Makan adalah hal penting. Dalam hubungan dengan makan bersama orang lain, baik kita sedang bertamu disuguhi makanan, sebagai tuan rumah menyuguhkan makanan maupun makan bersama teman-teman di restoran, rumusnya hanya satu, jangan sampai kita membuat orang lain merasa tidak nyaman. Perilaku-perilaku yang bisa membuat orang lain kehilangan nafsu makan atau perilaku tidak sopan ditulis oleh Ki Padmasusastra Ngabehi wirapustaka di Surakarta, 1914 dalam Serat Subasita sebagai berikut:
MENGUNYAH MAKANAN
Dikunyah pelan pelan dan jangan menimbulkan bunyi (Jawa: kecap). Orang yang kalau makan “kecap” disamping “saru” juga membuat “enek” orang lain. Apalagi kalau yang dimasukkan mulut terlalu banyak kemudian nasi yang kita kunyah kelihatan dari luar. Oleh sebab itu kalau mengunyah makanan jangan sambil bicara dan bibir harus tertutup.
MENGGIGIT MAKANAN
Jangan menggigit daging kemudian ditarik dengan tangan. Atau memotong (Jawa: nyuwil) dengan kedua tangan. Potongan daging jangan besar-besar. Yang pas dengan mulut kita sehingga tidak sulit mengunyahnya. Perhatian bagi yang suka “mengeremus” tulang muda, kalau makan bersama orang lain sebaiknya tunda dulu hasrat “mengeremus” tulang muda. Hal ini amat tidak sopan.
TUSUK GIGI
Hati-hati menggunakan tusuk gigi. Mencukil makanan yang terselip jangan demonstratif, tutuplah dengan tangan. Makanan yang tercungkil (Jawa: slilit) sebaiknya ditelan saja (toh sama dengan yang barusan kita makan). Sekali-kali jangan kita tiup keluar dan jatuh entah kemana. Bisa saya tahu-tahu nempel di jidat orang di seberang kita. Meletakkan cukilan makanan di piring pun bisa membuat mual sebelah kita kalau ia sensitif.
BERSENDAWA
Bersendawa sebenarnya diperbolehkan, tetapi kalau kita makan bersama orang banyak yang berbeda adat istiadatnya hendaknya kita mampu menahan diri.
MENGAMBIL MAKANAN DAN MENYELESAIKAN MAKAN
Jangan meraih lauk yang jauh dari kita walaupun enak. Ambil yang dekat-dekat saja, kecuali ditawarkan dan tempat lauk didekatkan ke kita. Mengambil nasi dan lauk jangan terlalu banyak. Disamping tidak sopan kalau kemudian tidak habis akan semakin memalukan. Upayakan kita bisa menyelesaikan makan bersama-sama dengan yang lain, walaupun tatakrama tuan rumah, ia menyelesaikan makan setelah yang lain selesai.\
KULIT BUAH
Bila hidangan penutup adalah buah yang masih lengkap dengan kulitnya, misal Pisang, jeruk, duku, klengkeng, salak, dll buanglah kulit di piring atau di tempat yang telah disediakan. Jangan diletakkan di taplak meja atau dibuang begitu saja.
KEPERCAYAAN
Budaya Jawa akomodatif terhadap kepercayaan orang lain. Mengenai sisa makanan pun setidaknya ada dua aliran yang dianut orang Jawa. Pertama kalau kita makan harus bersih. Artinya jangan ada sisa nasi sebutirpun. Nanti Dewi Sri menangis. Hal ini saya tulis dalam Dewi Sri: Ikut mendidik anak. Yang kedua, disisakan sekitar satu suap. Simbol untuk tidak menghabiskan “kamukten” atau simbol supaya anak cucu masih bisa menikmati rejeki. Bisa juga sengaja disisakan karena sisa makanan (utamanya orang besar) dipakai untuk ngalap berkah oleh orang kecil. Tentang piring bersih atau disisakan tidak ada yang memasalahkan. Yang penting kalau disisakan ya ditata yang rapi di pinggir, jangan berserakan
CATATAN
Pitutur di atas bukan “table manners” atau etiket makan yang dikaitkan juga dengan peralatan makan. Kalau bicara tentang “table manners” tentunya masih banyak yang harus kita patuhi. Kita bisa bingung memilih sendok, garpu, pisau, dan mungkin piring atau gelas yang harus kita pakai. Saya suka menyebut pitutur di atas sebagai etiket makan saja tanpa memperhatikan alat makan. Tetapi dalam urusan makan ternyata lebih nyaman makan di rumah bersama keluarga. Etiket dijaga tetapi ketika harus “ngrokoti” tulang atau “ngremus” kepala ikan, melonggarkan sopan santun dapat dihilangkan sejenak (IwMM)
Sambungan dari: Subasita Jawa (8): Merokok
No comments:
Post a Comment