Sepintas tembang ini sama halnya “Gundhul Gundhul Pacul” dianggap tembang dolanan anak-anak saat terang bulan. Bagi orang yang mengerti bahasa Jawa, bahasanya termasuk sederhana walaupun tidak se simple “Gundhul Gundhul Pacul. Lirik lagunya sebagai berikut:
Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir; Tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar; Cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi; lunyu-lunyu peneneken kanggo mbasuh dodotira; Dodotira, dodotira kumitir bedhah ing pinggir; dondomana jlumatana, kanggo seba mengko sore; Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane; ya suraka, surak hiya.
Andaikan tembang ini sebuah ceritera, kalau boleh saya ingin membaginya dalam empat episode:
BABAK PERTAMA: BANGUNLAH, TUGAS MENANTI
Episode pertama adalah: “Lir-ilir, lir ilir tandure wis sumilir; tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar”. “Nglilir” adalah bangun dari tidur. “Tandur” adalah tanam atau tanaman karena disebut sebagai “tandure”. Adapun “sumilir” berasal dari kata “silir” dengan sisipan “um” yang berarti ada gerakan angin sepoi-sepoi. “Tandure wis sumilir” tergambar dalam benak saya sebagai tanaman yang bergoyang-goyang ditiup angin. Sepertinya kita disuruh bangun karena tanaman sudah menunggu untuk dirawat atau dipanen. Merawat tanaman tentusaja harus dilandasi rasa cinta. Rasa cinta disini dilambangkan sebagai warna “ijo” (hijau) dalam “tak ijo royo-royo”. Hijau adalah lambang cinta yang universal. Rasa cinta ini masih diperkuat lagi dengan “tak sengguh temanten anyar”, laksana pengantin baru.
Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir; Tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar; Cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi; lunyu-lunyu peneneken kanggo mbasuh dodotira; Dodotira, dodotira kumitir bedhah ing pinggir; dondomana jlumatana, kanggo seba mengko sore; Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane; ya suraka, surak hiya.
Andaikan tembang ini sebuah ceritera, kalau boleh saya ingin membaginya dalam empat episode:
BABAK PERTAMA: BANGUNLAH, TUGAS MENANTI
Episode pertama adalah: “Lir-ilir, lir ilir tandure wis sumilir; tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar”. “Nglilir” adalah bangun dari tidur. “Tandur” adalah tanam atau tanaman karena disebut sebagai “tandure”. Adapun “sumilir” berasal dari kata “silir” dengan sisipan “um” yang berarti ada gerakan angin sepoi-sepoi. “Tandure wis sumilir” tergambar dalam benak saya sebagai tanaman yang bergoyang-goyang ditiup angin. Sepertinya kita disuruh bangun karena tanaman sudah menunggu untuk dirawat atau dipanen. Merawat tanaman tentusaja harus dilandasi rasa cinta. Rasa cinta disini dilambangkan sebagai warna “ijo” (hijau) dalam “tak ijo royo-royo”. Hijau adalah lambang cinta yang universal. Rasa cinta ini masih diperkuat lagi dengan “tak sengguh temanten anyar”, laksana pengantin baru.
Kesimpulannya, bab pertama meminta kita untuk segera bangun, tanaman telah menunggu dirawat. Dan jangan lupa harus dirawat dengan penuh rasa cinta. Tanaman bisa berarti apa saja. Tanaman padi, keluarga, pekerjaan, bangsa, negara, agama dan masih banyak lagi. Episode pertama adalah pendahuluan yang menurut saya masih bersifat umum.
BABAK KE DUA: AWAS, HIDUP BANYAK RINTANGAN
Episode kedua adalah: “Cah angon, cah angon penekna blimbing kuwi; lunyu-lunyu peneneken kanggo mbasuh dodotira”. Yang dimaksud dengan “cah angon” adalah “bocah angon” atau anak gembala. “Penekna” adalah tolong panjatkan (menek: memanjat). “blimbing kuwi” maksudnya pohon blimbing itu. “Lunyu: licin. Jadi “lunyu-lunyu peneken” berarti walaupun licin panjatlah. Kanggo: untuk; Mbasuh: mencuci; Dodot: kain panjang, termasuk “formal dress” yang dipakai seperti sarung; Ira: kata ganti empunya; Dodotira berarti pakaianmu. “Kanggo mbasuh dodotira” maksudnya untuk mencuci pakaianmu. Secara keseluruhan dapat diterjemahkan sebagai berikut: “wahai anak gembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu; walau licin, panjatlah untuk mencuci pakaianmu”. Pada jaman dulu blimbing memang dipakai untuk mencuci kain.
Yang menarik disini adalah: Kita meminta anak gembala untuk mengambil blimbing buat mencuci pakaiannya sendiri. Dengan “warning” awas licin. Mengapa “cah angon?” kok bukan “Pak Dengkek” atau “Man Doblang” misalnya. “Bocah angon” dalam hal ini bukan sekedar anak remaja tanggung penggembala kambing, atau bebek. “Bocah angon” adalah pemimpin. Blimbing adalah buah bersudut lima. Rahasianya terletak pada mencari hal apa yang mempunyai unsur “lima”. Pada jaman sekarang Bangsa Indonesia mempunyai Dasar Negara Panca Sila. Tembang Ilir-Ilir diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Saat itu “Panca Sila” belum lahir. Berarti yang dimaksud dengan “blimbing” adalah “Rukun Islam” yang lima: Syahadat, Shalat lima waktu, Puasa, Zakat dan Haji. Untuk mencapai yang lima itu, memang rintangannya banyak. Tetapi bukankah sudah dipesan: “Lunyu-lunyu peneken”.
Untuk apa? Ya “kanggo mbasuh dodotira”, untuk mencuci pakaianmu. Berarti pakaian si “bocah angon” perlu dicuci. Langsung saja saya simpulkan bahwa pakaian yang dimaksud adalah “Imtaq” Iman dan taqwa. Jelas sekali pesannya, bahwa para pemimpin harus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Jalan menuju tempat itu penuh rintangan dan godaan. Siapa tidak tahan uji pasti tergelincir.
BABAK KE TIGA: HARUS SIAP BILA SEWAKTU-WAKTU DIPANGGIL
Episode ke tiga adalah: “Dodotira, dodotira kumitir bedhah ing pinggir; dondomana jlumatana, kanggo seba mengko sore”. “Kumitir bedhah ing pinggir” kurang lebih berarti: rusak, robek di tepinya. Dondomana: jahitlah; Jlumatana: tisiklah; Kanggo seba: Untuk menghadap; Mengko sore: nanti sore. Arti selengkapnya sebagai berikut: Pakaianmu rusak, robek ditepinya; Jahitlah, tisiklah, untuk menghadap nanti sore.
Pada episode kedua telah diingatkan supaya pakaian “Imtaq” kita dibersihkan. Episode ke tiga juga mengingatkan, yang rusak dan robek supaya diperbaiki. Dijahit dan ditisik yang halus. Saya ambil contoh kerusakan moral dan akhlak, dimana mulai banyak orang meninggalkan ajaran agama, harus diperbaiki sebaik mungkin.
Untuk apa? Disebutkan: “Kanggo seba mengko sore”. “Seba” adalah kata lain untuk “menghadap”, dengan pengkhususan “menghadap raja”. Oleh sebab itu ada tempat yang disebut “paseban”. Siapakah raja yang dimaksud? Pimpinan kita? Bupati? Gubernur? Presiden? Kita lihat lagi kalimat lengkapnya: “Kanggo seba mengko sore”. Ya, “mengko sore” atau nanti sore. Adakah paseban dilaksanakan pada waktu senja? Jelas tidak ada. Sore adalah saat matahari tenggelam. Dalam kehidupan manusia, dapat diartikan saat kita sudah sampai ajal, saat kembali kepada “Al Chaliq, Sang Maha Pencipta. Jadi: pakaian (Imtaq) kita yang bersih dan tidak rusak adalah bekal kita menghadap Allah SWT setelah sampai pada janji kita.
BABAK KE EMPAT: SENYAMPANG MASIH ADA WAKTU, JANGAN SIA-SIAKAN
Episode ke empat adalah: “Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane; ya suraka, surak hiya”. Mumpung: selagi; senyampang; Gedhe: besar; Jembar: luas; Kalangan: lingkaran (sering kita lihat rembulan di langit ada lingkatan luarnya, semacam “halo” inilah yang dimaksud dengan “kalangan” dalam kalimat tersebut). Surak: bersorak (karena gembira).
Episode terakhir ini juga mengingatkan: Senyampang masih ada waktu, selagi masih ada kesempatan, senyampang pintu hidayah masih terbuka, karena kita masih hidup (digambarkan dengan rembulan yang purnama dengan kalangan yang besar) perbaikilah keimanan dan ketaqwaanmu. Kalimat penutup adalah “Ya suraka surak hiya”. Tentusaja nanti saat datang panggilan dari Yang Maha Kuasa, orang yang menjaga iman dan taqwanya dengan baik, layak untuk menyambutnya dengan gembira.
Ternyata tembang Ilir-ilir bukan tembang dolanan biasa yang dilagukan saat terang bulan. Bahkan lagu religius. Bulan purnama, bulan kalangan, sampai saat ini masih ada, dan masih menyapa penghuni bumi dengan lembut, seraya berpesan "Mumpung gedhe rembulane". Tetapi saat ini kelihatannya kita lebih tertarik pada gerhana bulan daripada bulan penuh.(IwMM)
No comments:
Post a Comment