Mak breg diangkat (Penjelasan: Dalam acara selamatan, setelah selesai biasanya yang hadir, pada umumnya duduk lesehan, diberi brekatan makanan, kue, buah-buahan, dll. Diletakkan di depan kita “breg” dan waktu akan pulang tentu saja kita “angkat”.

2.    Buta: Kalbune ora ditata (Penjelasan: Buta adalah raksasa sebagai penggambaran sifat angkara murka. Jadi kalbunya tidak ditata)

3.    Copet: Ngaco karo mepet-mepet (Penjelasan: Cara copet mengacau dompet kita tentusaja dengan “mepet-mepet” atau menempel setengah mendesak)

4.    Garwa: Sigaraning nyawa (Penjelasan: “Garwa” adalah istri. Sedah tentu istri adalah “sigaraning” (belahan) “nyawa” (jiwa)

5.    Gedhang: Digeget bar madhang (Penjelasan: Gedhang atau pisang pada umumnya merupakan hidangan setelah selesai makan. Jadi “digeget” (digigit) setelah makan (bar madhang)

6.    Gerang: Segere wis arang (Penjelasan: Gerang adalah ungkapan untuk orang yang sudah tua-renta. Jarang atau “arang” lah orang yang sudah “gerang” ini masih segar

7.    Gethuk: Digeget karo manthuk-manthuk (Penjelasan: Gethuk adalah penganan dari ketela. Digigit (karena enak) makanya sambil manthuk-mantuk atau mengangguk-angguk. Mungkin yang satu ini agak berlebihan menterjemahkannya. Semua makanan kalau enak ya pasti kita mengangguk-angguk sambil mengatakan “mak nyuss”)

8.    Guru: Digugu lan ditiru (Penjelasan: Guru tentu saja wajib diikuti atau “digugu” dan ditiru. Mohon perhatian “Wagu tur kuru” bukan kerata basa yang sebenarnya untuk guru. Almarhum ayah saya seorang dosen, sering digoda teman-temannya dengan menyebut demikian. Kebetulan ayah saya kurus)

9.    Kaji: Tekade mung siji (Penjelasan: Orang naik haji tentu saja dengan tekad yang satu, menjalankan rukun Islam yang ke lima)

10.  Kodhok: Teka-teka ndhodhok (Penjelasan: Kodhok biarpun berdiri dalam penglihatan manusia pasti jongkok. Habis melompat, ya langsung jongkok.

11.  Krikil: Keri ing sikil (Penjelasan: Coba saja jalan di krikil, apalagi bagi yang tidak pernah bertelanjang kaki. Pasti terasa geli mengarah ke sakit pada telapak kaki)

12.  Kuping: Kaku njepiping (Penjelasan: Ya seperti itulah kuping. Mohon maaf saya tidak bisa mengindonesiakan “njepiping”)

13.  Kupluk: Kaku nyempluk (Penjelasan: Kupluk adalah songkok)

14.  Kursi: Yen diungkurake banjur isi (Penjelasan: Kalau didorong ke belakang lalu isi). maksudnya lalu diduduki.

15.  Ludruk: Gulune gela-gelo, sikile gedrag-gedrug (Penjelasan: Ludruk adalah kesenian daerah Jawa Timur. Biasanya dibuka dengan “Tari Ngrema”, sebuah tari dengan gerakan yang dinamis, leher penari sering menoleh ke kanan dan kiri demikian pula kakinya menghentak-hentak sehingga gelang kakinya berbunyi gemerincing)

16.  Saru: Kasar tur keliru (Penjelasan: Saru adalah perilaku yang tidak kenal subasita atau tatakrama, jadi dikatakan kasar dan keliru)

17.  Sekuter: sedeku mlaku banter (Penjelasan: Scooter, salah kaprahnya disebut vespa. Orang yang naik “sekuter” ibaratnya berpangku tangan atau “sedeku” jasa tetapi jalannya “banter”. Tentunya ini “kerata basa” modern, dibuat setelah orang Jawa mengenal “sekuter”)

18.  Sepuh: Sabdane ampuh (Penjelasan: Apa yang disampaikan orang yang dianggap “sepuh” atau tua, pada umumnya didengar dan diikuti. Tentang pengertian tua dapat dibaca di Serat Wedhatama: Berilmutidak harus tua)

19.  Sopir: Yen ngaso mampir (Penjelasan: Pada umumnya sopir khususnya sopir kendaraan umum kalau “ngaso” atau istirahat pasti “mampir”. Jangan berpikir yang bukan-bukan, maksud “mampir disini adalah “mampir” di warung, untuk efisiensi waktu. Bisa makan, bisa sekedar minum kopi.

20.  Sruwal: Saru yen nganti uwal (Penjelasan: Sruwal adalah celana. Jangan sampai “uwal” atau lepas. Kan “saru” atau tidak pantas).

21.  Tandur: Ditata karo mundur (Penjelasan: Kalau kita jalan-jalan ke sawah pada masa tanam padi, kita lihat bagaimana ibu-ibu di desa menanam padi. Baris berjajar rapi sambil melangkah mundur setiap satu baris selesai ditanami)

22.  Tarub: Ditata supaya murub (Penjelasan: Tarub adalah salah satu tanda adanya kegiatan “mantu” dalam adat Jawa. Harus ditata supaya kelihatan “murub” atau menyala)

23.  Tuwa: Ngenteni metune nyawa (Penjelasan: Orang yang sudah tua dikatakan menunggu keluarnya nyawa

24.  Wanita: Wani ing tata atau wani mranata (Penjelasan: Perilaku wanita lebih disorot daripada perilaku pria. Jadi Wanita harus lebih berani menjaga “tata” atau aturan. Demikian pula wakita ibaratnya kepala staf dalam rumah tangga. Jadi harus lebih berani “mranata” atau menegakkan aturan).

25.  Wedang: Ngawe kadang (Penjelasan: Wedang adalah minuman panas, bisa teh, kopi, wedang jahe, dan lain-lain. Kadang adalah teman. Orang yang suka menyediakan “wedang” inu, sudah barang tentu plus temannya “wedang”, misal pisang goreng, pasti disukai orang, temannya banyak)

Demikianlah ada banyak akronim dalam bahasa Jawa. Di atas adalah contoh akronim untuk “kerata basa”. Andaikan Bapak/Ibu sedang ikut ulangan bahasa Jawa, lalu ada pertanyaan, mana yang termasuk kerata basa?:

a. Joglo Semar (Jogja Solo Semarang);
b. Wiwawite Lesbadonge (Uwi dawa wite tales amba godhonge)
c. Tuwan sinyo Untu kedawan gusi menyonyo)
d. Tepas (Titip Napas).

Tentunya tidak usah pikir panjang lagi untuk melingkari huruf “d” (IwMM)

Saturday, June 16, 2012

UNGKAPAN BAHASA JAWA DENGAN “DHENGKUL

Kurang paham juga saya ketika ditanya kenapa “Dhengkul” (lutut) dalam ungkapan Jawa dikaitkan dengan sesuatu yang lemah. Mungkin tidak dalam bahasa Jawa saja. Dalam bahasa Indonesia kita kenal kata “bertekuk lutut” yang artinya menyerah kalah. Padahal lutut adalah bagian tubuh yang penting. Bayangkan saja kalau sendi lutut kita yang merupakan sendi besar, kena rematik. Pasti kita tidak mampu jalan.

Mau cari sesuatu yang bisa “diothak-athik gathuk” untuk lutut kok ya tidak ketemu-ketemu. Satu-satunya referensi justru dari Afrika, kalau tidak salah proverb dari Senegal yang mengatakan: “Hati tidaklah sama dengan lutut yang bisa dibengkokkan”. Barangkali karena lutut bisa dibengkokkan, maka konotasinya lemah.

Di bawah adalah beberapa ungkapan bahasa Jawa yang menggunakan kata “dhengkul” berikut terjemahannya:

1.    “Pawitan Dhengkul”. Maksudnya modal (pawitan) dengkul. Saya singgung dalam “Bandha bau, bandha-bau dan bandha bandhu, bahwa bandha-bau tidak sama dengan modal dengkul. Orang bermodal dengkul memang merupakan orang yang dikatakan “babarpisan ora pawitan” (samasekali tidak ada modalnya, baik uang maupun tenaga).

2.    “Ngiket-iket dhengkul”. (Iket: Ikat kepala). Memberi ikat kepala kepada dengkul. Arti yang sama adalah “Nasabi dhengkul” (Nasabi: menutupi). Artinya orang yang lebih memprioritaskan keluarga atau temannya. Bahasa populernya sekarang KKN.

3.    Terkait dengan butir 2 di atas kita kenal pula “Dhengkul iket-iket(an)”. Dengkul pakai ikat kepala. Maksudnya orang yang tidak cakap tetapi diberi kedudukan (mungkin karena ada unsur “kedekatan”) atau orang yang tidak ada manfaatnya samasekali. Bedanya dengan butir 2 di atas: yang pertama adalah orang yang memprioritasikan KKN dalam memilih sedangkan yang kedua adalah orang yang dipilih dari hasil KKN.

4.    Kemudian terkait butir 3 diatas maka ada ungkapan “Landhep dhengkul” (Landhep: tajam). Dengkul (yang bulat tidak tajam); dikatakan bahwa dhengkul  masih lebih tajam. Biasanya untuk mengkata-katai orang yang telmi, bodoh. “Otaknya landhep dhengkul.

5.    “Ngekep dhengkul” (Ngekep: memeluk). Artinya orang pemalas, tidak mau kerja. “Gaweyane (pekerjaannya) mung (hanya) ngekep dhengkul”.

6.    “Kendhangan dhengkul”. (Kendang: gendang. Pemain gendang biasanya memukul gendang dengan duduk bersila. Tetapi disini bukan memukul gendang karena memang tidak ada gendang. Yang dipukul kedua lututnya). Maksudnya orang yang sedang enak-enakan tidak bekerja (Bukan karena malas tetapi karena pekerjaannya sudah selesai; tidak seperti orang pemalas  yang kerjaannya hanya "ngekep dhengkul")

Itulah enam ungkapan dengan kata “dhengkul” yang berbau kelemahan dalam berbagai hal. Oh ya ada satu yang menunjukkan kekuatan. “Adhengkul paron” (Paron: landasan besi yang dipakai landasan para pandai besi). Artinya lutut yang amat kuat (lututnya Gatotkaca). Dan pernahkah mendengan makian: “Dhengkulmu!!”, ya sesuatu makian yang kasar berbau lucu. Dan teman saya dari Surabaya protes: “Kurang satu mas, Rawon tutup dhengkul (IwMM)

Thursday, June 14, 2012

“BANDHA BAU”, “BANDHA-BAU” DAN “BANDHA BANDHU”

BANDHA: Harta dan BAU: Bahu (dalam arti kiasan untuk "tenaga"). Pengertian BANDHA BAU disini adalah “Harta dan tenaga” sedangkan BANDHA-BAU adalah orang yang “modalnya hanya tenaga saja”. “Bandha-bau” tidak sama dengan “modal dengkul”. Yang terakhir ini konotasinya hanya modal badan saja. Sedangkan “Bandha-bau” jelas-jelas menyumbangkan tenaga, biasanya untuk menjelaskan seseorang yang tidak mampu menyumbang uang karena memang tidak punya, tetapi ia punya tenaga yang bisa disumbangkan.

Masih ingat “Ora uwur ora sembur” yang artinya orang yang tidak mau “uwur” (dalam pengertian menyumbang harta termasuk uang) dan tidak mau “sembur” (memberi nasihat)? Jelas orang ini walaupun punya “bandha-bau” pasti tidak mau menyumbangkan hartanya (bandha), apalagi menyumbangkan “bau”nya (tenaga). Orang yang tidak mau memelihara hubungan silaturahmi seperti ini pasti banyak yang tidak suka. Hidupnya akan kesepian.

Dalam Serat Madubasa, Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka, 1912 dijelaskan bahwa “Witing katresnan ana rong prakara: saka bandha bau” Tumbuhnya cinta (dalam arti umum) ada dua hal: Dari “Bandha Bau” (Harta dan tenaga)

a. Andanakake bandhane marang wong kang kekurangan kalawan ikhlasing ati, iku ora mung tinarima marang kang oleh pitulungan bae, iya uga oleh pangalembana saka liyan sarta oleh sihe sapadha-padha.

b. andanakake bau suku marang wong duwe gawe sarta wong kasripahan kalawan iklasing ati, uga tinarima marang wong kang kapitulungan, sarta ingalem marang wong akeh mggone enthengan bau, sanadyan ora urun apa-apa saka ora duwe, iya tinarima, dadi akeh wong kang asih tresna.

Terjemahannya

Dua hal yang menyebabkan kita dicintai orang banyak:

a. Menjumbangkan harta untuk orang yang kekurangan dengan hati ikhlas, tidak hanya diterima oleh orang yang menerima pertolongan tetapi juga memperoleh pujian dari orang lain karena cinta-kasihnya kepada sesama

b. Menyumbangkan tenaga kepada orang yang sedang punya hajat atau kena musibah (kematian), juga diterima oleh orang yang dibantu dan dipuji orang banyak karena sifatnya yang suka membantu. Walaupun tidakm menyumbangkan uang karena memang tidak punya, tetap diterima dan banyak orang yang menyintai

Adapun pengertian BANDHU adalah sanak-saudara. Orang yang “sugih bandha bandhu” berarti disamping punya banyak harta juga banyak teman. Kira-kira orang ini punya sifat “berbudi bawa laksana”. Luber budinya: Suka memberi, dan bawa laksana: Ucapannya sesuai tindakannya. Sehingga dia dipercaya dan dicintai sesama manusia.

Jadi bila ada kalimat dalam bahasa Jawa (ngoko) sebagai berikut: “Pak Prawira dasar priyayine sugih bandha bandhu lan remen dedana, mulane nalika didadekake panitia pembangunan Mesjid ing kampunge, ora mung nyumbangake bandha baune nanging uga ora kangelan nglumpukake sumbangan saka sanak-sedulure sing pancen akeh. Semono uga Pak Krama, senadyan mung bandha-bau nanging ora gelem kari, tenagane disumbangake melu dadi tukang batu. Karo-karone oleh pangalembana saka kanca-kancane”.

Maksudnya sudah jelas bukan? Marilah kita teladani Pak Prawira dan Pak Krama ini. Orang yang sugih “bandha bandhu” dan mau menyumbangkan “bandha bau”nya. Serta orang yang hanya “bandha-bau” tetapi ikhlas menyumbangkan “bau-suku”nya. (IwMM)

Wednesday, June 13, 2012

TRENGGILING API MATI

Pembicaraan orang selalu menarik untuk didengar oleh orang lain, baik yang terlibat dengan urusan kita maupun tidak. Motifnya macam-macam. Yang paling ringan adalah yang sekedar ingin tahu apa yang kita bicarakan. Yang menjengkelkan tentunya orang yang ingin kulak warta adol prungon, dia bisa punya bahan untuk diceriterakan di tempat lain, lebih-lebih bila yang kita bicarakan punya nilai jual  bagus. Yang paling berbahaya tentunya kalau yang dicuri dengar adalah rahasia negara yang bisa dijual di negara lain.

Tehniknya pun macam-macam. Ada yang aktif ikut nimbrung dalam pembicaraan bahkan ikut beri komentar, dengan harapan mendapat informasi yang lebih lengkap. Ada yang sebaliknya. Dia justru pura-pura tidak tertarik, pura-pura tidak mendengar, pura-pura sibuk dengan mainannya sendiri, misalnya baca koran atau ber facebook ria. Padahal dia pasang telinga lebar-lebar dan mendengar seluruh pembicaraan

Adalah binatang yang mamanya Trenggiling (Manis javanica, Paramanis javanica), melihat nama latinnya termasuk asli Jawa. Tubuhnya tertutup sisik besar dan keras yang tersusun membentuk lapisan perisai sebagai alat pelindung. Jika merasakan bahaya ia akan menggulung tubuhnya seperti bola, diam, pura-pura mati. Dengan bergulung, bagian perutnya yang lunak akan terlindung. Dengan pura-pura mati, musuhnya tidak tertarik untuk memangsa, atau tidak mengira kalau dia trenggiling yang bisa dimakan.

Taktik trenggiling yang pura-pura mati ini mengilhami orang Jawa dulu untuk membuat perumpamaan “trenggiling api mati” (api, api-api: pura-pura) bagi si pencuri dengar yang pura-puranya tidak dengar. Satu hal yang harus kita waspadai siapa tahu ada trenggiling diantara kita. Ada pitutur Jawa yang mengingatkan bahwa durjana itu ada dimana-mana. Bisa saja ada diantara teman bicara kita.

Mencuri dengar adalah perilaku tidak baik. Dapat dibaca dalam Pitutur: Kumpulan 3

Wong kang dhemen nguping kepengin weruh apadene nyampuri perkarane liyan, gedhene nganti nrambul urun ucap, padha karo golek-golek momotan kang sejatine ora perlu. Adhakane kepara malah ngreridu awake dhewe.

TERJEMAHAN: Orang yang suka mencuri dengar karena ingin tahu, demikian pula orang yang suka mencampuri urusan orang lain dan nrombol ikut-ikut bicara, sama dengan mencari muatan yang sebenarnya tidak perlu. Akhirnya malah menyusahkan diri sendiri.

Dewasa ini keberadaan trenggiling terancam karena diburu manusia untuk berbagai keperluan, mulai sebagai makanan sampai obat. Pemerintah telah menyatakan Trenggiling (Manis javanica) sebagai satwa yang dilindungi. Sungguh sayang kalau sampai punah. Anak-anak kita tidak bisa melihat trenggiling berikut perilaku "api mati"nya. Anak-anak kita tidak mampu lagi memahami nenek moyangnya dulu yang begitu jeli melihat perilaku trenggiling sebagai perumpamaan manusia yang suka curi-curi dengar pembicaraan orang lain. (IwMM)

Monday, June 11, 2012

“PANAS” DALAM UNGKAPAN JAWA



Terkait dengan api yang panas, membakar dan merambat dalam tulisan “Api (geni) dalam ungkapan Jawa” yang kesannya mengerikan, maka kata “panas” dalam ungkapan Jawa agak berbeda, dan  lebih luas maknanya.

Kalau "membakar dan merambat" adalah perilaku api, maka "panas: boleh dikatakan merupakan "sifat" api. Sehingga beberapa ungkapan Jawa dengan "panas" banyak terkait dengan "suasana hati" atau sifat manusia. 

Dalam hubungan dengan suasana hati ini, ungkapan "panas" digunakan sebagai kata kiasan atau "tembung entar".

 Kita lihat beberapa contoh di bawah:

1.    “Panastis” jaman dulu merupakan penyakit yang banyak diderita orang Jawa. Panas dan atis (dingin) bergantian. Karena sekarang ini penyakit malaria sudah tidak banyak lagi di Pulau Jawa, ungkapan ini sepertinya sudah hampir punah ditelan jaman. Dulu saya tugas di Maluku Utara. Orang disana menyebut panastis ini dengan demam goyang. Setelah demam, lalu goyang karena menggigil kedinginan.

2.    “Panas atine”, hatinya panas. Bagaimana hati bisa panas? Ini dalam tatabahasa Jawa termasuk tembung “entar” (kiasan). Maksudnya sudah jelas, bisa panas hati karena marah, bisa pula akibat terprovokasi. tadinya adem-adem saja, sontak kebakaran jenggot.

3.    “Panasbaran” sebenarnya lengkapnya adalah “panas ora sabaran” artinya hati yang gampang panas, tidak ada sabarnya. Kata-kata ini juga sudah jarang kita dengar.

4.    Ada juga kata-kata bijak: “Sing ngungkuli panasing geni iku panasing ati”, panasnya hati lebih berbahaya dibanding panasnya api. Memang betul, panasnya api belum tentu membakar diri kita, tapi panasnya hati pasti menyerang kita sendiri. Pitutur ini jangan dibiarkan berlalu begitu saja. Ingat: yang kena "diri sendiri".

5.    “Dhuwit panas”, uang panas, juga merupakan “tembung entar”. Artinya uang yang bukan milik kita (walaupun dipercayakan pada kita), misalnya uang yayasan, uang negara, kalau kita salahgunakan bisa mencelakakan. Bukankah namanya korupsi. Itulah sebabnya disebut "dhuwit panas". Risikonya "terbakar" yang yang terbakar sekali lagi bukan orang lain tetapi "diri sendiri".

6.    “Nglakoni panas perih” sama dengan “ngrasakake lara-lapa”. Kalau kita dinasihati: “Wong yen pengin mulya, ya kudu nglakoni panas perih dhisik. Ora ana wong mulya dadakan, kabeh kudu nganggu lara-lapa”. (Kalau ingin mulia ya harus merasakan kesusahan dan kesengsaraan dulu, tidak ada orang mulia yang tiba-tiba). Pada jaman orang maunya serba "instant" pitutur ini juga perlu di "recall" kembali.

7.    Ada dua “cangkriman” (teka-teki) dengan “panas”. (a) “Panas karo panas dadi adhem (Panas ditambah panas menjadi dingin) dan (b) Adhem karo adhem dadi panas (Dingin ditambah dingin menjadi panas). Jawabnya langsung saya tulis disini, daripada ada yang tidak tahu: (a) air panas dituang ke api dan (b) air dingin ditambah batu gamping.

Sampai disini teman saya Toni datang. Ia ikut membaca dari belakang punggung saya: “Ayo mas masukkan dalam cangkrimannya, panas tapi tidak bisa membakar rumah?”

“Tapi ini cangkriman Jawa atau bukan, Ton? Lha jawabnya apa?

Dia tertawa terbahak-bahak. “Dijawakan kan bisa. Gitu saja repot. Jawabnya kopi panas, mas. Yuk ngopi saja di kantin. A man should like coffee. Hot, sweet and strong” (IwMM)

Most Recent Post


POPULAR POST