Monday, April 1, 2013

HAL-HAL YANG PERLU DIWASPADAI PARA PETINGGI DALAM PARIBASAN JAWA (1): DARI UNSUR LUAR

Pada tulisan berjudul Kadang Konang, dapat dibaca bahwa ada orang-orang yang hanya mau mengakui saudara selama orang tersebut masih punya “gebyar” yang diibaratkan “kunang-kunang” (konang). Kalau gebyarnya sudah padam, seperti halnya kunang-kunang, maka tercampaklah ia di tanah, tidak ada lagi yang mau memperhatikan.
 
Seorang petinggi selama masih punya kedudukan pasti banyak yang mengaku kadang dengan berbagai motif. Yang jelas pasti banyak orang yang merapat kepadanya dengan berbagai keperluan. Oleh sebab itu kehati-hatian amat diperlukan, seperti kata peribahasa Yitna yuwana, lena kena (siapa yang waspada akan selamat, siapa yang lengah akan terkena) dan Yuwana mati lena (orang baik-baik yang celaka karena lengah).
 
Semuanya harus diseleksi, semuanya perlu disaring sehingga hanya yang sudah benar-benar BANYU SINARING (air disaring) yang kita respons. Bisa kita bayangkan bahwa air yang sudah jernih masih kita saring.
 
Di bawah adalah beberapa contoh paribasan Jawa yang kiranya dapat dijadikan pedoman bagi kita semua khususnya yang mempunyai kedudukan, supaya senantiasa “prayitna” (waspada) dalam segala hal. Kembali kewaspadaan menjadi kunci segalanya.
 
 
A. ORANG-ORANG YANG MERAPAT DAN MENCARI MUKA
 
Banyak orang mendekat, berupaya mengambil hati. Dalam paribasan Jawa orang-orang yang suka “nyanak-nyanak” orang besar ini disebut NUWILA GANDA. Cara termudah untuk mengambil hati adalah dengan menyanjung. Tergantung kelihayannya maka sanjungan bisa jelas bisa samar. Sepanjang kita tidak tersanjung dengan perilaku orang-orang yang NGATHOK atau NGOLOR dengan gombalannya ini, maka kita akan baik-baik saja. Tetapi umumnya orang lemah menghadapi sanjungan.
 
Orang yang mabok pujian disebut orang yang gunggungan atau umpakan. Pitutur terkait dengan hal ini dapat dirujuk ke tulisan Pitutur kumpulan 3: Pujian, umpakan dan tembung lamis. Bahkan Sri Pakubuwana IV menggarisbawahi sifat gunggungan ini dalam Serat Wulangreh: Jangan menjadi orang gunggungan karena orang nggunggung tentu ada maunya
 
Banyak orang yang NGALEM LEGINING GULA. Pengertian peribahasa ini adalah “memuji orang yang punya kelebihan (misalnya kepandaian, kekayaan dan kedudukan). Kalau kita sadar, sebenarnya buat apa memuji (ngalem) manisnya (legining) gula yang memang sudah manis: pasti ada maunya.
 
 
B. DIMANFAATKAN
 
Orang yang punya kedudukan memang patut dikasihani. Bila iman tidak kuat, ia bisa memanfaatkan kedudukannya untuk berbuat tidak baik, lazim disebut dengan aji mumpung. Tapi petinggi yang baikpun bisa dipinjam namanya oleh orang lain untuk motif pribadinya. Di dunia ini banyak juga orang yang suka KEKUDHUNG WALULANG MACAN. Petinggi sering diibaratkan dengan macan. Banyak orang yang bertudung kulit (walulang) macan. Pinjam nama pembesar untuk memudahkan urusannya. Oleh sebab itu hati-hatilah kalau memberikan kartu nama, atau foto bersama orang lain. Kartu nama dan foto bisa digunakan sebagai “walulang macan” untuk menakut-nakuti orang.
 
 
C. GRATIFIKASI
 
Pengertian sederhana dari gratifikasi adalah pemberian yang ada kaitan dengan kedudukan kita. Artinya kalau kita tidak punya kedudukan yang itu maka pemberian yang itu juga tidak akan ada. Kata “gratifikasi” baru populer setelah ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
 
Sebenarnya “pemberian” yang bernada “gratifikasi” sudah ada sejak dulu. Nenek moyang kita juga sudah mengingatkan melalui paribasan. Setidaknya ada dua paribasan Jawa yang terkait dengan hal ini:
 
1. SRAMA PINGGIR JURANG
 
Pengertian “srama” adalah pemberian. Kemudian ditambah kata “pinggir jurang” yang berarti tempat berbahaya. Pengertiannya adalah pemberian yang bisa mencelakakan. Siapa yang dicelakakan? Keduanya: Yang diberi maupun yang memberi.
 
2. KABANYURASA UPAYA
 
“Banyu rasa” adalah “air raksa”, zat kental cair berwarna timbal, yang amat korosif. Coba saja letakkan air raksa di kap mobil: Pasti keropos. Emaspun luluh dalam air raksa. Pengertian paribasan “kabanyurasa upaya” adalah orang yang terbujuk dan luluh oleh manisnya pemberian
 
Paribasan “srama pinggir jurang” dan “kabanyurasa upaya” ini sudah jarang kita dengar, tetapi kejadiannya pada “Era KPK” ini hampir tiap hari terdengar: Pemberi maupun penerima “srama” keduanya ditangkap dan diadili.
 
 
D. MUSUH
 
1. MUSUH DALAM SELIMUT
 
Kalau ada kawan tentunya ada lawan. Teman sejati pasti ada. Musuh yang jelas-jelas musuh juga. Untuk hal-hal yang sudah jelas seperti ini tentu tidak ada masalah. Yang amat berbahaya adalah musuh yang tidak kelihatan dan biasanya justru dari orang-orang yang amat dekat dengan diri kita: Bisa saudara, bisa teman sepekerjaan. Dalam paribasan Jawa dikenal dengan sebutan SATRU MUNGGWING CANGKLAKAN. (Cangklakan: Ketiak).
 
2. SEMULA TEMAN KEMUDIAN BERUBAH JADI MUSUH
 
Ada beberapa sebutan dalam paribasan Jawa, diantaranya adalah: DUGANG MIROWANG. (dugang: tendang; rowang: teman). Semula teman (rowang) kemudian menendang (dugang). Kemudian kita kenal paribasan yang diawali dengan kata MALIK (berbalik), yaitu: MALIK TINGAL, MALIK KLAMBI dan MALIK BUMI. (Tingal: Mata; Klambi: Baju; Bumi: tanah). Pengertiannya sama, yaitu: Yang semula teman berbalik jadi musuh atau ikut musuh.


E PENYUSUP

1. DHADHAP KETUWUHAN CANGKRING

Pohon Dadap bunganya bagus sedangkan pohon Cangkring, seperti Dadap tetapi berduri. Kalau sampai ada Dadap ketumbuhan Cangkring maksudnya kumpulan orang baik-baik yang kemasukan penjahat.

2. JATI KETLUSUBAN RUYUNG

Ruyung: sejenis seperti glagah atau alang-alang tetapi lebih besar. Artinya sama dengan di atas: Kumpulan orang baik-baik kemasukan orang tidak baik (termasuk mata-mata musuh). Ada juga yang mengganti kata ‘jati” dengan GLUGU KETLUSUBAN RUYUNG (Glugu: batang kelapa).

 

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST