Tuesday, April 30, 2013

ORANG PELIT DALAM PARIBASAN JAWA

Dalam budaya Jawa kita diharapkan bisa gemi dan nastiti: Pandai simpan uang, sekaligus pandai mengelola uang, tapi bukan pelit: Suka simpan uang, tidak mau keluarkan uang. Hidup ini pada hakekatnya adalah “kebersamaan”. Dalam mangan ora mangan kumpul tercermin sifat kebersamaan itu. Demikian pula ungkapan ana pangan ayo padha dipangan, ana gaweyan ayo padha ditandangi, dan masih banyak lagi.
 
Dibawah adalah beberapa paribasan Jawa yang terkait dengan sifat pelit (Jawa: cethil), dan suka menghitung-hitung dengan harapan banyak untung ternyata malah buntung.
 
 
 
Tidak mau memberi sumbangan (diwakili kata uwur yang artinya menabur, sesuatu yang digerakkan oleh tangan), tidak mau pula memberi saran atau nasihat (diwakili kata sembur, sesuatu yang dikeluarkan oleh mulut). Misalnya dalam kegiatan tujuhbelasan di kampung, kemudian panitia membutuhkan dana yang dicari secara gotong royong, maka orang yang tidak mau kontribusi apa-apa bisa dikatakan ora uwur ora sembur. Tentusaja ada saja alasannya. Tidak sumbang uang katanya belum gajian, tidak sumbang barang bilang tidak ada apa-apa di rumah, tidak sumbang tenaga mengatakan sedang sakit dll.
 
 
NJALUKAN ORA WEWEHAN
 
Suka meminta (njaluk) tetapi tidak suka memberi (weweh). Orang minta bisa karena ia butuh. Tetapi kalau suka minta padahal bukan pengemis, berarti orang serakah. Ditambah lagi dengan sifat tidak suka memberi, berarti ia cuma mau simpan tetapi tidak mau mengeluarkan.
 
 
JURANG GRAWAH ORA MILI
 
Jurang grawah adalah jurang yang ada airnya, tetapi air yang ada tertahan di dasar jurang, alias tidak mengalir. Menggambarkan orang yang enggan keluar uang padahal ia punya dan tidak sedikit. Dengan kata lain ia orang pelit.
 
 
TAINE ANA KACANGE DICUTHIKI
 
Mohon maaf kalau kata-katanya menjijikkan. Kacang kalau dimakan sering tidak tercerna semuanya sehingga masih ada pecahan kacang kecil-kecil yang keluar bersama kotoran (tinja). Menggambarkan orang yang amat pelit (diibaratkan sampai kacang kecil-kecil yang ada di tinja dia ambil).
 
 
EMAN-EMAN ORA KEDUMAN
 
Eman: sayang; Keduman: kebagian. Disayang-sayang malah tidak kebagian. Ada contoh sederhana sebagai berikut: Kebetulan di rumah ada satu bakul langsat yang baru saya beli tadi pagi. Tahu-tahu Mas Parmo datang bertamu. Suka tidak suka, karena namanya tamu ya harus ada lungguh, gupuh dan suguhnya, padahal ibunya anak-anak pas tidak ada. Langsat terpaksa saya keluarkan.
 
Karena saya amat suka langsat, daripada dihabiskan Mas Parmo maka saya keluarkan separonya saja. Yang separo saya simpan di kulkas, dengan maksud akan saya makan setelah Mas Parmo pulang. Ternyata selama Mas Parmo bertamu, anak saya datang bersama teman-temannya. Langsatpun licin tandas. Andaikan tadi saya keluarkan semua, pasti masih ada sisa untuk saya. Inilah yang disebut eman-eman ora keduman.
 
 
 
Cincing: Menaikkan celana atau kain ke atas, misalnya waktu menyeberangi genangan air supaya tidak basah, tetapi malah basah kuyup (klebus). Menggambarkan orang pelit. Misal mau hajatan karena sayang keluar uang banyak maka uang yang harus dikeluarkan untuk keperluan hajatan tersebut dikurang-kurangi. Alhasil malah akhirnya keluar uang lebih banyak.
 
 
 
LIDING DONGENG
 
Dalam hidup ini menjadi pemurah jauh lebih baik daripada menjadi pelit. Orang pemurah dalam membantu sesama selalu banyak teman. Pemurah tidak harus suka memberi uang. Bila kita tidak punya uang, kita bisa pemurah dalam menyumbangkan tenaga. Dalam bahasa Jawa dikatakan enthengan. Bisa juga memberikan sumbang saran yang positif. Orang yang pelit dalam segala hal lama-kelamaan akan dijauhi sesama manusia. (Iwan MM)

Thursday, April 25, 2013

BEBERAPA HAL YANG MENYEBABKAN ORANG HARUS HATI-HATI DALAM PARIBASAN JAWA (2)

Pada tulisan ke dua ini tiga contoh orang yang kepada mereka kita harus hati-hati adalah pertama, orang yang suka menipu; kedua,  orang yang tidak membalas budi dan satu lagi yang ketiga, orang yang mau enaknya sendiri.
 
Mengapa yang ke tiga ini dimasukkan, coba saja rasakan bergaul dengan orang yang seperti ini. Mungkin kita tidak mengalami kerugian material, tetapi makan hati juga.
 
 
 
C. MENIPU
 
1. AKAL BULUS
 
Akal dari seekor bulus (kura-kura) adalah memasukkan kepala kedalam tempurungnya. Terlalu sederhana untuk diketahui. Pengertian akal bulus adalah menipu tetapi kurang cerdik sehingga mudah diketahui yang akan ditipu. Dengan demikian orang yang tertipu karena “akal bulus” seseorang berarti orang yang tertipu ini ini lebih bulus dari bulus. Kenyataannya ada juga yang tertipu dengan sekedar SMS yang berbunyi “Bu pulsaku abis” atau “Ada mendapatkan hadiah mobil avanza” dan sejenisnya.
 
2. AKAL KOJA
 
Jaman dulu kata “koja” digunakan untuk menyebut saudagar India. Mungkin karena saking pandai dan luwesnya dalam transaksi perdagangan mereka bisa meraih keuntungan besar. Sehingga “akal koja” diartikan orang yang pandai menipu secara amat halus, sehingga kita tidak sadar kalau sebenarnya mengalami kerugian.
 
3. NJABUNG ALUS.
 
Jabung adalah semacam lak atau perekat yang keluar dari getah pohon. Njabung alus berarti merekatkan secara halus. Kata “jabung” sendiri juga mempunyai arti “menipu”. Dengan demikian kata “njabung alus” secara harfiah berarti menipu secara halus, demikian pula dalam pengertian peribahasa: bisa merekatkan secara halus, tidak kentara kalau menipu.
 
 
Bisa dimasukkan dalam katagori menipu juga. Kelihatannya menolong (misalnya bantu-bantu waktu kita punya hajat), padahal ia juga angon ulat ngumbar tangan. Ketika ada kesempatan mengambili barang-barang. Sering juga kejadian orang menolong korban kecelakaan. Padahal sembari menolong ia juga melepas arloji, cincin dan dompet si korban. Orang desa yang kebingungan tidak tahu jalan di kota besar juga bisa jadi korban si tukang tolong yang suka menthung ini. Pura-puranya mencarikan jalan pada akhirnya merampok.

5. MBIDHUNG API ROWANG

Mau mBidhung (ngrusuhi, mengganggu) tetapi pula-pula membantu (rowang: teman; rewang: teman/membantu)

6. NGGUTUK API LAMUR

Nggutuk: memukul. Pengertiannya adalah membuat celaka orang lain (nggutuk) tetapi pura-pura tidak tahu (api lamur: pura-pura rabun). Misalnya malah tanya kenapa bisa terjadi demikian?

7. CATATAN
 
Menipu juga dapat dilakukan oleh dua orang sebagai tim yang padu, seperti telah ditulis pada: Gedheg lan anthuk, dududan lan anculan.
 
 
D. TIDAK MEMBALAS BUDI
 
1. DIBECIKI MBALANG TAI
 
Gambaran orang yang diberi kebaikan (dibeciki) tetapi membalas dengan kejahatan (mbalang tai. Mbalang: melempar; Tai: tahi).
 
2. TULUNG KEPENTHUNG
 
Maksud kita baik-baik mau menolong, ternyata yang ditolong membalas dengan kejahatan. Contoh sederhana adalah fabel kisah sapi yang menolong buaya. Sedemikian baiknya si sapi sampai ia menggendong si buaya yang lemah di punggungnya. Ternyata si buaya justru mau memakan ponok si sapi. Beruntunglah ada ketemu kancil yang kemudian melepaskan sapi dari bahaya.
 
 
Diberi hati masih minta ampela. Memang bukan membalas kebaikan dengan kejahatan, tetapi meminta lebih. Sudah diberi kebaikan ternyata kurang menerima sehingga merambat minta yang lain lagi.
 
 
E. MAU ENAKNYA SENDIRI
 
1. AREP JAMURE EMOH WATANGE
 
Jamur adalah makanan yang enak; hampir semua orang suka jamur (arep jamure). Jamur tentunya harus dicari dulu di batang pohon (watang) utamanya yang sudah membusuk. Sehingga lebih banyak orang yang mau makan jamurnya tetapi tidak mau merasakan repotnya cari jamur (Emoh watange). Kalau kita bekerjasama dengan orang yang seperti ini lama-kelamaan akan makan hati.
 
2. AREP NANGKANE EMOH PULUTE
 
Orang mau makan nangka tentu harus bertempur dulu untuk melepaskan daging buah nangka dari pelingkupnya yang bergetah. Artinya sama dengan arep jamure emoh watange, yaitu: Orang yang mau enaknya tidak mau susahnya. Orang seperti ini jangan dimasukkan dalam tim karena hakekat tim adalah kerjasama: Senang dan susah sama-sama dirasakan. Kalau ia tidak mau watang dan pulutnya disilakan saja beli jamur dan nangka di supermarket. Kecuali kita ikhlas menjadi orang yang gupak pulute ora mangan nangkane.
 
 
LIDING DONGENG
 
Bila semua orang sopan dan baik tentunya dunia akan tenteram.
 
Tetapi di dunia ini masih ada manusia lain: yang tidak sopan sekaligus tidak baik. Untuk yang seperti ini pasti kita sudah waspada dari awal.
 
Bagaimana dengan orang yang baik tetapi kurang sopan? Pasti kita jauhi karena manusia mengedepankan sikap yang santun.

Justru hal inilah yang menyebabkan manusia lengah ketika menghadapi orang yang kelihatannya sopan tetapi nakal (Iwan MM)

Tuesday, April 23, 2013

BEBERAPA HAL YANG MENYEBABKAN ORANG HARUS HATI-HATI DALAM PARIBASAN JAWA (1)

Hidup memang harus hati-hati. Sudah sering saya tulis bahwa yang waspada akan selamat dan yang lengah akan kena: Yitna yuwana lena kena. Bahkan orang baik-baik pun bisa celaka kalau tidak waspada: Yuwana mati lena. Ada pula hal-hal khusus yang perlu diwaspadai orang yang punya kedudukan seperti dapat dibaca di Hal-hal yang perlu diwaspadai para petinggi dalam paribasan Jawa (1) dan (2).
 
Beberapa contoh di bawah adalah hal-hal yang perlu diwaspadai secara umum oleh kita semua. Ternyata bukan “beberapa” tapi “banyak”. Saya punya rumus: Kalau paribasannya banyak, berarti kejadiannya juga banyak. Jadi memang perlu waspada karena dalam hidup ini ternyata banyak yang mengintai kelemahan dan kelengahan kita.
 
 
A. CARI KESEMPATAN MENUNGGU KELENGAHAN
 
1. UNGAK-UNGAK PAGER ARANG
 
Ungak-ungak: melongok; Pager: pagar; Arang: jarang. Gambaran orang yang mencari peluang untuk mencuri milik orang lain. Melongok kesana-kemari barangkali ada pagar yang jarang sehingga bisa dimasuki. Menjelang Idul Fitri misalnya, kalau kita mau mudik hendaknya hati-hati. Jangan sampai ada “pager arang” karena pasti ada orang yang “ungak-ungak”. Pengertian “pager arang” tidak harus “pagar betulan”. Lampu depan yang masih menyala di siang hari termasuk “pager arang”.
 
2. ANGON ULAT NGUMBAR TANGAN
 
Ulat: ekspresi wajah. Angon ulat: mempelajari ekspresi wajah orang (untuk dicari kelengahannya), sehingga ia aman “ngumbar tangan” (melepaskan tangannya) untuk mencuri barang orang yang lemah. Hati-hati di tempat keramaian, karena banyak orang yang angon ulat ngumbar tangan. Keramaian tidak harus seramai sekatenan. Atraksi ledhek kethek (tandhak bedhes, topeng monyet) pun merupakan keramaian. Habis nonton ledhek kethek bisa-bisa ekspresi kita berubah menjadi kaya kethek ditulup ketika kita sadar bahwa dompet hilang dikutil orang.
 
 
B. LAHIRNYA SAJA KELIHATAN BAIK
 
1. PENDHITANING ANTIGA
 
Sering juga disebut PENDHITANING ANTELU atau PENDHITANING ENDHOG. Antelu, antiga dan endhog pengertiannya sama yaitu “telur”. Telur ada tiga bagian, yaitu kulit telur, putih telur dan kuning telur. Warnanya tidak sama. Pendhita sama dengan pendeta yaitu orang yang mendarmakan hidupnya untuk kesucian lahir dan batin. Pengertian peribahasa ini adalah orang yang lahirnya kelihatan baik tetapi dalam hatinya menyimpan maksud tidak baik.
 
2. APIK KUMRIPIK NANCANG KIRIK.
 
Paribasan ini menekankan purwakanthi IK. Pengertiannya adalah orang yang perilakunya baik (Digambarkan dengan apik dan kumripik, seperti krupuk atau sejenisnya yang bila digigit tetap keras tetapi mudah hancur) tetapi dibelakang ia membawa kirik (anak anjing). Orang yang apik kumripik ini, karena kumripik, pasti ramah. Manusia sering lengah menghadapi orang ramah.
 
3. MENENG-MENENG NGANDHUT KRENENG
 
Paribasan ini juga menekankan purwakanthi ENG. Kelihatannya diam (meneng), tidak apa-apa tetapi dalam hatinya ada niat tidak baik (karena membawa kreneng: wadah dari anyaman bambu yang jarang. Bisa untuk wadah kalau kita beli buah-biahan atau gudheg. Gudheg yang dimasukkan kendhil sering diwadahi kreneng). Berbeda dengan orang yang apik kumripik di atas, maka yang satu ini tebih banyak diamnya (meneng).
 
4. MENENG WADA ULEREN
 
Orang yang lahirnya kelihatan baik (digambarkan dengan meneng: diam) tetapi mempunyai maksud tidak baik, yang digambarkan denga ucapannya (wada) yang uleren (berulat). Sering disebut juga dengan MENENG WIDARA ULEREN (Widara: pohon/buah bidara; Widara uleren: Buah bidara yang di luar kelihatan utuh tetapi di dalam berulat).
 
5. NGGEGEM WATU
 
Arti harfiahnya: Menggenggam batu. Sesuatu yang dalam genggaman tentunya tidak terlihat oleh orang lain (kecuali yang digenggam barang besar). Orang yang nggegem watu adalah orang yang menyembunyikan dendam kepada kita tetapi disamarkan dengan sikap lahir yang baik, menunggu kesempatan baik untuk memukul atau melempar kita dengan batu yang ia genggam.
 
 
Bila di depan kita ia baik (mungkin takut berhadapan: wedi rai) tetapi di belakang ia menjelek-jelekkan kita setengah mati (berani karena kita tidak ada: wani silit). Bila yang mendapat ceritera termasuk orang yang gampang percaya, bisa menyusahkan kita.
 
7. NABOK NYILIH TANGAN
 
Memukul (nabok) tetapi meminjam tangan orang lain (nyilih tangan). Pengertiannya adalah berbuat jahat dengan menyuruh orang lain. Di depan mungkin ia baik. Bisa karena wani silit wedi rai. Padahal meneng-meneng sekaligus ngandhut kreneng dan nggegem watu, tetapi tidak berani memukulkan langsung batu yang ia genggam. Ia perlu nyilih tangan untuk nabok. Kalau terjadi sesuatu yang mengancam dirinya, maka ia bisa lebih mudah untuk tinggal glanggang colong playu (menyingkir diam-diam).
 

Sunday, April 21, 2013

PENCARI BERITA DAN PENYEBAR GOSIP DALAM PARIBASAN JAWA

Dalam ungkapan bahasa Indonesia kita kenal “berita burung” yang artinya kurang lebih berita berita tidak jelas (karena kita tidak tahu bahasa burung) dan menyebar secara cepat (karena burung bisa terbang). Gampangnya kita sebut saja “Desas desus” atau lebih keren “rumor”. Dalam ungkapan bahasa Inggris kita kenal “fish story”. Ceritera penangkap ikan. Tangkapan sejengkal bisa diceriterakan jadi sedepa.
 
Bagi orang yang “kagetan dan gumunan” maka “berita burung” yang menjadi “fish story” ini bisa menjadi malapetaka bagi yang diberitakan. Bahkan R. Ngabehi Ranggawarsita sendiri mengakui pernah jadi korban berita seperti ini. Dalam Serat Kalatidha, pupuh Sinom bait ke empat dapat dibaca:
 
Dasar karoban pawarta; Bebaratun ujar lamis; Pinudya dadya pangarsa; Wekasan malah kawuri; Yan pinikir sayekti; Mundhak apa aneng ngayun; Andhedher kaluputan; Siniraman banyu lali; Lamun tuwuh dadi kekembanging beka
 
Semua ini ulah orang yang suka cari berita sekaligus menyebarkannya. Hendaknya kita selalu waspada kalau ada berita-berita yang sampai ke telinga kita. Sudah terlanjur GR ternyata tidak betul. Dari jaman Pak Harto dulu kalau mau pergantian kabinet selalu ada guyonan: “Jangan tinggalkan telepon siapa tahu .....”.
 
Sebenarnya nenek moyang kita sudah mengingatkan melalui paribasan supaya kita tidak “karoban pawarta” seperti yang dialami R Ngabehi Ranggawarsita, sepanjang kita menghayati maknanya. Dibawah dapat diwaos beberapa contoh paribasan tersebut sebagai berikut:
 
 
A. BAGAIMANA BERITA TERSEBAR
 
1. KULAK WARTA ADOL PRUNGON
 
Kulak artinya membeli. Yang dimaksud adalah membeli atau mencari berita (warta). Adol adalah menjual, dalam hal ini menjual atau mengedarkan apa yang ia dengar (prungon). Jelasnya memang ada orang yang punya perilaku seperti ini: Mendengar dari suatu tempat dan diceriterakan kembali di tempat lain; tentunya sudah diuyah asemi (diberi bumbu). Lengkapnya dapat dibaca di posting Kulak warta adol prungon. Bagaimana cara mereka mencari berita? Bisa wawancara langsung seperti wartawan, melalui gossip arisan, dan masih banyak lagi termasuk dua contoh di bawah:
 
2. NGEDOM-EDOM
 
Dom atau edom artinya jarum. Jarum adalah benda kecil yang tidak kelihatan kalau tidak diperhatikan. Perilakunya menyusup diantara kain. Ngedom-edom adalah perilaku orang yang suka cari keterangan dengan secara diam-diam mencuri dengar pembicaraan orang lain.
 
3. TRENGGILING API MATI
 
Dalam upaya menyelamatkan diri dari musuh, trenggiling punya cara khusus: Melingkar sehingga kelihatan seperti mati (Api, api-api: pura-pura). Dalam peribahasa ini adalah orang yang curi dengar pembicaraan secara tidak kentara. Lebih tidak kentara dari ngedom-edom. Misalnya pura-pura asyik main gadget, baca koran, dll padahal curi dengar. Hati-hati juga dengan orang yang sliwar-sliwer di dekat kita: Bisa pembantu sampai staf. Selengkapnya dapat dibaca di posting Trenggiling api mati.
 
4. KARNA BINANDHUNG
 
Karna adalah telinga; Arti harfiahnya adalah Telinga dirangkap. Maksudnya adalah telinga kita menerima berita tidak langsung dari sumbernya melainkan mendengar dari orang lain. Dalam bahasa Jawa juga kita kenal dengan kata “gethok-tular”.
 
5. LIDHAH SINAMBUNG
 
Merupakan pasangan dan sama artinya dengan “karna binandhung”. Karna yang mendengar dan lidah yang meneruskan. Jadi berita tersebar dari mulut ke mulut.
 
 
B. JAUHNYA PENYEBARAN  
 
1. SADAWA-DAWANE LURUNG ISIH DAWA GURUNG
 
Lurung: Lorong; Gurung: Tenggorokan; Dawa: Panjang. Dalam paribasan ini pengertian “dawa” adalah “jauhnya (penyebaran)”. maksudnya adalah: Berita pasti menyebar. Berita yang tersebar dari “gurung” walau panjang “gurung” tidak sampai sejengkal, akan masih lebih panjang (jauh) penyebarannya daripada “lurung” yang memang panjang. Tersebar jauh dalam arti jarak sekaligus jauh dari yang sebenarnya.
 
 
C. KEBENARAN BERITA
 
1. ORA ANA KUKUS TANPA GENI
 
Sama dengan peribahasa Indonesia: Tiada asap tanpa api, yang artinya tiada asap tanpa api. Adanya asap (berita yang tersebar) pastilah ada api (yang menjadi penyebabnya). Kita perlu bijak menyikapi hal ini karena besarnya asap tidak selalu berbanding lurus dengan besar api. Kayu basah kalau dibakar maka asapnya akan lebih banyak dari apinya.
 
 
Mengapa berita bisa jauh dari kenyataan hal ini disebabkan: Berita bukan dari tangan pertama, perjalanan berita sudah cukup panjang melalui “karna binandhung” dan “lidhah sinambung” serta beritanya juga tidak jelas seperti mendengar tembang dari kejauhan, hanya rawat-rawat (lamat-lamat) kedengaran vokalnya. Apalagi berita tersebut disampaikan orang berjualan yang menyampaikan berita yang dia dengar di jalan (bakul sinambi wara). Pastinya: Kabar tersebut belum jelas kebenarannya.
 
3. UNDHAKING PAWARTA SUDANING KIRIMAN
 
Undhak: meningkat; Undhaking: meningkatnya; Suda: berkurang; Sudaning: berkurangnya. Pengertiannya: Berita berbanding terbalik dengan kenyataan. Makin besar pemberitaan makin kecil kebenarannya.
 
 
LIDING DONGENG
 
Hari-hari kita terganggu dengan berita-berita yang belum tentu benar. Diantara kita ada yang cuek dengan berita-berita seperti ini, namun ada juga yang menanggapi serius bahkan terbakar karenanya  (mohon baca: Provokator dan yang diprovokasi dalam paribasan Jawa).
 
Yang penting kita sadar bahwa ada orang yang hobi “kulak warta adol prungon”. Ia akan cari berita dengan berbagai cara, antara lain: “Ngedom-edom” dan “trenggiling api mati”. Berita akan tersebar melalui cara “karna binandhung” dan “lidhah sinambung” sehingga kita bisa kaget bahwa berita cepat tersebar jauh ibarat “sadawa-dawane lurung isih dawa gurung”.
 
Jangan mudah terprovokasi, karena walaupun “ora ana kukus tanpa geni” tetapi berita yang umumnya berasal dari “tembang rawat-rawat” yang diedarkan oleh “bakul sinambi wara ini” pada umumnya sesuai dengan rumus “undhaking pawarta sudaning kiriman” (Iwan MM)
 
 

Friday, April 19, 2013

PROVOKATOR DAN YANG DIPROVOKASI DALAM PARIBASAN JAWA

Provokator dari dulu sudah ada. Hasil kerja provokator pun sama: merusak ketenteraman dan menimbulkan perselisihan.
 
Kalau yang berselisih orang besar maka orang kecil yang ketiban susahnya, seperti kata peribahasa: Gajah tumbuk kancil mati ing tengah.
 
Bagi penggemar wayang, pasti kenal provokator handal dalam pedhalangan yang dapat dibaca pada posting WatakDrengki (2): Patih Sangkuni.
 
Kerja provokator bisa halus bisa kasar bergantung tingkat kelihayannya.
 
Di bawah adalah beberapa contoh paribasan Jawa yang terkait dengan ulah provokator dan respons yang diprovokasi:
 
 
DAWA ILATE
 
Dawa: panjang; Ilat: lidah. Menggambarkan orang yang dalam bahasa Jawa disebut “golek alem. Cari pujian tetapi dengan menjelek-jelekkan orang lain. Bahayanya kalau kejelekan orang lain yang diceriterakan ini menyangkut pribadi yang diberi ceritera. Ia bisa terprovokasi untuk membenci sampai menantang berkelahi. Lebih parah lagi kalau kebetulan ia boss dari yang dipitnah. Bisa terjadi ada orang dipindah tanpa tahu sebabnya.
 
 
TUMBAK CUCUKAN
 
Orang yang “dawa ilate” di atas pasti punya sifat “tumbak cucukan” (Tumbak: tombak; Cucuk: paruh burung). Mulutnya ibarat tombak yang bisa mencelakakan orang lain. Ia seorang pengadu, yang belum tentu benar apa yang diadukan. Anak kecil yang tumbak cucukan saja bisa membuat orang tua bertengkar. Misalnya si A dinakali teman sepermainan kemudian menangis lapor kepada orang tuanya, kalau habis dipukul si B. Bisa-bisa ibunya si B nglurug ke rumah orang tua si A, terjadilah adu mulut yang jadi tontonan tetangga. Ini baru anak kecil; kalau teman sekerja di kantor lapor pimpinan?
 
 
NGGUPITA SABDA
 
Nggupita: mereka-reka, mengarang; Sabda: Ucapan. Nggupita sabda: Mengarang atau mereka ucapan yang akan disampaikan. Bisa baik kalau untuk pidato. Tapi bisa gawat kalau dipakai oleh orang “dawa ilate” yang “tumbak cucukan”.
 
 
DIUYAH-ASEMI
 
Garam dan asam adalah bumbu masak. Makanan yang kurang garam dan asam rasanya hambar. Ucapan yang “diuyah-asemi” berarti ucapan yang sudah diberi bumbu penyedap. Digunakan untuk memuji maka orang yang “gunggungan” akan lupa daratan. Selanjutnya laporan ditambah bumbu pedas untuk memprovokasi. Provokasi tidak hanya untuk menjelekkan orang lain. Provokasi juga banyak digunakan untuk melakukan sesuatu. Misalnya membeli sesuatu produk atau menandatangani suatu surat yang sebenarnya tidak betul. Mengenai “nggunggung” dan “gunggungan” dapat dibaca pada Serat Wulangreh: Orang nggunggung tentu ada maunya dan Serat Wulangreh: jangan menjadi orang gunggungan.
 
 
KUNTUL DIUNEKAKE DHANDHANG, DHANDHANG DIUNEKAKE KUNTUL
 
Burung kuntul (yang berwarna putih) dikatakan burung dhandhang (gagak yang berwarna hitam) dan sebaliknya dhandhang (yang hitam) dikatakan kuntul (yang putih). Yang baik dikatakan buruk dan yang buruk dikatakan baik. Bila “sabda” sudah “digupita” dengan manis plus ditambah “uyah asem” dan disampaikan oleh orang yang “ilate dawa” sekaligus bermental “tumbak cucukan” pasti akan banyak berhasilnya. Hubungan pertemanan bisa rusak, apalagi hubungan atasan bawahan. Lebih lengkapnya dapat dibaca pada posting kuntul diunekake dhandhang, dhandhang diunekake kuntul.
 
 
ISTILAH KHUSUS UNTUK PERILAKU SUKA “WADUL-WADUL”
 
Dalam paribasan Jawa, orang besar (atasan) sering diibaratkan dengan banteng (andaka), macan atau gajah. Dalam hal ini kita kenal ungkapan NGLANCIPI SINGATING ANDAKA, NGADU SINGATING ANDAKA dan NGUDANG SINGATING ANDAKA (Singat: tanduk; Nglancipi: membuat lebih tajam; Ngudang: membuai).
 
Pengertiannya sama yaitu mengadu supaya marah. Memang ada orang yang suka mengadu-adu seperti ini. Kalau kemudian boss memarahi seseorang (karena laporan kita) maka kita akan ketawa-ketawa di belakang sambil mengatakan: “Kapokmu kapan”.
 
Catatan: Kalau yang kita provokasi agar marah bukan boss (misalnya teman kita sendiri) maka peribahasanya tidak menggunakan kata ANDAKA tetapi cukup ERI (duri): NGLANCIPI ERI.
 
Membuat pimpinan tidak nyaman dengan memprovokasi agar marah, kadang-kadang menyenangkan juga. Memprovokasi tidak harus memfitnah orang. Kalau kemudian pimpinan melampiaskan marahnya ke orang lain, itu ceritera lain. Macan berjemur (dhedhe) diibaratkan sebagai atasan yang sudah reda dari marahnya. Ia kembali santai, ibarat “macan dhedhe”. Orang yang suka  membuat marah orang yang sudah turun tensinya dikatakan sebagai NGUTHIK-UTHIK MACAN DHEDHE.
 
Agak serupa tetapi tidak sama adalah NGUTHIK-UTHIK MACAN TURU. Digunakan untuk orang yang kurang kerjaan. Harimau tidur kenapa mesti dibangunkan. Saya punya pengalaman jaman dulu pernah memberi tahu pimpinan kalau data yang beliau presentasikan ada yang salah. Mood beliau hari itu menjadi tidak baik. Saya dimarahi teman-teman. Kata mereka saya ini kurang kerjaan. Apa manfaatnya “nguthik-uthik macan turu”, kecuali kalau kamu tidak diuthik-uthik kemudian kantor kita ambruk.
 
 
CINDHIL NGADU GAJAH
 
Kalau ini memang benar-benar kejahatan. Dapat dibaca pada posting cindhil ngadu gajah. Dua orang besar bisa diadu domba oleh orang kecil (yang memang busuk kelakuannya). Tentunya orang ini amat lihay dalam “nggupita sabda” dan “nguyah asemi” sehingga kedua petinggi bisa menelan mentah-mentah kedua burung “kuntul” dan “dhandang” yang disajikan.
 
Cindhil adalah anak tikus, binatang yang memang menjadi musuh manusia. Satu hal yang perlu kita garisbawahi adalah betapa bijak nenek moyang kita. Mengapa yang dijadikan contoh adalah “cindhil”, kok bukan kancil yang memang dikenal cerdik. Dalam Kancil Kridhamartana dikisahkan bahwa secara perorangan kancil bisa menipu gajah. Tetapi kancil tidak pernah mengadu gajah. Ketika dua gajah berkelahi, justru kancil yang celaka, seperti di atas telah disebutkan: Gajah tumbuk kancil mati ing tengah.
 
 
BAGAIMANA DENGAN YANG DIPROVOKASI?
 
Laporan (wadul) bisa manis tetapi membuat kuping merah alias membuat marah: NGABANGAKE KUPING. Kalau mood yang diprovokasi sedang tidak baik (yang diibaratkan “geni” atau api) maka dalam paribasan Jawa dikatakan sebagai kaya GENI PINANGGANG (api dipanggang). Sudah panas ditambahi panasnya. Kalau ia Prabu Baladewa yang dikenal brangasan, pasti langsung meloncat dengan Nanggala nya. Sebaliknya kalau ia Prabu Yudistira dari Amartapura yang terkenal penyabar maka yang terjadi adalah NGAGAR METU KAWUL (Ngagar: membuat api dengan menggosok-gosokkan kayu; Kawul: serpihan halus kayu). Sudah digosok-gosok sekuat tenaga, yang keluar bukan api, hanya serbuk kayu. Dengan kata lain: tidak mempan di provokasi.
 
 
LIDING DONGENG
 
Hati-hati menjadi manusia jangan sampai terprovokasi untuk berbuat yang tidak betul. Baik menjadi marah, atau melakukan perbuatan salah. Yang namanya SETAN NGGAWA TING (Pekerjaan setan: Menggoda manusia; Nggawa ting: semacam lampion, menggambarkan api) ada dimana-mana. Bila kita kebetulan menjadi pemimpin harus lebih hati-hati lagi. Sang provokator tidak akan berhenti. Ia akan berupaya dengan berbagai cara, seperti kata peribahasa: DHALANG ORA KURANG LAKON (Iwan MM)

Wednesday, April 17, 2013

MULUT YANG SUKA MEMAKI DAN MENJELEKKAN ORANG LAIN DALAM PARIBASAN JAWA

Memaki (Jawa: misuh) bukannya tidak ada dalam khasanah bahasa Jawa. Bahkan tidak sedikit. Yang banyak digunakan sebagai makian adalah binatang (mulai dari jangkrik sampai anjing), bagian tubuh dan kondisi tubuh manusia (misalnya gundhulmu, ambumu), bahkan leluhur manusia pun bisa dipakai untuk mengumpat (mbahmu). Walau demikian sebenarnya orang Jawa dilarang memaki.
 
Demikian pula menjelek-jelekkan orang lain bukanlah merupakan sifat yang terpuji. Dalam hal ini kita berhadapan dengan perilaku “ngrasani” yang banyak dilakukan dimana-mana pada setiap kesempatan manusia bisa kumpul. Celakanya lebih banyak orang yang ngrasani jeleknya orang lain daripada kebaikaannya. Kalau ada orang ngrasani, kita diharapkan untuk tidak ikut-ikut nimbrung, bahkan disarankan menyingkir saja, seperti diungkapkan dalam peribahasa ana catur mungkur.
 
Beberapa contoh paribasan Jawa yang terkait dengan memaki dan menjelekkan orang lain dapat diwaos di bawah:
 
 
C. MEMAKI/MENGUMPAT
 
1. SABDA CANDHALA
 
Candhala dalam bahasa Kawi artinya orang nista atau orang yang buruk kelakuannya. “Sabda candhala” adalah ucapan yang banyak dikeluarkan oleh orang-orang tersebut, antara lain marah-marah dan misuh-misuh (memaki.mengumpat).
 
2. NIBANI SABDA PURUSA
 
Purus: saluran kencing laki-laki; Purusa: (orang) laki-laki; kekuasaan. Nibani sabda purusa diartikan sebagai kelakuan orang yang suka memaki-maki tanpa sebab.
 
 
D. MENJELEKKAN ORANG LAIN
 
1. MIYAK WANGKONG
 
Miyak: membuka dengan kedua tangan, seperti orang membuka gorden; Wangkong: belahan (maaf) pantat. Pengertiannya adalah sesuatu yang amat rahasia (diibaratkan belahan pantat) kok dibuka (diwiyak) dan diceriterakan ke orang lain. Benar-benar keterlaluan
 
2. NGGEPOK WANGKONG
 
Nggepok: menyentuh, menyenggol, menyinggung. Sama dengan “miyak wangkong”. Mungkin kadarnya lebih ringan karena yang pertama “membuka” dan yang ini “menyentuh”. Bicara sampai menyentuh rahasia atau kejelekan orang. Sama saja tidak pantasnya.
 
3. NAGA MANGSA TANPA CALA
 
Menggambarkan orang yang kemana-mana selalu membicarakan kejelekan orang lain. Ibarat naga yang memangsa langsung tanpa perantaraan pembawa berita (cala: juru kabar, pidato pembukaan).
 
 
LIDING DONGENG
 
Misuh sebenarnya adalah wewaler atau larangan. Orang suka misuh termasuk dalam tindak deksura yang hanya dilakukan oleh golongan orang yang tidak tahu tatakrama. Demikian pula memaki dan menjelek-jelekkan orang lain. Disamping menyakiti hati orang, membuat pitnah, salah-salah diri kita sendiri yang akhirnya kena karena kejelekan kita akhirnya ketahuan.
 
Menjelek-jelekkan orang, baik di belakang maupun di depan yang bersangkutan sama tidak baiknya. Sri Pakubuwana IV melalui Serat Wulangreh telah mengingatkan kita semua untuk tidak ngrasani dan tidak mencela. Dapat dibaca pada posting Serat Wulangreh: Aja sok angrasani dan posting Serat Wulangreh: Aja anggunggung, aja nacad lawan aja memaoni.
 
Ungkapan WIRANG MBEBARANG adalah gambaran orang yang kemana-mana menunjukkan cela dalam dirinya. Tentusaja melalui solah muna-muni (ucapan-ucapannya) yang tidak betul seperti contoh di atas. Menebar kejelekan orang pada hakekatnya juga menebar kejelekan sendiri.
 
Ada juga ungkapan lain yang lebih kasar: NGELER TAI ANA ING BATHOK (ngeler: membeber) atau NGOKER-OKER TAI ANA ING BATHOK (ngoker-oker: mengaduk-aduk). Ibarat membeber atau mengaduk-aduk tai di atas tempurung kelapa, menggambarkan orang yang suka membongkar-bongkar perkara yang pada akhirnya malah mencemarkan diri sendiri. (Iwan MM)

Most Recent Post


POPULAR POST