Lebih dari 10 tahun yang lalu ada sebuah buku “Mangan Ora Mangan Kumpul” yang ditulis oleh budayawan terkenal Umar Khayam tebalnya lebih dari 400 halaman, ditulis dengan gaya khasnya. Entah sekarang masih dicetak lagi apa tidak oleh Pustaka Utama Grafiti, yang jelas sesuai topiknya yang menggelitik, buku tersebut pernah dicetak ulang beberapa kali.
Ada beberapa sudut pandang terkait dengan “mangan ora mangan kumpul ini.
PERTAMA kalau diterjemahkan murni dari segi bahasa menjadi “makan tidak makan yang penting ngumpul” dengan konotasi yang kurang baik terkait dengan keengganan untuk keluar dari “comfort zone” atau zona kenyamanan (Baca: Kalah cacak menang cacak vs comfort zone). Dengan demikian jiwa “enterpreneur” pun tidak ada. Susahnya lagi karena ungkapan ini dalam bahasa Jawa maka perilakunya menjadi terkait dengan orang Jawa. Seorang teman pernah meledek ketika saya tidak mau diajak keluar: “Mangan ora mangan yang penting ngumpul” (Maksudnya ngumpul dengan keluarga, di rumah).
PERTAMA kalau diterjemahkan murni dari segi bahasa menjadi “makan tidak makan yang penting ngumpul” dengan konotasi yang kurang baik terkait dengan keengganan untuk keluar dari “comfort zone” atau zona kenyamanan (Baca: Kalah cacak menang cacak vs comfort zone). Dengan demikian jiwa “enterpreneur” pun tidak ada. Susahnya lagi karena ungkapan ini dalam bahasa Jawa maka perilakunya menjadi terkait dengan orang Jawa. Seorang teman pernah meledek ketika saya tidak mau diajak keluar: “Mangan ora mangan yang penting ngumpul” (Maksudnya ngumpul dengan keluarga, di rumah).
Dalam kaitan dengan semangat merantau, memang tidak sama kadarnya dengan saudara kita di Sumatra Barat bahwa laki-laki perlu pengalaman merantau. Tapi bukan tidak sedikit orang Jawa yang pergi keluar daerah. Bahkan tidak sekedar ke Jakarta dan menambah beban metropolis, tetapi sampai ke pelosok Indonesia. Saya banyak jumpa mereka, wong cilik mulai penjual bakso keliling sampai yang sudah punya rumah makan sendiri. Di luar negeri pun banyak TKI asal Jawa.
KEDUA merupakan sebuah pepatah yang menekankan bahwa silaturahmi lebih penting daripada kekayaan. Harta boleh tidak punya tetapi persaudaraan harus tetap dijaga. Disini “Makan” diibaratkan sebagai harta dan “kumpul” melambangkan silaturahmi.
Masalahnya kemudian dikatakan bahwa spirit “mangan ora mangan kumpul” menjadi hilang karena banyak orang Jawa merantau keluar guna mencukupi kebutuhan hidup. Jiwa persaudaraan pun bergeser menjadi individualistik. Masing-masing mengurus kepentingannya sendiri.
“Mangan ora mangan kumpul” bukan melarang orang Jawa “makarya” walau harus merantau. Betapa beratnya orang berkelana tersurat dalam tembang Kinanthi di bawah ini:
Mideringrat angelangut; Lelana jajah negari; Mubeng tepining samodra; Sumengka agraning wukir; Anelasak wanawasa; Tumuruning jurang trebis.
Artinya kurang lebih: Ngelangutnya orang yang berkelana, menapaki tepi samodra, mendaki gunung tinggi, masuk hutan belantara dan menuruni jurang terjal. Saya bayangkan perjalanan mereka seperti itu, apa tidak “awang-awangen” saat memutuskan untuk pergi meninggalkan sanak keluarga? Memang diawali dengan rasa gamang juga, tetapi keyakinan bahwa dimanapun adalah bumi milik Allah dan “Gusti Allah ora sare” membuat mereka betul-betul “madhep dan mantep”.
Kalau mereka menjadi individualis, mengapa menjelang Idul Fitri pemerintah kewalahan mengatasi arus mudik? Ikatan kekeluargaan tetap erat. Apapun akan dilakukan untuk “pulang”. Bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, handai taulan tetap ada, tetap “gayeng”. Ada modifikasi tetapi samasekali tidak terjadi pergeseran nilai.
KETIGA “Mangan ora mangan kumpul” sebenarnya tidak ada hubungan dengan kemauan keluar dari habitat. Didalamnya terkandung filosofi hidup. “Mangan” (makan) merupakan kebutuhan pribadi, sedangkan “Kumpul” adalah kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya, merupakan kebutuhan bermasyarakat sebagai makhluk sosial. Dalam kepentingan bersama maka kepentingan individu harus dikalahkan. Walaupun “ora mangan” tetapi “kumpul” itu penting. Di temat-tempat yang nilai kekeluargaan masih tinggi, masih banyak orang bergotong-royong dalam hal apa saja. Tidak dibayar, mendapat makanan minuman sekadarnya, tetapi hati tetap senang dan tidak pernah kapok melakukan lagi. Inilah semangat “mangan ora mangan kumpul” yang perlu dipupuk dan dipelihara.
PENUTUP
Ketika masyarakat mulai individualis, ketika kita mulai mengejar “mangan” dulu baru urusan “kumpul”, ketika orang mau kumpul hanya kalau ada makan, dan ketika saya pause dalam celoteh tentang “mangan ora mangan kumpul” dihadapan beberapa mantan anak buah yang nanggap saya, salah seorang dari mereka nyeletuk: “Bapak, kalau jaman sekarang, mangan ora mangan facebook” (IwMM).
Ketika masyarakat mulai individualis, ketika kita mulai mengejar “mangan” dulu baru urusan “kumpul”, ketika orang mau kumpul hanya kalau ada makan, dan ketika saya pause dalam celoteh tentang “mangan ora mangan kumpul” dihadapan beberapa mantan anak buah yang nanggap saya, salah seorang dari mereka nyeletuk: “Bapak, kalau jaman sekarang, mangan ora mangan facebook” (IwMM).
No comments:
Post a Comment