Banyak
hal-hal yang harus dilakukan para pemimpin, dapat dirujuk ke link mengenai
memimpin.
Bila pada posting pertama: Hal-hal yang perlu diwaspadai para petinggi dalam paribasan Jawa (1) mengulas tentang hal-hal dari luar, maka dalam tulisan
ini mengulas hal-hal yang berasal dari diri sendiri berdasar paribasan Jawa.
Diri
sendiri merupakan musuh yang paling sulit ditaklukkan. Walaupun kita sudah
memahami makna Yitna yuwana, lena kena,
tetapi untuk prayitna kepada diri sendiri kita sering lena.
Di
bawah adalah contoh paribasan Jawa mengenai musuh-musuh yang bersemayam dalam
diri sendiri yang berasal dari diri sendiri pula.
1. SOMBONG
Sifat
ADIGANG ADIGUNG ADIGUNA (Adigang:
menyombongkan kekuatan; adigung: menyombongkan kekuasaan; adiguna:
menyombongkan kepandaian).
Pada akhirnya orang yang adigang adigung adiguna
akan celaka karena perbuatannya sendiri. Hal ini dibahas secara luas dalam
karya Sri Pakubuwana IV dalam posting SeratWulangreh: Adigang adigung adiguna, dimana ketiga sifat tersebut diwakili oleh tiga binatang, yaitu kijang, gajah dan ular.
Sifat
sombong juga digambarkan dalam paribasan ANGGAJAH
ELAR. Elar adalah sayap. Gajah menggambarkan sesuatu yang besar. Dengan
demikian “nggajah elar” dapat diterjemahkan sebagai seorang yang membesarkan
sayapnya, seorang yang sombong, semua serba berlebih-lebihan.
2. KUASA
ASU GEDHE
MENANG KERAHE (Kerah: berkelahi, biasanya untuk binatang) adalah paribasan
Jawa yang menggambarkan bahwa mempunyai kedudukan berarti “kuasa”. Pengedhe akan selalu menang dalam segala hal (walaupun ia dalam
posisi yang sebenarnya salah). Dapat
dibaca dalam posting Tiga peribahasa dengan “asu”
Bahwa
petinggi selalu menangan juga dikatakan dalam paribasan PANDENGAN KARO SRENGENGE. Srengenge asalah matahari dan pandengan
adalah bertatapan mata. Tidak ada manusia yang tahan bertatapan muka dengan
matahari. Demikian pula manusia tidak akan menang melawan orang yang punya
kedudukan. Kalau ia berani, maka akan dikatakan kok wani-wanine, pandengan karo
srengenge.
Melawan orang yang lebih kuat sering dikatakan pula sebagai TIMUN MUSUH DUREN. Kalau orang yang
lebih kuat itu masih menggunakan orang kuat lainnya maka nasib orang ini bisa dikatakan seperti
TIGAN KAAPIT ING SELA (Tigan: telur;
Sela: batu). Dikeroyok orang kuat. Pasti bonyoknya.
Saking
kuasanya maka sering terjadi peraturan yang dia buat dilanggar sendiri. Hal ini
digambarkan dalam paribasan GAJAH NGIDAK
RAPAH. (Rapah: dedaunan dan ranting yang bertebaran di tanah. Gajah di alam
bebas kalau mencari makan dengan mengambil daun-daun dari pepohonan pasti
banyak meninggalkan bekas berupa “rapak” ini).
Demikian
pula karena dia kuasa plus tidak tahu malu maka ia bisa saja dalam penyelesaian
suatu perkara ia menyandarkan dirinya pada orang kecil. Dalam paribasan Jawa
disebut dengan GAJAH ALINGAN SUKET TEKI
(Alingan suket teki: Berlindung dibalik rumput teki. Ya kalau semut, tapi disini yang
berlindung “gajah”).
Yang
lebih parah kalau ada pertikaian antara dua orang berkuasa, yang
jadi korban justru wong cilik. Mirip dengan peribahasa Indonesia, dalam bahasa
Jawa dikatakan GAJAH TUMBUK KANCIL MATI ING TENGAH
3.TIDAK ADIL
Yang
kita harapkan tentunya pemimpin yang ambeg ADIL paramarta, ternyata ada juga
yang tidak adil. Hal ini digambarkan dalam paribasan EMBAN CINDHE EMBAN SILADAN. Yang satu digendong pakai kain cindai
(cinde) satunya pakai kreneng (siladan: anyaman bambu yang jarang).
Sifat
membeda-bedakan ini juga digambarkan dalam paribasan BAU KAPINE. (Bau: bahu; pine: beda; kapine: dibuat beda), juga
dalam paribasan SAJIMPIT SAKOJONG.
Ibarat beras, maka yang satu diberi satu jimpit (satu jumputan dengan lima jari)
sedangkan satunya lagi dikasih satu kojong (satu kojong: sepenuh dua tangan
yang ditangkupkan).
4. NEPOTISME
Urusan
memberi kedudukan kepada saudara juga diulas dalam paribasan Jawa. Pada posting
Ungkapan bahasa Jawa dengan “dhengkul”
ditulis tentang NASABI DHENGKUL atau
NGIKET-IKET DHENGKUL.
Dengkul adalah bagian tubuh kita, diibaratkan sebagai keluarga sendiri. Nasabi sama dengan ngiket-iket, artinya memberi ikat kepala. Sementara ikat kepala melambangkan kekuasaan. Pengertiannya sudah jelas: memberi kedudukan kepada keluarga sendiri.
Dengkul adalah bagian tubuh kita, diibaratkan sebagai keluarga sendiri. Nasabi sama dengan ngiket-iket, artinya memberi ikat kepala. Sementara ikat kepala melambangkan kekuasaan. Pengertiannya sudah jelas: memberi kedudukan kepada keluarga sendiri.
Dengkul
yang bentuknya membulat, tidak tajam, juga menggambarkan orang yang bodoh.
Peribahasa DHENGKUL IKET-IKETAN
dengan demikian berarti orang bodoh yang diberi kekuasaan. Biasanya karena ada
hubungan sesuatu dengan yang memberi kekuasaan. Salah satunya adalah hubungan
keluarga.
LIDING DONGENG
Sifat
sombong, kuasa, sifat tidak adil dan nepotisme di atas dimiliki oleh
seorang “pangarsa” yang tidak memiliki keteladanan. Kita merujuk kembali
kepada kata-kata Ki Hajar Dewantara: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani.
Bila
di depan (ing ngarsa) kita tidak mampu menunjukkan diri kita sebagai panutan,
maka kalau kita harus berada ditengah-tengah rakyat (ing madya) apakah bisa menjadi
motivator yang menumbuhkan greget atau semangat (mangun karsa)? Dengan demikian
untuk sampai kepada tut wuri handayani (bila berada di belakang
memberi kekuatan), rasanya tidak akan kesampaian. Iwan MM
No comments:
Post a Comment