Monday, April 30, 2012

SERAT WEDHATAMA: MEMOTIVASI PARA MUDA


Sri Mangkunegara tidak hanya menegur dan menasihati (Serat Wedhatama: Menasihati para muda) tetapi juga menyemangati mereka.

Generasi muda yang memang masih gelisah, meraba dan mencari jati diri, tidak hanya cukup diberi pitutur, tetapi juga dimotivasi. Antara lain dengan memberi kesadaran bahwa orang berilmu tidak harus tua.

Sri Mangkunegara IV juga memberi rujukan untuk panutan, seorang tokoh yang memang pantas jadi panutan. Beliau  yang wawasan dan bacaannya luas, tidak mencarikan tokoh panutan dari luar negeri, misalnya Napoleon atau Julius Caesar. Mengapa mesti mencari di luar kalau yang di negeri sendiri ada.


KAWAWA NAHEN HAWA

Kawawa nahen hawa (mampu menahan hawa napsu) merupakan kata kunci penguasaan ilmu. Tidak harus orang tua. Anak muda pun bisa menguasai. Itulah motivasi yang diberikan Sri Mangkunegara IV kepada orang muda. Jangan kalah sama yang tua, kamu pasti bisa. (berbeda dengan yang disampaikan kepada orang tua: Mbok jangan seperti anak-anak (Serat Wedhatama: Pesan kepada orang tua)

Motivasi supaya "kawawa nahen hawa" dapat dibaca pada pupuh Pangkur bait ke 11:

 
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut: Coba nak, tanyakan; Kepada para sarjana yang menguasai ilmu; Kepada jejak hidup yang menjadi suri tauladan; Mampu menahan hawa napsu; Ketahuilah bahwa senyatanya ilmu; Tidak harus dikuasai orang tua; Bisa juga dikuasai orang muda atau orang kebanyakan, nak.

Syaratnya adalah "mampu menahan hawa nafsu". Motivasi pun dilanjutkan dengan menjelaskan makna  “kawawa nahan hawa” dalam bait ke duabelas pupuh pangkur di bawah, yang intinya bila sudah mengendap jasmani dan rohaninya itulah “sepuh” sepi ing hawa. Anak muda pun kalau sudah manunggal jiwa dan raganya, mampu mengendalikan hawa napsu sudah bisa disebut “sepuh”.



TOKOH PANUTAN

Tidak cukup dengan motivasi, Sri Mangkunegara IV pun merujuk seorang tokoh besar yang pantas dijadikan panutan oleh generasi muda saat itu. Dalam baris terakhir bait ke empatbelas \pupuh Pangkur disebutkan: ....... Mulane wong anom sami. (Oleh karena itu para muda supaya: .......


Pupuh Pangkur berhenti disini, dengan kalimat penutup” “Oleh karena itu para muda .... dilanjutkan pupuh Sinom (gambar sebelah) disitulah pada bait pertama disebutkan tokoh panutan tersebut, yaitu:  Panembahan Senopati, Wong agung ing Ngeksiganda.

Terjemahannya kurang lebih: Contohlah perilaku utama; bagi orang tanah Jawa; Orang besar dari Ngeksiganda (Mataram); Panembahan Senopati;Yang tekun; Mengurangi hawa nafsu; dengan jalan prihatin; Serta siang malam; Selalu berkarya membangun ketenteraman hati bagi sesama.

Selanjutnya pada pupuh Sinom bait ke dua di bawah dijelaskan:

 
Dalam setiap pergaulan; Membangun sikap sabar; Setiap ada kesempatan; Di saat waktu longgar; mengembara untuk menyepi; dalam mencapai cita-cita jiwa; hanyut dalam keheningan kalbu; Senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu); dengan tekad kuat, membatasi makan dan tidur.

Jadi: Amemangun karyenak tyasing sesami (menyenangkan sekaligus menenteramkan hati semua orang), amemangun marta martani (selalu sabar, lembah manah), besar tirakatnya dengan Sudane hawa lan nepsu dan pungguh panggah cegah dhahar lan nendra. Itulah priyagung Ing Ngeksiganda.


KESIMPULAN

Bila jaman sekarang ada yang membuat semacam Serat Wedhatama abad ke 21, atau menasihati kawula muda, tentunya terlalu terpaut jauh waktunya kalau mengambil contoh Panembahan Senopati. Tetapi langkah-langkah Sri Mangkunegara IV dapat dicontoh: Menegur, Memberi pitutur seharusnya bagaimana, memotivasi atau menyemangati dan memberi contoh panutan(IwMM)

Sunday, April 29, 2012

SERAT WEDHATAMA: MENASIHATI PARA MUDA


Merujuk Serat Wedhatama: Pesan kepada orang tua, disebutkan pada dua baris terakhir pupuh Pangkur bait ke 6: “Pindha padhane si mudha; Prandene paksa kumaki”.

Kumaki adalah salah satu sifat anak muda. Bergaya seperti "kaki-kaki" (orang tua pandai) padahal pandainya tidak ada. Omongnya saja yang gede.

Jadi kalau orang tua omong gede itu seperti anak muda. Orang tua dilarang omong gede. Orang muda barangkali masih ada OK nya, karena belum mengendap ilmunya. Pertanyaannya adalah: Mengapa anak muda suka omong besar?


MENGANDALKAN ORANG TUA

Mengandalkan orang tua yang terpandang dan bangsawan, seperti paribasan Kekudhung walulang macan, dijelaskan pada pupuh Pangkur bait ke tujuh dan delapan sebagai berikut:


Terjemahannya kurang lebih:

(7) Alasannya sepele saja; Larinya mengandalkan orang tuanya; Yang terpandang serta bangsawan; Lha iya itu kan bapakmu; Sedangkan kamu mengenal saja belum; tentang jiwanya tata krama; dalam ajaran agama yang suci.

(8) Cerminan dari jiwamu; Terlihat dalam ucapanmu; Sifat tidak mau kalah maunya menang sendiri; Sombong besar mulut; Hal demikian dapat dikatakan terlena; Suka berlagak berani; Tidak enak itu nak

Penjelasannya sebagai berikut:

Anak berani sombong dan kemlinthi karena mengandalkan orang tua yang punya kedudukan. Sri Mangkunegara IV pun menegur: Yang terpandang kan bapakmu, sedangkan tatakrama sesuai norma keagamaan pun kamu belum tahu

Selanjutnya teguran beliau diteruskan dalam bait ke delapan, Jiwamu tercermin dari tutur katamu: Mau menang sendiri, sombong, besar mulut, berlagak berani. Hal tersebut berarti terlena dan itu tidak baik.


MENGANDALKAN ILMU KARANG

Dalam bait yang ke sembilan ditambahkan pula apa yang menjadi andalan sehingga orang muda menjadi sombong, sebagai berikut:


Terjemahannya sebagai berikut:

(9) Pegangannya ilmu karang; Yang dikarang dari barang-barang gaib;  Itu ibarat bedak; Tidak masuk ke dalam badan; Hanya menempel di luar daging, anakku; kalau menemui marabahaya; Kemampuannya hanya menghindar.

Disini ditambahkan pegangan “ilmu karang” yang dikarang-karang dari hal gaib. (catatan: pada masa itu kemungkinan ilmu-ilmu begini masih amat jadi andalan). Tetapi ilmu karang ibaratnya bedak yang hanya menempel di kulit. Tidak mampu menghadapi marabahaya. Ilmu-ilmu seperti itu tidak langgeng dan tidak bisa dijadikan andalan.


SEHARUSNYA BAGAIMANA?

Lalu ilmu seperti apa yang diperlukan? Dijelaskan oleh Sri Mangkunegara IV pada bait ke sepuluh sebagai berikut:


Karena itu sedapat mungkin; Upayakan memiliki hati bersih; Bergurulah yang tepat; Mampu menempatkan diri; Ada juga pedoman dan peraturan tata-pemerintahan; Kelengkapan untuk beribadah; yang ddilaksanakan siang dan malam.

Sederhana tetapi tidak mudah dilaksanakan: bermodal hati yang bersih, berguru yang betul, bisa menempatkan diri; Mempelajari ilmu tata-pemerintahan dan siang malam beribadah. Jadi bukan mengandalkan orang tua maupun melalui belajar ilmu kesaktian yang tidak jelas.

Bila kita bandingkan dengan pitutur kepada orang tua seperti yang dapat dibaca pada Serat Wedhatama: Pesan kepada orang tua, maka untuk para muda nadanya lebih lunak, walau kerasnya juga ada: Jangan mengandalkan orang tua dan jangan berpegangan ilmu yang tidak betul. Diteruskan dengan penjelasan sikap dan perilaku yang tidak benar itu seperti apa lalu ada pitutur yang seharusnya bagaimana. Tapi tidak berhenti disitu. Sri Mangkunegara IV juga memberi motivasi dan menunjukkan seorang tokoh yang pantas dijadikan panutan. Dapat dibaca pada lanjutan tulisan ini: Serat Wedhatama: Memotivasi para muda (IwMM)

Friday, April 27, 2012

SERAT WEDHATAMA: PESAN KEPADA ORANG TUA


Bila kita membaca secara keseluruhan pupuh pertama dalam Serat Wedhatama yang terdiri dari 14 bait pupuh Pangkur dapat kita lihat bahwa Serat Wedhatama dimaksudkan untuk mendidik putera-puteri yang berarti anak muda. Kita lihat bait pertama:

(1) mingkar-mingkuring angkara | akarana karênan mardi siwi | sinawung rêsmining kidung | sinuba sinukarta | mrih krêtarta pakartining ngèlmu luhung | kang tumrap nèng tanah Jawa | agama agêming aji ||

Artinya kurang lebih: (1) Dalam menghadapi nafsu angkara; Karena ingin mendidik putera-puteri; Dalam sebuah tembang; Yang disambut gembira dan dihormati; Supaya bisa mncapai hakekat ilmu luhur; Yang ada di tanah Jawa; Agama busana yang amat berharga.

Dapat disimpulkan bahwa bait pertama sekar Pangkur ini adalah tujuan utama Serat Wulangreh. Mendidik anak, sesuai budaya Jawa, berlandaskan nilai-nilai keagamaan.


ORANG TUA DIPERINGATKAN LEBIH DAHULU

Sebelum sampai kepada anak muda, Sri Mangkunegara IV mengingatkan orang tua lebih dahulu. Bahkan cukup keras. Kita lihat bait ke dua sampai dengan ke enam sebagai berikut:


Adapun terjemahan bait ke dua sampai dengan ke enam kurang lebih:

(2) Disajikan dalam Wedhatama; Agar tidak kendor dalam muatan nalar kita; walaupun sudah tua dan pikun; jika tidak memahami ilmu; Pasti sepi, hambar seperti ampas kosong; Bila menghadiri pertemuan; Perilakunya memalukan.

(3) Menuruti kemauan sendiri; Bila berbicara tanpa dipertimbangkan; Tetapi tidak mau dianggap bodoh; Maunya dipuji-puji; Tetapi manusia yang sudah waspada terhadap situasi; Tetap bermuka manis; Dan bertutur-kata baik.

(4) Si dungu tidak menyadari; Bahwa bualannya semakin menjadi-jadi; Bicara makin ngelantur; Bicaranya tidak masuk akal; Makin aneh dan tidak ada putusnya; Yang pandai waspada dan mengalah; Menutupi aib si tolol

(5) Demikianlah ilmu yang nyata; Senyatanya memberikan kesejukan hati; Hati senang dikatakan bodoh; Tetap gembira biarpun dihina; Tidak seperti si dungu yang selalu sombong Ingin dipuji setiap hari; Janganlah begitu orang hidup.

(6) Hidup sekali saja rusak; Nalarnya tidak berkembang dan tercabik-cabik; Ibarat goa yang gelap dan menyeramkan; Ditiup angin; Suaranya gemuruh dan berdengung; Seperti halnya watak anak muda; Walau demikian tetap congkak

Penjelasannya sebagai berikut:

Kita lihat bahwa Sri Mangkunegara IV  keras dalam mengingatkian orang tua: Pada bait ke dua dijelaskan,walau sudah tua kalau tidak menguasai ilmu ibaratnya ampas kosong. Bila bertemu dengan orang banyak maka perilakunya memalukan. (yekti sepi asepa lir sepah dan gonyak-ganyuk anglilingsemi). Jaman sekarang mungkin yang sering kita dengar adalah  kata “pepesan kosong”.

Selanjutnya yang dimaksud dengan seperti “sepah” dan “gonyak-ganyuk tadi seperti apa dapat dilihat pada bait ke tiga, yaitu: “Menuruti kemauan sendiri” yang terdiri dari tiga hal: Bicara tanpa pertimbangan, tidak mau dianggap bodoh dan ingin dipuji-puji. Dalam hal ini manusia yang sudah waspada terhadap situasi akan tetap bermuka manis dengan tutur kata yang baik pula (Sinamun ing samudana dan sesadon ingadu manis). Apapun perilaku orang, kita tetap berprasangka baik dengan bahasa tubuh yang baik pula.

Tetapi apa yang terjadi? Pada bait ke empat dijelaskan bahwa yang bersangkutan tidak ngrumangsani. Justru gonyak-ganyuk nglilingsemi-nya semakin menjadi-jadi. Barangkali karena sudah merasa tua, merasa pandai dan berpengalaman, maka dia sulit dikasih-tahu, dan yang lain dianggap bocah wingi sore. Maka Sri Mangkunegara IV berpesan yang masih punya akal sehat ngalah saja lah. Biar hati sebal tetapi tetaplah Ngalingi marang si pingging (menutupi aib si dungu) tentusaja dengan sinamun ing samudana, sesadon ingadu manis.

Mungkin ada juga yang dalam hati kurang rela. Kenapa tidak kita labrak saja orang yang gunggungan seperti itu? Maka dalam bait ke lima Sri Mangkunegara IV menjelaskan: Orang yang sudah mengendap seharusnya selalu memberi kesejukan hati; walau dihina atau dibodoh-bodohkan tak usah dimasalahkan, tetaplah gembira. Jangan seperti si tolol yang sombong dan maunya dipuji-puji setiap hari.

Omong besarnya si tolol pada bait ke enam diibaratkan oleh Sri Mangkunegara IV sebagai gemuruh suara sebuah goa yang ditiup angin kencang. Mohon diperhatikan pada bait ke enam ini lah entry nasihat untuk anak muda. Pada dua baris terakhir disebutkan “Pindha padhane si mudha; Prandene paksa kumaki”

Saya sendiri sudah mulai tua. Apa kira-kira orang tua memang banyak ngomong? Minteri? Dan ngomongnya pun tidak betul? Dibantah juga tidak mau? Apakah pengertian tua menurut Sri Mangkunegara IV?


UKURAN DISEBUT “SEPUH”

Ternyata usia bukanlah ukuran seperti yang disebutkan dalam bait ke duabelas pupuh Pangkur sebagai berikut:


Terjemahannya kurang lebih: Siapapun yang menerima wahyu Allah; Dengan cemerlang mampu melaksanakan ilmu; Menguasai ilmu kesempurnaan; Sempurna jiwa raga; Itulah yang pantas disebut orang tua” (sepuh); Arti “orang tua” (sepuh) adalah tidak dikuasai hawa nafsu (sepi hawa) ; Paham akan dwi tunggal (loroning atunggal).

Dengan demikian, siapapun yang sudah mengendap jasmani dan rohaninya tanpa melihat umur, itulah “sepuh” sepi ing hawa. Anak muda pun kalau sudah manunggal jiwa dan raganya, mampu mengendalikan hawa napsu sudah bisa disebut “sepuh”. Jadi ada orang yang “tua tetapi tidak sepuh” yang diibaratkan seperti anak muda yang masih suka omong besar. “Pindha padhane si mudha; Prandene paksa kumaki,”  

Lalu apa pesan Sri Mangkunegara IV kepada Kawula muda saya lanjutkan di Serat Wedhatama: Menasihati para muda.(IwMM)

Thursday, April 26, 2012

MBUWANG RASE NEMU KUWUK

Rase adalah binatang sejenis musang dan kuwuk adalah sebutan untuk kucing jantan tua. Pengertian membuang rase dapat kuwuk adalah membuang yang jelek dapat yang sama jelek atau lebih jelek. Saya tidak begitu paham perilaku rase, tetapi perilaku kucing jantan tua yang sudah setengah liar kira-kira cukup barbarian. Ya mencuri makanan ya mengejar-ngejar kucing betina. Belum lagi sifatnya yang suka berkelahi. Kira-kira yang dimaksud adalah salah satu aspek dalam kehidupan rumah tangga.

Adalah seorang wanita yang menikah dengan laki-laki tampan, sopan dan kaya. Banyak teman-temannya yang iri pada waktu itu. Semakin banyak yang iri, wanita itu semakin bangga dengan Harjunanya. Tidaki terlalu lama ketahuan bahwa laki-laki tampan ini nakal. Suka pergi dengan wanita lain, dan pacarnya banyak. Pertama ia masih menyabarkan diri dan berharap suaminya sadar, bahwa ia sudah berkeluarga. Apalagi ia sudah hamil dan lagi-lagi berharap setelah anaknya lahir, suaminya sadar bahwa kini ia telah menjadi seorang bapak. Ternyata bukannya sadar tetapi “thukmis”nya semakin menjadi. (Thukmis: singkatan dari bathuk klimis. Bathuk adalah dahi. Bathuk klimis adalah gambaran untuk wanita cantik pada masa itu. Laki-laki thukmis artinya laki-laki yang tidak tahan melihat wanita cantik). Punya bayi di rumah justru suaminya semakin jarang pulang. Akhirnya karena tidak kuat lagi si wanita minta cerai.

Beberapa tahun kemudian si wanita menikah lagi. Ia sudah lebih berhati-hati memilih suami. Ia sudah jera dengan laki-laki yang kelihatannya sopan tapi nakal. Kali ini laki-laki pilihannya walaupun gagah tetapi tidak kaya dan tidak terlalu santun. Bagi si wanita tidak masalah. Ia adalah wanita yang bisa mencari uang. Apakah wanita ini memang bernasib jelek, entahlah. Ternyata suaminya adalah seorang pemabok. Karena penghasilannya tidak tetap, ia sering minta uang kepada istrinya, untuk minun-minum. Ia selalu pulang ke rumah dalam keadaan mabok. Bergantung tingkat maboknya (Baca Sepuluh tahapan orang mabok miras) ia bisa meracau atau langsung teler. Lebih parah lagi kalau tidak diberi uang ia bisa mencuri di rumah sendiri. Kalau dimarahi si laki-laki tega memukul isterinya. Akhirnya karena tidak tahan. Si istri pun minta cerai.

Kepada teman-temannya si wanita berkata: “Saya ini ibarat mbuwang rase nemu kuwuk. Pisah dengan laki-laki yang thukmis dapat laki-laki pemabok. Apa dosa saya?”

Teman-temannya hanya bisa menghibur: “Dunia tidak hanya selebar daun kelor, mbak. Masih banyak laki-laki yang baik”.

Saya hanya menemukan dua peribahasa Jawa yang senada. Satunya adalah mbuwang pace nemu kudhu. Pace adalah sejenis buah yang bisa dipakai untuk mencuci pakaian sedangkan kudhu adalah sejenis akar yang digunakan sebagai pewarna pakaian. Yang satu pencuci, satunya pewarna. Karena hanya dua peribahasa yang ada, mudah-mudahan kasus seperti ini tidak banyak (IwMM)

Tuesday, April 24, 2012

TUJUH HAL YANG PERLU DIMILIKI MANUSIA

Pernah saya tulis dalam Drajat, semat dan kramat bahwa ada tiga hal yang diinginkan manusia: drajat (kedudukan), semat (harta) dan kramat (wibawa). Ada yang membagi drajat menjadi dua: drajat (kebangsawanan) dan pangkat (kedudukan). Sehingga menjadi empat: drajat, pangkat, semat dan kramat. Untuk jaman sekarang barangkali drajat dan pangkat kita jadikan satu saja sebagai “drajat”. Ungkapan dengan purwakanthi yang bagus, empat kata dengan akhiran “at”. Pertanyaannya adalah, mungkinkah kita miliki semuanya? Orang yang punya drajat bisa memiliki kramat (wibawa, kharisma), orang yang punya kharisma bisa punya kedudukan? Kemudian orang kaya juga akan berwibawa dan berpangkat? Kelihatannya “tidak”. Kalau “ya” barangkali hanya semu dan sementara. Drajat dan semat agak berbau materi sementara kramat tidak bisa dibeli.

Dari www.sastra.org saya temukan karya Hangabei IV, tahun 1900 berjudul Pangesthining Manungsa (Yang dituju manusia). Tidak bernada materi tetapi dengan yang tujuh ini kita bisa memperoleh ketiganya: Drajat, semat dan kramat. Ada tujuh hal sebagai berikut:
  1. KASURAN: Artinya keberanian. Orang yang pemberani akan disegani. Berani tentunya harus punya bekal melalui laku berlatih sesuai kompetensinya, bukan bonek. Ekses negatifnya kalau ia menjadi sewenang-wenang
  1. KAGUNAN: Artinya kepandaian, memiliki ilmu. Dengan memiliki kepandaian ia akan menjadi tempat bertanya. Tentusaja harus berbekal laku belajar yang sesuai, dilandasi ketekunan dan kerajinan. Hal tidak baiknya kalau ia tidak mau sharing kepandaiannya.
  1. KABEGJAN: Artinya keberuntungan, dengan pengertian mempunyai harta yang cukup. Lakunya adalah gemi, nastiti dan ngati-ati Dengan kabegjan yang dimiliki ia bisa menjadi orang yang berbudi bawa laksana, bisa uwur dan sembur sehingga dicintai orang. Bahayanya kalau ia menjadi pelit
  1. KABRAYAN: Artinya mempunyai banyak anak cucu sehingga aman di hari tua. Lakunya tentusaja memiliki sifat cinta kasih kepada keluarga. Menjadi bahaya kalau tidak bisa membina kerukunan
  1. KASINGGIHAN: Artinya keluhuran. Dengan memiliki budi luhur ia akan dihormati sekaligus disegani. Ia akan memiliki kekuatan kharismatik. Lakunya ia harus bisa menjadi orang yang andhap asor susila anoraga. Ia menjadi lemah kalau mulai punya sifat angkara murka.
  1. KAYUSWAN: Artinya umur panjang. Dengan umur panjang ia akan menjadi orang tua yang dituakan dan didengar kata-katanya. Lakunya adalah sifat “temen” atau lurus. Bahayanya kalau ia mulai berkata dusta
  1. KAWIDAGDYAN: Artinya “Kayuwanan” atau keselamatan. Tentunya ini yang paling akhir. Selamat dunia dan akhirat. Lakunya adalah kesucian. Pantangannya adalah menghindari perbuatan nista dan dosa.
Mampukah kita “nglakoni” untuk “Sapta Pangesthi” di atas? Sumangga (IwMM).

Monday, April 23, 2012

KEINGINAN YANG TERLALU TINGGI DALAM PARIBASAN JAWA

Dalam pitutur kumpulan 8 dapat dibaca bahwa “Mencapai cita-cita harus melangkah disertai nalar” sebagai berikut:

Sapa sing duwe panjangka kudu wani jumangkah, jer katekaning sedya iku mung bisa maujud menawa dilakoni lan ora nyimpang saka katekadane. Karep lan sedya, jangka lan panuwun, iku saumpama wong lelungan mono tumuju papan kang arep diparani utawa dijujug. Dene kekarepan iku kudu ana kanthine, yaiku nalar. Jalaran kekarepan tanpa nalar ora beda karo karepe bocah cilik. Kejaba tanpa teges, uga sok tanpa wasana, satemah ora ana dadine

TERJEMAHAN: Orang yang mempunyai cita-cita harus berani melangkah, karena tercapainya keinginan kita hanya bisa terwujud kalau dijalani dan tidak menyimpang dari tekad kita. Keinginan dan niat, waktu dan doa, semisal orang bepergian harus ditujukan kepada tempat yang akan kita datangi. Keinginan harus punya pengawal. Adapun pengawalnya adalah “nalar”, atau otak. Karena keinginan tanpa “nalar” ibarat keinginan anak kecil. Selain tanpa makna juga tanpa tujuan, hasilnya tidak tercapai

Masalahnya banyak orang mengejar sesuatu tanpa menggunakan nalar yang dapat diartikan akal sehat. Drajat, semat dan kramat dikejar tanpa deduga, prayoga, watara dan reringa maupun dengan perancanaan yang mengikuti pola Tata, titi, tatas, titis.

Banyak pitutur Jawa mengingatkan supaya manusia hidup nrima ing pandum  “sakmadya” saja atau secukupnya saja. Dalam peribahasa Jawa ada lebih dari 10 ungkapan yang mengkritisi perilaku manusia yang laksana “Punguk merindukan bulan” dengan hasil “besar pasak daripada tiang”.


CONTOH PARIBASAN

Peribahasa-peribahasa dengan mengunakan binatang, manusia dan tindakannya sebagai perumpamaan adalah:
  1. CECAK NGUNTAL CAGAK: Cagak adalah tiang. Cecak biasa nempel ditiang apalagi kalau dekat dengan penerangan untuk berburu serangga yang beterbangan di sekitarnya. Tetapi kalau si cicak mulai ingin menelan (nguntal) tiangnya, maka hal ini sudah berlebihan
  1. COCAK NGUNTAL ELO: Cocak adalah sejenis burung, termasuk kecil dengan paruh yang tentusaja kecil. Sementara Elo adalah sejenis pohon besar. Cocak bisa istirahat di pohon Elo, tetapi seperti si Cicak di atas, maka Cocak juga ingin nguntal (menelan) tempatnya bertengger jelas perilaku yang menertawakan'
  1. KODHOK NGUNTAL GAJAH: Kodhok atau katak adalah binatang kecil yang mulutnya terbilang lebar. Tapi selebar-lebar mulut kodok apa mungkin dia menelan (nguntal) gajah
  1. CEBOL NGGAYUH LINTANG, atau CEBOL NGGAYUH LANGIT: Tentusaja tidak mungkin. Yang tidak cebol saja tidak mampu. Oleh sebab itu dalam paribasan yang lain cukup dikatakan NGGAYUH TAWANG (Tawang: langit). Sebagai contoh ketika saya bercanda dengan teman: "Setelah pensiun aku mau nyaleg". Teman saya mengatakan: "Rak paribasan nggayuh tawang to mas. Ora duwe massa kok nyaleg".
  1. NJARING ANGIN, atau NJARING LANGIT: Jelas merupakan perbuatan yang tidak mungkin dilakukan oleh siapapun
  1. KEGEDHEN EMPYAK KURANG CAGAK: Sesuatu yang juga tidak mungkin bila atapnya kegedean tetapi tiangnya kurang. Dalam paribasan lain yang mirip, dikatakan KEGEDHEN ENDHAS KURANG UTEK. Kepalanya gede tetapi otaknya kecil
  1. KEROT ORA DUWE UNTU: Kerot adalah bunyi gesekan gigi waktu kita tidur. Supaya ada suara kerot membutuhkan gigi (untu). Ini juga sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
  1. LUMPUH NGIDERI JAGAD: Orang lumpuh mengelilingi dunia. Perlu dicatat bahwa pada jaman dulu manusia kalau lumpuh maka benar-benar tidak bisa apa-apa kecuali di rumah saja. Untuk diterapkan pada masa sekarang peribahasa ini sudah kurang pas.

LIDING DONGENG

Intinya adalah jangan melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan atau di luar kemampuan manusia yang wajar. Orang lain pun akan tertawa dan mengatakan : Kok seperti KETEPANG NGGRANGSANG GUNUNG, ORONG-ORONG NGGOTONG GENTHONG, atau  GUREM THETHEL-THETEL. Bila modal memang cupet, buat apa mikir macam-macam yang terlalu tinggi.  NGENTENI TIMBULE WATU ITEM, NGENTENI KEREME PRAU GABUS hasilnya hanya frustrasi. Akibatnya kalau tidak kena serangan jantung ya sakit gila.

Pitutur Jawa melalui pupuh Dhandanggula mengingatkan” “Eling eling pra kadang den eling; Uripira ing donya tan lama; Bebasan mung mampir ngombe; Cinecep nulya wangsul; Mring asale sangkane nguni; Begja yang wus pana; Sangkan paranipun; Dedalan kang den ambah; Mrih rahayu lumampah margi utami; Sejatining kasidan”.

Kurang lebih terjemahannya: Ingatlah sahabat ingatlah selalu; Hidupmu di dunia tidaklah lama; Ibarat hanya mampir untuk minum; Selesai minum langsung pulang; Ketempat asal-usulmu; Beruntunglah yang sudah paham; Asal usul kita; Jalan yang harus ditempuh; Supaya selamat menapaki jalan yang utama; Menuju kehidupan abadi. (IwMM)

Saturday, April 21, 2012

KUTUK MARANI SUNDUK, ULA MARANI GITIK DAN ASU MARANI GEBUG

Tiga peribahasa menggunakan perlambang binatang dan maknanya sama. Kutuk (Ikan Gabus); Ula (Ular); dan Asu (Anjing). Apa yang diparani (didatangi) oleh ketiga binatang tersebut, yang satu ikan, satunya  binatang melata dan yang satu lagi  binatang menyusui adalah apa yang umumnya dilakukan kalau manusia bersua dengan mereka. Ikan Kutuk akan disunduki (irisan tipis bilah bambu untuk merenteng ikan), Ular akan menerima gitik (alat pemukul bambu atau rotan yang panjang) dan anjing akan menerima gebug.

Pengertian peribahasa tersebut adalah orang yang dengan sadar mendatangi tempat bahaya. Sudah jelas bahaya kok nekad saja ke sana. Peribahasa ini tidak berlaku bagi yang mendatangi bahaya karena melaksanakan tugas. Misalnya tim SAR, petugas kesehatan datang ke daerah yang sedang terjangkit wabah penyakit, Polisi yang mengamankan kerusuhan dan lain-lain. Mereka datang sudah dengan perhitungan mantap, sudah pakai deduga dan prayoga.

Lalu yang mana? Dalam hal ini ada unsur berani, plus tolol. Tololnya ini yang penting. Bisa juga tidak tolol tapi terlalu lugu. Saya berikan satu contoh pengalaman pribadi. Saya saat itu masih muda, belum begitu tahu trik-trik dalam hubungan atasan bawahan. Hari kerja masih enam hari. Jadi Sabtu tidak libur. Sabtu siang menghadap pimpinan, minta tandatangan. Konyolnya sekretaris pimpinan menyuruh saya langsung masuk, biar cepat. Mestinya saya tinggalkan saja sama sekretaris, Senin baru ditanyakan lagi. Nah, masuk di kamar pimpinan, surat dibaca, wah sudah bagus, langsung beliau tandatangan. Sebelum saya sempat angkat pantat, pimpinan saya berkata: “Kebetulan kamu datang. Tolong besok (hari Minggu) wakili saya menghadiri khitanan masal”.

Saya hanya bisa menjawab dengan: “Siap, Bapak”. Tapi di luar ketemu teman, saya ceriterakan tentang hal tersebut, bahwa hari Minggu terpaksa tidak libur. Walau tugasnya ringan-ringan saja, tapi mengganggu juga. (Dulu istilah “curhat” belum ada). Teman yang kebetulan lebih senior tertawa. “Lha itu namanya Kutuk marani sunduk. Jarang ada staf menghadap pimpinan pada hari Sabtu lepas lohor, kecuali dipanggil”. (Catatan: Jaman itu belum ada HP).

Sejak saat itu saya membatasi masuk ke ruang pimpinan kecuali dipanggil atau memang mendesak. Saya menyesal ketika beliau mempromosikan saya ke Daerah, dan waktu saya berpamitan beliau berkata: “Kalau kamu ketemu saya 100 kali dan kena gitik 90 kali berarti kamu staf teladan. Kalau kamu tidak pernah kena gitik karena tidak berani ketemu saya, tidak usah jadi manusia. Untung kamu termasuk golongan yang pertama”.

Ketika saya menjadi pimpinan, dan sudah jaman HP, ternyata HP staf banyak yang dimatikan mulai Jum’at sore dan Senin pagi baru dihidupkan. Barangkali staf sekarang lebih cerdas, atau lebih paham menghayati perilaku Jawa melalui paribasan tersebut di atas, dengan contoh tiga binatang yang berbeda: Pisces, Replilia dan mammalia. Mereka sudah diingatkan melalui ikan Kutuk, Ular dan Anjing (IwMM)

Friday, April 20, 2012

ENGGON WELUT DIDOLI UDHET

[Enggon: Tempat; Welut: Belut; Didoli: Dijuali; Udhet: Belut kecil]. Arti peribahasa ini adalah “Orang pandai (dalam hal ini diwakili belut) ditunjuki kepandaian yang tidak seberapa (melalui perwakilan udhet). Apa ya ada kasus seperti ini?
  1. Kalau kita merasa kurang pandai tentunya tak akan berani pamer kepandaian dihadapan orang yang lebih tinggi ilmunya.
  2. Tapi kalau kita di pihak yang merasa lebih pandai? Misalnya saja kita sebagai boss lalu ada staf berani berargumentasi dan kita patahkan. Benarkah bila kemudian kita katakan: “Berani-beraninya dia, enggon Welut didoli Udhet”. Jawabnya bisa benar bisa salah. Benar (walau tidak terlalu benar) kalau kita betul-betul lebih pintar secara intelektual. Sebaliknya salah kalau kemenangan argumentasi kita karena kita sebagai boss punya posisi lebih kuat.

Lalu yang benar dan “pener” yang seperti apa? Memahami peribahasa Jawa tidak selamanya gampang. Sering kita harus melihat latar belakang “apa” yang dijadikan perumpamaan. Kali ini sample nya adalah “Belut dan Udhet” binatang yang licin, sehingga susah ditangkap kecuali dengan tip and trick tertentu. Meminjam peribahasa “Licin bagai Belut” maka orang yang seperti itu pasti “trick” nya (yang berkonotasi kurang baik) banyak. Jadi pengertian “Enggon Welut didoli Udhet” ini pasti menyangkut perilaku yang penuh "trik" tidak terpuji.

Contoh sederhana pemahaman peribahasa ini sebagai berikut: Di sebuah kampung yang kehidupan bertetangganya masih baik, salah satu efek negatifnya adalah orang gampang pinjam-meminjam barang atau uang. Suatu saat sebut saja namanya Bu Srikandi pinjam uang ke Bu Larasati. Katakan Rp 500.000. Tidak ada masalah, uang 500.000 rupiah pun diberikan Bu Srikandi. Uangnya ada dan sama tetangga masa tidak mau membantu saat dibutuhkan.

Masalah timbul ketika Bu Srikandi tidak mengembalikan uang sesuai waktu yang dijanjikan. Berapa kali ditagih selalu ada saja alasannya. Menggunakan Debt Colector tentusaja tidak masuk dalam benak Bu Larasati. Setelah menagih sekian kali baru dikembalikan Rp 100.000, suatu saat Bu Larasati bertandang ke rumah Bu Srikandi. Bilang kalau mau jagong manten, tidak punya giwang. Kalau boleh, mau pinjam giwang Bu Srikandi yang minggu lalu dipakai waktu menghadiri hajatan di rumah pak Sadewa. Kebetulan mata giwangnya cocok dengan baju yang akan dipakai. Selesai jagong manten giwang akan dikembalikan.

Nasib baik Bu Srikandi, telinganya pas tidak pakai giwang. Dia bilang kalau tiga hari lalu giwangnya digadaikan, jadi tidak bisa bantu. Bu Larasati pun pulang dengan tangan hampa. Sepulang Bu Larasati, Bu Srikandi pun tertawa. Dalam hati ia berkata: “Aku tahu maksudmu. Kalau giwang aku berikan maka akan dipakai jaminan supaya aku segera melunasi hutangku. Dasar bodho, enggon welut kok didoli udhet”. (IwMM)
 

Wednesday, April 18, 2012

NGLAKONI (2): TULISAN ABAD YANG LALU

Merujuk kembali ke diskusi bersama seorang teman tentang “Nglakoni” kebetulan saya baca Majalah Mardisiwi,yang diterbitkan oleh Literair Paedagogische Club Soerakarta, November 1938 tulisan S. Sastrowardojo, berjudul “Awratipun tiyang nglampahi”, dapat di klik dan cari di www.sastra.org

Apa yang saya tulis di Nglakoni (1): Jaman sekarang memang hanya mengambil contoh “orang sekolah”. Kebetulan itu contoh yang gampang. Bagaimana pada jaman belum banyak sekolahan dan belum banyak pula orang sekolah? Saya tidak akan berceritera bagaimana Abimanyu bertapa kemudian mendapatkan Wahyu Cakraningrat, ilmu memang belum sampai kesitu. Contoh yang ditulis S. Sastrowardojo (1939) cukup sederhana pada jamannya dan masih dapat dipahami pada masa sekarang.

Sastrowardojo mengambil contoh “umpaminipun kemawon nglampahi temen” (Temen: lurus hati, jujur). Orang yang sedang “nglampahi” (nglakoni) untuk menjadi “temen” akan merasakan betapa beratnya “nyirik goroh” (berpantang dusta). Goroh adalah “wewaler” (larangan) utama orang yang ingin menjadi “temen”. Padahal kita hidup sehari 24 jam mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kalau kita mencoba catat perilaku kita dalam 24 jam, betapa banyak perilaku “ora temen” yang kita perbuat dalam sehari semalam. Padahal dusta itu bersaudara dengan mengaku-aku, ingkar janji, menipu dan perbuatan tercela lainnya.

Bagaimana dengan dusta kecil-kecilan? Dusta adalah dusta dan tidak melihat ukurannya. Hukum "sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit" berlaku di sini. Sastrowardojo mengatakan, “Boten ngengeti yen kathah punika asalipun saking sakedhik. Manawi ingkang alit-alit wau boten enggal dipun papras, saya lami ndadra. Yen sampun dados pakulinan, sampun matuh, angel sanget ical-icalanipun” Terjemahannya: Tidak ingat kalau yang banyak itu asalnya dari sedikit. Kalau yang kecil-kecil tidak cepat-cepat dikepras, makin lama makin jadi. Kalau sudah jadi kebiasaan akan sulit dihilangkan. Dikatakan juga oleh Sastrowardojo, “Wosing wewarahipun leluhur wau: Supados nglampahana weting ngagesang” (Intisari ajaran leluhur kita supaya menjalani pranata kehidupan).

Di atas baru satu contoh. Norma-norma yang harus kita jalani masih banyak. Antara lain: Keimanan dan ketaqwaan, hormat kepada orang tua, cinta kasih kepada sesama, dan lain lain. Kita bisa “nglakoni” kalau mengikuti pituduh “pada gulangen ing kalbu”, nggegulang, melatih, sejak kecil, dimana saja dan kapan saja, sehingga tahu, mampu memilih dan memilah untuk menjalani yang baik dan menyingkiri yang buruk.

Kembali kepada “Ngelmu iku kelakone kanti laku; Lekase lawan kas; tegese kas nyantosani; Setya budya pangekese dur angkara”, dengan highlight pada “laku” yang dilandasi “kas” dan meredam “dur angkara” maka yang terakhir ini lah kita harus mampu mengendalikan hawa napsu. Sastrowardojo menyebutkan: “Kajawi pakulinan utawi panggladhi ingkang sampun kula aturaken wau, manungsa ugi perlu saged nulak sakathahing godha ingkang ngregoni dateng lampah leres: kedah saged ngampah hawa napsu” (disamping latihan yang sudah saya sebut tadi manusia juga harus mampu menolak semua godaan terhadap perbuatan baik: harus mampu mengendalikan hawa napsu). Disebutkan melalui tirakat, termasuk berpuasa, mengurangi tidur dan mengurangi bicara. Jadi “nglakoni” adalah sesuatu yang sebenarnya harus kita lakukan sehari-hari, dapat dilihat di Laku ing sasmita amrih lantip

“Nglakoni” adalah amalan hidup untuk menjadi orang utama. Bukan sesuatu yang berbau mistik (IwMM).

Tuesday, April 17, 2012

NGLAKONI (1): JAMAN SEKARANG

Ada teman yang bertanya: “Mas, yang dimaksud dengan laku itu nglakoni ya?” Tanpa pikir panjang langsung saya jawab “Iya”. Teman saya melanjutkan pertanyaannya: “Jadi pakai patigeni, mutih, nglowong dan lain-lain?” Saya mulai serius: “Ya bukan harus begitu. Rupanya kamu tidak baca tulisan saya dengan baik”. Ia tertawa terbahak-bahak: “Ya, hanya klik lalu baca sepintas”.

Pitutur tentang “Laku” dan “Nglakoni” dapat dibaca pada Serat Wulangreh, karya Sri Pakubuwana IV, Pupuh Kinanthi: “Dadya lakunireku; Cegah dhahar lawan guling; Lawan aja sukan-sukan; Anganggowa sawatawis; Ala watake wong suka; Nyuda kaprayitnaning batin”. Penjelasannya dapat dibaca pada “Laku ing sasmita amrih lantip”.

Nglakoni” yang merupakan amanah leluhur dan sesepuh sebenarnya adalah “pendadaran” atau dalam bahasa Jawa yang lebih umum adalah “penataran”. Jangan lupa bahwa “Ngelmu iku kelakone kanti laku”. Sudah barang tentu “Laku” yang kita jalani disesuaikan dengan apa yang kita cita-citakan. Kalau anak kita ingin jadi dokter maka dia harus nglakoni kuliah dan praktikum mulai dari Semester satu sampai akhir, praktek kesehatan masyarakat di desa sampai koasistensi di Rumah Sakit. Jaman saya dulu paling cepat enam setengah tahun baru bisa lulus dokter. Yang selesai dalam sepuluh tahun pun tidak sedikit.

Jadi bukan bertapa di tempat sepi, tidak tidur tidak makan?” teman saya masih minta penegasan.

Jawaban saya “Ya dan tidak”. Orang yang menuntut ilmu dan ingin “kelakon” (tidak “drop out”) memang harus “cegah dhahar lawan guling”, mengurangi makan dan tidur tetapi bukan tidak tidur dan tidak makan samasekali. Terlalu banyak makan bikin ngantuk. Terlalu banyak tidur kapan belajarnya? Ditambah lagi “lawan aja sukan-sukan” dan “anganggowa sawatawis”. Banyak hura-hura (sukan-sukan) dan “anganggowa sawatawis” (dalam pengertian tidak hanya berpakaian sederhana tetapi lebih luas lagi tidak bermewah-mewah, keduanya, bersenang-senang dan bermewah-mewah, membuat kita lupa kalau sedang menuntut ilmu. Mengurangi dugem termasuk menyepi dan mana mungkin kita belajar di tempat ramai.

Lalu kalau puasa bagaimana, mas?” pertanyaan teman saya mulai sulit.

Hakekat puasa adalah ibadah. Jadi puasalah yang betul, jangan hanya dapat laparnya. Serat Wedhatama, Pupuh Pucung, karya Sri Mangkunegara IV dapat dijadikan rujukan: “Ngelmu iku kelakone kanti laku; Lekase lawan kas; tegese kas nyantosani; Setya budya pangekese dur angkara”. Tentang “laku” sudah dibahas di atas. “Kas”: adalah tekad yang bulat yang “nyantosani” (memberi kekuatan). Dengan diingatkan melalui puasa maka kita tidak akan lupa bahwa kita sedang menjalani “laku”.

Satu lagi mas, bagaimana dengan bertapa di tempat sunyi seperti di goa-goa?”

Goa dalam pengertian saya adalah tempat khusus. Belajar kan harus ada tempat khusus yang semestinya dibuat nyaman untuk belajar. Bisa di rumah, di perpustakaan atau tempat lain. Saya ingat ada teman yang tempat kos-kosannya terlalu ramai dan dia memilih belajar di Masjid setelah selesai sholat Isya. Sering dia sekalian tidur di Masjid, bangun bisa langsung sholat Subuh berjamaah. Setelah jadi orang berhasil, dia sering menyumban pembangunan masjid dan kalau kita ke rumahnya, ada disediakan satu ruang khusus dan cukup besar untuk Mushola.

Itulah terjemahan nglakoni pada jaman sekarang. Anak orang kaya maupun orang tidak kaya kalau ingin memperoleh ilmu ya harus “nglakoni”. Hartabenda barangkali bisa digunakan untuk membeli ijazah tetapi tidak bisa dipakai untuk membeli ilmu. “Ngelmu iku kelakone kanti laku” (IwMM)

Dilanjutkan ke Nglakoni (2): Tulisan abad yang lalu

Sunday, April 15, 2012

MBURU UCENG KELANGAN DHELEG

Uceng adalah ikan kecil yang hidup di sungai, sedangkan Dheleg adalah nama lain dari ikan Kutuk atau ikan Gabus, dengan ukuran yang cukup besar untuk ikan air tawar. Peribahasa lain yang senada, masih dalam bahasa Jawa juga adalah “Mburu Udhet kelangan Welut”. Welut adalah Belut, adapun Udhet adalah belut kecil. Pengertian kedua peribahasa tersebut sederhana saja: Mengejar yang kecil kehilangan yang besar. Tidak jelas apakah karena kurang punya sifat nrima atau memang sedang apes.

Pak Marto dikenal sebagai pedagang ayam keliling. Ia memuat ayam-ayam hidup jualannya dalam semacam kurungan agak besar, diletakkan di bagian belakang sepedanya. Dengan sepeda mobilitasnya lebih tinggi. Ia bisa mangkal di pasar tradisional, bisa pula keliling kampung menawarkan secara door to door.

Alkisah pada suatu hari terjadilah tawar menawar dengan seorang calon pembeli. Ia menawar sembari mengangkat-angkat ayam yang ditaksirnya, seolah-olah menimbang-nimbang berat badan ayam tersebut. Tak dinyana tak diduga (paling tidak oleh Pak Marto) ayam itu lepas dari pegangan dan melarikan diri di antara kaki-kaki pengunjung pasar.

Si laki-laki calon pembeli bergegas mengejar, tetapi masih sempat mengajak Pak Marto: “Mari pak bantu saya kejar ayamnya. Kalau tidak ketangkep saya ganti dengan harga yang ditawarkan bapak tadi”.

Pak Marto masih lihat kiri-kanan sebelum menyusul si calon pembeli. Seorang laki-laki yang sedang minum jamu gendongan jualan mbak Menik yang dasaran tak jauh dari tempat pak Marto mangkal seolah tanggap: “Silakan Bapak bantu tangkap ayam, kasihan juga dia. Ayam-ayam ini biar saya yang jaga. Saya masih nunggu istri saya kok”.

Singkat ceritera, ayam pun tertangkap walau larinya agak jauh. Si calon membeli langsung membayar di lokasi ayam tertangkap, dengan harga sesuai permintaan pak Marto, sambil menyampaikan terima kasih dan permohonan maaf. Pak Marto dengan hati senang kembali ke tempat ia mangkal. Lumayan, ayam terjual dengan harga tinggi walau harus main petak umpet dengan ayam. Tetapi betapa kagetnya pak Marto, ketika ia melihat sepeda dan ayam-ayam jualannya raib.

Orang-orang di sekitar situ tidak banyak bisa memberi keterangan. Mbak Menik juga sudah tidak ada karena ia juga penjual jamu keliling. Beberapa orang berkomentar bahwa pak Marto ini paribasan “Mburu Uceng kelangan Dheleg. Ngejar ayam satu kehilangan sepeda plus ayam yang lain”. Ada juga yang bilang bahwa si pembeli dan orang yang menawarkan diri untuk menjaga sepeda sudah kong kalikong seperti si Gedheg dan si Anthuk (IwMM)

Saturday, April 14, 2012

SUBASITA JAWA (9): MAKAN

Makan adalah hal penting. Dalam hubungan dengan makan bersama orang lain, baik kita sedang bertamu disuguhi makanan, sebagai tuan rumah menyuguhkan makanan maupun makan bersama teman-teman di restoran, rumusnya hanya satu, jangan sampai kita membuat orang lain merasa tidak nyaman. Perilaku-perilaku yang bisa membuat orang lain kehilangan nafsu makan atau perilaku tidak sopan ditulis oleh Ki Padmasusastra Ngabehi wirapustaka di Surakarta, 1914 dalam Serat Subasita sebagai berikut:

MENGUNYAH MAKANAN

Dikunyah pelan pelan dan jangan menimbulkan bunyi (Jawa: kecap). Orang yang kalau makan “kecap” disamping “saru” juga membuat “enek” orang lain. Apalagi kalau yang dimasukkan mulut terlalu banyak kemudian nasi yang kita kunyah kelihatan dari luar. Oleh sebab itu kalau mengunyah makanan jangan sambil bicara dan bibir harus tertutup.

MENGGIGIT MAKANAN

Jangan menggigit daging kemudian ditarik dengan tangan. Atau memotong (Jawa: nyuwil) dengan kedua tangan. Potongan daging jangan besar-besar. Yang pas dengan mulut kita sehingga tidak sulit mengunyahnya. Perhatian bagi yang suka “mengeremus” tulang muda, kalau makan bersama orang lain sebaiknya tunda dulu hasrat “mengeremus” tulang muda. Hal ini amat tidak sopan.

TUSUK GIGI

Hati-hati menggunakan tusuk gigi. Mencukil makanan yang terselip jangan demonstratif, tutuplah dengan tangan. Makanan yang tercungkil (Jawa: slilit) sebaiknya ditelan saja (toh sama dengan yang barusan kita makan). Sekali-kali jangan kita tiup keluar dan jatuh entah kemana. Bisa saya tahu-tahu nempel di jidat orang di seberang kita. Meletakkan cukilan makanan di piring pun bisa membuat mual sebelah kita kalau ia sensitif.

BERSENDAWA

Bersendawa sebenarnya diperbolehkan, tetapi kalau kita makan bersama orang banyak yang berbeda adat istiadatnya hendaknya kita mampu menahan diri.

MENGAMBIL MAKANAN DAN MENYELESAIKAN MAKAN

Jangan meraih lauk yang jauh dari kita walaupun enak. Ambil yang dekat-dekat saja, kecuali ditawarkan dan tempat lauk didekatkan ke kita. Mengambil nasi dan lauk jangan terlalu banyak. Disamping tidak sopan kalau kemudian tidak habis akan semakin memalukan. Upayakan kita bisa menyelesaikan makan bersama-sama dengan yang lain, walaupun tatakrama tuan rumah, ia menyelesaikan makan setelah yang lain selesai.\

KULIT BUAH

Bila hidangan penutup adalah buah yang masih lengkap dengan kulitnya, misal Pisang, jeruk, duku, klengkeng, salak, dll buanglah kulit di piring atau di tempat yang telah disediakan. Jangan diletakkan di taplak meja atau dibuang begitu saja.

KEPERCAYAAN

Budaya Jawa akomodatif terhadap kepercayaan orang lain. Mengenai sisa makanan pun setidaknya ada dua aliran yang dianut orang Jawa. Pertama kalau kita makan harus bersih. Artinya jangan ada sisa nasi sebutirpun. Nanti Dewi Sri menangis. Hal ini saya tulis dalam Dewi Sri: Ikut mendidik anak. Yang kedua, disisakan sekitar satu suap. Simbol untuk tidak menghabiskan “kamukten” atau simbol supaya anak cucu masih bisa menikmati rejeki. Bisa juga sengaja disisakan karena sisa makanan (utamanya orang besar) dipakai untuk ngalap berkah oleh orang kecil. Tentang piring bersih atau disisakan tidak ada yang memasalahkan. Yang penting kalau disisakan ya ditata yang rapi di pinggir, jangan berserakan

CATATAN

Pitutur di atas bukan “table manners” atau etiket makan yang dikaitkan juga dengan peralatan makan. Kalau bicara tentang “table manners” tentunya masih banyak yang harus kita patuhi. Kita bisa bingung memilih sendok, garpu, pisau, dan mungkin piring atau gelas yang harus kita pakai. Saya suka menyebut pitutur di atas sebagai etiket makan saja tanpa memperhatikan alat makan. Tetapi dalam urusan makan ternyata lebih nyaman makan di rumah bersama keluarga. Etiket dijaga tetapi ketika harus “ngrokoti” tulang atau “ngremus” kepala ikan, melonggarkan sopan santun dapat dihilangkan sejenak (IwMM)

 

Thursday, April 12, 2012

SUBASITA JAWA (8): MEROKOK

Yang dibahas dalam Serat Subasita, karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, 1914 adalah sopan santun orang merokok saat bertamu. Bukan larangan merokok. Bagaimanapun tidak merokok adalah yang paling baik. Saya tulis karena rasanya masih ada yang relevan untuk jaman sekarang, walaupun tinjauannya hanya dari sisi tatakrama, bukan dari sisi kesehatan. Tetapi kalau diperhatikan, orang yang menggunakan etika ini dalam urusan merokok, sebenarnya nyaris tidak ada peluang untuk merokok, kecuali dia sendirian dan tidak ada orang lain di dekatnya.
 
BERTAMU

Merokok saat bertamu merupakan perilaku “degsura”. Kalau dalam perjalanan kita merokok, kemudian sampai di rumah yang kita tuju rokok masih panjang, jangan sayang membuang jauh-jauh puntung yang masih panjang itu (matikan dulu apinya). Jangan sampai kita masuk rumah atau kantor orang dalam keadaan kebal-kebul merokok.

Jangan merokok rokok kita sendiri, tunggulah sampai ditawari rokok oleh tuan rumah. Jadi kalau tuan rumah tidak merokok ya jangan merokok. Pada jaman sekarang masih banyak perokok yang tidak bisa menahan diri kalau bertamu baik di rumah/kantor sesama perokok maupun bukan perokok. Tuan rumah yang perokok barangkali tidak memasalahkan tetapi yang bukan perokok pasti merasa tidak senang walaupun tidak diungkapkan.

Setelah rokok suguhan habis, jangan terus mentang-mentang boleh merokok lalu menyalakan rokoknya sendiri. Hal ini tidak sopan karena dianggap meremehkan suguhan. Kalau masih ingin merokok ya tunggu sampai tuan rumah menawari lagi. Mudah-mudahan saja tuan rumahnya perokok berat dan menawari lagi, sehingga bisa sambung-menyambung dengan lancar.

Kalau yang ditawarkan cerutu, sedangkan kita tidak kuat merokok cerutu, maka kita boleh menolak dengan alasan bahwa cerutu terlalu berat, kemudian mohon ijin merokok rokok kita sendiri. Tetapi kalau tuan rumah kemudian menyodorkan rokok yang bukan cerutu, tidak ada alasan bagi kita untuk merokok punya kita sendiri.

MENERIMA TAMU

Eyang saya dulu pegawai Belanda dan perokok. Setelah merdeka pun di rumahnya masih menyediakan cerutu, rokok putih dan tembakau shag maupun pipa. Bila ada tamu, yang ditawarkan adalah cerutu dan rokok putih yang tersimpan dalam kotak bagus.

Dalam Serat Subasita disebutkan bila kita punya cerutu dan rokok putih tersimpan dalam satu “slepen” (tempat rokok), pilih yang bagus, ditarik sedikit supaya mudah mengambilnya, kemudian lebih sopan kalau menawarkan cerutunya lebih dahulu.Habis itu nyalakan sekali rokoknya. Kalau tamu memilih sigaretnya, itu cerita lain. Boleh-boleh saja.

MEROKOK DI DEPAN WANITA

Unggah-ungguh Jawa pada dasarnya menghormati wanita. Kita tidak boleh merokok di dekat wanita. Tidak hanya membuat sesak napas tetapi juga tidak sopan. Saat itu orang barangkali belum tahu bahwa orang yang tidak merokok kalau dekat dengan orang yang sedang merokok sebenarnya termasuk merokok juga, yang disebut perokok pasif. Perokok pasif pun berisiko untuk terkena kanker paru. Demikian pula untuk wanita hamil sebagai perokok pasif pun punya risiko  melahirkan  bayi dengan berat badan rendah

Budaya Belanda pada masa itu membolehkan merokok di dekat wanita, asal minta ijin dan diberi ijin. Dengan catatan asap tidak boleh lari ke arah wanita di dekat kita. Kalau mengarah ke wanita di dekat kita, asap tersebut harus kita usir. Entah dengan tangan atau dengan alat lain. Ya kalau begitu lebih baik tidak usah merokok

CATATAN

Jangan lupa ini adalah tulisan tahun 1914. Jaman sekarang aturan mengenai rokok sudah semakin ketat. Penyuluhan mengenai bahaya rokok untuk diri sendiri maupun orang lain juga sudah cukup gencar. Ancaman denda besar untuk orang yang merokok di tempat larangan merokok juga sudah ada, tapi dimana-mana masih banyak orang merokok.

Subasita  merokok di atas, kalau kita terapkan demi keselamatan orang lain, sebenarnya  bisa membatasi hasrat orang ingin merokok, kalau ia mau melaksanakan. Contohnya:

(1) Pasti tidak akan ada orang merokok di dalam kendaraan umum, karena disitu pasti ada wanita, berarti tidak boleh merokok.
(2) Ketika bertamu, kalau hitungan kasar persentase perokok adalah 30 persen maka peluang kita untuk merokok kira-kira hanya satu banding tiga. Itupun kalau ditawari. Kalau tidak ditawari, ya ngaplo karena dilarang merokok rokoknya sendiri (IwMM).

 
Dilanjutkan ke: Subasita Jawa (9): Makan

Wednesday, April 11, 2012

SUBASITA JAWA (7): MENJAGA PANCA INDRA


 
Pancaindera adalah Penglihatan (mata), pendengaran (telinga), Pengecap (lidah), Penciuman (hidung) dan perasaan (perabaan). Yang ditulis oleh Ki Padmasusastra dalam Serat Subasita, 1914 adalah empat hal yang tersebut pertama, sedang yang terakhir “perasa” yang umum kita kenal sebagai rasa “raba” diganti rasa “hati”.

PENGLIHATAN

Kalau berbicara dengan wanita supaya membersihkan diri dari pikiran kotor, anggap saja bicara dengan sesama pria. Mata adalah jendela jiwa. Jadi hati-hati bicara dengan wanita. Melirik adalah pantangan besar karena melirik dianggap sebagai cerminan hasrat tidak baik yang tersembunyi dan dipancarkan melalui perilaku tidak sopan dari mata.

PENDENGARAN

Bila ada orang berbicara rahasia, jangan tergelitik untuk ikut mendengarkan. Jangan dengarkan atau kalau kita masih terangsang untuk mendengar, lebih baik menyingkir. Sesuai dengan peribahasa ana catur mungkur

PENGECAP

Kalau mendapat suguhan makanan atau kue jangan terlalu lahap tetapi juga jangan kelihatan enggan. Terlalu lahap sepertinya menunjukkan kita ini orang rakus. Apalagi sudah ikut makan masih bawa pulang. Tindakan nucuk ngiberake ini memalukan. Makan terlalu sedikit juga tidak sopan. Masih lebih baik bila tidak ambil samasekali. Tapi jangan sampai kita mencela bahwa makanannya tidak enak.

PENCIUMAN

Penciuman disini terkait dengan bau badan. Menarik bahwa pada tahun 1914 Ki Padmasusastra sudah menjelaskan bahwa menggunakan wewangian termasuk tatakrama. Bahkan sudah menjelaskan tentang bedanya parfum pria dan parfum wanita. Disebutkan bahwa pria menggunakan pendel enz dan wanita menggunakan melati enz. Maksudnya supaya orang tahu sebelum melihat: Yang datang pria atau wanita. Barangkali pengaruh Belanda.

PERASAAN HATI

Memelihara perasaan orang yang kita datangi adalah amat penting. Perasaan hati adalah yang paling penting dalam memelihara hubungan silaturahmi kita dengan sesama manusia. Satu catatan yang perlu diperhatikan kalau kita bertamu, bagaimanapun gayengnya jangan sampai tuan rumah bosan lebih dahulu. Lebih baik kita pamit sebelum tuan rumah merasa cukup. Hal ini tidak merugikan kedua belah pihak, justru mengawetkan tali persaudaraan.

CATATAN

Dalam berhubungan dengan sesama manusia, kita memang harus menggunakan pancaindera secara optimal sesuai norma kemasyarakatan yang berlaku. Ki Padmasusastra tidak memasukkan indera perabaan dan mengganti dengan perasaan hati karena perabaan memang hanya kita gunakan satu kali maksimum dua kali yaitu saat bersalaman ketemu dan bersalaman berpisah (IwMM).

Sambungan dari: Subasita Jawa (6): Bicara

Most Recent Post


POPULAR POST