Thursday, February 28, 2013

PEPINDHAN: MEMBANDINGKAN SECARA PARALEL (3)

Melanjutkan tulisan Pepindhan: Membandingkan secara paralel (2), telah dijelaskan bahwa Bila “sanepa” bersifat menyangatkan tetapi menggunakan “pepindhan” secara terbalik, maka pepindhan bersifat tidak menyangatkan, hanya menyamakan seuatu dengan sesuatu yang lain menggunakan pembanding.
 
Pembandingnya bisa binatang, tumbuh-tumbuhan, keadaan alam, tokoh wayang dan lain-lain.
 
Ciri khasnya adalah ada kata “kaya, kadya, pindha atau lir” yang ketiganya berarti “seperti”. Dibawah adalah lanjutan contoh pepindhan, masih mengenai manusia.
 
 
6. FISIK MANUSIA
 
“Pepindhan” dalam fisik manusia perlu dibedakan dengan “panyandra” yang sifatnya juga “pepindhan” untuk fisik manusia.  Bedanya kalau “pepindhan” disini adalah bagian tubuh manusia yang lebih besar atau umum, sedangkan “panyandra” adalah untuk bagian tubuh manusia yang lebih kecil atau lebih khusus.
 
AYUNE KAYA DEWI RATIH: Dewi Ratih merupakan bidadari tercantik.
 
BAGUSE KAYA BATHARA KAMAJAYA: Bathara Kamajaya adalah dewa paling tampan, suami Bathari Ratih. Dalam upacara mitoni (nujuh bulan untuk wanita hamil) sering ditaruh cengkir atau kelapa gading muda yang dilukis dengan gambar wayang Bathara Kamajaya dan Kamaratih, dengan harapan kelak kalau anak dalam kandungan lahir, bila wanita akan secantik Dewi ratih, bila laki-laki setampan Bathara Kamajaya
 
CAHYANE BINGAR KAYA LINTANG JOHAR: Pancaran wajah yang cerah (bingar) seperti bintang Johar.
 
CAHYANE NGLENTRIH KAYA REMBULAN KARAINAN: Pancaran wajah yang tidak semangat (nglentrih) ibarat rembulan kesiangan (bulan yang masih terlihat setelah matahari terbit akan tampak suram).
 
DEDEGE NGRINGIN SUNGSANG: Postur tubuh yang besar di bagian bawah (seperti pohon beringin dibalik)
 
DHUWURE KAYA OTHAK-OTHAK MEGA: Othak-othak adalah tongkat yang biasa digunakan orang buta. Diibaratkan tingginya (dhuwure) sampai menggapai langit. Bisa digunakan untuk manusia maupun selain manusia. Misalnya melihat gedung tinggi di Jakarta (tower, pencakar langit) lalu kita komentar: “Wah dhuwure kaya othak-othak mega”. Cuma ngomong begitu pada jaman sekarang bisa disenyumi orang banyak.
 
GAGAH PRAKOSA KAYA RADEN WERKUDARA: Gagah perkasa seperti Raden Werkudara (Bima)
 
POLATANE MBRANYAK KAYA RADEN KAKRASANA (bisa juga RADEN SAMBA): Mbranyak: wajah oval tengadah. Kakrasana adalah Baladewa dimasa muda dan Samba adalah anak Prabu Kresna.
 
RUPANE KEMBAR KAYA JAMBE SINIGAR: Wajah yang sama persis ibarat pinang dibelah dua. Gambaran anak/orang kembar yang wajahnya persis sama (rupane kembar; bisa juga dikatakan: rupane pleg). Dalam pedhalangan, Nakula dan Sadewa adalah kembar.
 
 
7. GAMBARAN SEBUAH PASUKAN
 
Merupakan ucapan ki Dhalang dalam menggambarkan pasukan besar yang sedang berbaris, dari warna pakaian, jumlah prajurit dan gerakannya.
 
ABANG PADHA ABANG KAYA ALAS KOBONG: Yang baju merah berkumpul dengan yang warna bajunya sama, dilihat seperti merahnya hutan yang terbakar.
 
IJO PADA IJO KAYA BETHET SAYUTA: Sama dengan di atas, disini pasukan yang seragamnya berwarna hijau diibaratkan seperti burung betet (warnanya hijau). Disebut satu juta (sayuta) karena banyak sekali.
 
IRENG KUMPUL PADHA IRENG KAYA GAGAK RERATON: Warna seragam hitam disini digambarkan seperti gerombolan (raton, reraton: gerombolan utamanya burung) burung gagak (warna bulunya hitam)
 
KUNING PADHA KUNING KAYA PODHANG RERATON: Seragam kuning pepindhannya adalah warna burung kepodang yang kuning (raton, reraton: gerombolan utamanya burung)
 
PUTIH PADHA PUTIH KAYA KUNTUL NEBA: Putih adalah warna burung kuntul. Dalam hal ini pepindhannya adalah sekelompok burung kuntul yang serentak “neba” (bersama-sama turun dari udara ke sawah).
 
DAWANE BARISAN KAYA SELA BRAKITHI: Begitu panjangnya barisan seperti iring-iringan semut (brakithi) di atas batu (sela)
 
UNTABE KAYA SAMODRA ROB: “Untab” adalah keberangkatan suatu kelompok (pasukan) secara bersama-sama. Gambarannya seperti samodera yang sedang pasang.
 

 
Dilanjutkan ke PEPINDHAN: MEMBANDINGKAN SECARA PARALEL (4)

Tuesday, February 26, 2013

PEPINDHAN: MEMBANDINGKAN SECARA PARALEL (2)

Melanjutkan tulisan Pepindhan: Membandingkan secara paralel (1), telah dijelaskan bahwa Bila “sanepa” bersifat menyangatkan tetapi menggunakan “pepindhan” secara terbalik, maka pepindhan bersifat tidak menyangatkan, hanya menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan pembanding. Bisa binatang, tumbuh-tumbuhan, keadaan alam, tokoh wayang dan lain-lain.
 
Ciri khasnya adalah ada kata “kaya, kadya, pindha atau lir” yang ketiganya berarti “seperti”.

Dibawah adalah beberapa contoh berikutnya, masih tentang manusia:
 
 
2. SUARA MANUSIA
 
MENENG CEP KAYA ORONG-ORONG KEPIDHAK: Bunyi orong-orong yang keras, monoton, tidak nyaman di telinga. Kalau kita hentakkan kaki dekat liangnya, orong-orong akan sontak diam. Demikian pula halnya dengan manusia. Sedang asyik ngobrol sendiri-sendiri tahu-tahu boss masuk. Langsung “cep klakep kaya orong-orong kepidhak”. Dapat dibaca di Kisah orong-orong dan manusia: Kaya orong-orong kepidhak”.
 
NANGISE NGORONG-ORONG: Orong-orong kalau sudah bunyi tidak akan berhenti (kecuali “kepidhak” seperti contoh di atas). Jadi yang dimaksud disini adalah menangis yang tidak berhenti-berhenti.
 
RAMENE SURAK MBATA RUBUH: Soraknya gemuruh seperti suara tumpukan bata yang roboh. Mungkin jaman dulu tumpukan bata yang roboh suaranya sudah dianggap heboh.
 
SWARANE KAYA GELAP ING MANGSA KAPAT: Suara yang keras dan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga, ibarat guntur di musim kemarau.
 
WANGSULANE SAUR MANUK: Jawabannya seperti burung bersahut-sahutan (saur manuk). Perilaku kelompok yang bila ditanya menjawab bareng-bareng tetapi maunya sendiri-sendiri. Tidak pakai aturan untuk nunggu giliran satu-persatu.
 
 
3. SIKAP, PERILAKU MANUSIA
 
GALAKE KAYA MACAN MANAK: Orang yang galak (dalam hal ini lebih pas untuk perempuan karena dikaitkan dengan “beranak”) seperti harimau beranak (bisa juga disebut dengan KUCING MANAK)
 
KENESE KAYA DEWI SRIKANDI: Wanita yang “kenes” (banyak bicara dan lincah) digambarkan seperti tokoh prajurit wanita dalam pedhalangan, Dewi Srikandi, isteri Harjuna.
 
LURUHE PINDHA DEWI SEMBADRA: Luruh adalah sabar, kalem. Sesuai dengan sifat isteri R Harjuna yang satu lagi yaitu Dewi Sembadra yang dikenal sabar, sederhana, anggun. Catatan: (1) Luruh bisa juga disebut “ruruh”. (2). Ruruh/luruh untuk laki-laki disebut PINDHA RADEN HARJUNA (JANAKA)
 
NYENGIT KAYA DHEMIT: Nyengit adalah sifat tidak ramah, diibaratkan seperti dhemit (sejenis setan Jawa). Apakah dhemit itu nyengit, sumangga, barangkali ada yang pernah bertemu. Yang jelas pasti membuat takut. Kelihatannya disini lebih untuk mengepaskan “purwakanthi” nya. SengIT dan dhemIT.
 
THINGAK-THINGUK KAYA KETHEK DITULUP: Orang yang clingukan diibaratkan seperti kera kena sumpit. Dapat dibaca di tulisan Kaya kethek ditulup
 
 
4. EMOSI DAN INTELEKTUAL MANUSIA
 
BUNGAHE KAYA KETIBAN NDARU: Ndaru adalah semacam wahyu yang kalau jatuh ke seseorang maka diyakini orang itu akan jadi seseorang yang tinggi. Siapa yang tidak senang (bungah) kalau kejatuhan ndaru.
 
KEPENGINE KAYA NYIDAM CEMPALUK: keinginan wanita yang sedang ngidam tidak dapat dicegah. Seseorang yang punya keinginan meluap dan harus dipenuhi diibaratkan seperti wanita ngidam. Disini dikatakan ngidam cempaluk (buah asam muda).
 
NUTURI WONG PINTER PRASASAT NGAJARI BEBEK NGLANGI: Bebek sudah pasti perenang ulung. Tidak ada manfaatnya mengajari (nuturi) orang pandai. Ibarat mengajari bebek berenang.
 
PINTERE KAYA BISA NJARA LANGIT: (Jara: alat pengebor). Begitu pandainya sehingga seolah-olah bisa mengebor langit.
 
PINTERE KAYA BISA NYANCANG ANGIN: (Nyancang: mengikat). Begitu pandainya sampai diibaratkan bisa mengikat angin. Sering juga dikatakan dengan “njaring” angin.
 
SENENGE KAYA BUBUK OLEH LENG: (Bubuk: binatang kecil pemakan kayu; Leng: liang, lubang kecil). Bubuk mendapat kemudahan karena menemukan liang. Tentunya senang sekali. Catatan: Kalimat “bubuk oleh leng” merupakan paribasan (peribahasa) yang menggambarkan orang jahat mendapat kemudahahan dalam menjalankan kejahatannya. Tetapi dalam “pepindhan” ini kalimat bubuk oleh leng ini diambil arti harfiahnya, yaitu senangnya bubuk dapat "leng", jangan dikaitkan dengan perbuatan jahat.
 
 
5. HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
 
PENGGALIHE PADHA, PINDHA SURUH LUMAH LAN KUREP, YEN DINULU SEJE RUPANE, YEN GINIGIT PADHA RASANE: Gambaran orang yang sudah sehati (galih: hati), laksana permukaan atas dan bawah (lumah lan kurep) daun sirih (suruh). Bila dilihat (dinulu) beda bentuknya (seje rupane). Bila digigit sama rasanya.
 
RAKETE KAYA SEDULUR SINARA WEDI: (Sara: kokoh; Wedi dibaca wèdi: Sungguh-sunggguh, benar-benar). Jadi gambaran hubungan yang erat (raket)seperti dengan saudara betulan.
 
RUKUNE KAYA MIMI LAN MINTUNA: Gambaran sepasang manusia (suami isteri) yang rukun, kemana-mana selalu bersama seperti sejenis ketam jantan dan betina yang masing-masing disebut mimi dan mintuna. Dapat dibaca di tulisan Mimi lan Mintuna
 
TEPUNGE KALIS KAYA BANYU KARO LENGA: Pergaulan atau hubungannya tidak bisa campur (kalis)atau rukun seperti air dan minyak
 
Dilanjutkan ke PEPINDHAN: MEMBANDINGKAN SECARA PARALEL (3)
 

Sunday, February 24, 2013

PEPINDHAN: MEMBANDINGKAN SECARA PARALEL (1)

Bila “sanepa” bersifat menyangatkan tetapi menggunakan “pepindhan” secara terbalik, maka pepindhan bersifat tidak menyangatkan, hanya menyamakan dengan menggunakan pembanding. Bisa binatang, tumbuh-tumbuhan, keadaan alam, tokoh wayang dan lain-lain. Ciri khasnya adalah ada kata “kaya, kadya, pindha atau lir” yang ketiganya berarti “seperti”. Mengenai “lir” dapat dibaca pada tulisan Sering ditanyakan: Lir atau Nir
 
Kita ambil contoh sederhana yang sudah ditulis pada pembahasan “sanepa” yaitu kata “banyu sinaring”.
 
Bila kita katakan “suwe banyu sinaring” maka ini adalah “sanepa” yang menggambarkan sesuatu yang menyangatkan (dalam hal ini sangat cepat) sampai-sampai menyaring air (yang pasti amat cepat karena air adalah sesuatu yang amat encer) masih kalah cepat. Sebaliknya kalau kita katakan “gelise kaya banyu sinaring” maka hal ini menggambarkan sesuatu yang cepat, seperti proses menyaring air yang memang cepat.
 
Mengenai ‘sanepa” dapat dirujuk kembali ke dua tulisan: Sanepa: Membandingkan secara terbalik (1) dan Sanepa: Membandingkan secara terbalik (2)
 
Di bawah adalah beberapa contoh “pepindhan”. Laku linggih dan solah muna-muni manusia (baik maupun buruk) selalu menarik dan paling banyak dijadikan obyek pepindhan.
 
 
1. GERAKAN, KECEPATAN MANUSIA
 
ANTENGE KAYA PENGANTEN DITEMOKAKE: Orang yang diam dan tidak bergerak disebut anteng. Pepindhannya adalah seperti pengantin yang sedang duduk di pelaminan. Mana ada pengantin yang tidak anteng.
 
BANTERE (RIKATE) KAYA ANGIN: Bila kita menonton balapan misalnya lari, sepeda, motor, dan kuda, maka kecepatan si pembalap bisa dikatakan cepat seperti angin. Kalimat “pepindhan” ini tidak hanya berlaku untuk manusia. Apa saja yang GERAKANNYA cepat, seperti kereta api, boleh kita sebut dengan “bantere kaya angin”, karena saking cepatnya. Plass ... hilang. Tentusaja bukan angin sepoi-sepoi.
 
GELISE KAYA BANYU SINARING: Lihat pendahuluan tulisan ini, dengan tambahan: Kata “gelis” lebih mengarah ke suatu “proses”. Mohon diperhatikan bahwa angin melambangkan gerak dan menyaring air adalah proses.
 
JOGEDE MUCANG KANGINAN: Dalam gerak tari (joged) yang lemah gemulai, maka “pepindhan” yang dipakai adalah gerak pohon pucang (pohon Jambe) yang kena angin.
 
KEKEJERE KAYA MANUK BRANJANGAN: (Kekejer: gerakan yang bergetar). Disamakan dengan gerak burung branjangan. Bayi nangis yang sampai kejang-kejang bisa dikatakan “nangis kekejer”, tetapi jangan ditamabahi “kaya manuk branjangan”. Penggunaan “kekejer” disini adalah untuk gambaran kelincahan.
 
KESITE KAYA KADHAL: Kadal itu binatang yang amat gesit (kesit). Bisa dicoba kalau mau: Menangkap kadal
 
KLELAR-KLELER KAYA TUMA KATHOK: Klelar-kleler adalah gerakan yang lamban. Tuma kathok (kutu celana) rasanya sekarang sudah amat jarang dijumpai, sehingga sulit dibayangkan. “Tuma kathok” kesohor pada jaman penjajahan Jepang dulu. Mungkin pepindhan ini sudah tidak pas dipakai di Indonesia abad ke 21 ini.
 
KOPAT KAPIT KAYA ULA TAPAK ANGIN: Kopat-kapit adalah gerakan ekor. Bagian ekor (ular tapak angin suka bergerak-gerak lincah. Menggambarkan kelincahan yang disamakan dengan ekor ular tapak angin. Kalimat “kekejera kaya manuk branjangan, kopat-kapita kaya ula tapak angin” sering diucapkan ki Dhalang secara berturutan pada adegan raksasa menantang ksatria.
 
LAKUNE NUSUP-NUSUP PINDHA AYAM ALAS: Ayam alas pandai sekali menyusup di semak belukar. Orang yang menempuh perjalanan dengan menyusup-nyusup dikatakan “pindha ayam alas”.
 
POLAHE KAYA GABAH DIINTERI: Bila kita menampi gabah di atas tampah maka butir-butir gabah akan lari kesana kemari. Gerakan (polah) yang digambarkan seperti “gabah diinteri” adalah gerakan orang dalam situasi kacau. Contoh paling mudah adalah saat acara pentas artist di lapangan terbuka kemudian terjadi kekacauan. Orang akan semburat lari kesana kemari seperti “gabah diinteri”.
 
POLAHE KAYA KUTHUK KELANGAN BABON: Dalam bahasa Indonesia dikatakan seperti anak ayam kehilangan induk. Gambaran seseorang yang bingung kesana-kemari mencari sesuatu. pada "gabah diinteri" yang bingung adalah "massa", pada "kuthuk" adalah perorangan.
 
TANDANGE CUKAT KADYA KILAT, KESIT KADYA THATHIT: Gerakan yang gesit (kesit) sekali, ibaratnya kilat (kilat = thathit). Kita lihat disini pepindhan dengan purwakanthi yang bagus: cukAT, kilAT, kesIT, thathIT. Kata-kata bagus seperti ini juga sering dipakai oleh ki Dhalang untuk menggambarkan kelincahan gerak seorang hero.
 
TANDANGE KADYA BANTHENG KETATON: gambaran banteng terluka (ketaton) dapat kita lihat dalam adu banteng di Spanyol, antara banteng melawan matador.
 
TANDANGE KAYA JANGKRIK MAMBU KILI: Kalau yang ini tidak usah jauh-jauh ke Spanyol. Kita kembali ke masa kecil, jaman masih suka adu jangkrik dulu. Bagaimana gerakan seekor jangkrik kalau kita kili-kili hidungnya. Pasti langsung menerjang.
 
TANDANGE KAYA SIKATAN NYAMBER WALANG: Bila kita jalan-jalan di pesawahan atau padang rumput sering bisa kita lihat bagaimana lincahnya burung sikatan menyambar belalang. Gambaran orang yang lincah. Nila "banteng" dan "jangkrik" lebih mengarah ke "membabi buta", maka "sikatan" tidak membabi buta.
 

Friday, February 22, 2013

SANEPA: MEMBANDINGKAN SECARA TERBALIK (2)

Melanjutkan tulisan Sanepa: membandingkan secara terbalik (1), sebaiknya saya ulang lagi khususnya bagi Bapak Ibu yang belum membaca tulisan pertama, bahwa “sanepa” adalah perbandingan, boleh kita katakan sebagai pengibaratan yang menyangatkan tetapi penyampaiannya dibalik. Sebagai contoh kalau kita katakan “ambune arum jamban” berarti jamban masih lebih harum. Dengan demikian yang kita hadapi adalah bau yang amat tidak sedap.
 
Hal ini memperkuat rasa “semu” orang Jawa,  ada berbagai cara untuk mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Menjadi Jawa ada dua pilihan ucapan. Mau mengatakan “ambune arum jamban” yang berarti tidak langsung, atau mau lugas dengan mengatakan “ambune bacin” dan sebagainya.
 
Di bawah adalah lanjutan beberapa “sanepa” yang telah saya tulis pada tulisan yang lalu:
 
DHUWUR KENCUR: Pohon kencur tidak bisa tinggi. Bandingkan dengan tanaman empon-empon yang lain. Kencur adalah yang paling pendek. Jadi kalau dikatakan “dhuwur kencur” berarti gambaran dari sesuatu yang pendek. Biasanya ya manusia Sebagai tambahan ada gugon tuhon Jawa, seorang yang bekerja dengan peluang karier (misalnya pegawai negeri), tidak disarankan menanam kencur di halaman rumahnya. Nanti pangkatnya tidak naik-naik. Nanti pangkatnya “dhuwur kencur”.
 
GEDHE GUREM: Gurem adalah kutu ayam yang amat kecil. Sesuatu yang dikatakan gedhe gurem, mengibaratkan sesuatu yang amat kecil. Gurem saja masih lebih gedhe. 
 
JERO TAPAK MERI: Meri adalah anak bebek yang masih kecil. Pasti ringan sekali dan kalau menapak di tanah maka tak akan kelihatan bekas-bekas telapak kakinya. Disini dikatakan bahwa tapak (jejak kaki) meri (anak bebek) saja masih lebih dalam. Berarti sesuatu yang amat dangkal
 
KANDEL KULIT BAWANG: Menggambarkan sesuatu yang amat tipis. Kita tahu kulit bawang amat tipis. Yang satu ini dianggap lebih tipis daripada kulit bawang.
 
KEDHEP TESMAK: Tesmak adalah kacamata. Mana ada kacamata bisa berkedip. Dalam sanepa ini dikatakan bahwa kacamata masih kedhep (berkedip). Berarti gambaran dari orang yang melihat dengan melotot (mentheleng) seolah tidak kedip seperti kacamata. Pernahkah Bapak Ibu mendengar ucapan “Tesmak bathok mata mlorok ora ndhedelok?” Ini bukan sanepa tetapi dapat menjelaskan “kedhep tesmak” sekaligus menyindir. Penjelasannya sebagai berikut: Kacamata yang dipakai sebesar tempurung kelapa (bathok) tapi aya ya bisa melihat? Padahal matanya mlorok (melotot, kedhep tesmak). Kurang apa lagi? Tapi ..... ora ndhedelok (tidak melihat). Jadi apa yang dilihat? Jaman sekarang mungkin banyak orang yang seperti ini.
 
KUNING SILIT KUALI: Pantat kuali pasti hitam, apalagi kalau dipakai memasak di tungku kayu. Itupun masih lebih kuning. Orang yang hitam sering dikatakan demikian.
 
KURU SEMANGKA: Sudah jelas bahwa semangka yang bundar gemuk dikatakan masih lebih kurus. Gambaran untuk orang yang amat tambun
 
LANDHEP DHENGKUL: Pernah saya tulis dalam Ungkapan bahasa Jawa dengan dhengkul. Adalah gambaran orang yang amat bodoh. Dengkul kalau kita raba, permukaannya tidak tajam. Kalau otak kita dikatakan “landhep dhengkul” berarti kita dianggap bodoh.
 
LEGI BRATAWALI: Sebagai jamu, bratawali dikenal amat pahit. Jadi kalau dikatakan bratawali masih manis berarti barang itu amat pahit. Ucapan yang menyakitkan sering dikatakan “legi bratawali”
 
PAIT MADU: Madu dikatakan masih lebih pahit. Apa yang lebih manis dari madu? Sebuah senyuman, khususnya untuk perempuan: Eseme pahit madu.
 
PERET BETON: Beton adalah biji nangka. Dikatakan disini biji nangka yang licin itu masih kalah  licin. Berarti sesuatu yang amat licin. Apa yang licin? Konon yang paling licin adalah manusia, misalnya orang yang omongannya tidak bisa dipegang. Setidaknya ada tiga cara orang Jawa menyebut orang-orang licin seperti Patih Sangkuni ini: Pertama kalau mau langsung kita katakan saja “Ngati-ati wong iku akale akeh, aja nganti kapusan”. Kalau mau agak langsung kita katakan: “Ngati-ati wong iku lunyu kaya welut”. Jadi kita katakan licin dengan mengambil perumpamaan seperti belut yang memang amat licin. Adapun yang ke tiga kalau kita mau tidak langsung, maka kata-kata: “Ngati-ati wong iku gunemane peret beton” adalah yang paling pas.
 
RESIK PECEREN: Got (peceren) biasanya kotor. Jadi kalau got masih dikatakan bersih lalu betapa kotor barang yang dimaksud. Tetapi karena tidak mau langsung maka kita katakan “resik peceren”. Ditambah dengan kata-kata “arum jamban” akan merupakan kombinasi dari kotor dan bau yang cukup mengerikan untuk dibayangkan.
 
RINDHIK KIRIK (ASU) DIGITIK: Telah dijelaskan pada pendahuluan tulisan sebelum ini
 
SUWE BANYU SINARING: Menyaring air (banyu) tentu amat mudah dan cepat. Ungkapan ini menggambarkan suatu proses yang amat cepat. Misalnya ada yang tanya: “Nunggunya lama, Mas?” Kemudian jawabannya: “O cepet Dhik, paribasan suwe banyu sinaring”. Berarti prosesnya cepat.
 
SUWE MIJET WOHING RANTI: Ranti adalah buah sejenis tomat, bentuknya bulat dan kecil-kecil Bisa dpegang denganibu jari dan jari telunjuk. Kalau mau memijat sampai “mecothot” nyaris tanpa energi dan dalam sekejap si kecil “ranti” sudah penyet. Artinya sama dengan “suwe banyu sinaring”. Sesuatu yang cepat.
 
 
PENUTUP:
 
Demikianlah contoh-contoh “sanepa” yang dapat saya tulis. Apakah ini merupakan “basa pinathok?” Bahasa yang sudah dipathok? Ya memang sudah demikian adanya, kalau bisa jangan diubah-ubah kata-katanya. Kalau sudah pinathok berarti termasuk “paribasan?” Betul. Semua bahasa yang sudah tetap pemakaiannya adalah paribasan. Tinggal nanti masuk yang mana: bebasan, saloka atau sanepa.
 
Bolehkah kita mengembangkan kata-kata baru?  Siapa yang tidak membolehkan? Siapa tahu akan dipakai banyak orang dan menjadi “basa pinathok?” Jangan malah hilang satu-persatu karena ditelan jaman. Yang penting tahu kaidah “sanepa”: Membandingkan secara terbalik. Aspek logika jangan ditinggalkan. Gunakan “rasa”. Misalnya: “Lemu sada” (lidi) berarti sudah pasti menggambarkan orang yang kurus. Tetapi jangan mengatakan “lemu pring’ (bambu). Ada banyak jenis bambu. Yang namanya “pring petung” justru bambu yang amat besar. Sehingga anak yang dikatakan sebagai “bung (rebung) pring petung” adalah anak yang longgor (cepat besar dibandingkan teman-teman sebayanya). IwanMM

Wednesday, February 20, 2013

SANEPA: MEMBANDINGKAN SECARA TERBALIK (1)

“Sanepa” adalah tetandhingan, bisa juga dikatakan sebagai pepindhan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Tapi awas, kalimat: “Alise nanggal sepisan” (alisnya seperti bulan tanggal satu), bukanlah “sanepa” walaupun sama-sama membandingkan. Dalam bahasa Jawa ini disebut “panyandra” yang pada umumnya digunakan untuk membandingkan bagian tubuh manusia dengan sesuatu yang ada di alam. Lebih khusus lagi banyak digunakan untuk memuji kecantikan seorang wanita.
 
Sanepa barangkali khas Jawa. Membandingkan sesuatu yang menyangatkan secara terbalik. Semakin kayalah khasanah “semu” orang Jawa. “Terbalik bagaimana?” Demikianlah Darman bertanya, karena dianggapnya saya terlalu berputar-putar dalam memberikan penjelasan. Memang sulit dijelaskan dengan kata-kata, tetapi sekali diberi contoh, biasanya orang langsung “dhong”.

Saya pernah menulis berjudul Rindhik kirik (asu) digitik. Inilah contoh “sanepa”: membandingkan secaca terbalik. Kalau orang mengatakan playune (larinya) rindhik asu digitik, berarti orang yang dimaksud larinya kencang sekali. Anjing yang dipukul pun (pasti lari terbirit-birit) masih kalah cepat. Bapak Ibu kalau ada waktu untuk klik Serat Wedhatama: Aji godhong jati aking, kata-kata ini juga “sanepa” gambaran manusia hina dina. Daun jati kering saja masih lebih aji (lebih bermanfaat).
 
Demikian pula yang ditanyakan Darman kemarin: Arum jamban. Menjelaskan tentang bau yang amat tidak sedap. Jamban saja (tentunya jamban yang tidak dijaga kebersihannya) masih lebih harum. Bayangkan seperti apa.
 
Dibawah adalah daftar beberapa “sanepa” dalam bahasa Jawa, berikut penjelasan singkat mengapa demikian. Kiranya bermanfaat.
 
ABANG DLUWANG: Dluwang (kertas) yang umumnya berwarna putih atau terang masih lebih merah (abang). Gambaran wajah yang pucat pasi. Misalnya seorang ketahuan menipu, kemudian wajahnya pucat pasi, dikatakan “raine abang dluwang”. Mengapa tidak langsung dikatakan “raine pucet” ya itulah orang Jawa. Suka menyampaikan secara tidak langsung.
 
ABOT KAPUK: Kapuk masih lebih berat. Gambaran sesuatu yang amat ringan. Orang membawa barang kemudian kita tanya apakah tidak berat? Ia bisa menjawab “abot kapuk” alih-alih menjawab “entheng”.
 
AGAL GLEPUNG: (Agal: kasar; glepung: tepung). Sesuatu yang amat lembut atau halus, sehingga tepung yang sudah begitu halus masih dikatakan lebih kasar.
 
AJI GODHONG GARING (Sama dengan aji godhong jati aking di atas)
 
AMBA GODHONG KELOR: Masih lebih lebar daun kelor yang kecil. Berarti kecil/sempit sekali. Dalam bahasa Indonesia kita kenal ungkapan yang kita pakai untuk menasihati orang yang patah semangat atau patah hati: “Dunia tidak selebar daun kelor”. Dalam bahasa Jawa bagaimana? Kalau kita terjemahkan: “Donya ora mung sak godhong kelor” maka maknanya sama. Tetapi kalau kita katakan: “Kamare ciyut (sempit), isih amba godhong kelor”, maka Bapak Ibu sudah tahu maksudnya.
 
ANTENG KITIRAN: “Kitiran” adalah baling-baling. Baling-baling kalau kena angin akan berputar-cepat. Kalau dikatakan: “Bocah kok polahe anteng kitiran”, berarti anak tersebut tidak pernah berhenti bergerak. Kitiran (baling-baling) masih lebih anteng (tenang).
 
ARANG KRANJANG: Kranjang (untuk menaruh sayur, buah yang dijual di pasar, atau untuk menyabit rumput) anyamannya jarang-jarang (arang-arang), berarti banyak lobangnya. Kranjang saja, masih lebih jarang (sedikit) lobangnya. Lalu apa yang kita sanepa-kan dengan arang kranjang? Umumnya adalah “luka”. Saya ingat waktu coschap dulu, ada pasien yang sekujur kakinya penuh “gudhig” (koreng). Seorang teman yang masih “Jawa banget” mengatakan: “Nggilani, gudhige arang kranjang”. Bagi Bapak Ibu penggemar wayang, dalam lakon “Abimanyu Gugur” dikatakan “tatune arang kranjang”. Abimanyu dikeroyok Korawa, tubuhnya penuh luka yang “arang kranjang”.
 
ARANG WULU KUCING: Kucing (kecuali kucing kudisan) pada umumnya berbulu tebal. Kalau bulu kucing saja masih dianggap jarang (arang) tentunya yang kita sanepa-kan adalah sesuatu yang lebat. Bisa rambut, pepohonan, bahkan hujan yang tetes airnya rapat dikatakan “udane arang wulu kucing”. Boleh jadi ritual minta hujan dengan memandikan kucing mengandung harapan supaya segera hujan yang lebih rata daripada bulu kucing.
 
ARUM JAMBAN: Telah dijelaskan pada pendahuluan, yaitu bau yang lebih tidak enak daripada bau kakus (kakus kotor). Dipakai juga sebagai kiasan untuk menyebut orang yang punya nama buruk (reputasinya tidak baik).
 
ATOS DEBOG: “Debog” (batang pisang) sudah pasti amat lunak. Sesuatu yang “atos debog” adalah sesuatu yang amat lunak.
 
BANTER KEYONG: Keyong jalannya mrambat, pelan sekali. Perkataan “banter keyong” menunjukkan seseorang yang jalannya amat pelan, atau dalam melakukan pekerjaan amat lamban.
 
BENING LERI: Leri adalah air cucian beras. Tentu keruh. Kalau ada orang mengatakan: “Banyu bening leri ngono kok diombe”, maksudnya “air keruh kok diminum?”. Bahasa Jawanya “keruh” adalah “buthek”. Mengapa tidak langsung saja mengatakan: “Banyu buthek kok diombe”. Demikian ditanyakan Darman barusan. “Kan lebih lugas, Mas”. Itu juga baik-baik saja, dan Darman saya suruh baca tulisan saya Bima: Cekak aos blaka suta.
 
BENJO TAMPAH: Kita biasa menggunakan “tampah” untuk menampi beras, bisa juga untuk menjemur makanan yang perlu dikeringkan. Bentuk tampah selalu bulat. “Benjo” adalah sesuatu yang tidak bulat. Oval juga tidak, karena dalam bahasa Jawa oval adalah lonjong. Jadi kalau tampah yang sudah “bunder ser” begitu masih dikatakan “benjo”, berarti betul-betul sesuatu yang tidak bulat tidak oval. Saya sendiri tidak begitu jelas penggunaannya. Kemungkinan untuk alat-alat yang terbuat dari gerabah seperti cobek, gentong, kendi, kuali dan sebagainya. Dilihat tidak nyaman.
 
BRINTIK LINGGIS: Linggis jelas keras dan lurus masih dikatakan brintik (keriting). Berarti kita berhadapan dengan sesuatu yang amat lurus, keras dan kaku. Orang yang rambutnya njegrag dan kaku bisa dikatakan: Rambute brintik linggis. “Kalau dikatakan kaku sapu duk (sapu ijuk) atau kaku sada (lidi) bagaimana?” Lagi-lagi ini pertanyaan Darman. Ya boleh-boleh saja, saya pikir malah lebih wajar membandingkan rambut dengan sapu daripada dengan linggis.
 
Sampai disini kelihatannya tulisan sudah agak panjang. Kalau diteruskan menjadi terlalu panjang. Mohon ijin untuk meneruskan pada kali berikutnya, SANEPA, MEMBANDINGKAN SECARA TERBALIK (2). (IwanMM)

Monday, February 18, 2013

BRAMBANG BAWANG: TIDAK SEMUA KATA MAJEMUK JAWA PUNYA MAKNA FILOSOFIS

Perilaku berbahasa Jawa (solah muna-muni) bagi orang Jawa dalam pergaulan Jawa yang masih kental jawanya, memang seharusnya menggunakan “basa basuki”. Pengertian lebih mendalam dari “basa basuki” adalah penguasaan bahasa yang baik dan benar. Tidak semua kata yang bergandengan seperti dalam tulisan Kata majemuk (1): Banyak yang punya mana filosofi, jangan dibolak-balik penggunaannya (dan dua tulisan berikutnya) punya makna filosofis. Banyak juga yang memang sudah begitu gandengannya.
 
Sebagai contoh kata “Lanang wedok” (laki-laki perempuan) seyogyanya jangan dibalik menjadi “wedok lanang”. Yang tahu menjadi tidak sreg karena ada makna dibalik kata, yaitu laki-laki lebih kuasa daripada perempuan. Sampai menjadi “kaki-kaki dan nini-nini” pun jangan dibalik menjadi “nini-nini dan kaki-kaki” karena biar sudah menjadi “kaki-kaki” (laki-laki tua renta) konon masih lebih heboh daripada “nini-nini” (perempuan tua renta). Tetapi kalau kita mengatakan “jaka prawan” (jejaka dan gadis) maka gandengannya memang demikian adanya dan tidak perlu dicari-cari maknanya karena memang tidak ada. Bolehlah kalau ada yang “ngeyel” bahwa jejaka kan laki-laki sehingga disebut duluan, karena bakalan lebih kuasa. Tetapi mohon maaf, kita tidak bicara “kelak bagaimana”, kita bicara saat ini kondisinya adalah “jaka” dan “prawan” yang dalam pergaulan muda-mudi tidak kelihatan siapa yang lebih kuasa.
 
Contoh “gandhenging basa” yang tidak menyimpan makna filosofis banyak pada bumbu dapur, misalnya pete jengkol, pete rese, dll
 
 
BAGAIMANA RUMUSNYA?
 
Sampai disini Darman menginterupsi: “Rumusnya gimana, Mas. Bahwa sebuah kata bergandengan tidak menyembunyikan makna?”. Darman memang selalu eksak dalam berpikir. “Bahasa kok mau dimatematiskan, apalagi bahasa Jawa”, pikir saya dalam hati.
 
“Ya nggak ada Man, rumusnya. Tapi saya punya patokan sederhana. Ada dua langkah. Pertama, kalau diothak-athik tidak gathuk, berarti memang sekedar bergandengan saja. Kedua, kalau sudah tidak gathuk, jangan terlalu digathuk-gathukkan. Semua akhirnya akan gathuk kalau terlalu digathuk-gathukkan” (othak athik gathuk: dikutak-katik terkait)
 
 
DAFTAR KATA MAJEMUK YANG MEMANG “GANDHENGING TEMBUNG”
 
Adalah kelebihan Darman, ia selalu ingin menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya. Ia minta daftar kata bergandengan yang memang bergandengan tetapi tidak menyimpan makna filosofis. Untuk yang ini kebetulan “vocabulary” saya tidak terlalu banyak. Pernah saya baca di Serat Warnasari, disitu Ki Padmasusastra juga menyebut “sawetara” (beberapa) itupun banyak yang sudah tidak saya kenal.
 
Daftar di bawah adalah contoh kata majemuk yang memang sudah merupakan gandengannya. Tidak perlu dicari apakah apa makna yang tersirat dibalik kata yang terucap.
 
BUMBU DAPUR DAN JAMU
 
Bila kita pergi ke pasar tradisional (yang asli tradisional), atau ke dapur (yang asli dapur Jawa, bukan restoran dapur Jawa di metropolis) kata-kata ini sering kita dengar:
 
Bendha laos; botor kêdhawung; brambang lempuyang; brambang bawang; dringo bêngle; gula asêm; jae sunthi; kêmbang borèh; kluwak kêmiri; kunir asêm; kunir ênjêt; salam laos; slèdri kapri; slèdri prèi; sunthi kêncur; tumbar jintên;tumbar trawas; cabe cêngkèh; cabe lêmpuyang
 
MAKANAN MINUMAN TERMASUK KINANG DAN ROKOK
 
Bongko pelas; gula bubuk; Gambir bako; gambir jambe; gula tèh; jadah jênang; jambe suruh; jambu jêruk; kinang rokok; kobis boncis; kupat gudhêg; ladha pindhang; lêgi gurih; tape êmpog; Uwi gêmbili kimpul
 
LAIN-LAIN
 
Dom bolah; godhong kayu; jaka prawan; lor kidul; padhas pèrèng; purwa duksina (utara selatan); wetan kulon; padhang hawa; pèn mangsèn; pinggir têngah; rajabrana; sabuk klambi; wiwitan lan wêkasan; tai uyuh; tapih kêmbên; tukar padu
 
 
PENUTUP
 
Bicara menggunakan bahasa Jawa sebenarnya gampang. Tetapi pemahaman bahasa Jawa memang tidak segampang itu. Sebagai contoh kita mengatakan “Uwi gembili” memang padanannya begitu dan tidak menyimpan makna apa-apa selain eksistensi dari uwi dan gembili.
 
Di tempat lain, sama-sama pala kependhem, kata kentang dan kimpul mempunyai makna lain di luar makna filosofis. Mohon dibandingkan dua kalimat dibawah:

1.    Suguhan pala kependhem-nya (umbi-umbian) komplit, Mas. Uwi, gembili, kimpul ada semua

2.    Wong ora ngerti kenthang kimpule sing dibahas kok interupsi.

 “Kimpul” pada kalimat pertama tidak menyimpan arti lain, selain keberadaan hidangan umbi-umbian yang lengkap. Mulai uwi, gembili sampai kimpul ada semua. Sedangkan kata “kimpul” pada kalimat kedua menngandung kiasan dan sindiran bahwa orang kalau tidak tahu ujung pangkal pembicaraan, tidak usah nrombol ikut bicara.
 
Mengapa kentang disebut dahulu sebelum kimpul tidak ada analisisnya. Keduanya sama-sama pala kependhem. Sesuai patokan kedua yang telah disebutkan di atas: Kalau sudah tidak gathuk jangan terlalu digathuk-gathukkan. Sebaiknya kita berhenti sampai di titik ini. Salah-salah nanti keluar jawaban bahwa kentang didahulukan karena kentang adalah tanaman yang berasal dari luar negeri.
 
“Kalau ARUM JAMBAN masuk yang mana, Mas?” Darman melanjutkan pertanyaannya.
 
“Wah kalau yang itu, ibarat sebuah tulisan, bukan ganti alinea tetapi ganti bab baru. Masuk di SANEPA. Kita bahas lain kali saja.
 

Most Recent Post


POPULAR POST