Merujuk Serat Wedhatama: Pesan kepada orang tua, disebutkan pada dua baris terakhir pupuh Pangkur bait ke 6: “Pindha padhane si mudha; Prandene paksa kumaki”.
Kumaki adalah salah satu sifat anak muda. Bergaya seperti "kaki-kaki" (orang tua pandai) padahal pandainya tidak ada. Omongnya saja yang gede.
Jadi kalau orang tua omong gede itu seperti anak muda. Orang tua dilarang omong gede. Orang muda barangkali masih ada OK nya, karena belum mengendap ilmunya. Pertanyaannya adalah: Mengapa anak muda suka omong besar?
MENGANDALKAN ORANG TUA
Mengandalkan orang tua yang terpandang dan bangsawan, seperti paribasan Kekudhung walulang macan, dijelaskan pada pupuh Pangkur bait ke tujuh dan delapan sebagai berikut:
Terjemahannya kurang lebih:
(7) Alasannya sepele saja; Larinya mengandalkan orang tuanya; Yang terpandang serta bangsawan; Lha iya itu kan bapakmu; Sedangkan kamu mengenal saja belum; tentang jiwanya tata krama; dalam ajaran agama yang suci.
(8) Cerminan dari jiwamu; Terlihat dalam ucapanmu; Sifat tidak mau kalah maunya menang sendiri; Sombong besar mulut; Hal demikian dapat dikatakan terlena; Suka berlagak berani; Tidak enak itu nak
Penjelasannya sebagai berikut:
Anak berani sombong dan kemlinthi karena mengandalkan orang tua yang punya kedudukan. Sri Mangkunegara IV pun menegur: Yang terpandang kan bapakmu, sedangkan tatakrama sesuai norma keagamaan pun kamu belum tahu
Selanjutnya teguran beliau diteruskan dalam bait ke delapan, Jiwamu tercermin dari tutur katamu: Mau menang sendiri, sombong, besar mulut, berlagak berani. Hal tersebut berarti terlena dan itu tidak baik.
MENGANDALKAN ILMU KARANG
Dalam bait yang ke sembilan ditambahkan pula apa yang menjadi andalan sehingga orang muda menjadi sombong, sebagai berikut:
Terjemahannya sebagai berikut:
(9) Pegangannya ilmu karang; Yang dikarang dari barang-barang gaib; Itu ibarat bedak; Tidak masuk ke dalam badan; Hanya menempel di luar daging, anakku; kalau menemui marabahaya; Kemampuannya hanya menghindar.
Disini ditambahkan pegangan “ilmu karang” yang dikarang-karang dari hal gaib. (catatan: pada masa itu kemungkinan ilmu-ilmu begini masih amat jadi andalan). Tetapi ilmu karang ibaratnya bedak yang hanya menempel di kulit. Tidak mampu menghadapi marabahaya. Ilmu-ilmu seperti itu tidak langgeng dan tidak bisa dijadikan andalan.
SEHARUSNYA BAGAIMANA?
Lalu ilmu seperti apa yang diperlukan? Dijelaskan oleh Sri Mangkunegara IV pada bait ke sepuluh sebagai berikut:
Karena itu sedapat mungkin; Upayakan memiliki hati bersih; Bergurulah yang tepat; Mampu menempatkan diri; Ada juga pedoman dan peraturan tata-pemerintahan; Kelengkapan untuk beribadah; yang ddilaksanakan siang dan malam.
Sederhana tetapi tidak mudah dilaksanakan: bermodal hati yang bersih, berguru yang betul, bisa menempatkan diri; Mempelajari ilmu tata-pemerintahan dan siang malam beribadah. Jadi bukan mengandalkan orang tua maupun melalui belajar ilmu kesaktian yang tidak jelas.
Bila kita bandingkan dengan pitutur kepada orang tua seperti yang dapat dibaca pada Serat Wedhatama: Pesan kepada orang tua, maka untuk para muda nadanya lebih lunak, walau kerasnya juga ada: Jangan mengandalkan orang tua dan jangan berpegangan ilmu yang tidak betul. Diteruskan dengan penjelasan sikap dan perilaku yang tidak benar itu seperti apa lalu ada pitutur yang seharusnya bagaimana. Tapi tidak berhenti disitu. Sri Mangkunegara IV juga memberi motivasi dan menunjukkan seorang tokoh yang pantas dijadikan panutan. Dapat dibaca pada lanjutan tulisan ini: Serat Wedhatama: Memotivasi para muda (IwMM)
No comments:
Post a Comment