Saturday, July 7, 2012

SERAT WEDHATAMA: AJI GODHONG JATI AKING


Ada peribahasa yang kata-katanya nyaris sama: “Aji godhong garing” (Aji: berharga; godhong: daun; Garing, aking: kering). Daun kering apa manfaatnya, tidak ada. Hanya membuat kotor, atau terbang, terbuang, tidak ada yang memperhatikan. Ungkapan ini menggambarkan manusia yang samasekali tidak berguna. Masih lebih berharga daun kering.

Siapakah manusia yang mendapat predikat “aji godhong garing” ini? Biasanya kita akan serta-merta mengatakan gelandangan pengemis, orang-orang malas yang tidak berguna. Pendapat ini tidak benar seluruhnya. Jawabnya dapat kita lihat pada karya Sri Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, Pupuh Sinom, Bait ke 15 di bawah yang pernah saya tulis dengan judul Serat Wedhatama: Triprakara pegangan ksatria Jawa.

 
Orang yang dikatakan “aji godhong jati aking” (masih kalah berharga dibanding daun jati kering: Daun jati kering masih dicari orang. Minimal bisa jadi bungkus tempe atau sayuran di pasar-pasar tradisional. Memang ujung-ujungnya menjadi “papa papariman ngulandara” alias mengemis dan menggelandang. Perhatikan kata: “Temah” yang artinya “akhirnya”.

Jadi siapakah mereka yang masih lebih “aji godhong jati aking ini? Kita kembali ke pupuh sinom di atas. “Mungguh ugering ngaurip; Uripe lan tri prakara; Wirya, arta tri winasis” Artinya: tiga pegangan hidup manusia adalah (1) Wirya: berani, luhur (2) Arta: arti sebenarnya adalah uang, tetapi secara luas arta adalah peralatan atau sarana termasuk uang (3) Winasis: kepandaian.

Selanjutnya disebutkan “Kalamun kongsi sepi; Saka wilangan tetelu; Telas tilasing janma; Aji godhong jati aking”. Artinya: Kalau tidak punya ketiga hal tersebut; Hilanglah bekas-bekasnya sebagai manusia; Lebih berharga daun jati kering”

“Wirya, Arta dan Winasis” ketiganya saling terkait. Modal berani plus kelengkapan sarana kalau tidak pandai apa ya bisa mencapai tujuan? Demikian pula punya sarana sekaligus pandai tetapi kalau tidak punya keberanian? Kemudian berani dan pandai tetapi kalau tidak punya alat? Sebenarnya hanya orang malas, maunya thenguk-thenguk dengan harapan nemu kethuk atau yang nunggu-nunggu njagakake endhoge si blorok, merekalah yang pantas menjadi kandidat “aji godhong jati aking”

Mengenai orang pemalas ini Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka, Surakarta, dalam Layang Madubasa, 1912 mengatakan:

1. Wong kesed marang pagawean, iku kaya upamane manuk lagi netes, uripe mung kalawan diloloh.. (Orang malas bekerja ibarat burung yang baru menetas, hidupnya hanya dengan disuapi) padahal mereka bukan bayi.

2. Kesed iku tuking kabilaen, sangsarane ngungkuli wong lara kang madal tamba, mung Gusti Allah piyambak kang saged mitulungi, patine dicemplungake ing naraka jahanam. (Malas itu sumber bencana. Sengsaranya melebihi sakit yang tidak ada obatnya. Hanya Allah yang bisa menolong, memasukkan ke neraka). Ya, cukup keras ucapannya (IwMM)


PENUTUP

Seperi itulah nasib orang yang tidak memiliki “wirya, arta dan winasis”, menjadi pengemis yang papa dan terlunta-lunta dalam pengembaraannya. Masih lebih  “aji godhong  jati aking”

Bila kita masuk ke hutan jati pada masa musim kemarau, di bawah berserakan daun jati kering. Memang masih ada yang mengambil untuk bungkus tempe. Setelah itu kembali “kleyang kabur kanginan, papa, papariman, ngulandara". (IwMM).

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST