Kuntul: Burung dengan paruh dan kaki panjang warna bulunya putih. Banyak kita jumpai di sawah. Melambangkan hal-hal yang baik (warna putih). Dhandhang: Nama lain dari burung gagak. Warna bulu hitam, melambangkan hal-hal yang buruk.
Banyak yang tidak tahu kalau burung gagak punya “dasanama” (nama lain) burung dhandhang (Bausastra Jawa, WJS Poerwadarminta, 1939). Dalam pembahasan ini terlepas dari pendapat lain tentang apa dan siapanya burung “dhandhang”, saya menggunakan gagak sama dengan dandang (dhandhang). Masalah “kuntul dan dhandhang” ini mengundang perhatian kelompok diskusi kami.
“Kuntul diunekake dhandhang dan dhandhang diunekake kuntul, maksudnya apa?” Rupanya Toni yang bukan orang Jawa habis membaca postingan salah satu teman Fbnya.
Maksudnya ya barang baik dibilang buruk dan barang buruk dibilang baik. Biasanya manusia kan gitu, Ton. Punya kita selalu kita bilang baik, sebaliknya punya orang selalu kita bilang buruk’, Darman yang menjawab. “Demikian pula pendapat kita selalu kita katakan baik dan pendapat orang kita jelek-jelekkan”, lanjut Darman.
“Tapi kenapa perumpamaannya seperti tidak masuk akal?” Tanya Toni. “Kuntul kan binatang sedang dandang (catatan: bukan dhandhang) bukan binatang. Kenapa binatang dipadankan dengan benda, sedang binatang lain masih banyak. Kenapa bukan kuntul diunekake tikus, misalnya”.
Mbah Harjo yang menjawab: “Kamu tidak tahu kalau Dhandhang adalah nama lain dari Gagak? Jadi maksudnya Kuntul diunekake gagak dan gagak diunekake kuntul.”
“Kalau gitu kan jelas, mbah”. Sahut Toni. “Tapi kenapa menggunakan nama yang tidak umum, Dhandhang. Tidak banyak yang tahu, mbah. Orang Jawa selalu saja membuat sulit hal yang mudah”.
Mas Bagyo ikut menimpali: “Betul, seumur-umur saya baru tahu sekarang kalau gagak itu dhandhang”. Mas Bagyo mengangkat kepalanya sejenak, seolah-olah mencari jawaban di langit-langit rumah mbah Harjo. Sifatnya yang analitik muncul. “Nama Gagak kan berasal dari bunyinya yang gaoook, gaoook, jadilah dia gagak. Tapi dhandhang? Apa kaitan gagak dengan dandang?
“Betul, mas”. Sahut Darman. Dandang itu kan temannya kukusan. Alat untuk menanak nasi sebelum kita punya rice cooker. Apa dulu Gagak suka mencuri nasi dari dandang ya?”
Mbah Harjo ketawa. Beliau beranjak masuk ke dalam. “Bu, kita masih punya dandang lama?” Rupanya beliau bicara dengan mbah Harjo putri.
“Ada di gudang Pak, di atas rak, saya bungkus dengan glansing, biar tidak kotor”, jawab eyang Harjo putri. “Untuk apa?” lanjutnya.
“Itu, Bu. Anak-anak tambah bodoh saja”, jawab mbah Harjo sambil tertawa.
Tak lama kemudian mbah Harjo keluar. “Ini namanya dandang, anak-anak”.
“Kalau Cuma itu semua orang tahu, mbah”, timpal mas Bagyo. “Lalu apa istimewanya?”
Mbah Harjo tersenyum. “Jangan cepat-cepat sinis, Bag” katanya seraya membalikkan sang dandang. Pantat dandang sekarang menghadap ke hidung mas Bagyo. “Warnanya apa Bag?”
Darman yang menyahut pelan sambil menduga-duga maksud mbah Harjo: “Hitam, Mbah”.
Lagi-lagi Toni yang bukan orang Jawa menunjukkan kecerdasannya yang tinggi. “Astaga, pantat dandang selalu hitam. Barangkali dulu kita menanak nasi kalau nggak pakai kayu ya kompor minyak tanah. Dan kita tidak sempat membersihkan pantat dandang, apalagi belum ada obat pembersih saat itu. Jadi gagak diberi nama dhandhang karena warna bulunya seperti pantat dandang”. Habis itu ia tertawa keras-keras.
Mbah Harjo melanjutkan. “Coba kalian hitung berapa kali sehari dandang naik ke atas perapian. Kalau tiga kali saja ada. Siapa yang mau membersihkan pantat dandang. Paham, Bag?”
Mas Bagyo manggut-manggut. “Paham, mbah. Tetapi kenapa mesti repot-repot mengeluarkan dandang dari gudang segala”, mas Bagyo masih penasaran.
“Ngomong harus berbasis bukti kan, Bag”, jawab mbah Harjo. “Jadi kamu tidak bisa ngeyel lagi bahwa pantat dandang itu memang hitam”.
“Iya, mbah. Pokoknya yang satu hitam, satunya putih”. Sahut mas Bagyo lirih. (IwMM)
CATATAN:
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939:
“Ada di gudang Pak, di atas rak, saya bungkus dengan glansing, biar tidak kotor”, jawab eyang Harjo putri. “Untuk apa?” lanjutnya.
“Itu, Bu. Anak-anak tambah bodoh saja”, jawab mbah Harjo sambil tertawa.
Tak lama kemudian mbah Harjo keluar. “Ini namanya dandang, anak-anak”.
“Kalau Cuma itu semua orang tahu, mbah”, timpal mas Bagyo. “Lalu apa istimewanya?”
Mbah Harjo tersenyum. “Jangan cepat-cepat sinis, Bag” katanya seraya membalikkan sang dandang. Pantat dandang sekarang menghadap ke hidung mas Bagyo. “Warnanya apa Bag?”
Darman yang menyahut pelan sambil menduga-duga maksud mbah Harjo: “Hitam, Mbah”.
Lagi-lagi Toni yang bukan orang Jawa menunjukkan kecerdasannya yang tinggi. “Astaga, pantat dandang selalu hitam. Barangkali dulu kita menanak nasi kalau nggak pakai kayu ya kompor minyak tanah. Dan kita tidak sempat membersihkan pantat dandang, apalagi belum ada obat pembersih saat itu. Jadi gagak diberi nama dhandhang karena warna bulunya seperti pantat dandang”. Habis itu ia tertawa keras-keras.
Mbah Harjo melanjutkan. “Coba kalian hitung berapa kali sehari dandang naik ke atas perapian. Kalau tiga kali saja ada. Siapa yang mau membersihkan pantat dandang. Paham, Bag?”
Mas Bagyo manggut-manggut. “Paham, mbah. Tetapi kenapa mesti repot-repot mengeluarkan dandang dari gudang segala”, mas Bagyo masih penasaran.
“Ngomong harus berbasis bukti kan, Bag”, jawab mbah Harjo. “Jadi kamu tidak bisa ngeyel lagi bahwa pantat dandang itu memang hitam”.
“Iya, mbah. Pokoknya yang satu hitam, satunya putih”. Sahut mas Bagyo lirih. (IwMM)
CATATAN:
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939:
Dandang: Semacam panci tinggi, permukaan lebar, untuk menanak nasi; Dhandhang: Burung Gagak.
Ada yang mengatakan “Dhandhang” adalah sejenis burung berwarna hitam tanpa menyebut jenis burungnya.
Saya baca di lomardasika.blogspot.com yang mengisahkan perjalanan Lomar Dasika ke Provinsi Kalimantan Tengah dan menginap di Hotel Dandang Tingang, Palangkaraya. Dandang berarti kandang dan Tingang adalah nama daerah untuk burung Enggang (Rangkong) yang menjadi maskot kebanggaan rakyat Kalimantan Tengah. Burung Enggang itu bagus, paruhnya besar dan berwarna kuning, dan tidak sepenuhnya hitam demikian pula tidak terlalu akrab bagi orang Jawa. Jadi “Dhandhang” yang dimaksud dalam ungkapan Jawa di atas memang “Gagak” yang hitam dan tidak tampan, sesuai Poerwadarminta dalam Bausastra Jawa (IwMM)
No comments:
Post a Comment