Salah satu kelakuan manusia pada jaman Kala Bendu adalah “Aji Mumpung”. Mumpung sugih, mumpung kuwasa, mumpung enom, dan lain-lain Selain itu, apa lagi yang terjadi?
RAGU-RAGU
Pada mulanya R Ngabehi Ranggawarsita ragu-ragu untuk menjelaskan situasi Jaman Kala Bendu. Selain sudah merasa tua, beliau juga sedang prihatin karena beban hidup yang dirasa berat. Jangan-jangan terjadi salah tafsir karena tingkat intelektualitas dan cara pandang manusia tidak ada yang sama.
Hal ini dijelaskan pada pupuh Gambuh bait ke enam dan tujuh sebagai berikut:
6. Rong asta wus katekuk; Kari ura-ura kang pakantuk; Dandanggula lagu palaran sayekti;; Ngleluri para leluhur; Abot ing sih swami karo
Terjemahannya: Dua tangan sudah dilipat (dilipat didada maksudnya bersedekap, sudah tidak bekerja lagi); Tinggal mampu berdendang (ura-ura); Dandanggula lagu palaran tentunya; Mengenang para leluhur; Berat pada kasih sayang raja (Swami: Tuan; Raja; Suami/Istri)
7. Galak gangsuling tembung; Ki Pujangga panggupitanipun; Rangu-rangu pamanguning reh harjanti; Tinanggap prana tumambuh; Katenta nawung prihatos
Terjemahannya: Benar-salahnya kata (galap-gangsul); Dalam ucapan Ki Pujangga; ragu-ragu termangu dalam perasaan; Tanggapan bisa salah tafsir
SETELAH KERAGUAN HILANG
Keragu-raguan tersebut rupanya bisa disingkirkan, sehingga Ki Pujangga menjelaskan pada bait ke 8 – 13 masih dalam pupuh Gambuh sebagai berikut:
8. Wartine para jamhur; Pamawasing warsita datan wus; Wahanane apan owah angowahi; Yeku sansaya pakewuh; Ewuh aya kang linakon
Terjemahannya: Puncaknya Kala Bendu; hati yang lupa semakin menjadi-jadi; Tidak bisa dikalahkan oleh budi yang baik; Bila belum saatnya; Panasnya semakin luar biasa
9. Sidining Kala Bendu; Saya ndadra hardaning tyas limut; Nora kena sinirep limpating budi; Lamun durung mangsanipun; Malah sumuke angradon
Terjemahannya: Puncaknya Kala Bendu; hati yang lupa semakin menjadi-jadi; Tidak bisa dikalahkan oleh budi yang baik; Bila belum saatnya; Panasnya semakin luar biasa
10. Ing antara sapangu; Pangungaking kahanan wus mirud; Morat-marit panguripaning sesami; Sirna katentremanipun; Wong udrasa sak anggon-anggon
Terjemahannya: Dalam waktu yang cepat; Keadaan semakin larut; kehidupan semakin morat-marit; Ketenteraman sirna; Dimana-mana orang berkeluh-kesah
11. Kemang isarat lebur; Bubar tanpa daya kabarubuh; Paribasan tidhem tandhaning dumadi; Begjane ula dahulu; Cangkem silite angaplok
Terjemahannya: Semuanya tanda kehancuran; Bubar tanpa daya kena perang (brubuh: perang campuh banyak korban); Ibarat tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan; Yang beruntung adalah ular kepala dua; kepala dan ekornya dapat mencaplok
12. Ndhungkari gunung-gunung; Kang geneng-geneng padha jinugrug; Parandene tan ana kang nanggulangi; Wedi kalamun sinembur; Upase lir wedang umob
Terjemahannya: Gunung-gunung dibongkar; Yang tinggi-tinggi diruntuhkan; Tetapi tidak ada yang berani melawan; Takut kalau disembur; Bisanya seperti air mendidih
13. Kalonganing kaluwung; Prabanira kuning abang biru; Sumurupa iku mung soroting warih; Wewarahe para Rasul; Dudu jatining Hyang Manon
Terjemahannya: Lengkungan pelangi; Berwarna merah kuning biru; Ketahuilah itu hanya cahaya pantulan air; Ajaran para Rasul; Itu sebenarnya bukan Tuhan.
MASIH ADAKAH HARAPAN?
Kalau dibayang-bayangkan memang cukup mengerikan. Kebaikan tidak mampu mengalahkan kejahatan. Bahkan alam pun ikut bergejolak. Menggaris-bawahi bait ke 13, barangkali dalam ketakutan maka orang melihat pelangi di langit dikira Tuhan menampakkan diri. Dijelaskan oleh R Ng Ranggawarsita bahwa itu hanya pantulan cahaya air. Tuhan tidak bisa dibayangkan akal manusia.
Adanya pelangi mungkin merupakan petunjuk bahwa dunia belum kiamat. Masih ada harapan. Jaman Kala Bendu bukanlah akhir jaman. Apakah masih ada harapan? Jawaban Ki Pujangga akan saya lanjutkan pada posting berikut, “Serat Sabda Tama: Pulih duk jaman rumuhun” (IwMM)
No comments:
Post a Comment