Sunday, February 10, 2013

ORANG YANG GRAPYAK, PRADAH, LUBER, WEWEH DAN UTANG-SILIH


Kita akan merasa nyaman kalau bertemu dengan orang yang grapyak (sumanak, ramah), pradah (loman, suka menjamu), bèr (suka memberi, dari kata lubèr, yang arti harfiahnya “meluap”, maksudnya adalah ber-budi, suka memberi ganjaran)  dan wèwèh (memberi). Orang seperti ini akan kita sebut sebagai orang yang baik dan menyenangkan. Orang seperti ini umumnya suka membantu sesama manusia.  Ia pasti sudah menghayati makna keteladanan Panembahan Senapati yang dapat dibaca di Serat Wedhatama, “amemangun karyenak tyasingsesama (Membuat senang hati semua orang). Dia akan menjadi “jujugan” (tujuan) orang-orang yang butuh bantuan.
Saya punya teman yang seperti ini. Ia bukan orang yang terlalu kaya, tetapi sangat “helpful”. Pandangannya tentang “uang” simpel saja, tetapi maknanya dalam. “Banyu aja dibendhung, Dhik, nanging ilekna”. Air jangan dibendung, tapi alirkan. Maksud dia mengatakan itu adalah, kalau kita punya uang, jangan disimpan-simpan. Uang yang disimpan tidak bermanfaat. Alirkan untuk manfaat orang lain. Air yang dialirkan pasti akan terisi kembali dan tidak didiami benih-benih penyakit.
 
WELAS TEMAHAN LALIS
Pendek kata teman saya ini amat dermawan. Kedermawanannya tidak hitung-hitung. Orang yang butuh uang akan datang kepadanya untuk minta pinjaman. Pernah saya tanyakan padanya: “Mas kalau panjenengan cal-cul nyah-nyoh gitu tanpa perhitungan apa lama-lama tidak sengsara sendiri, seperti ungkapan dalam paribasan Jawa Welas temahan lalis”. (welas: kasihan; lalis: hilang, mati)”
“Benar sekali Dik. Bebasan tersebut adalah peringatan leluhur kita supaya hati-hati dalam hidup. Bila kita baca kisah-kisah dunia binatang (fabel), banyak contoh bahwa yang kita tolong justru mau memakan kita. Hidup memang harus penuh perhitungan. Tetapi untuk harta, jangan dihitung-hitung. Bukankah para leluhur mendidik kita untuk ber-budi?”
 
UTANG-SILIH
Sebenarnya agak sungkan menanyakan hal ini. Terdorong rasa ingin memperoleh pencerahan maka saya akhirnya bertanya: “Kalau ada orang utang kemudian tidak mengembalikan, bagaimana sikap Mas Mujib?”
Ia diam sejenak. “Bukan sok baik, sok suci lho Dik. Yang pinjam tidak mengembalikan memang ada, tetapi tidak banyak. Dan untuk orang yang seperti itu untuk apa kita gagas. Sepanjang hati kita lepas dan ikhlas, maka saya tidak akan lalis. Akan diganti oleh Allah yang Maha Welas dan Asih”.
Mas Mujib juga berceritera bahwa orang yang tidak mengembalikan hutang, kecuali yang memang punya watak nakal (dan ini hanya kasuistik, katanya) pasti ada sebabnya. Hanya mereka kurang jantan untuk “blaka” bahwa belum atau tidak mampu membayar hutangnya. Kenapa tidak BLAKA SUTA saja (Blaka: bicara sejujurnya; Suta: anak. Maksudnya: Bicara terus terang seperti yang dilakukan anak-anak). Yang meminjami pasti akan paham masalahnya.
Ia pernah mengalami pada jaman mahasiswa, poswesel (surat pengiriman uang melalui kantor pos) belum datang karena uang digunakan untuk biaya opname ayahnya. Ia bicara kepada ibu kosnya bahwa belum bisa bayar kos-kosaannya. Ia menangis ketika ibu kosnya yang sudah sepuh itu mengatakan: “Sudah jangan dipikir, nanti mengganggu kuliahmu”
 
TEPA-PALUPINYA: YANG BERHUTANG MENGEMBALIKAN, YANG DIHUTANGI TIDAK MENAGIH
Seharusnya seperti itulah kondisi idealnya. Yang merasa hutang ya mengembalikan sesuai janji.  Janganlah waktu mau pinjam memelas, setelah dapat pinjaman pura-pura lupa. Kalau ketahuan orang lain, amat memalukan dan yang bersangkutan bisa-bisa dijauhi teman. Yang dipinjami juga tidak perlu menagih. Menagih hutang merupakan beban mental juga. Orang harus mampu melepaskan dri dari “rasa Jawa” yang tidak tegaan.
 
LIDING DONGENG
Saya belajar banyak dari Mas Mujib ini (karena saya terpengaruh dengan kata-kata dari “White Collar, session IV: Sometimes it’s good to be a little bad”, menjadi sedikit jelek kadang-kadang lebih baik. Kalau saya teruskan .... sedikit pelit lebih baik).
Dedana (amal) saya masih banyak kurangnya. Suatu saat seorang teman seperjalanan mau pinjam uang: “Mas boleh pinjam 500, saya belum ketemu ATM”. Ia bicara dalam bahasa Indonesia.
Saya jawab dalam bahasa Jawa: “Utang apa nyilih?
“Bedane apa Mas, utang karo nyilih?
“Yen utang, bisa dikemplang (ngemplang: tidak mengembalikan); Yen nyilih dhuwite mulih (mulih: pulang)”
Teman saya tertawa terbahak-bahak. “Itu namanya guyon parikena (canda tetapi menembak), Mas. Saya tidak hutang tidak nyilih tapi pinjam. Jadi bisa macam-macam bergantung sikon”.
Ganti saya yang tertawa. Intinya saya kurang suka dihutangi. Saya punya anggapan waktu itu bahwa orang yang hutang perilakunya mengarah ke tidak baik. Padahal pendapat saya 100 persen salah. Ada pitutur dalam Serat Tepapalupi, Puja Arja, 1925 yang mengatakan:
Kowe rada nitenana titikan sathithik, manawa ana wong kang potang ora sumedya nagih, utawa wong kang utang nyaur dhewe ora sarana tinagih, iku sakaro-karone isih wong becik, pantes padha mitranen dadi sadulur
Terjemahan bebasnya adalah: Orang yang memberi hutang tetapi tidak menagih dan orang yang berhutang mengembalikan tanpa ditagih, keduanya termasuk orang baik. Layak untuk dijadikan teman atau saudara. (IwanMM).

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST