Thursday, April 12, 2012

SUBASITA JAWA (8): MEROKOK

Yang dibahas dalam Serat Subasita, karangan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka di Surakarta, 1914 adalah sopan santun orang merokok saat bertamu. Bukan larangan merokok. Bagaimanapun tidak merokok adalah yang paling baik. Saya tulis karena rasanya masih ada yang relevan untuk jaman sekarang, walaupun tinjauannya hanya dari sisi tatakrama, bukan dari sisi kesehatan. Tetapi kalau diperhatikan, orang yang menggunakan etika ini dalam urusan merokok, sebenarnya nyaris tidak ada peluang untuk merokok, kecuali dia sendirian dan tidak ada orang lain di dekatnya.
 
BERTAMU

Merokok saat bertamu merupakan perilaku “degsura”. Kalau dalam perjalanan kita merokok, kemudian sampai di rumah yang kita tuju rokok masih panjang, jangan sayang membuang jauh-jauh puntung yang masih panjang itu (matikan dulu apinya). Jangan sampai kita masuk rumah atau kantor orang dalam keadaan kebal-kebul merokok.

Jangan merokok rokok kita sendiri, tunggulah sampai ditawari rokok oleh tuan rumah. Jadi kalau tuan rumah tidak merokok ya jangan merokok. Pada jaman sekarang masih banyak perokok yang tidak bisa menahan diri kalau bertamu baik di rumah/kantor sesama perokok maupun bukan perokok. Tuan rumah yang perokok barangkali tidak memasalahkan tetapi yang bukan perokok pasti merasa tidak senang walaupun tidak diungkapkan.

Setelah rokok suguhan habis, jangan terus mentang-mentang boleh merokok lalu menyalakan rokoknya sendiri. Hal ini tidak sopan karena dianggap meremehkan suguhan. Kalau masih ingin merokok ya tunggu sampai tuan rumah menawari lagi. Mudah-mudahan saja tuan rumahnya perokok berat dan menawari lagi, sehingga bisa sambung-menyambung dengan lancar.

Kalau yang ditawarkan cerutu, sedangkan kita tidak kuat merokok cerutu, maka kita boleh menolak dengan alasan bahwa cerutu terlalu berat, kemudian mohon ijin merokok rokok kita sendiri. Tetapi kalau tuan rumah kemudian menyodorkan rokok yang bukan cerutu, tidak ada alasan bagi kita untuk merokok punya kita sendiri.

MENERIMA TAMU

Eyang saya dulu pegawai Belanda dan perokok. Setelah merdeka pun di rumahnya masih menyediakan cerutu, rokok putih dan tembakau shag maupun pipa. Bila ada tamu, yang ditawarkan adalah cerutu dan rokok putih yang tersimpan dalam kotak bagus.

Dalam Serat Subasita disebutkan bila kita punya cerutu dan rokok putih tersimpan dalam satu “slepen” (tempat rokok), pilih yang bagus, ditarik sedikit supaya mudah mengambilnya, kemudian lebih sopan kalau menawarkan cerutunya lebih dahulu.Habis itu nyalakan sekali rokoknya. Kalau tamu memilih sigaretnya, itu cerita lain. Boleh-boleh saja.

MEROKOK DI DEPAN WANITA

Unggah-ungguh Jawa pada dasarnya menghormati wanita. Kita tidak boleh merokok di dekat wanita. Tidak hanya membuat sesak napas tetapi juga tidak sopan. Saat itu orang barangkali belum tahu bahwa orang yang tidak merokok kalau dekat dengan orang yang sedang merokok sebenarnya termasuk merokok juga, yang disebut perokok pasif. Perokok pasif pun berisiko untuk terkena kanker paru. Demikian pula untuk wanita hamil sebagai perokok pasif pun punya risiko  melahirkan  bayi dengan berat badan rendah

Budaya Belanda pada masa itu membolehkan merokok di dekat wanita, asal minta ijin dan diberi ijin. Dengan catatan asap tidak boleh lari ke arah wanita di dekat kita. Kalau mengarah ke wanita di dekat kita, asap tersebut harus kita usir. Entah dengan tangan atau dengan alat lain. Ya kalau begitu lebih baik tidak usah merokok

CATATAN

Jangan lupa ini adalah tulisan tahun 1914. Jaman sekarang aturan mengenai rokok sudah semakin ketat. Penyuluhan mengenai bahaya rokok untuk diri sendiri maupun orang lain juga sudah cukup gencar. Ancaman denda besar untuk orang yang merokok di tempat larangan merokok juga sudah ada, tapi dimana-mana masih banyak orang merokok.

Subasita  merokok di atas, kalau kita terapkan demi keselamatan orang lain, sebenarnya  bisa membatasi hasrat orang ingin merokok, kalau ia mau melaksanakan. Contohnya:

(1) Pasti tidak akan ada orang merokok di dalam kendaraan umum, karena disitu pasti ada wanita, berarti tidak boleh merokok.
(2) Ketika bertamu, kalau hitungan kasar persentase perokok adalah 30 persen maka peluang kita untuk merokok kira-kira hanya satu banding tiga. Itupun kalau ditawari. Kalau tidak ditawari, ya ngaplo karena dilarang merokok rokoknya sendiri (IwMM).

 
Dilanjutkan ke: Subasita Jawa (9): Makan

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST