Orang
Jawa kalau ditanya ingin kaya apa tidak? Pasti akan langsung menjawab “ingin”.
Siapa orangnya yang tidak ingin kaya. Kalau disuruh memilih antara “sugih”
(kaya) dan “beja” (beruntung) maka mereka akan segera memilih “beja (begja)”.
Jauh lebih baik beja walaupun tidak sugih daripada sugih tetapi tidak beja.
Selanjutnya
kalau disuruh memilih antara “beja” dan “slamet” (selamat), maka mereka mungkin
akan berpikir dulu sejenak. Antara “beja” dan “slamet” banyak mirip-miripnya.
Akhirnya dengan mantap akan memilih “slamet” dalam pengertian slamet ing donya
(dunia) tumeka ing akerat (akhirat).
Seandainya
ada survei untuk memilih atau menentukan urutan antara sugih, beja dan slamet,
saya yakin bahwa urutan dari atas adalah: Slamet, beja dan terakhir sugih.
Memberi nama anak pun pasti Slamet dan Beja akan bersaing. Jarang yang memberi
nama anak dengan “Sugih”.
Ada
beberapa paribasan Jawa yang terkait dengan orang-orang yang selalu selamat,
antara lain sebagai berikut:
SLUMAN SLUMUN SLAMET
Purwakanthinya
bagus, semua dengan SL di awal kata. Konon ini lidah Jawa. Sluman adalah
pengucapan untuk Kanjeng Nabi Sulaiman AS. Kalau memungkinkan, ya kita ini bisa menjadi seperti
Nabi Sulaiman yang Rasul sekaligus Raja, kaya, dan ilmunya tinggi. Slumun
meringkas kalimat Salamun ala mursalin yang selalu kita baca menjelang akhir
doa. Dan akhirnya yang kita minta adalah “slamet”.
Orang
yang dimana-mana selalu selamat disebut “sluman slumun slamet”. Sluman slumun
slamet pun menjadi semacam rapal bila orang masuk ke tempat yang dia anggap
berbahaya atau angker.
DHEMIT ORA NDULIT SETAN ORA DOYAN
DHEMIT ORA NDULIT SETAN ORA DOYAN
Ini
juga kalimat berpurwakanthi IT dan AN. Semua orang mengenal “setan” yang selalu
mengganggu dan menggoda manusia. Disini si setan tidak doyan.
Dhemit menurut Poerwadarminta, 1939 adalah lelembut yang bertempat tinggal di tempat-tempat angker, pepohonan dll. Pada intinya dhemit adalah setan a la Jawa yang menghuni tempat angker. Dalam hal ini dhemit pun tidak mau ndulit (mencolek).
Sama dengan contoh pertama, orang yang dimana-mana selalu aman, dikatakan “Dhemit ora ndulit, setan ora doyan”.
Kalau “sluman slumun slamet” bisa menjadi semacam rapal maka “dhemit ora ndulit setan ora doyan” hanyalah sebutan saja. Bukan rapal.
Selengkapnya mengenai dua peribahasa di atas dapat dibaca pada posting Sluman slumun slamet dan dhemit ora ndulit setan ora doyan.
KENDHIT MIMANG KADANG DEWA
Kendhit: Ikat pinggang; mimang: akar beringin yang konon dipercaya sebagai sarana penolak bahaya, dengan cara dijadikan “kendhit” atau ikat pinggang. Kadang dewa: berteman dewa.
Peribahasa ini menggambarkan orang yang selalu selamat dari bahaya. Ibaratnya sudah memakai ikat pinggang dari “mimang” dan berteman dengan dewa.
WINONGWONG JAWATA
Kata “winongwong” dalam dasanama bahasa Jawa dikenal juga dengan nama “dimomong”. Artinya diasuh atau diayomi. Dalam hal ini yang mengayomi adalah “jawata” atau dewa. Paribasan ini menggambarkan orang yang selalu selamat dan selalu memperoleh apa yang diinginkan, ibarat dia diayomi oleh dewa
MROJOL SELANING GARU
Mrojol: Lepas, lolos; Selaning: diantara; Garu: Alat untuk membajak sawah, ada giginya. Biasanya ditarik di belakang kerbau dan dinaiki petani yang sedang membajak/menggaru sawah.
“Mrojol selaning garu” secara harfiah berarti lepas/lolos diantara gigi-gigi garu, padahal logikanya apa saja yang sudah kelewatan jalannya garu pasti luluh. Hebatnya yang satu ini kok bisa lolos.
Hal inilah yang dicermati nenek moyang kita sehingga orang yang bisa lepas dari bahaya yang sudah berada di depan hidung dikatakan sebagai “mrojol selaning garu”.
LIDING DONGENG
“Slamet” dalam beberapa paribasan di atas secara umum adalah selamat dari bahaya, baik fisik maupun non fisik. Jaman dulu bepergian malam-malam melewati tempat sepi, bahkan menerobos hutan memang berpeluang untuk diganggu oleh “begal” (rampok) atau makhluk halus (bagi yang percaya). Maka orang tersebut akan mengatakan “sluman slumun slamet”.
Orang yang melihat seseorang selalu selamat dimanapun, bisa mengomentari dengan kata-kata: Orang ini benar-benar “dhemit ora ndulit, setan ora doyan” bisa juga orang ini sepertinya memakai “kendhit mimang lan kadang dewa” atau “winongwong jawata”.
Bila orang tersebut bisa lepas dari bahaya yang memang sudah berada di depan hidung maka ia akan dikatakan “mrojol selaning garu”.
Seperti telah disebutkan di atas, slamet dalam pengertian Jawa adalah slamet ing donya tumeka akerat. Sarananya adalah meningkatkan ibadah dan memperbesar amal. Kalau hanya dhemit, setan dan garu, tidak akan mempan karena ia sudah berkadang dewa dan winongwong jawata. Dalam pengertian ia sudah menjadi orang yang dicintai Allah, dan Allah pasti melindungi hamba-hambanya yang dicintaiNya. Dimana saja dan kapan saja orang ini akan slamet. (Iwan MM)
Dhemit menurut Poerwadarminta, 1939 adalah lelembut yang bertempat tinggal di tempat-tempat angker, pepohonan dll. Pada intinya dhemit adalah setan a la Jawa yang menghuni tempat angker. Dalam hal ini dhemit pun tidak mau ndulit (mencolek).
Sama dengan contoh pertama, orang yang dimana-mana selalu aman, dikatakan “Dhemit ora ndulit, setan ora doyan”.
Kalau “sluman slumun slamet” bisa menjadi semacam rapal maka “dhemit ora ndulit setan ora doyan” hanyalah sebutan saja. Bukan rapal.
Selengkapnya mengenai dua peribahasa di atas dapat dibaca pada posting Sluman slumun slamet dan dhemit ora ndulit setan ora doyan.
KENDHIT MIMANG KADANG DEWA
Kendhit: Ikat pinggang; mimang: akar beringin yang konon dipercaya sebagai sarana penolak bahaya, dengan cara dijadikan “kendhit” atau ikat pinggang. Kadang dewa: berteman dewa.
Peribahasa ini menggambarkan orang yang selalu selamat dari bahaya. Ibaratnya sudah memakai ikat pinggang dari “mimang” dan berteman dengan dewa.
WINONGWONG JAWATA
Kata “winongwong” dalam dasanama bahasa Jawa dikenal juga dengan nama “dimomong”. Artinya diasuh atau diayomi. Dalam hal ini yang mengayomi adalah “jawata” atau dewa. Paribasan ini menggambarkan orang yang selalu selamat dan selalu memperoleh apa yang diinginkan, ibarat dia diayomi oleh dewa
MROJOL SELANING GARU
Mrojol: Lepas, lolos; Selaning: diantara; Garu: Alat untuk membajak sawah, ada giginya. Biasanya ditarik di belakang kerbau dan dinaiki petani yang sedang membajak/menggaru sawah.
“Mrojol selaning garu” secara harfiah berarti lepas/lolos diantara gigi-gigi garu, padahal logikanya apa saja yang sudah kelewatan jalannya garu pasti luluh. Hebatnya yang satu ini kok bisa lolos.
Hal inilah yang dicermati nenek moyang kita sehingga orang yang bisa lepas dari bahaya yang sudah berada di depan hidung dikatakan sebagai “mrojol selaning garu”.
LIDING DONGENG
“Slamet” dalam beberapa paribasan di atas secara umum adalah selamat dari bahaya, baik fisik maupun non fisik. Jaman dulu bepergian malam-malam melewati tempat sepi, bahkan menerobos hutan memang berpeluang untuk diganggu oleh “begal” (rampok) atau makhluk halus (bagi yang percaya). Maka orang tersebut akan mengatakan “sluman slumun slamet”.
Orang yang melihat seseorang selalu selamat dimanapun, bisa mengomentari dengan kata-kata: Orang ini benar-benar “dhemit ora ndulit, setan ora doyan” bisa juga orang ini sepertinya memakai “kendhit mimang lan kadang dewa” atau “winongwong jawata”.
Bila orang tersebut bisa lepas dari bahaya yang memang sudah berada di depan hidung maka ia akan dikatakan “mrojol selaning garu”.
Seperti telah disebutkan di atas, slamet dalam pengertian Jawa adalah slamet ing donya tumeka akerat. Sarananya adalah meningkatkan ibadah dan memperbesar amal. Kalau hanya dhemit, setan dan garu, tidak akan mempan karena ia sudah berkadang dewa dan winongwong jawata. Dalam pengertian ia sudah menjadi orang yang dicintai Allah, dan Allah pasti melindungi hamba-hambanya yang dicintaiNya. Dimana saja dan kapan saja orang ini akan slamet. (Iwan MM)
No comments:
Post a Comment