Friday, April 5, 2013

ORANG-ORANG YANG SUDAH TIDAK PUNYA POWER DALAM PARIBASAN JAWA

Paribasan Jawa juga memberi pandangan tentang orang-orang yang dulunya punya power, sekarang tidak. Ketidak-punyaan power ini bisa macam-macam sebabnya. Mulai dari yang pensiun sampai yang memang tidak lagi dipakai. Barangkali kalau dipakai justru merepotkan yang memakai.
 
Orang yang berkuasa dalam paribasan Jawa digambarkan antara lain sebagai harimau, gajah dan banteng. Orang pandai (mempunyai power dalam hal ilmu pengetahuan) digambarkan sebagai kebo bule atau kain panjang.
 
Di bawah adalah contoh paribasan Jawa mengenai orang-orang tersebut, apakah ada kecocokan dengan yang kita alami sekarang, kita lihat beberapa paribasan Jawa sebagai berikut:
 
 
 
BATHANG GAJAH
 
Bathang adalah bangkai. Secara umum bebasan Jawa menyebut orang-orang yang dulu pernah punya kekuasaan sebagai “bathang gajah” atau bangkai gajah. Bagaimanapun ia sudah tidak berkuasa, tapi dulunya ia adalah gajah. Gajah adalah sosok yang dihormati. Tentusaja harus didukung keteladanan semasa masih berkuasa.
 
 
MACAN GUGUH
 
Guguh adalah ompong. Dulunya berkuasa, sekarang tidak. Walau demikian ia tetap macan. Biarpun ompong, tetap ditakuti. Walau demikian, sama dengan “bathang gajah” di atas, keseganan orang juga bergantung kepada perilaku kepemimpinannya semasa masih menjabat. Layak apa tidak untuk tetap disegani
 
 
NYUNDHANG BATHANG BANTHENG
 
Nyundhang adalah mendorong dengan tanduk. Dalam hal ini yang didorong adalah bangkai banteng. Pengertiannya adalah mengangkat keturunan orang yang dulunya pernah berkuasa. Yang sudah jadi bangkai memang tidak mungkin berkuasa lagi. Jadi yang dinaikkan adalah keturunannya. Keturunan yang seperti apa? Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai keturunan bathang gajah atau macan guguh.
 
 
KEBO BULE MATI SETRA
 
Kebo bule (kerbau albino/putih) jumlahnya tidak banyak, adalah gambaran orang pandai. Setra adalah tempat pengasingan. Bahkan ia diasingkan dan dikatakan “mati setra” yang berarti mati dalam pengasingan. Pengertian peribahasa ini adalah orang berilmu yang sengsara hidupnya, disingkirkan dan tidak dimanfaatkan ilmunya. Pengertian jaman sekarang mungkin “dikotakkan”. Dapat dibaca lebih lanjut pada posting Kebo (5): kebo bule mati setra.
 
 
WASTRA LUNGSET ING SAMPIRAN
 
Wastra: kain panjang; lungset: kusut; sampiran: tempat menggantung pakaian. Arti harfiahnya adalah kain yang kusut di gantungan. Pengertiannya adalah orang berilmu dimana tidak ada orang yang memanfaatkan ilmunya. Ia menjadi orang tidak berguna. Berbeda dengan “kebo bule mati setra” disini tidak ada kaitan dengan penyingkiran.
 
 
JARIT LUWAS ING SAMPIRAN
 
Jarit: sama dengan wastra, berarti kain panjang; luwas: lama dan kusut; sampiran: tempat menggantung pakaian. Pengertiannya sama dengan “wastra lungset ing sampiran”. Disini ada penekanan tidak hanya “Kusut” tetapi “lama”. Orang yang lama tidak dimanfaatkan ilmunya, lama-lama menjadi orang tidak berguna.
 
 
BALADEWA ILANG GAPITE
 
Entah mengapa “Baladewa” yang dijadikan contoh, mengapa bukan yang lain. Yang jelas Baladewa adalah sosok Raja yang sakti dan gagah, energik, suaranya pun keras. Tunggangannya gajah, bukan kereta. Gapit adalah penjepit wayang kulit yang tangkainya dipegang ki Dhalang. Paribasan ini menggambarkan orang gagah yang kehilangan kekuasaannya kemudian menjadi lemas tanpa daya. Gambaran “post power syndrome” yang tentu saja tidak terjadi pada semua orang yang kehilangan kekuasaan. Kembali bergantung kepada pribadi masing-masing.
 
Ada yang menggunakan nama Gatutkaca sebagai pengganti Baladewa, tetapi tidak ada yang memakai nama Yudistira karena akan sulit menggambarkan kondisi orang gagah yang kemudian lemas. Baladewa sendiri dalam kehidupannya tidak pernah kehilangan “gapit”. Sampai akhir perang Bharatayuda ia tetap gagah.
 
 
LAWAS-LAWAS KAWONGAN GODHONG
 
Lawas-lawas: lama kelamaan; kawongan godhong: ketempatan sifat daun yang lama-kelamaan rontok sendiri, atau kalau sudah tidak dipakai akan dibuang. Bila kita bisa memahami makna paribasan ini, maka kita akan menjadi cukup arif untuk menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Lama kelamaan pasti akan bernasib seperti daun. Tidak perlu kita merasa “ilang gapite”.
 
 
BALI MENYANG KINJENG-DOME
 
Kinjeng dom: adalah capung kecil yang ekornya pun kecil seperti jarum. Bali: kembali, dan menyang: ke. Arti harfiahnya kembali menjadi capung kecil. Ini adalah konsep “cakra manggilingan”, cakra yang selalu berputar. Pertama kita berada di bawah, kemudian ke atas dan akhirnya kembali lagi ke bawah atau “bali menyang kinjeng dome”. Sesuatu yang alami dan tidak perlu ditangisi.
 
Sebagai catatan, kinjeng dom dalam bahasa Jawa  disebut juga sebagai “kinjeng tangis”. Rumah yang kemasukan kinjeng tangis ini dalam “gugon tuhon” Jawa melambangkan akan mendapat kesusahan. Tetapi paribasan “bali menyang kinjeng dome” tidak ada hubungan dengan kesedihan akibat hilangnya kekuasaan. Mohon diperhatikan kata “bali” yang bermakna dulu kita bukan siapa-siapa dan sekarang bukan siapa-siapa lagi. Apa salahnya kembali ke “default”
 
 
 
LIDING DONGENG
 
Orang yang dulu berkuasa bisa tetap disegani walau kekuasaannya telah hilang. Walau demikian ada juga yang merasa sengsara dan mengalami post power syndrome. Sepanjang manusia bisa menyadari bahwa “lawas-lawas kawongan godhong” untuk selanjutnya “bali menyang kinjeng dome” maka ada harapan bahwa kita tetap menjadi “bathang gajah” atau “macan guguh” dan siapa tahu di kemudian hari ada yang “nyundhang bathang bantheng” (Iwan MM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST