Ngono: begitu; Aja: jangan. Jadi kalau di Indonesiakan sederhana, tetapi tidak umum. Begitu ya begitu tetapi jangan begitu. Kelihatannya ini murni ungkapan Jawa. Apalagi padanan katanya klop: Ngono ya ngono ning aja ngono.
Masih ingat kelompok diskusi saya? Yang hanya “Rembugan tanpa tumandang?” (berdiskusi tanpa tindakan). Toni satu-satunya yang bukan Jawa. Bahasa Jawanya cukup OK karena sekolahnya di Jawa, tetapi trik-trik Jawa dia masih kurang paham. Suatu saat entah baca koran atau ketemu siapa, dia tanya: “Ngono ya ngono ning aja ngono apa berarti boleh nyolong tapi jangan banyak-banyak?”
Biasanya memang mas Bagyo yang menjawab duluan: “Ya nggak gitu Ton, tapi orang Jawa saja banyak yang tidak paham filosofi ini apalagi kamu. Kalau nyolong ya jelas nggak boleh. Nyolong jelas-jelas larangan.”
“Maksud mas Bagyo itu kalau jelas-jelas dilarang baik oleh pemerintah maupun agama, kamu nggak boleh lagi pakai rumus ngono ya ngono, Ton”. Darman menimpali. “Contoh yang jelas ya Ma Lima, Madat, main, maling, madon, minum. Jangan sampai kamu ngomong minum ya minum asal tidak mabok. Madon (main perempuan) ya madon tapi jangan keterlaluan. Jangan lho Ton”, penekanan Darman.
“Sulit amat jadi orang Jawa”, Toni menanggapi. “Kadang-kadang boleh, kadang-kadang tidak, Yang boleh bisa tidak boleh, yang tidak boleh bisa suatu saat jadi boleh”.
Mbah Harjo manggut-manggut, lalu beliau ngendika: “Ton, dalam ungkapan ini, orang Jawa ingin mengatakan bahwa mereka bisa menerima sesuatu yang tertentu sampai ambang batas tertentu. Dengan kata lain yang mereka terima pada batas tertentu itu, hanya sesuatu yang tertentu saja”.
“Ya Allah, Mbah, kalau seperti itu penjelasannya malah jadi makin mbulet”, timpal Darman.
“Aku belum selesai, Man”, sambung mbah Harjo. “Sesuatu yang tertentu itu adalah sesuatu yang bukan larangan, tetapi tidak pantas, dan sesuatu yang keterlaluan dalam ketidakpantasannya.”
Mas Bagyo tertawa keras-keras. “Sudah mbah, jangan diterus-teruskan, malah semakin sulit ditangkap”.
Ganti mbah Harjo yang tertawa. “Kalian ingat kapan mulai panggil aku mbah?”
“Tiga atau empat bulan yang lalu, memangnya kenapa?” Mas Bagyo agak heran.
“Ingat ceriteraku?”, jawab Mbah Harjo.
Semua tertawa. Kala itu mbah Harjo ceritera, nyetir mobil, kena lampu merah pas di depan sendiri. Ban depan nabrak marka. Datanglah seorang polisi masih muda. “Mbah, panjenengan nabrak marka”. Ternyata mbah Harjo tidak terima. Beliau turun dari mobil dan tanpa ba bi bu polisi muda itu dibentak. “Kamu belum lahir aku sudah nyetir mobil, tahu?!” Polisi muda itu cukup bijak untuk tidak meladeni mbah Harjo. Memang ban mobil mbah Harjo tidak sampai menginjak marka, tetapi moncong mobilnya tentusaja melampaui. Mbah Harjo Putri yang ada disebelahnya mencoba menenangkan. “Sudah to pak, wong cuma gitu saja. Saru kalau jadi tontonan. Ngono ya ngono ning aja ngono”. Sejak itu kita semua memanggil Pak Harjo dengan Mbah Harjo. Dan beliau menikmatinya.
Toni yang tertawanya paling lama. “mbah, mbah. Kalau dari tadi ngendika begitu saya kan langsung tahu. Marah kan boleh, tapi kalau di keramaian kan memalukan. Beda pendapat apa salahnya, tapi kalau sampai lempar-lemparan asbak di depan wartawan kan tidak tahu malu. Pokoknya untuk hal-hal yang sebenarnya negatif tapi masih bisa ditolerir dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus bisa mengendalikan diri, tidak melampaui batas. Untuk sesuatu yang terlarang, ngono ya ngono itu tidak ada”. Senyum Toni melebar, merasa menang. “Tapi kalau saya ngomong gini jadi saya yang mbulet ya.”
Mas Bagyo hari ini nyaris tidak berperan. Sambil mengelus rambutnya yang sudah menipis, ia berbicara lirih: “Pitutur Jawa memang harus dirasakan, bukan dibicarakan. Nilai ambang batas, bukan ditetapkan dengan bilangan angka tetapi perasaan.” (IwMM)
No comments:
Post a Comment