Dalam bahasa Jawa “kerata” berarti memahami asal usul; dalam hal ini asal usul bahasa, ditinjau dari suku katanya. Contoh paling sederhana adalah kata “Kathok” (celana). Dikaitkan dengan asal usulnya (paling tidak menurut orang Jawa), asal usul kata “kathok” adalah berasal dari mengenakannya “diangKAT mbaka siTHOK’ (mbaka sitok: satu persatu). Jadi mengapa pakaian yang kita kenakan itu disebut “kathok” karena cara mengenakannya adalah kaki diangkat satu persatu. Ya mana ada kaki kanan dan kiri diangkat bareng-bereng waktu mengenakan celana. Apa betul demikian? Wah ya tidak jelas. Menurut pendapat saya, ini salah satu kreativitas orang Jawa dalam othak-athik gathuk.
“Kerata basa” adalah akronim. Tetapi penyusunannya tidak menggunakan kaidah seperti “Cangkriman” yaitu mengambil suku kata terakhir dari tiap kata, seperti pernah saya tulis dalam Cangkriman 2a: jenis dan kaidah (wancahan, pepindhan dan blenderan) Dalam “kerata basa” suku kata depan atau belakang bisa dicampur aduk, yang penting akronim tersebut memberi makna yang sama bagi sebuah kata. Kadang-kadang memang sedikit ada perubahan dalam suku katanya, walau dari aspek bunyi tetap dapat dipahami. Misalnya “Kotang” (Dalam bahasa indonesia “kotang” adalah “kutang” atau BH/Bra. Asal kata “kotang” dari tinjauan “kerata basa” adalah “siKUTe diuTANG”. Mengapa menjadi “sikute diutang”, Ya mana ada “kotang” (kutang) yang pakai lengan, makanya “sikunya dihutang” alias tanpa lengan.
“Kerata basa” juga disebut “jarwa dhosok” (Jarwa: penjelasan; Dhosok: salah satu artinya adalah menyatukan). Dengan demikian “jarwa dhosok” kurang-lebihnya dapat diartikan: Penjelasan dari sebuah kata (dari penyatuan suku kata). Bagaimana menyatukannya sehingga dapat memberi penjelasan yang pas? Ya dikira-kita bagaimana pasnya, hanya perlu dicatat, butuh kreativitas mengurai dan merakit suku kata.
Lalu bagaimana dengan “cengkir” dan “tebu” yang menjadi unsur “tuwuhan” yang dipasang di depan gerbang rumah dalam rangkaian upacara pernikahan adat Jawa? Menurut saya ini bukan “kerata basa” tetapi perlambang dalam memberikan pitutur kepada kedua mempelai. “Cengkir” adalah pesan untuk kenCENGing piKIR dan “Tebu” adalah pesan untuk anTEping kalBU: Maknanya nyaris sama, yaitu “kebulatan tekad” untuk berumah-tangga.
Di bawah ini adalah contoh-contoh “kerata basa” dari kata-kata bahasa Jawa yang suku katanya bisa dijabarkan sehingga menjelaskan arti (bukan arti kiasan) dari sebuah kata:
1. Brekat: Mak breg diangkat (Penjelasan: Dalam acara selamatan, setelah selesai biasanya yang hadir, pada umumnya duduk lesehan, diberi brekatan makanan, kue, buah-buahan, dll. Diletakkan di depan kita “breg” dan waktu akan pulang tentu saja kita “angkat”.
2. Buta: Kalbune ora ditata (Penjelasan: Buta adalah raksasa sebagai penggambaran sifat angkara murka. Jadi kalbunya tidak ditata)
3. Copet: Ngaco karo mepet-mepet (Penjelasan: Cara copet mengacau dompet kita tentusaja dengan “mepet-mepet” atau menempel setengah mendesak)
4. Garwa: Sigaraning nyawa (Penjelasan: “Garwa” adalah istri. Sedah tentu istri adalah “sigaraning” (belahan) “nyawa” (jiwa)
5. Gedhang: Digeget bar madhang (Penjelasan: Gedhang atau pisang pada umumnya merupakan hidangan setelah selesai makan. Jadi “digeget” (digigit) setelah makan (bar madhang)
6. Gerang: Segere wis arang (Penjelasan: Gerang adalah ungkapan untuk orang yang sudah tua-renta. Jarang atau “arang” lah orang yang sudah “gerang” ini masih segar
7. Gethuk: Digeget karo manthuk-manthuk (Penjelasan: Gethuk adalah penganan dari ketela. Digigit (karena enak) makanya sambil manthuk-mantuk atau mengangguk-angguk. Mungkin yang satu ini agak berlebihan menterjemahkannya. Semua makanan kalau enak ya pasti kita mengangguk-angguk sambil mengatakan “mak nyuss”)
8. Guru: Digugu lan ditiru (Penjelasan: Guru tentu saja wajib diikuti atau “digugu” dan ditiru. Mohon perhatian “Wagu tur kuru” bukan kerata basa yang sebenarnya untuk guru. Almarhum ayah saya seorang dosen, sering digoda teman-temannya dengan menyebut demikian. Kebetulan ayah saya kurus)
9. Kaji: Tekade mung siji (Penjelasan: Orang naik haji tentu saja dengan tekad yang satu, menjalankan rukun Islam yang ke lima)
10. Kodhok: Teka-teka ndhodhok (Penjelasan: Kodhok biarpun berdiri dalam penglihatan manusia pasti jongkok. Habis melompat, ya langsung jongkok.
11. Krikil: Keri ing sikil (Penjelasan: Coba saja jalan di krikil, apalagi bagi yang tidak pernah bertelanjang kaki. Pasti terasa geli mengarah ke sakit pada telapak kaki)
12. Kuping: Kaku njepiping (Penjelasan: Ya seperti itulah kuping. Mohon maaf saya tidak bisa mengindonesiakan “njepiping”)
13. Kupluk: Kaku nyempluk (Penjelasan: Kupluk adalah songkok)
14. Kursi: Yen diungkurake banjur isi (Penjelasan: Kalau didorong ke belakang lalu isi). maksudnya lalu diduduki.
15. Ludruk: Gulune gela-gelo, sikile gedrag-gedrug (Penjelasan: Ludruk adalah kesenian daerah Jawa Timur. Biasanya dibuka dengan “Tari Ngrema”, sebuah tari dengan gerakan yang dinamis, leher penari sering menoleh ke kanan dan kiri demikian pula kakinya menghentak-hentak sehingga gelang kakinya berbunyi gemerincing)
16. Saru: Kasar tur keliru (Penjelasan: Saru adalah perilaku yang tidak kenal subasita atau tatakrama, jadi dikatakan kasar dan keliru)
17. Sekuter: sedeku mlaku banter (Penjelasan: Scooter, salah kaprahnya disebut vespa. Orang yang naik “sekuter” ibaratnya berpangku tangan atau “sedeku” jasa tetapi jalannya “banter”. Tentunya ini “kerata basa” modern, dibuat setelah orang Jawa mengenal “sekuter”)
18. Sepuh: Sabdane ampuh (Penjelasan: Apa yang disampaikan orang yang dianggap “sepuh” atau tua, pada umumnya didengar dan diikuti. Tentang pengertian tua dapat dibaca di Serat Wedhatama: Berilmutidak harus tua)
19. Sopir: Yen ngaso mampir (Penjelasan: Pada umumnya sopir khususnya sopir kendaraan umum kalau “ngaso” atau istirahat pasti “mampir”. Jangan berpikir yang bukan-bukan, maksud “mampir disini adalah “mampir” di warung, untuk efisiensi waktu. Bisa makan, bisa sekedar minum kopi.
20. Sruwal: Saru yen nganti uwal (Penjelasan: Sruwal adalah celana. Jangan sampai “uwal” atau lepas. Kan “saru” atau tidak pantas).
21. Tandur: Ditata karo mundur (Penjelasan: Kalau kita jalan-jalan ke sawah pada masa tanam padi, kita lihat bagaimana ibu-ibu di desa menanam padi. Baris berjajar rapi sambil melangkah mundur setiap satu baris selesai ditanami)
22. Tarub: Ditata supaya murub (Penjelasan: Tarub adalah salah satu tanda adanya kegiatan “mantu” dalam adat Jawa. Harus ditata supaya kelihatan “murub” atau menyala)
23. Tuwa: Ngenteni metune nyawa (Penjelasan: Orang yang sudah tua dikatakan menunggu keluarnya nyawa
24. Wanita: Wani ing tata atau wani mranata (Penjelasan: Perilaku wanita lebih disorot daripada perilaku pria. Jadi Wanita harus lebih berani menjaga “tata” atau aturan. Demikian pula wakita ibaratnya kepala staf dalam rumah tangga. Jadi harus lebih berani “mranata” atau menegakkan aturan).
25. Wedang: Ngawe kadang (Penjelasan: Wedang adalah minuman panas, bisa teh, kopi, wedang jahe, dan lain-lain. Kadang adalah teman. Orang yang suka menyediakan “wedang” inu, sudah barang tentu plus temannya “wedang”, misal pisang goreng, pasti disukai orang, temannya banyak)
Demikianlah ada banyak akronim dalam bahasa Jawa. Di atas adalah contoh akronim untuk “kerata basa”. Andaikan Bapak/Ibu sedang ikut ulangan bahasa Jawa, lalu ada pertanyaan, mana yang termasuk kerata basa?:
a. Joglo Semar (Jogja Solo Semarang);
b. Wiwawite Lesbadonge (Uwi dawa wite tales amba godhonge)
c. Tuwan sinyo Untu kedawan gusi menyonyo)
d. Tepas (Titip Napas).
Tentunya tidak usah pikir panjang lagi untuk melingkari huruf “d” (IwMM)
a. Joglo Semar (Jogja Solo Semarang);
b. Wiwawite Lesbadonge (Uwi dawa wite tales amba godhonge)
c. Tuwan sinyo Untu kedawan gusi menyonyo)
d. Tepas (Titip Napas).
Tentunya tidak usah pikir panjang lagi untuk melingkari huruf “d” (IwMM)
No comments:
Post a Comment