Saya
ketemu lagi dengan Mas Parmo di rapat RW. “Ngethuprus” dia ceritera “success
story” waktu pasrah penganten minggu lalu (baca: Lir atau Nir). Dia bilang
banyak yang memuji bahasa Jawanya yang sudah tidak banyak didengar orang lagi,
termasuk logat Jawanya yang masih Jawa. Orang-orang yang mengenal almarhum ayah
Mas Parmo mengatakan dia ini “Yoga
anyangga yogi”.
Pak
Broto yang duduk disamping saya langsung memotong: “Mengko dhisik, Mas. Maksudnya yoga
anyangga yogi itu apa?
“Ya
anak mengikuti sifat orang tuanya. Almarhum bapak dulu kan Jawa banget”.
“Itu
yang saya tanyakan, Mas”. Jawab Pak Broto. “Anyangga,
kan asal katanya sangga yang artinya
menopang. Pengertiannya kok jadi gitu?”
KESALAHAN
UMUM
Pak
Broto benar. “Sangga” artinya menopang, sama dengan menyangga dalam bahasa
Indonesia. Kalau peribahasanya adalah “Yoga
anyangga yogi” maka seharusnya diartikan “anak yang berbakti kepada orang
tuanya”.
Kita
kembali ke laptop dulu, Poerwadarminta, 1939 (Bausastra Jawa) dan Padmasusastra,
1967 (Sarine Basa Jawa) memang menuliskan sebagai “Yoga angangga yogi”.
Dari aspek bahasa, maka: (1) Yoga: Anak, (2) Sangga: Topang, (3) Angga: badan,
dan Yogi: Pendeta.
Kalau
kita mengatakan “Yoga anyangga yogi” dengan pengertian “anak mengikuti orang
tuanya (atau gurunya) maka antara peribahasa dan pengertiannya menjadi tidak
klop. Mestinya adalah “Yoga angangga yogi” tetapi pengertiannya menjadi lain
sama sekali. Kita bayangkan ada anak dengan segala sifat kebocahannya tetapi
mempunyai “angga” (badan) “yogi (pendeta/guru) yang pasti sudah tua. Dalam
ucapan Jawa sehari-hari dikatakan “bocah sing temuwa” atau anak yang sudah
punya sifat seperti orang tua. Jadi bukan perilaku anak mengikuti orang tuanya.
JLENTREHNYA
BAGAIMANA
“Lire
kepriye, Dhik?” mas Parmo mempraktekkan penggunaan kata “Lir” dalam
kepenasarannya.
“Jlentrehnya
gini, Mas. Misalnya ada anak kecil, katakan umur 12 tahun. Ia momong adiknya.
Lalu si adik main air. Dia melarang, jangan dik, nanti sakit kalau kebanyakan
main air. Ketika adiknya jatuh, kemudian menangis, ia menghibur, bukan
memarahi. Itulah yang dinamakan yoga
angangga yogi. Anak kecil yang temuwa”.
“Wah,
kalau gitu sudah salah peribahasanya, masih terlalu jauh kenyataannya”, kata Mas Parmo. “Waktu kecil saya ini mbeling sekali. Adik saya yang minggu
lalu mantu itu sering nangis karena saya suka rebut mainannya”.
Mas Parmo
manggut-manggut. Ia selalu percaya dengan penjelasan saya, walaupun dalam
urusan bahasa Jawa saya ini juga amatiran. “Lalu seharusnya mereka mengatakan apa kalau
saya ini sama dengan almarhum bapak?”
“Kacang ora ninggal lanjaran, Mas. Masa
gitu saja ora ngerti”. Pak Broto yang menjawab. (IwMM)
No comments:
Post a Comment