Thursday, October 27, 2011

TULUNG MENTHUNG

Suatu saat saya naik taksi dari Bandara Soekarno Hatta, sopirnya muda dan ramah. Ia bertanya tentang diri saya: “Bapak dari Jawa?” Saya jawab pendek: “Iya”. “Jawa mana Pak?” Si sopir melanjutkan pertanyaannya. “Aslinya Jogja, dik,” jawab saya tetap pendek. Sopir yang kemudian saya tahu bernama Parno itu menjadi semangat: “Saya juga Jawa Pak, tapi Jawa ngapak-ngapak, asli Cilacap. Kalau Bapak orang Jogja saya mau belajar!” Sepercik kebanggaan sebagai orang Jogja muncul dalam diri saya:  “Lha wong bahasa Jawamu baik gitu lho, mau belajar apa?” “Saya mau tanya peribahasa, tulung menthung itu artinya apa Pak?” Jawab dia.

Dalam hati saya berpikir, kalau hanya “tulung menthung”, orang yang tidak ngerti bahasa Jawa saja pasti ngerti artinya. Sudah ditolong malah menyulitkan yang menolong. Mungkin dalam bahasa  Indonesia hampir sama dengan peribahasa air susu dibalas dengan air tuba. Dengan agak dongkol saya jawab: “Sudah jelas gitu lho, gampangnya sampeyan pinjam sepeda motor, saya kasihkan malah dibawa lari”.

“Ya itu Pak, yang saya bingung,” sahut Parno. “Kan hanya kata dasar tulung. Kenapa kita hanya berpikir sudah ditulung malah menthung? Kan bisa juga punya arti nulung sekaligus menthung?”

Wah ini sopir cerdas, pikir saya. “Kamu kok pinter dik, saya malah nggak berpikir kesitu”. “Bapak, malah sekarang lebih banyak yang nulung menthung daripada yang ditulung menthung”, kata Parno, lalu dia lanjutkan dengan contoh-contoh mulai penolong korban kecelakaan sambil nyopet dompet, kacamata dan cincin, banyaknya kreditor dan rentenir, bahkan sampai ke proyek.

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kenapa embah-embah kita dulu menggunakan kata “tulung menthung”. Jaman dulu mungkin lebih banyak orang yang diberi pertolongan tetapi tidak tahu diri, sedang saat itu kalau kita menolong pasti ikhlas. Tetapi apa ya demikian seterusnya?  Oleh sebab itu amrih luwesnya digunakan tembung lingga (kata dasar) “tulung” yang belum ditambah awalan, akhiran atau sisipan.

“Tulung menthung” dalam pengertian “ditulung menthung” juga menjadi salah satu lagu Didi Kempot, demikian pula dalam lelagon Jawa Campursari, saya pernah mendengar lirik .....  apa ra kelingan biyen kowe kuwi sapa, lara tak obati bareng mari kowe lali (apa tidak ingat dulu itu kamu siapa, sakit saya obati setelah sembuh kamu lupa) ........ ilat tanpa balung wis ditulung malah menthung (lidah tidak bertulang sudah ditolong malah menthung).

Karena penasaran sampai di rumah saya browsing internet. Ternyata penafsiran “tulung menthung” memang ada dua. Walau demikian hampir semuanya menafsirkan dengan “ditulung menthung”, kecuali beberapa orang ditambah Parno yang sopir taksi tadi. Pendapat minoritas, tetapi belum tentu salah.

Oh ya, satu lagi barusan dapat masukan seorang teman “tulung menthung” bisa diartikan membantu menthung. Teman saya ini pernah melihat tukang copet ketangkap lalu dipenthungi rame-rame, kemudian ditolong Polisi. Wah kalau ini sih kira-kira cerita lain lagi.

Bagaimanapun kita memang berada di tengah-tengah tarikan dua kutub: Tulung tinulung (saling tolong) dan Penthung pinenthung (saling penthung), diantara dua kutub itulah terdapat  ditulung menthung dan nulung menthung”. Yang penting kita kalau ditolong maupun menolong janganlah sekali-sekali menthung (IwMM).

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST