Paribasan
Jawa juga memberi pandangan tentang orang-orang yang dulunya punya power,
sekarang tidak. Ketidak-punyaan power ini bisa macam-macam sebabnya. Mulai dari
yang pensiun sampai yang memang tidak lagi dipakai. Barangkali kalau dipakai
justru merepotkan yang memakai.
Orang
yang berkuasa dalam paribasan Jawa digambarkan antara lain sebagai harimau,
gajah dan banteng. Orang pandai (mempunyai power dalam hal ilmu pengetahuan)
digambarkan sebagai kebo bule atau kain panjang.
Di
bawah adalah contoh paribasan Jawa mengenai orang-orang tersebut, apakah ada
kecocokan dengan yang kita alami sekarang, kita lihat beberapa paribasan Jawa
sebagai berikut:
BATHANG GAJAH
Bathang
adalah bangkai. Secara umum bebasan Jawa menyebut orang-orang yang dulu pernah
punya kekuasaan sebagai “bathang gajah” atau bangkai gajah. Bagaimanapun ia
sudah tidak berkuasa, tapi dulunya ia adalah gajah. Gajah adalah sosok yang
dihormati. Tentusaja harus didukung keteladanan semasa masih berkuasa.
MACAN GUGUH
Guguh
adalah ompong. Dulunya berkuasa, sekarang tidak. Walau demikian ia tetap macan.
Biarpun ompong, tetap ditakuti. Walau demikian, sama dengan “bathang gajah” di
atas, keseganan orang juga bergantung kepada perilaku kepemimpinannya semasa
masih menjabat. Layak apa tidak untuk tetap disegani
NYUNDHANG BATHANG BANTHENG
Nyundhang
adalah mendorong dengan tanduk. Dalam hal ini yang didorong adalah bangkai
banteng. Pengertiannya adalah mengangkat keturunan orang yang dulunya pernah
berkuasa. Yang sudah jadi bangkai memang tidak mungkin berkuasa lagi. Jadi yang
dinaikkan adalah keturunannya. Keturunan yang seperti apa? Secara sederhana
dapat dirumuskan sebagai keturunan bathang gajah atau macan guguh.
KEBO BULE MATI SETRA
Kebo
bule (kerbau albino/putih) jumlahnya tidak banyak, adalah gambaran orang
pandai. Setra adalah tempat pengasingan. Bahkan ia diasingkan dan dikatakan
“mati setra” yang berarti mati dalam pengasingan. Pengertian peribahasa ini
adalah orang berilmu yang sengsara hidupnya, disingkirkan dan tidak
dimanfaatkan ilmunya. Pengertian jaman sekarang mungkin “dikotakkan”. Dapat
dibaca lebih lanjut pada posting Kebo (5): kebo bule mati setra.
WASTRA LUNGSET ING SAMPIRAN
Wastra:
kain panjang; lungset: kusut; sampiran: tempat menggantung pakaian. Arti
harfiahnya adalah kain yang kusut di gantungan. Pengertiannya adalah orang
berilmu dimana tidak ada orang yang memanfaatkan ilmunya. Ia menjadi orang
tidak berguna. Berbeda dengan “kebo bule mati setra” disini tidak ada kaitan
dengan penyingkiran.
JARIT LUWAS ING SAMPIRAN
Jarit:
sama dengan wastra, berarti kain panjang; luwas: lama dan kusut; sampiran:
tempat menggantung pakaian. Pengertiannya sama dengan “wastra lungset ing sampiran”.
Disini ada penekanan tidak hanya “Kusut” tetapi “lama”. Orang yang lama tidak
dimanfaatkan ilmunya, lama-lama menjadi orang tidak berguna.
BALADEWA ILANG GAPITE
Entah
mengapa “Baladewa” yang dijadikan contoh, mengapa bukan yang lain. Yang jelas
Baladewa adalah sosok Raja yang sakti dan gagah, energik, suaranya pun keras.
Tunggangannya gajah, bukan kereta. Gapit adalah penjepit wayang kulit yang
tangkainya dipegang ki Dhalang. Paribasan ini menggambarkan orang gagah yang
kehilangan kekuasaannya kemudian menjadi lemas tanpa daya. Gambaran “post power
syndrome” yang tentu saja tidak terjadi pada semua orang yang kehilangan
kekuasaan. Kembali bergantung kepada pribadi masing-masing.
Ada
yang menggunakan nama Gatutkaca sebagai pengganti Baladewa, tetapi tidak ada
yang memakai nama Yudistira karena akan sulit menggambarkan kondisi orang gagah
yang kemudian lemas. Baladewa sendiri dalam kehidupannya tidak pernah
kehilangan “gapit”. Sampai akhir perang Bharatayuda ia tetap gagah.
LAWAS-LAWAS KAWONGAN GODHONG
Lawas-lawas:
lama kelamaan; kawongan godhong: ketempatan sifat daun yang lama-kelamaan
rontok sendiri, atau kalau sudah tidak dipakai akan dibuang. Bila kita bisa
memahami makna paribasan ini, maka kita akan menjadi cukup arif untuk menyadari
bahwa tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Lama kelamaan pasti akan
bernasib seperti daun. Tidak perlu kita merasa “ilang gapite”.
BALI MENYANG KINJENG-DOME
Kinjeng
dom: adalah capung kecil yang ekornya pun kecil seperti jarum. Bali: kembali,
dan menyang: ke. Arti harfiahnya kembali menjadi capung kecil. Ini adalah
konsep “cakra manggilingan”, cakra
yang selalu berputar. Pertama kita berada di bawah, kemudian ke atas dan
akhirnya kembali lagi ke bawah atau “bali menyang kinjeng dome”. Sesuatu yang
alami dan tidak perlu ditangisi.
Sebagai
catatan, kinjeng dom dalam bahasa Jawa
disebut juga sebagai “kinjeng tangis”. Rumah yang kemasukan kinjeng
tangis ini dalam “gugon tuhon” Jawa melambangkan akan mendapat kesusahan.
Tetapi paribasan “bali menyang kinjeng dome” tidak ada hubungan dengan kesedihan
akibat hilangnya kekuasaan. Mohon diperhatikan kata “bali” yang bermakna dulu
kita bukan siapa-siapa dan sekarang bukan siapa-siapa lagi. Apa salahnya kembali ke
“default”
LIDING DONGENG
Orang
yang dulu berkuasa bisa tetap disegani walau kekuasaannya telah hilang. Walau
demikian ada juga yang merasa sengsara dan mengalami post power syndrome.
Sepanjang manusia bisa menyadari bahwa “lawas-lawas kawongan godhong” untuk
selanjutnya “bali menyang kinjeng dome” maka ada harapan bahwa kita tetap
menjadi “bathang gajah” atau “macan guguh” dan siapa tahu di kemudian hari ada
yang “nyundhang bathang bantheng” (Iwan MM)
No comments:
Post a Comment