Masih
ingat Mas Parmo, teman saya yang tempo hari menanyakan tentang Lir atau Nir dan
juga tentang Yoga angangga yogi? Beberapa hari yang lalu habis maghrib beliau
menelepon. “Dik Iwan, saya ke rumah sekarang bisa ya, penting!” Berurusan
dengan beliau, selalu urusan “bahasa” dan saya selalu khawatir kalau saya
tidak tahu. “Mangga mas, tak tunggu, tapi aja
angel-angel”. Beliau tertawa di seberang sana: “Yang ini panjenengan pasti
tahu dik. Hanya saya yang tua ini saja terlalu bodoh”, jawabnya merendah.
Rumah
Mas Parmo memang tidak terlalu jauh, dalam 15 menit beliau sudah duduk di ruang
tamu. “Besok siang ragil (anak
bungsu) saya si Tantri kan diwisuda jadi dokter. Lalu dia dan kelompoknya mau
syukuran di rumah pada malam harinya”.
“Mengko
dhisik, Mas. Kalau tanya doa jangan ke saya. Tahu saya cuma doa sapujagad”.
“Saya
ini ngomong belum rampung sudah dipotong. Gini lho dik, saya disuruh anak saya
memberi pitutur. Saya mau sampaikan bahwa manusia dalam menjalani hidup dan
kehidupan harus punya visi dan misi, tapi mau saya sampaikan a la Jawa walaupun
dalam bahasa Indonesia. Ada apa tidak ya Dik, pengertian visi dan misi dalam
bahasa Jawa?”
Alhamdulillah,
slamet, batin saya. Kalau yang ini saya pas tahu. Lalu saya jelaskan pada Mas
Parmo yang mendengarkan dengan saksama.
JANGKA: VISI A LA JAWA
“VISI” boleh dikatakan sama dengan mimpi-mimpi kita, walau kurang tepat. Lebih rasional kalau kita katakan sebagai cita-cita atau tujuan jangka panjang yang ingin kita capai, dinyatakan dalam pernyataan kehendak.
“VISI” boleh dikatakan sama dengan mimpi-mimpi kita, walau kurang tepat. Lebih rasional kalau kita katakan sebagai cita-cita atau tujuan jangka panjang yang ingin kita capai, dinyatakan dalam pernyataan kehendak.
Dalam bahasa Jawa, ada kata “JANGKA”
yang salah satu artinya adalah “pangangkah” atau “sedya”. Boleh disamakan
artinya dengan VISI.
Orang hidup harus punya PANJANGKA. Mau dibawa kemana hidup
ini. Tanpa panjangka, maka kita akan kleyang kabur kanginan tak tahu arah
mana yang akan dituju.
JANGKAH: MISI A LA JAWA
Visi saja tanpa langkah-langkah untuk mencapai tujuan, berarti kita hanya “thenguk-thenguk”. Jaman sekarang ini mana ada orang yang thenguk-thenguk nemu kethuk
Visi saja tanpa langkah-langkah untuk mencapai tujuan, berarti kita hanya “thenguk-thenguk”. Jaman sekarang ini mana ada orang yang thenguk-thenguk nemu kethuk
Bila seperti itu, visi bukan
lagi cita-cita tetapi sekedar mimpi yang hanya rasional untuk orang tidur. Harus
ada langkah-langkah untuk mencapai visi. Langkah-langkah itulah yang disebut “MISI”.
Kebetulan dalam bahasa Jawa ada kata JANGKAH yang artinya melangkah. JANGKAH dalam
bausastra Jawa memang diartikan juga untuk mencapai apa yang DIJANGKA. JANGKAH
adalah operasionalisasi JANGKA, yang merupakan banting tulang kita untuk
mencapai cita-cita.
JANGKA DAN JANGKAH
Orang
hidup harus punya tujuan dan harus bergerak untuk mencapai tujuannya itu.
Tangan harus kumrembyah (aktif
bergerak) dan kaki jumangkah
(melangkah). Leluhur kita mengatakan, wong
urip iku kudu duwe jangka lan jangkah, yang artinya: orang hidup harus
mempunyai visi dan misi.
AMEMANGUN KARYENAK
TYASING SESAMA
Demikian
kurang-lebihnya yang saya sampaikan kepada Mas Parmo, yang kemudian mengejar
dengan pertanyaan berikutnya: “Untuk dokter-dokter muda itu, bagaimana kalau
saya beri contoh visi yang merupakan keteladanan Panembahan Senopati, Amemangun karyenak tyasing sesama?”
“Wah,
hebat panjenengan mas. Saya yang dokter malah tidak kepikiran kesitu. Dokter
memang seharusnya bisa membuat senang hati semua orang melalui kesembuhan dan
kesehatan”.
“Matur
nuwun Dik, saya jadi semangat. Untuk MISI saya akan minta mereka terjemahkan
sendiri sesuai penugasan mereka nanti dimana. Tapi barangkali saya beri kata
kunci NGAYOMI, NGAYEMI dan NGAYAHI. Bagaimana langkah-langkah mereka supaya
masyarakat terlindungi kesehatannya (ayom), sehingga hatinya merasa tenang (ayem) dan
profesionalismenya (ngayahi) sebagai
seorang dokter.
LIDING DONGENG
Apa
yang disampaikan Mas Parmo sebenarnya mewakili harapan masyarakat atas
keberadaan seorang dokter. Ada dokter tetapi tidak bisa ngayomi, ngayemi dan ngayahi,
sama saja dengan tidak ada dokter. Kepuasan Mas Parmo atas ular-ular saya, juga mewakili kebahagiaan masyarakat yang merasa
ayom dan ayem: “Sampaikan keng rayi
(maksudnya: istri saya) ya Dik, besok tidak usah masak”.
“Alhamdulillah,
sipp Mas”.
Sebenarnya
saya juga mendapat pembelajaran atas kehadiran Mas Parmo malam itu, melalui
pupuh Sinom bait pertama dalam Serat Wedhatama anggitan KGPAA Mangkunegara IV,
bahwa seorang dokter juga harus meneladani Panembahan Senopati dalam “amemangun karyenak tyasing sesama”
nulada laku
utama | tumrape ing tanah Jawi | wong agung ing Ngèksigônda | Panêmbahan
Senapati | kapati amarsudi | sudaning hawa lan nêpsu |
pinêsu tapa brata | tanapi ing sari ratri | amêmangun karyenak tyasing sasama || Wedhatama, Sinom: 1
|
No comments:
Post a Comment