Tuesday, April 17, 2012

NGLAKONI (1): JAMAN SEKARANG

Ada teman yang bertanya: “Mas, yang dimaksud dengan laku itu nglakoni ya?” Tanpa pikir panjang langsung saya jawab “Iya”. Teman saya melanjutkan pertanyaannya: “Jadi pakai patigeni, mutih, nglowong dan lain-lain?” Saya mulai serius: “Ya bukan harus begitu. Rupanya kamu tidak baca tulisan saya dengan baik”. Ia tertawa terbahak-bahak: “Ya, hanya klik lalu baca sepintas”.

Pitutur tentang “Laku” dan “Nglakoni” dapat dibaca pada Serat Wulangreh, karya Sri Pakubuwana IV, Pupuh Kinanthi: “Dadya lakunireku; Cegah dhahar lawan guling; Lawan aja sukan-sukan; Anganggowa sawatawis; Ala watake wong suka; Nyuda kaprayitnaning batin”. Penjelasannya dapat dibaca pada “Laku ing sasmita amrih lantip”.

Nglakoni” yang merupakan amanah leluhur dan sesepuh sebenarnya adalah “pendadaran” atau dalam bahasa Jawa yang lebih umum adalah “penataran”. Jangan lupa bahwa “Ngelmu iku kelakone kanti laku”. Sudah barang tentu “Laku” yang kita jalani disesuaikan dengan apa yang kita cita-citakan. Kalau anak kita ingin jadi dokter maka dia harus nglakoni kuliah dan praktikum mulai dari Semester satu sampai akhir, praktek kesehatan masyarakat di desa sampai koasistensi di Rumah Sakit. Jaman saya dulu paling cepat enam setengah tahun baru bisa lulus dokter. Yang selesai dalam sepuluh tahun pun tidak sedikit.

Jadi bukan bertapa di tempat sepi, tidak tidur tidak makan?” teman saya masih minta penegasan.

Jawaban saya “Ya dan tidak”. Orang yang menuntut ilmu dan ingin “kelakon” (tidak “drop out”) memang harus “cegah dhahar lawan guling”, mengurangi makan dan tidur tetapi bukan tidak tidur dan tidak makan samasekali. Terlalu banyak makan bikin ngantuk. Terlalu banyak tidur kapan belajarnya? Ditambah lagi “lawan aja sukan-sukan” dan “anganggowa sawatawis”. Banyak hura-hura (sukan-sukan) dan “anganggowa sawatawis” (dalam pengertian tidak hanya berpakaian sederhana tetapi lebih luas lagi tidak bermewah-mewah, keduanya, bersenang-senang dan bermewah-mewah, membuat kita lupa kalau sedang menuntut ilmu. Mengurangi dugem termasuk menyepi dan mana mungkin kita belajar di tempat ramai.

Lalu kalau puasa bagaimana, mas?” pertanyaan teman saya mulai sulit.

Hakekat puasa adalah ibadah. Jadi puasalah yang betul, jangan hanya dapat laparnya. Serat Wedhatama, Pupuh Pucung, karya Sri Mangkunegara IV dapat dijadikan rujukan: “Ngelmu iku kelakone kanti laku; Lekase lawan kas; tegese kas nyantosani; Setya budya pangekese dur angkara”. Tentang “laku” sudah dibahas di atas. “Kas”: adalah tekad yang bulat yang “nyantosani” (memberi kekuatan). Dengan diingatkan melalui puasa maka kita tidak akan lupa bahwa kita sedang menjalani “laku”.

Satu lagi mas, bagaimana dengan bertapa di tempat sunyi seperti di goa-goa?”

Goa dalam pengertian saya adalah tempat khusus. Belajar kan harus ada tempat khusus yang semestinya dibuat nyaman untuk belajar. Bisa di rumah, di perpustakaan atau tempat lain. Saya ingat ada teman yang tempat kos-kosannya terlalu ramai dan dia memilih belajar di Masjid setelah selesai sholat Isya. Sering dia sekalian tidur di Masjid, bangun bisa langsung sholat Subuh berjamaah. Setelah jadi orang berhasil, dia sering menyumban pembangunan masjid dan kalau kita ke rumahnya, ada disediakan satu ruang khusus dan cukup besar untuk Mushola.

Itulah terjemahan nglakoni pada jaman sekarang. Anak orang kaya maupun orang tidak kaya kalau ingin memperoleh ilmu ya harus “nglakoni”. Hartabenda barangkali bisa digunakan untuk membeli ijazah tetapi tidak bisa dipakai untuk membeli ilmu. “Ngelmu iku kelakone kanti laku” (IwMM)

Dilanjutkan ke Nglakoni (2): Tulisan abad yang lalu

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST