Dalam bahasa Indonesia orong-orong disebut anjing tanah, binatang sebesar jengkerik, yang getaran bulunya juga menimbulkan bunyi. Jangkrik bunyinya krik krik krik sementara orong-orong seperti namanya berbunyi seperti “rong” yang panjang dan monoton. Terlalu lama mendengar bunyi orong-orong, rasanya menjadi tidak nyaman juga di telinga.
Di kota nyaris kita tidak pernah menemui lagi binatang yang dinamakan orong-orong ini. Mudah-mudahan di desa masih banyak. Kisah ini tentunya kalau memang terjadi, “konon” pada saat manusia dan binatang masih bisa berkominikasi verbal.
Manusia: “Hai orong-orong, apa kau tidak bisa diam sejenak. Suaramu yang terus menerus dalam nada tunggal, lama-lama membuat telingaku sakit. Hatiku pun tidak senang. Apa sih untungnya? Apa kamu tidak punya toleransi terhadap privacy manusia?”
Manusia: “Hai orong-orong, apa kau tidak bisa diam sejenak. Suaramu yang terus menerus dalam nada tunggal, lama-lama membuat telingaku sakit. Hatiku pun tidak senang. Apa sih untungnya? Apa kamu tidak punya toleransi terhadap privacy manusia?”
Orong-orong: “Manusia, kau benar-benar tidak tahu diri. Kau sendiri tidak menghargai kebebasan berbicara. Aku mau bicara ya sesukaku. Hatiku memang saat ini panas dan aku sedang mencerca kamu, karena mengamati hidupmu yang berlebih-lebihan dan boros, sepertinya kamu berkubang uang, darimana kamu dapat uang itu kalau bukan dari mencuri”.
Manusia: “Kamu memang kurang ajar, hai orong-orong. Jangan asal memfitnah bahwa aku mandi uang. Aku punya uang, uangku sendiri, aku cari sendiri dengan kerja keras. Aku gunakan sendiri sesuai mauku. Kalau kamu masih saja menebar nyanyian, aku injak rumahmu, besok pagi aku gali, aku tangkap kamu, kujadikan makanan ayam.”
Si manusia menghentakkan kaki di tempat orong-orong berbunyi. Seketika suaranya yang bising pun berhenti.
LIDING DONGENG
(1) Orong-orong: mengibaratkan orang yang suka mengkritisi; suaranya tentusaja keras dan sudah pasti bernada sumbang bagi yang diteriaki si orong-orong. menghentikan nyanyian orong-orong memang harus diinjak. pasti "cep klakep, mandheg". Oleh sebab itu lah ada peribahasa "kaya orong-orong kepidak" yang mengibaratkan pembicaraan atau ribut-ribut yang mendadak berhenti. Misalnya karena boss kebetulan lewat.
(2) Manusia: Manusia memang tidak senang "diteriaki". Tetapi karena kita ini manusia, tentunya kalau mau menghentikan bunyi si tukang teriak ya jangan dipijak. Ajak omong baik-baik, nasihati, dan jalan terakhir ya diselesaikan melalui proses hukum. Tetapi kalau yang diteriakkan si orong-orong sebenarnya "benar". Hendaknya manusia tidak enggan untuk mawas diri. Jangan-jangan, siapa tahu lho, orong-orong memang ditugasi untuk "ngelingake manungsa". (IwMM)
Disadur dari Serat Maduwasita, Ki Padmasusastra, Surakarta, 1918
No comments:
Post a Comment