Tiga peribahasa menggunakan perlambang binatang dan maknanya sama. Kutuk (Ikan Gabus); Ula (Ular); dan Asu (Anjing). Apa yang diparani (didatangi) oleh ketiga binatang tersebut, yang satu ikan, satunya binatang melata dan yang satu lagi binatang menyusui adalah apa yang umumnya dilakukan kalau manusia bersua dengan mereka. Ikan Kutuk akan disunduki (irisan tipis bilah bambu untuk merenteng ikan), Ular akan menerima gitik (alat pemukul bambu atau rotan yang panjang) dan anjing akan menerima gebug.
Pengertian peribahasa tersebut adalah orang yang dengan sadar mendatangi tempat bahaya. Sudah jelas bahaya kok nekad saja ke sana. Peribahasa ini tidak berlaku bagi yang mendatangi bahaya karena melaksanakan tugas. Misalnya tim SAR, petugas kesehatan datang ke daerah yang sedang terjangkit wabah penyakit, Polisi yang mengamankan kerusuhan dan lain-lain. Mereka datang sudah dengan perhitungan mantap, sudah pakai deduga dan prayoga.
Pengertian peribahasa tersebut adalah orang yang dengan sadar mendatangi tempat bahaya. Sudah jelas bahaya kok nekad saja ke sana. Peribahasa ini tidak berlaku bagi yang mendatangi bahaya karena melaksanakan tugas. Misalnya tim SAR, petugas kesehatan datang ke daerah yang sedang terjangkit wabah penyakit, Polisi yang mengamankan kerusuhan dan lain-lain. Mereka datang sudah dengan perhitungan mantap, sudah pakai deduga dan prayoga.
Lalu yang mana? Dalam hal ini ada unsur berani, plus tolol. Tololnya ini yang penting. Bisa juga tidak tolol tapi terlalu lugu. Saya berikan satu contoh pengalaman pribadi. Saya saat itu masih muda, belum begitu tahu trik-trik dalam hubungan atasan bawahan. Hari kerja masih enam hari. Jadi Sabtu tidak libur. Sabtu siang menghadap pimpinan, minta tandatangan. Konyolnya sekretaris pimpinan menyuruh saya langsung masuk, biar cepat. Mestinya saya tinggalkan saja sama sekretaris, Senin baru ditanyakan lagi. Nah, masuk di kamar pimpinan, surat dibaca, wah sudah bagus, langsung beliau tandatangan. Sebelum saya sempat angkat pantat, pimpinan saya berkata: “Kebetulan kamu datang. Tolong besok (hari Minggu) wakili saya menghadiri khitanan masal”.
Saya hanya bisa menjawab dengan: “Siap, Bapak”. Tapi di luar ketemu teman, saya ceriterakan tentang hal tersebut, bahwa hari Minggu terpaksa tidak libur. Walau tugasnya ringan-ringan saja, tapi mengganggu juga. (Dulu istilah “curhat” belum ada). Teman yang kebetulan lebih senior tertawa. “Lha itu namanya Kutuk marani sunduk. Jarang ada staf menghadap pimpinan pada hari Sabtu lepas lohor, kecuali dipanggil”. (Catatan: Jaman itu belum ada HP).
Sejak saat itu saya membatasi masuk ke ruang pimpinan kecuali dipanggil atau memang mendesak. Saya menyesal ketika beliau mempromosikan saya ke Daerah, dan waktu saya berpamitan beliau berkata: “Kalau kamu ketemu saya 100 kali dan kena gitik 90 kali berarti kamu staf teladan. Kalau kamu tidak pernah kena gitik karena tidak berani ketemu saya, tidak usah jadi manusia. Untung kamu termasuk golongan yang pertama”.
Ketika saya menjadi pimpinan, dan sudah jaman HP, ternyata HP staf banyak yang dimatikan mulai Jum’at sore dan Senin pagi baru dihidupkan. Barangkali staf sekarang lebih cerdas, atau lebih paham menghayati perilaku Jawa melalui paribasan tersebut di atas, dengan contoh tiga binatang yang berbeda: Pisces, Replilia dan mammalia. Mereka sudah diingatkan melalui ikan Kutuk, Ular dan Anjing (IwMM)
No comments:
Post a Comment