Hari
Minggu pagi saya sedang membersihkan rumput liar di taman kecil depan rumah,
muncul Toni dengan sepedanya. “Berkebun, Pak?” Sapanya sambil membuka helm. “Saya
lihat Bapak jadi saya mampir. Tidak mengganggu, Pak?” Ia bertanya sambil
melihat-lihat hasil kerja saya. “Kau lihat sudah selesai kan, Ton. Ayo duduk”. Saya
bawa dia ke teras. Ia memang lebih suka duduk disitu, kalau datang.
“Saya
penasaran, Pak. Apa artinya ora patheken. Kemarin saya bujuk teman saya yang
gemuk untuk beli sepeda dan ikut klub sepeda saya, jawabnya ora
duwe sepeda ora patheken.”
“Kamu
tahu patek, Ton?”
“Sejenis
penyakit kulit kan, Pak?”
“Pernah
lihat seperti apa?”
“Belum,
Pak”.
PATEK, FRAMBUSIA, YAWS
Wajar
kalau Toni belum pernah lihat penyakit yang namanya patek. Saya sendiri sampai
lulus dokter (1977) belum pernah tahu wujud aslinya. Hanya dari gambar saja.
Ketika kemudian ditugaskan sebagai dokter Inpres di Maluku Utara, barulah saya
melihat dengan mata kepala sendiri. Itupun kalau tidak diberitahu pak mantri
(perawat) puskesmas, akan luput dari perhatian saya. Mantri tua yang usianya dua kali
umur saya itu menjelaskan: “Ini frambusia, Pak Dok. Disini disebut Bobento. Pak
Dokter lihat satu kali, tahu baunya, seumur hidup tidak akan lupa”.
Di
Indonesia jumlah Penderita Patek atau Frambusia sudah tidak banyak lagi. Kalau
ada, tempatnya di daerah sulit air dan miskin dimana tidak banyak kesempatan
orang untuk mandi pakai sabun. Frambusia ditularkan melalui kontak langsung.
Jadi kalau kita kontak dengan penderita frambusia dan tidak sempat
bersih-bersih badan, peluang tertular menjadi amat besar.
Saya
masuk ke kamar, ambil buku kecil frambusia, pedoman untuk petugas. “Nih, Ton.
Kamu lihat sendiri”.
Toni
melihat-lihat buku kecil itu dengan ekspresi wajah tidak baik. “Mengerikan, Pak.
Mengapa teman saya mengatakan ora duwe sepeda ora patheken?”
ORA ...... ORA PATHEKEN
Entah
asal-usul kata ini dari mana. Saya yang lahir di Yogya sampai menyelesaikan
pendidikan juga di Yogya rasanya tidak pernah mendengar kata-kata ora .... ora
patheken ini. Saya mendengarnya di Surabaya setelah pindah ke Jawa Timur. Barangkali asal-usulnya dari Jawa Timur, karena konon Pak Harto yang pernah mengucapkan kata-kata yang intinya: Tidak jadi presiden tidak patheken, mendapatkan kata-kata ini dari Cak Nun.
“Ton,
seandainya kalau kamu kena penyakit Patek, masalah apa tidak?” Tanya saya
kepada Toni.
“Kalau
gambarannya seperti yang dalam buku itu, ya masalah besar Pak”.
“Jadi
kalau tidak punya sepeda tidak patheken kira-kira maksudnya apa?
Toni
tertawa terbahak-bahak. “Berarti tidak punya sepeda tidak masalah. Kalau mau
gaul sedikit barangkali bisa mengatakan emangnya gue
pikirin. Betul kan Pak?
TIDAK SESEDERHANA ITU
Toni
memang anak muda yang daya tangkapnya cepat demikian pula analisisnya terhadap ungkapan dan filosofi Jawa amat kritis. padahal dia bukan orang Jawa. “Tetapi
kan tidak sesederhana itu ya Pak”.
“Maksudmu,
Ton?”
“Sama
dengan di buku Bapak tadi, Patek kan terbagi dalam beberapa stadium. Demikian
pula kata-kata ora patheken, mestinya juga analog. Tapi saya belum bisa
menjabarkannya. Sepertinya ada nuansa ikhlas, menerima, walau ada juga
kesalnya”. Ia melihat ke saya sejenak, seolah minta persetujuan.
Lalu
lanjutnya: “Teman saya tadi sepertinya kesal sama saya. Mungkin merasa kalau disindir
tidak pernah olahraga. Jadi dia bilang ora duwe sepeda ora patheken. Orang yang
ditinggal pacar kalau mengatakan ora duwe
pacar ora patheken, mungkin kesal tapi ikhlas. Kalau tidak ikhlas pasti
yang membawa lari pacarnya sudah dia labrak. Kalau saya habis dimaki-maki lalu
saya katakan pisuhana ora patheken,
berarti saya menerima walau hati kesal. Tapi kalau mengatakan ora diajak mangan ora patheken, itu
Toni, Pak. Waton muni. Makan kok dibandingkan sama Pathek yang begitu
mengerikan.
Sepertinya
Toni yang muda ini benar. Kata-kata “ora
patheken” seharusnya tidak digunakan untuk hal-hal sepele. Ia mengatakan
itu berdasar “logika” dari sebuah buku kecil dan “rasa Jawa" yang telah ia pahami. (IwanMM)
2 comments:
hahaha, kalau menurut saya ra patheken berasal dari kata pathek /patek yang bisa diartikan "banget" atau "begitu". misal, ra patek sugih (nggak kaya banget / nggak begitu kaya) dsb. jadi secara harafiahnya mungkin arti ra patheken : nggak kepengen banget. atau bisa juga seperti yang bapak tulis, nggak punya juga nggak papa. dan ga ada artinya sama penyakit :D
Kalau menurutku Ora patek'en atau gak patek'en jika disandingkan dengan kalimat yg terdapat sedikit emosi ditambah ekspresi yg mengucapkan terdapat raut kesal/ sedikit amarah berarti artinya. "Ora patek'en = Ora ngurus, ora peduli, ora nggagas, ora ngganceng, masa bodoh, bodoh amat" itu kalau menurutku, karena ora patek'en disini biasanya dibarengi dengan nada bicara tinggi, penekanan yg jelas, dan menunjukkan kepercayaan diri.
Post a Comment