Pitutur supaya “Gemi dan Nastiti” sering diberikan kepada perempuan. Mungkin karena posisi perempuan secara umum adalah “Kepala Staf” dalam Komando Rumah Tangga. “Gemi dan Nastiti” adalah satu kesatuan. Yang pertama bagaimana kita menyimpan dan yang kedua bagaimana kita menggunakan. Kadang-kadang masih diperkuat lagi sehingga menjadi “Gemi, Nastiti dan Ngati-ati”. Sebenarnya “gemi mengandung unsur “Nastiti” dan “Nastiti”mengandung unsur “Ngati-ati”.
GEMI
Orang tua dahulu mendidik anaknya agar “gemi” melalui “nyelengi” atau menabung. Celengan jaman dahulu beraneka-ragam bentuknya. Mulai yang paling sederhana dari buluh bambu yang diberi lubang pas untuk dimasuki uang krincing (coin) sampai ke celengan grabah dengan macam-macam bentuk: Kendil, Gajah, Ayam, bahkan wayang seperti Gatotkaca. Kalau pas “Sekatenan” di Yogya atau Solo celengan semacam itu masih banyak dijual dan pembelinya masih banyak. Anak-anak menabung dengan menyisihkan uang jajan. Nanti kalau sudah penuh celengan dipecah (tak ada cara lain seperti celengan jaman sekarang yang bawahnya diberi tutup yang bisa dibuka).
Gemi untuk ukuran orang dewasa adalah pandai menyimpan dengan menghindari penggunaan yang tidak perlu. Dengan demikian pengeluaran tidak berlebih-lebihan,sehingga tetap tampil “prasaja” sekaligus tidak “besar pasak daripada tiang”. Untuk itu diperlukan sifat “Nastiti”
NASTITI
Nastiti adalah kecermatan pengelolaan anggaran. Kepiawaian mengatur pos-pos pengeluaran sesuai dengan pemasukan dengan memperhitungkan hal-hal yang tidak terduga. Berarti harus cari celah supaya bisa menabung (kembali ke: gemi). Belum cukup sampai disini, masih ditambah lagi dengan satu pesan NGATI-ATI. Pertimbangkan lagi dan perhitungkan kalau terjadi “kontingensi”. Ngati-ati juga bukan perhitungan yang terlalu ndakik-ndakik yang akhirnya justru rugi seperti peribahasa cincing-cincing klebus.
BUKAN PELIT
GEMI
Orang tua dahulu mendidik anaknya agar “gemi” melalui “nyelengi” atau menabung. Celengan jaman dahulu beraneka-ragam bentuknya. Mulai yang paling sederhana dari buluh bambu yang diberi lubang pas untuk dimasuki uang krincing (coin) sampai ke celengan grabah dengan macam-macam bentuk: Kendil, Gajah, Ayam, bahkan wayang seperti Gatotkaca. Kalau pas “Sekatenan” di Yogya atau Solo celengan semacam itu masih banyak dijual dan pembelinya masih banyak. Anak-anak menabung dengan menyisihkan uang jajan. Nanti kalau sudah penuh celengan dipecah (tak ada cara lain seperti celengan jaman sekarang yang bawahnya diberi tutup yang bisa dibuka).
Gemi untuk ukuran orang dewasa adalah pandai menyimpan dengan menghindari penggunaan yang tidak perlu. Dengan demikian pengeluaran tidak berlebih-lebihan,sehingga tetap tampil “prasaja” sekaligus tidak “besar pasak daripada tiang”. Untuk itu diperlukan sifat “Nastiti”
NASTITI
Nastiti adalah kecermatan pengelolaan anggaran. Kepiawaian mengatur pos-pos pengeluaran sesuai dengan pemasukan dengan memperhitungkan hal-hal yang tidak terduga. Berarti harus cari celah supaya bisa menabung (kembali ke: gemi). Belum cukup sampai disini, masih ditambah lagi dengan satu pesan NGATI-ATI. Pertimbangkan lagi dan perhitungkan kalau terjadi “kontingensi”. Ngati-ati juga bukan perhitungan yang terlalu ndakik-ndakik yang akhirnya justru rugi seperti peribahasa cincing-cincing klebus.
BUKAN PELIT
Terobsesi dengan “Gemi dan Nastiti” memang bisa menimbulkan efek samping “Pelit”. Uang yang sudah masuk akan sulit keluar. Bahkan anak-anak yang masih perlu tumbuh kembang pun menu makannya dikurangi. Leluhur kita tidak pernah berpesan seperti ini. Tabungan manusia itu ada dua macam. Yang pertama tabungan dunia dan yang ke dua tabungan Akhirat. Salah satu tabungan Akhirat adalah menyisihkan sebagian hartabenda kita untuk fakir miskin. Oleh sebab itu eyang-eyang kita juga berpesan bahwa manusia harus “berbudi”, luber budinya, banyak “dedana”, membantu orang lain yang membutuhkan (IwMM)
No comments:
Post a Comment