Sunday, December 4, 2011

UNDAKING PAWARTA SUDANING KIRIMAN dan TEMBANG RAWAT-RAWAT UJARE MBOK BAKUL SINAMBI WARA

Maksud dari “Undaking pawarta sudaning kiriman” adalah: semakin banyak berita, semakin kurang kebenarannya. Ternyata sesepuh kita dulu sudah punya rumus “Banyaknya berita yang beredar berbanding terbalik dengan tingkat kebenarannya”. Berita semakin banyak kebenaran semakin berkurang.

(Catatan: Undaking: bertambahnya; Pawarta: berita; Sudaning: berkurangnya; Kiriman: kiriman; Tembang: nyanyian; Rawat-rawat: lamat-lamat; Ujare: Omongannya; Mbok: sebutan untuk wanita; Bakul: penjual, umumnya di pasar tradisional; Sinambi: sambil; Wara: menyampaikan berita. Silakan diterjemahkan sendiri)


Sudah sifat manusia, kalau mendengar sesuatu apalagi beritanya cukup heboh, pasti ingin segera menyampaikan disertai berbagai macam bumbu. Andaikan satu orang menyampaikan kepada tiga orang saja, maka pada tingkat ke lima berita itu sudah diterima oleh lebih dari 200 orang. Karena berita berputar dan berantai, tidak menutup kemungkinan satu orang mendengar lebih dari tiga kali. Semakin berputar semakin seru karena efek dramatisasi, efek hiperbola dan efek Toni Boster (waton muni ndobose banter).

Berita seperti itu bukan monopoli ibu-ibu di kampung, karena juga merambah ke golongan intelektual di kantor. Berita mutasi dan promosi biasanya sudah beredar lama sebelum pelaksanaannya. Si A mau promosi jadi anu, si B digeser oleh si C dan seterusnya. Lebih-lebih di era globalisasi ini dimana sarana komunikasi sudah jauh lebih canggih dibanding masa menek moyang dulu. Jelas tingkat “undaking pawarta” akan semakin besar, sejalan dengan itu “kiriman” akan semakin “suda” (berkurang) dengan pengertian: Tingkat kebenarannya akan semakin rendah.

Pada jaman dulu kelihatannya para “mbok bakul” dianggap sebagai penyebar berita, sehingga ada ungkapan “Tembang rawat-rawat ujare mbok bakul sinambi wara”. Tembang yang lamat-lamat, sayup-sayup pasti tidak jelas liriknya. Berita sayup-sayup inilah yang konon dibawa “mbok bakul”. Sambil berjalan ke pasar, “mbok bakul” kita berceloteh dengan sesama teman seperjalanan. Di pasar juga ngobrol dengan teman dan pembeli.

Demikian pula bakul yang menjajakan dagangannya “door to door”. Saya ingat masa kecil dulu, kalau mbok bakul sudah bersimpuh di teras rumah bersama ibu dan pembantu, ceriteranya macam-macam. Ibu A yang mau mantu besar-besaran, Ibu B yang sakit keras, Ibu C yang anaknya nakal, dan lain-lain. Padahal “mbok bakulnya tidak cuma satu, sesuai spesialisasi jualannya. Ibu selalu berusaha menjadi pendengar yang baik, setelah “mbok bakul” pergi dan saya masih ada disitu pasti mengingatkan sekali-kali jangan berperilaku “sinambi wara” sambil jualan sambil sebarkan berita. Mungkin beritanya benar, tapi seberapa benar tingkat kebenarannya, harus dicek dulu.

Berita yang tersebar memang banyak yang dibesar-besarkan. Tapi bukan hanya monopoli bangsa kita. Ingat ungkapan “fish story?” Jelas tidak berasal dari negara kita. Dalam “fish story” menggunakan “ikan” sebagai perumpamaan. Katanya, nelayan selalu membesar-besarkan ukuran ikan hasil tangkapannya. Ikan sejengkal dikatakan sedepa.

Bakul sinambi wara” hanya sekedar ungkapan yang meminjam profesi “mbok bakul”. Jaman sekarang, kata mbok bakul bisa diganti siapa saja. Siapapun yang suka wara-wara apapun profesinya adalah “bakul sinambi wara. Jadi, siapapun yang punya hobi itu, kiranya dapat dikurangi. Karena efeknya mulai dari membuat resah sampai membuat GR.

Mengakhiri tulisan pendek ini, saya merujuk kembali kepada Serat Kalatidha, bait ke 4, R Ngabehi Ranggawarsita sendiri pernah menjadi korban “undaking pawarta rawat-rawat ini: “Dasar karoban pawarta; bebaratun ujar lamis; pinudya dadi pangarsa; wekasan malah kawuri.....” (IwMM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST