Dalam
budaya Jawa kita diharapkan bisa gemi dan nastiti: Pandai simpan uang, sekaligus pandai mengelola uang, tapi bukan
pelit: Suka simpan uang, tidak mau keluarkan uang. Hidup ini pada hakekatnya
adalah “kebersamaan”. Dalam mangan ora mangan kumpul tercermin sifat kebersamaan itu. Demikian pula ungkapan ana pangan ayo padha dipangan, ana gaweyan
ayo padha ditandangi, dan masih banyak lagi.
Dibawah
adalah beberapa paribasan Jawa yang terkait dengan sifat pelit (Jawa: cethil),
dan suka menghitung-hitung dengan harapan banyak untung ternyata malah buntung.
Tidak
mau memberi sumbangan (diwakili kata uwur yang artinya menabur, sesuatu yang
digerakkan oleh tangan), tidak mau pula memberi saran atau nasihat (diwakili
kata sembur, sesuatu yang dikeluarkan oleh mulut). Misalnya dalam kegiatan
tujuhbelasan di kampung, kemudian panitia membutuhkan dana yang dicari secara
gotong royong, maka orang yang tidak mau kontribusi apa-apa bisa dikatakan ora uwur ora sembur. Tentusaja ada saja
alasannya. Tidak sumbang uang katanya belum gajian, tidak sumbang barang bilang
tidak ada apa-apa di rumah, tidak sumbang tenaga mengatakan sedang sakit dll.
NJALUKAN ORA WEWEHAN
Suka meminta (njaluk) tetapi tidak suka memberi (weweh). Orang minta bisa karena ia butuh. Tetapi kalau suka minta padahal bukan pengemis, berarti orang serakah. Ditambah lagi dengan sifat tidak suka memberi, berarti ia cuma mau simpan tetapi tidak mau mengeluarkan.
JURANG GRAWAH ORA MILI
Jurang
grawah adalah jurang yang ada airnya, tetapi air yang ada tertahan di dasar
jurang, alias tidak mengalir. Menggambarkan orang yang enggan keluar uang
padahal ia punya dan tidak sedikit. Dengan kata lain ia orang pelit.
TAINE ANA KACANGE DICUTHIKI
Mohon
maaf kalau kata-katanya menjijikkan. Kacang kalau dimakan sering tidak tercerna
semuanya sehingga masih ada pecahan kacang kecil-kecil yang keluar bersama kotoran
(tinja). Menggambarkan orang yang amat pelit (diibaratkan sampai kacang
kecil-kecil yang ada di tinja dia ambil).
EMAN-EMAN ORA KEDUMAN
Eman:
sayang; Keduman: kebagian. Disayang-sayang malah tidak kebagian. Ada contoh
sederhana sebagai berikut: Kebetulan di rumah ada satu bakul langsat yang baru
saya beli tadi pagi. Tahu-tahu Mas Parmo datang bertamu. Suka tidak suka,
karena namanya tamu ya harus ada lungguh,
gupuh dan suguhnya, padahal ibunya anak-anak pas tidak ada. Langsat
terpaksa saya keluarkan.
Karena
saya amat suka langsat, daripada dihabiskan Mas Parmo maka saya keluarkan
separonya saja. Yang separo saya simpan di kulkas, dengan maksud akan saya
makan setelah Mas Parmo pulang. Ternyata selama Mas Parmo bertamu, anak saya
datang bersama teman-temannya. Langsatpun licin tandas. Andaikan tadi saya
keluarkan semua, pasti masih ada sisa untuk saya. Inilah yang disebut eman-eman ora keduman.
Cincing:
Menaikkan celana atau kain ke atas, misalnya waktu menyeberangi genangan air
supaya tidak basah, tetapi malah basah kuyup (klebus). Menggambarkan orang
pelit. Misal mau hajatan karena sayang keluar uang banyak maka uang yang harus
dikeluarkan untuk keperluan hajatan tersebut dikurang-kurangi. Alhasil malah
akhirnya keluar uang lebih banyak.
LIDING DONGENG
Dalam
hidup ini menjadi pemurah jauh lebih baik daripada menjadi pelit. Orang pemurah
dalam membantu sesama selalu banyak teman. Pemurah tidak harus suka memberi
uang. Bila kita tidak punya uang, kita bisa pemurah dalam menyumbangkan tenaga.
Dalam bahasa Jawa dikatakan enthengan. Bisa juga memberikan sumbang saran yang
positif. Orang yang pelit dalam segala hal lama-kelamaan akan dijauhi sesama
manusia. (Iwan MM)
No comments:
Post a Comment