Ada peribahasa yang kata-katanya nyaris sama: “Aji godhong garing” (Aji: berharga; godhong: daun; Garing, aking: kering). Daun kering apa manfaatnya, tidak ada. Hanya membuat kotor, atau terbang, terbuang, tidak ada yang memperhatikan. Ungkapan ini menggambarkan manusia yang samasekali tidak berguna. Masih lebih berharga daun kering.
Siapakah
manusia yang mendapat predikat “aji godhong garing” ini? Biasanya kita akan
serta-merta mengatakan gelandangan pengemis, orang-orang malas yang tidak
berguna. Pendapat ini tidak benar seluruhnya. Jawabnya dapat kita lihat pada
karya Sri Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, Pupuh Sinom, Bait ke 15 di bawah yang pernah
saya tulis dengan judul Serat Wedhatama: Triprakara pegangan ksatria Jawa.
Orang
yang dikatakan “aji godhong jati aking”
(masih kalah berharga dibanding daun jati kering: Daun jati kering masih dicari orang.
Minimal bisa jadi bungkus tempe atau sayuran di pasar-pasar tradisional. Memang
ujung-ujungnya menjadi “papa papariman
ngulandara” alias mengemis dan menggelandang. Perhatikan kata: “Temah” yang artinya “akhirnya”.
Jadi
siapakah mereka yang masih lebih “aji godhong jati aking ini? Kita kembali ke pupuh
sinom di atas. “Mungguh ugering ngaurip;
Uripe lan tri prakara; Wirya, arta tri winasis” Artinya: tiga pegangan
hidup manusia adalah (1) Wirya: berani, luhur (2) Arta: arti sebenarnya adalah
uang, tetapi secara luas arta adalah peralatan atau sarana termasuk uang (3)
Winasis: kepandaian.
Selanjutnya
disebutkan “Kalamun kongsi sepi; Saka
wilangan tetelu; Telas tilasing janma; Aji godhong jati aking”. Artinya:
Kalau tidak punya ketiga hal tersebut; Hilanglah bekas-bekasnya sebagai
manusia; Lebih berharga daun jati kering”
“Wirya,
Arta dan Winasis” ketiganya saling terkait. Modal berani plus kelengkapan
sarana kalau tidak pandai apa ya bisa mencapai tujuan? Demikian pula punya
sarana sekaligus pandai tetapi kalau tidak punya keberanian? Kemudian berani dan
pandai tetapi kalau tidak punya alat? Sebenarnya hanya orang malas, maunya
thenguk-thenguk dengan harapan nemu kethuk atau yang nunggu-nunggu njagakake endhoge si blorok, merekalah yang pantas menjadi kandidat “aji godhong jati
aking”
Mengenai
orang pemalas ini Ki Padmasusastra Ngabehi Wirapustaka, Surakarta, dalam Layang
Madubasa, 1912 mengatakan:
1. Wong kesed marang pagawean, iku kaya upamane manuk lagi netes, uripe mung kalawan diloloh.. (Orang malas bekerja ibarat burung
yang baru menetas, hidupnya hanya dengan disuapi) padahal mereka bukan bayi.
2.
Kesed iku tuking kabilaen, sangsarane ngungkuli wong lara kang madal tamba, mung Gusti Allah piyambak kang saged mitulungi, patine dicemplungake ing naraka jahanam. (Malas itu sumber bencana.
Sengsaranya melebihi sakit yang tidak ada obatnya. Hanya Allah yang bisa
menolong, memasukkan ke neraka). Ya, cukup keras ucapannya (IwMM)
PENUTUP
Seperi itulah nasib orang yang tidak memiliki “wirya, arta dan winasis”, menjadi pengemis yang papa dan terlunta-lunta dalam pengembaraannya. Masih lebih “aji godhong jati aking”
Bila kita masuk ke hutan jati pada masa musim kemarau, di bawah berserakan daun jati kering. Memang masih ada yang mengambil untuk bungkus tempe. Setelah itu kembali “kleyang kabur kanginan, papa, papariman, ngulandara". (IwMM).
PENUTUP
Seperi itulah nasib orang yang tidak memiliki “wirya, arta dan winasis”, menjadi pengemis yang papa dan terlunta-lunta dalam pengembaraannya. Masih lebih “aji godhong jati aking”
Bila kita masuk ke hutan jati pada masa musim kemarau, di bawah berserakan daun jati kering. Memang masih ada yang mengambil untuk bungkus tempe. Setelah itu kembali “kleyang kabur kanginan, papa, papariman, ngulandara". (IwMM).
No comments:
Post a Comment