Tuesday, February 12, 2013

KATA MAJEMUK (1): BANYAK YANG PUNYA MAKNA FILOSOFI, JANGAN DIBOLAK BALIK PENGGUNAANNYA

Bila kita ditanya berapa jumlah penduduk Indonesia? Kalau kita jawab dalam bahasa Inggris mungkin jawab kita “more or less 240 million” (bukan less or more). Bila kita jawab dalam bahasa Indonesia, kebanyakan dari kita akan menjawab lebih-kurang (atau kurang-lebih) 240 Juta. Kita tidak punya angka statistik berapa proporsi yang menjawab dengan “kurang lebih” dan yang menjawab dengan “lebih kurang”
 
Saya tidak pernah memikirkan hal ini sampai suatu saat ketemu Darman di acara chitanan anak seorang teman. Dia tanya: “Tamunya banyak ya Mas, kok kelihatannya semarak”. Dijawab sama tuan rumah: “Ora akeh kok Man, luwih kurang satus”. Ketika tuan rumah menyapa tamu lainnya, Darman bertanya kepada saya: “Mas, yang bener itu kita katakan kurang luwih atau luwih kurang?”
 
 
KELAZIMAN
 
“Lazimnya ya kurang luwih, Man”. Jawab saya, sebelum ingatan dalam otak tua saya muncul bahwa Mas Bagyo waktu mentraktir soto Lamongan dulu pernah minta ke pelayan warung: “Lha sendok poroknya mana?” (porok: garpu). Kemudian ia menjelaskan kepada saya, mengapa “sendok porok” dan bukan “porok sendok”, karena sendok lebih penting dari garpu. Kita bisa makan soto dengan sendok saja, walau tanpa garpu. Kata Mas Bagyo, ada rumus yang tidak diajarkan di sekolah, tetapi dapat kita rasakan.
 
 
RASA DAN REASON
 
“Man,” sambung saya sebelum ia bertanya lebih lanjut. “Disamping kelaziman, ada yang lebih penting yaitu “rasa dan logika”.
 
“Lha itu Mas, yang saya ingin ngerti. Kalau kita ingin nguri-uri basa Jawa jangan setengah-setengah. Kalau panjenengan ngendika lazim dan rasa, maka kalau tidak lazim dan tanpa rasa kan namanya rusak”.
 
“Kalau boleh pakai rumus, Man. Pesan utama taruh di depan. Yang jadi masalah adalah, diutamakan dalam hal apa? Prioritas tidak selalu sama, dari waktu ke waktu maupun dari orang ke orang".
 
“Jlentrehnya gimana Mas. Masih belum jelas”.
 
“Sederhana, Man. Dalam kaitan dengan ucapan kurang luwih tadi, Manusia kan lebih banyak merasa kurang, daripada lebih. Kamu punya uang 100 ribu, pasti merasa kurang. Tetapi ketika uangmu 1 juta, kamu juga belum merasa lebih kan? Oleh sebab itu kata kurang diletakkan di depan. Tamu seratus sebenarnya kurang, tapi mau luwih dari seratus, tidak mampu."
 
Darman manggut-manggut, lalu katanya: “Jadi kalau dibalik menjadi luwih kurang, menjadi tidak lazim menurut rasa Jawa, ya Mas?”
 
“Untuk orang dulu, barangkali jawabnya YA. Untuk orang sekarang mungkin sudah tidak dipikirkan lagi. Bagi orang sekarang, kata kurang lebih atau lebih kurang artinya sama yaitu approximately. Ada contoh yang lebih gampang, Man. Orang sekarang tidak tahu mengapa kita katakan mangan ngombe. Padahal ada pitutur bahwa yang benar kita makan dulu baru minum (ngombe)".

Saya teringat kata Mas Bagyo waktu menjelaskan tentang sendhok porok dulu: “Pokoknya kata yang sudah jadi gandhengannya, ya memang seperti itulah adanya. Jangan dibolak-balik. Makna filosofinya jadi hilang. Tidak perlu dihapalkan, asal paham jiwanya pasti akan mengalir sendiri. Kalau coverage vocabulary kita sudah tinggi maka output-nya adalah  basa basuki kita akan baik dan outcome-nya kita menjadi lebih arif”.


PENUTUP

Diskusi ini tidak dilanjutkan. Disamping hidangan yang disajikan “mirasa”, banyak teman lain yang tentunya harus kita sapa. Setelah berpamitan kepada yang “kagungan kersa” (empunya hajat), sampai rumah saya langsung browsing di internet. Suatu saat Darman pasti akan bertanya lebih lanjut tentang kata-kata lain yang bergandengan seperti “kurang luwih” tadi. Jujugan saya adalah webnya Yayasan Sastra Lestari, Surakarta, dan akhirnya saya temukan di Serat Warnasari, anggitan Ki Padmasusastra, 1925 yang saya tulis pada posting setelah yang ini:
 

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST