Sunday, December 30, 2012

SERAT RAMA DAN ASTA BRATA (7): BATHARA SURYA

Melanjutkan Serat Rama dan Asta Brata (6): Bathara Yama, Dewa yang ke tiga adalah Bathara Surya, dewa matahari. Dalam Serat Rama, pupuh Pangkur bait ke 23 dikatakan bahwa Sifat Bathara Surya adalah “lakuning palamarta” (welas asih). Belas kasihannya ditunjukkan dengan memberikan energi surya nya sebagai sumber kehidupan semua makhluk yang ada di bumi ini.
 
 
BATHARA SURYA YANG PALAMARTA
 
Kita melihat bahwa dengan kecukupan sinar matahari maka tanaman akan tumbuh dengan baik, demikian pula manusia yang tidak mendapatkan sinar matahari mudah menderita kekurangan vitamin D yang berpengaruh buruk bagi kesehatan tulangnya.

Sinar matahari juga membunuh bibit penyakit. Rumah yang didalamnya tidak mendapat sinar matahari merupakan sumber penyakit.
 
Itulah “lakuning palamarta” a la Bathara Surya. Dengan sinarnya ia menebar kebajikan (ngudanaken sabarang reh arum-arum) yang dirasakan dan menyegarkan dimana-mana (amanjingaken rerasan asreping kang den tetepi).

Hal ini dapat dibaca pada pupuh Pangkur bait ke 23 mulai baris ke tiga, sebagai berikut:

 
 
MENYERAP SEMANGAT BATHARA SURYA
 
Matahari melaksanakan tugasnya dengan sabar tetapi tuntas, mulai terbit di ufuk timur sampai tenggelam di barat dan akan kembali lagi pada keesokan harinya. Demikian pula Bathara Surya yang “tan galak” (lembut) tetapi menyelesaikan tugasnya (nutuk sakarsa).

Tidak ada keraguan samasekali (tan ana rerangunipun) dalam mengisi semangat yang diserap oleh semua orang. Pada bait ke 24 pupuh Pangkur disebutkan:

Semua orang akan menyerap kebajikan dan semangat yang diberikan Bathara Surya tanpa pilih kasih, bahkan orang buta (dumuh) pun akan merasakan dan tumbuh semangat dalam jiwanya (tyasira kena pinulih.)
 
Dalam menumbuhkan semangat, semua mendapat prioritas yang sama (tan katengen pangisepe sarasa), seperti disebutkan pada pupuh Pangkur bait ke 25.

Selengkapnya bait ke 24 dan 25 adalah sebagai berikut:


 
LIDING DONGENG
 
Seorang pemimpin hendaknya meneladani sang Surya yang dengan sabar dan welas asih danpa pilih kasih, senantiasa menumbuhkan kehidupan dengan semangat dan kekuatan. Sifatnya yang selalu konsisten dan tidak pernah melenceng dari orbitnya membuat rakyat tidak bingung. Energi Bathara Surya yang diserap secara merata oleh semua orang akan menumbuhkan gairah dalam menapaki hidup dan kehidupan. Itulah Bathara Surya, sang Dewa Matahari dengan “Laku Hambeging Surya” yang perlu diteladani seorang pemimpin.
 

Friday, December 28, 2012

SERAT RAMA DAN ASTA BRATA (6): BATHARA YAMA (YAMADIPATI)

Melanjutkan Serat Rama dan Asta Brata (5): Bathara Endra, Dewa ke dua yang disebut dalam Serat Rama adalah Bathara Yama atau dikenal juga dengan nama Bathara Yamadipati, dewa pencabut nyawa yang membuat semua orang kedher.
 
Bila Bathara Endra bersifat adil, maka Bathara Yama dalam hal ini yang menegakkan keadilan. Dalam Serat Rama, tugas Yama sebagai pencabut nyawa diarahkan ke  pembersih kejahatan dan penegak keadilan.
 
Bathara Yama melaksanakan tugasnya berdasar protap (prosedur tetap) yang berlaku sesuai dengan tupoksinya (tugas pokok dan fungsi) yaitu “milara krama ala” (menghukum yang berperilaku tidak baik).

Dalam menegakkan keadilan, ia juga juga tidak mau pilih-pilih (Nora ngetung kadang warga), yang jahat akan dibunuh (yen durjana den pateni). Mengenai hal ini dapat dibaca pada pupuh Pangkur bait ke 20 mulai baris ke 3, sebagai berikut:

 
 
MULAI KELAS GUREM SAMPAI KAKAP DIOBRAK ABRIK SAMPAI KE AKAR-AKARNYA
 
Bathara Yama menegakkan undang-undang demi mengayomi rakyat. Semua yang kelakuannya tidak baik akan diobrak-abrik (barang kang laku dursila ingupaya kabèh dèn osak-asik). Diusir dari tempat tinggalnya, kalau tertangkap akan dibunuh. Semua yang mengotori kerajaan akan dihabisi (reregeding praja pinrih biratipun). Demikianlah cara kerja Bathara Yama memelihara kerajaan (rumeksa prajadi). Lengkapnya dapat dibaca pada bait ke 21 sebagai berikut:

 
Bahwa Bathara Yama tidak pilih-pilih, disebutkan pada bait ke 22 tentang maling, orang-orang yang dekat dengan kejahatan (ingkang sandhing panggawe ala) dan sejenisnya dibersihkan tuntas (sajinise tumpes tapis). Selanjutnya disimpulkan pada baris pertama dan kedua bait ke 23 bahwa pemimpin harus berani membersihkan dunia dari kejahatan, barulah ia menjadi bathara Yama yang sebenarnya. Lengkapnya bait ke 22 dan 23 sebagai berikut:



CATATAN
Agak sulit memadankan Bathara Yama dengan salah satu delapan “laku” kepemimpinan sesuai dengan karakter alam semesta. Sebagai contoh Bathara Indra yang menguasai air sudah klop dengan Laku hambeging tirta. Demikian pula dewa yang lain pada tulisan berikutnya.
Untuk Bhatara Yama, kira-kira dan memang tinggal yang satu ini yaitu “Laku Hambeging Kartika” (Bintang) walaupun Yama bukan dewa bintang dan bintang bukan lambang kematian. Satu hal yang sama adalah bintang relatif tidak bergeser dari tempatnya sehingga menjadi pedoman arah di malam hari. Yama sebagai pencabut nyawa dan penghenti kejahatan juga tidak pernah bergeser maupun ditawar. Manusia jadi takut berbuat jahat tetapi juga ayem karena ada yang mengayomi. Manusia juga tidak bingung karena tahu kemana ia ia harus mencari perlindungan.

Wednesday, December 26, 2012

SERAT RAMA DAN ASTA BRATA (5): BATHARA ENDRA

Melanjutkan Serat Rama dan Asta Brata (4): Wajibing raja agawe tuladan becik,  pada tulisan ke 5 ini kita masuk ke “Asta Brata” yang sebenarnya. Empat tulisan yang sebelum ini adalah prolognya, mengapa Sri Rama memberika pembekalan kepada Gunawan Wibisana dengan “elinga Bathara wolu”. Dalam bahasa manajemen strategis, kalau Visinya adalah “Pulihna praja Ngalengka” dengan nilai-nila (value): Wiweka, netepi sarat dan reh ayu kramaniti, maka Asta Brata melalui “bathara wolu” di atas adalah “Strategi”nya.
 
Kita kembali dulu ke tulisan pertama, Serat Rama dan Asta Brata (1): Sri Rama Menyerahkan Tahta Alengkadiraja Kepada Gunawan Wibisana, dr. Rusmono dalam arahannya tentang Asta Brata, tidak menyebut dewanya terlebih dahulu, melainkan delapan “Laku” nya, yang merupakan apa yang dikuasai oleh dewa tersebut. Mungkin kalau ceramahnya dua abad lalu dimana hampir semua orang (Jawa) masih kenal sosok wayang dengan karakternya, beliau akan menyebut wayangnya dulu.
 
Dalam Serat Rama, Yasadipura I menyebut nama dewa dan sifat-sifatnya, tanpa menyebut sebagai dewa apa (mungkin dianggap semua orang sudah tahu). Kita mulai dengan Batara Endra.
 
 
BATARA ENDRA: NGUDANAKEN WEWANGI ING SABUMI
 
Pada bait ke 19 pupuh Pangkur disebutkan bahwa Bathara Endra ngudanakên wêwangi ing sabumi. Hujan ibarat wewangian di bumi. Siapa orangnya yang tidak menunggu datangnya hujan, buktinya kalau hujan  tidak datang-datang berbagai upacara dilakukan manusia, termasuk yang agak aneh, memandikan kucing.
 
Selanjutnya dikatakan dana sumêbar sumawur  mêratani sajagad memberikan gambaran bahwa seorang pemimpin harus adil. Air menyebar kemana-mana dengan permukaan yang tetap rata, berarti sifat air tidak pilih kasih, tidak “emban cindhe emban siladan”.
 
Sifat mêratani sajagad ini dipertegas dengan kata-kata selanjutnya kawaratan gung alit sadayanipun pan ora amilih janma. Air tidak milih-milih, siapapun manusianya, perlakuannya sama. Ia akan berikan kepada siapa saja: kesejukan, kesegaran dan kebersihan (jangan lupa bahwa air adalah pembersih yang utama. Semua yang dekil sdan bau etelah diguyur air akan menjadi berseri dan wangi.
 
Bathara Endra adalah dewa yang menguasai air termasuk hujan Maka dikatakan laku yang pertama adalah “Laku hambeging Endra” (kalau kita pakai nama dewanya) atau “Laku hambeging tirta” (kalau kita ambil watak yang dimiliki atau kekuasaan yang dipegang Bathara Endra”. Selengkapnya bait ke 19 sebagai berikut:

 
 
LIDING DONGENG
 
Gambar: en.loadtr.com
Pada baris pertama dan ke dua bait 20 disebutkan: “iku yayi lakokêna | sawadyane kabèh amot ing bumi Itulah “yayi” (adik) yang harus dilakukan, mengambil sifat air, semua termuat di bumi ini. Menghidupi semuanya secara sama rata.
 
Ada teman yang menanyakan “kalau terjadi air bah (banjir) berarti kan air meluap dan tidak termuat?” betul air meluap dari pandangan kita. Meluapnya air bukan kesalahan Bathara Endra (Indra), melainkan kesalahan manusia yang memperlakukan bumi secara tidak betul. Atau mungkinkah Bathara Endra menghukum manusia? Yang menghukum manusia ada lagi yang lain. Bathara Endra tidak pernah menghukum atau menyusahkan orang. Sekali lagi kalau orang merasa terhukum karena air, maka hal tersebut karena salahnya sendiri. Kerusakan lingkungan termasuk “global warming” adalah akibat kelakuan manusia.

Monday, December 24, 2012

SERAT RAMA DAN ASTA BRATA (4): WAJIBING RAJA AGAWE TULADAN BECIK

Melanjutkan  Serat Rama dan Asta Brata (3): Memimpin Harus “Krama Tuhu” dan “Aja Atinggal sarat” Dikisahkan pada bait ke 13 dan 14 pupuh Pangkur, bahwa seluruh aparat dan “wong cilik” dengan anak istrinya tidak ada yang ketinggalan, semua bangkit untuk menjadi baik (milu tangi nedya ayu). Dua baris terakhir bait ke 14 menutup dengan kata-kata:  marmane wajibing raja agawe tuladan bêcik (oleh sebab itu kewajiban raja adalah memberikan keteladanan). Lengkapnya bait ke 13 dan 14 sebagai berikut:

 
Jadi “keteladanan” adalah kata kuncinya, karena pemimpin adalah panutan.
 
 
PEMIMPIN: YEKTI TINIRU SAJAGAD MUNGGUH ING REH ALA BECIK
 
Pemimpin adalah panutan. Kelakuannya, yang baik maupun yang buruk (ing reh ala becik), akan ditiru seluruh rakyatnya (yekti tiniru sajagad). Yang baik akan ditiru baik, yang buruk akan ditiru buruk (ala ya tiniru ala yèn abêcik pêsthi tiniru bêcik). Demikian disebutkan pada bait ke 15 dan 16 pupuh Pangkur sebagai berikut:

 
 Semua mengikuti kelakuan pimpinannya, bahkan akan lebih seru, seperti dikatakan dalam peribahasa Indonesia: Guru kencing berdiri murid kencing berlari. Bila kita merujuk kepada ucapak Ki Hajar Dewantara: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” maka posisi kalimat pertama: “ing ngarsa sung tuladha” ini penting sekali.
 
 
 
LIDING DONGENG
 
Menjadi panutan itu sulit. Baris ke 5 bait ke 16 di atas mengisaratkan untuk meneladani 8 dewa (lawan sira elinga bathara wolu), yaitu Bathara Endra, Bathara Surya, Bathara Bayu, Bathara Kuwera, Bathara Baruna, Bathara Yama, Bathara Candra dan Bathara Brama.yang dapat dibaca  pada bait ke 17 dan 18 sebagai berikut:

 
 
Delapan sifat dewa tersebut yang kemudian kita kenal  dengan sebutan  Asta Brata (istilah ini tidak disebut dalam Serat Rama) harus dimiliki semuanya kalau ingin menjadi pemimpin yang sesungguhnya (sayêkti ing narapati).
 

Saturday, December 22, 2012

SERAT RAMA DAN ASTA BRATA (3): MEMIMPIN HARUS “KRAMA TUHU” DAN “AJA ATINGGAL SARAT”

Melanjutkan  Serat Rama dan dan Astabrata (2): Pulihna praja Ngalengka, Bait ke 10 pupuh Pangkur diawali dengan kata “ngentekna pituturira”. Sri Rama rupanya ingin menuntaskan habis-habisan wejangannya, dalam upaya menyiapkan Wibisana memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Ngalengka sepeninggal Rahwana.
 
 
TAN KURANG ING WIWEKA, NORANTEK ING KRAMA TUHU
 
Disini Gunawan Wibisana yang terkenal baik hati diingatkan untuk senantiasa waspada (tan kurang ing wiweka). Sudah jamak bahwa orang kalau diingatkan supaya tidak kehilangan kewaspadaan maka ia menjadi “over”, dengan perilaku “mudah curiga”. Oleh sebab itu dilanjutkan dengan kata “norantek ing krama tuhu”. Tetaplah memegang teguh tatakrama. Subasita jangan ditinggalkan. ”Krama tuhu” dapat disamakan dengan susila anor raga yang telah saya tulis beberapa bulan yang lalu.
 
Lengkapnya bait ke 10 sebagai berikut:

 

AJA ATINGGAL SARAT
Susahnya orang memberi pitutur adalah: Ngomong gampang tetapi apa ia juga menetapi pituturnya sendiri? Ini yang sering menjadi bumerang bagi pimpinan yang pandai ngomong tetapi lupa omongannya sendiri. Kalau ia memerintahkan apel pagi jam 07.00 tepat kemudian ia baru “kledhang-kledhang” datang setelah jam 08 tentu hilang kredibilitasnya di mata bawahan. Satu contoh lagi yang banyak dilanggar adalah pada “era bebas asap rokok” seperti sekarang ini maka kita dilarang untuk merokok di ruangan. Bapak dan Ibu sudah tahu kelanjutannya, jadi tidak saya teruskan.
Pada baris akhir pupuh Pangkur bait ke 10 di atas yang dilanjutkan ke bait 11 dikatakan: Kalau kita memerintah bawahan untuk berbuat baik supaya mereka mau mengikuti, maka “aja atinggal sarat”. Artinya: Syarat yang telah kita berikan jangan dilanggar sendiri. Itu kewajiban orang yang memberi pitutur: Komitmen kepada ucapannya sendiri. Dapat dibaca pada tulisan saya tentang “Sabda Pandita Ratu” yang dapat di “klik” pada tulisan “memimpin” pada gambar “pandawa” di sebelah kanan. Adapun bait ke 11 lengkapnya sebagai berikut:

 
LIDING DONGENG

Kalau kita sudah bisa menetapi apa yang kita ucapkan maka tidak sulit mengendalikan anak buah. Akan mudah bagi kita untuk membiasakan anak buah agar berperilaku baik dengan dilandasi tatakrama (reh ayu kramaniti) yang sewajarnya.

Hal ini dapat kita baca pada bait ke 12 sebagai berikut:

Mengapa Sri Rama menekankan dua hal: (1) Nora entek ing krama tuhu dan (2) Reh ayu kramaniti (krama tuhu) karena satu hal yang perlu diingat para calon pemimpin bahwa wajibing raja agawe tuladan bêcik (yang merupakan judul tulisan berikutnya (IwMM)

Thursday, December 20, 2012

SERAT RAMA DAN ASTA BRATA (2): PULIHNA PRAJA NGALENGKA

Melanjutkan  Asta Brata (1): Sri Rama Menyerahkan tahta Alengkadiraja Kepada Gunawan Wibisana, saat itu Gunawan Wibisana sebenarnya sedang dalam kegalauan. Tiga saudara kandungnya tewas: Rahwana, Kumbakarna dan Sarpakenaka. Bagaimanapun, ia amat mencintai keluarganya. Wibisana juga malu kepada Kumbakarna, kakaknya, yang punya sikap sama dengan dia, yaitu tidak sependapat dengan tindakan Rahwana. Pada akhirnya Kumbakarna memang maju perang juga. Bukan membela kakaknya melainkan membela tanah airnya. Ia berperang dengan kesadaran tinggi untuk “bela negara”.
 
Satu dari tiga ksatria utama dalam Serat Tripama anggitan Sri Mangkunegara IV adalah Kumbakarna, bersama Patih Suwanda (Bambang Sumantri) dan Adipati Karna Narpati Ngawangga
 
 
SRI RAMA YANG BIJAK
 
Perintah utama Sri Rama kepada Gunawan Wibisana dapat dibaca pada  bait ke 9 pupuh Pangkur: pulihna praja Ngalêngka”. Sri Rama melihat bahwa ada sesuatu yang tidak betul dalam pemerintahan Rahwana. Ia berperang melawan Rahwana sebenarnya demi mengambil kembali Dewi Shinta, Istrinya, yang diambil paksa oleh Rahwana. Sepeninggal Rahwana, Rama tidak akan membiarkan Alengkadiraja menjadi seperti negeri yang dikalahkan garuda. Maka ia perintahkan kepada Wibisana: “pulihna praja Ngalêngka”.
 
Apa yang harus dipulihkan? Perlu diingat bahwa Ngalengka adalah kerajaan raksasa. Pada baris ke dua dan seterusnya masih dalam pupuh ke 9 disebutkan bahwa yang harus dipulihkan adalah keselamatan dan kesejahteraan para raksasa. Dijelaskan bahwa raksasa banyak yang masih muda dan bodoh (mudha punggung). Kalau tidak dibimbing, wajar saja kalau banyak yang memiliki hati durjana. Oleh sebab itu, kumpulkanlah, didiklah, kuasailah mereka supaya memurut dan menghentikan tingkah laku murkanya di bumi ini. Demikianlah kurang-lebihnya terjemahan bebas bait ke 9 yang lengkapnya sebagai berikut:

 
 Sri Rama memang memiliki sifat tidak pendendam, apalagi kepada rakyat yang tidak bersalah. Tetapi Sri Rama juga melihat, kalau rakyat dibiarkan liar tanpa pimpinan tanpa pembinaan, pasti akan menjadi liar dan tidak terkendali.
 
 
LIDING DONGENG
 
Bila kita mendapat promosi memegang suatu teritorial, kita pasti akan berusaha menjadi orang yang amanah. Hanya saja cara melaksanakan amanah bisa berbeda-beda. Ada yang melaksanakan dengan kekerasan dan mengarah ke sifat diktator. Hasilnya kelihatan terkendali, tetapi setiap saat bisa saja meledak. Oleh sebab itu, Sri Rama meminta Gunawan Wibisana untuk waspada, tetap dilandasi tatakrama dan tidak melanggar pituturnya sendiri. Dapat dibaca pada tulisan selanjutnya: Serat Rama dan Astabrata (3): Memimpin Harus : “Krama Tuhu” dan “Aja Atinggal Sarat” (IwMM)

Tuesday, December 18, 2012

SERAT RAMA DAN ASTA BRATA (1): SRI RAMA MENYERAHKAN TAHTA ALENGKADIRAJA KEPADA GUNAWAN WIBISANA

Pertamakali saya mendengar “Asta Brata” kira-kira tahun 1990an awal, saat mengikuti pengarahan Irjen Depkes yang saat itu dijabat oleh dr. Rusmono pada acara Rakerkesda Provinsi Jawa Timur. Saya eselon IV di Provinsi saat itu, jatah duduk di belakang, tetapi uraian pak Irjen begitu enak didengar dan mudah dicerna.
 
Asta Brata adalah delapan (Asta) ajaran utama untuk seorang pemimpin yang diwejangkan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibisana, setelah selesai peperangan dengan Rahwana. Rahwana tewas dan kerajaan diserahkan Sri Rama kepada Wibisana, adik bungsu Rahwana yang membantu Rama. Dalam pedalangan Jawa, digelar dalam lampahan Wahyu Makuta Rama pada era pandawa lima. Asta Brata mengambil sifat-sifat mulia alam semesta yang layak dipedomani setiap pemimpin: Air (Tirta), Matahari (Surya), Bulan (Candra), Bintang (Kartika), Bumi (Kisma), Angin (Bayu), Api (Agni) dan Lautan (Samodera).
 
Asta Brata mengajarkan kita untuk memperhatikan sifat-sifat alam semesta yang dalam Serat Rama tidak disebutkan sebagai "Asta Brata" melainkan pesan untuk "lawan sira elinga bathara wolu" yaitu delapan dewa yang  menguasai delapan komponen alam tersebut: Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Brahma.
 

Penjabaran yang lebih ilmiah dari Asta Brata melalui analisis sifat-sifat alam semesta bisa dibaca di tempat lain, tetapi saya mencoba recall ingatan 20an tahun lalu melalui satu rujukan yaitu “Serat Rama”, pupuh ke 77, dalam tembang Pangkur, anggitan pujangga terkenal pada jamannya, Yasadipura I.
 
Sebelum sampai ke Asta Brata, kita lihat dulu situasi kerajaan Alengka setelah tewasnya Rahwana Raja.
 
 
GUNAWAN WIBISANA DIANGKAT JADI RAJA ALENGKA
 
Kalau Rahwana tidak tewas, Gunawan Wibisana tidak akan menjadi raja Alengkadiraja. Kalau bukan Sri Rama yang mengalahkan Rahwana, maka Gunawan Wibisana tidak akan mendapatkan ajaran Asta Brata. Gunawan Wibisana sendiri tidak pernah mimpi jadi raja. Ia menghamba kepada Sri Rama karena merasa tidak cocok dengan sifat angkara murka Rahwana, kakaknya. Barangkali ia juga berpikir bahwa Sri Rama yang terusir dari kedudukannya sebagai "crown prince" kerajaan Ayodya (dapat dibaca di tulisan Sabda Pandita Ratu: Kisah Dasarata dan Santanu) akan mengangkat dirinya sendiri jadi Raja Alengkadiraja.
 
Betapa kagetnya Gunawan Wibisana ketika Sri Rama bertitah (Bait ke 8) sebagai berikut:

 
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
 
Hai Gunawan Wibisana, engkau sekarang yang menjadi raja Ngalengka, menggantikan raja yang dihormati (siniwi) raksasa. Pertimbangan Sri Rama adalah Gunawan Wibisana memiliki keluhuran (prabawa) yang sudah dikenal diseantero jagad dan sudah menguasai (kertarta) dalam hal kemampuan (guna), kehati-hatian (wiweka) dan cinta kasih.
 
 
LIDING DONGENG
 
Sri Rama mengangkat Gunawan Wibisana tentunya bukan tanpa pertimbangan. Jelas Wibisana akan loyal, tetapi tidak hanya itu, keluhuran budi dan kompetensinya sudah teruji dan dikenal secara luas. Walau demikian, Sri Rama tetap merasa perlu untuk memberikan point-point pengarahan. Kita lanjutkan ke Serat Rama dan Astabrata (2): Pulihna Praja Ngalengka (IwMM).

Sunday, December 16, 2012

YOGA ANGANGGA YOGI

Saya ketemu lagi dengan Mas Parmo di rapat RW. “Ngethuprus” dia ceritera “success story” waktu pasrah penganten minggu lalu (baca: Lir atau Nir). Dia bilang banyak yang memuji bahasa Jawanya yang sudah tidak banyak didengar orang lagi, termasuk logat Jawanya yang masih Jawa. Orang-orang yang mengenal almarhum ayah Mas Parmo mengatakan dia ini “Yoga anyangga yogi”.
 
Pak Broto yang duduk disamping saya langsung memotong: “Mengko dhisik, Mas. Maksudnya yoga anyangga yogi itu apa?
 
“Ya anak mengikuti sifat orang tuanya. Almarhum bapak dulu kan Jawa banget”.
 
“Itu yang saya tanyakan, Mas”. Jawab Pak Broto. “Anyangga, kan asal katanya sangga yang artinya menopang. Pengertiannya kok jadi gitu?”
 
 
KESALAHAN UMUM
 
Pak Broto benar. “Sangga” artinya menopang, sama dengan menyangga dalam bahasa Indonesia. Kalau peribahasanya adalah “Yoga anyangga yogi” maka seharusnya diartikan “anak yang berbakti kepada orang tuanya”.
 
Kita kembali ke laptop dulu, Poerwadarminta, 1939 (Bausastra Jawa) dan Padmasusastra, 1967 (Sarine Basa Jawa) memang menuliskan sebagai “Yoga angangga yogi”. Dari aspek bahasa, maka: (1) Yoga: Anak, (2) Sangga: Topang, (3) Angga: badan, dan Yogi: Pendeta.
 
Kalau kita mengatakan “Yoga anyangga yogi” dengan pengertian “anak mengikuti orang tuanya (atau gurunya) maka antara peribahasa dan pengertiannya menjadi tidak klop. Mestinya adalah “Yoga angangga yogi” tetapi pengertiannya menjadi lain sama sekali. Kita bayangkan ada anak dengan segala sifat kebocahannya tetapi mempunyai “angga” (badan) “yogi (pendeta/guru) yang pasti sudah tua. Dalam ucapan Jawa sehari-hari dikatakan “bocah sing temuwa” atau anak yang sudah punya sifat seperti orang tua. Jadi bukan perilaku anak mengikuti orang tuanya.
 
 
JLENTREHNYA BAGAIMANA

“Lire kepriye, Dhik?” mas Parmo mempraktekkan penggunaan kata “Lir” dalam kepenasarannya.
“Jlentrehnya gini, Mas. Misalnya ada anak kecil, katakan umur 12 tahun. Ia momong adiknya. Lalu si adik main air. Dia melarang, jangan dik, nanti sakit kalau kebanyakan main air. Ketika adiknya jatuh, kemudian menangis, ia menghibur, bukan memarahi. Itulah yang dinamakan yoga angangga yogi. Anak kecil yang temuwa”.
“Wah, kalau gitu sudah salah peribahasanya, masih terlalu jauh kenyataannya”, kata Mas Parmo. “Waktu kecil saya ini mbeling sekali. Adik saya yang minggu lalu mantu itu sering nangis karena saya suka rebut mainannya”.
Mas Parmo manggut-manggut. Ia selalu percaya dengan penjelasan saya, walaupun dalam urusan bahasa Jawa saya ini juga amatiran. “Lalu seharusnya mereka mengatakan apa kalau saya ini sama dengan almarhum bapak?”
Kacang ora ninggal lanjaran, Mas. Masa gitu saja ora ngerti”. Pak Broto yang menjawab. (IwMM)

Thursday, December 13, 2012

SERING DITANYAKAN: LIR ATAU NIR

Satu kata pendek tiga huruf dengan perbedaan pada huruf pertama L dan N ini dari dulu terus ditanyakan teman-teman. Memang dua kata ini sudah hampir tidak pernah lagi dipakai dalam percakapan sehari-hari. Pertama kali saya semangat menjawabnya. Lama-lama bosan juga, padahal yang tanya orangnya beda.
 
Kemarin dulu mas Parmo SMS: “Dik, bedane LIR karo NIR iku apa?” Wah ini kalau dijawab pakai SMS bisa tambah tidak jelas, jadi saya jawab saya: “Telepon saya saja Mas, biar jelas”.
 
Dalam satu menit Mas Parmo sudah nelepon: “Aku ke rumah saja Dik, biar mantap”.
 
Rupanya mas Parmo jadi panitia manten. Karena logat Jawanya medhok, maka oleh pemangku hajat yang kebetulan adiknya sendiri, dia ditugasi menerima acara pasrah penganten. Sambutan sudah dibuat, dia tinggal baca. Sudah tentu naskah penuh “basa rinengga” dan dia jadi ragu-ragu sendiri ketika terakhir ada kata-kata: “LIR ing sambekala”. (Catatan: memang benernya NIR. Mungkin yang mengetik juga “tidak dhong”)
 
 
PENGERTIAN “LIR”
 
Ada beberapa pengertian kata “LIR” bergantung kalimatnya bagaimana.

1.    Seperti atau laksana: Misalnya LIR hapsari tumurun ing marcapada (seperti/laksana bidadari turun ke dunia)

2.    Maksud perkataan: Misalnya orang tidak jelas dengan penjelasan saya, maka ia bisa mengatakan” LIRe piye mas?” Dalam bahasa yang lebih umum adalah “Jlentrehe piye Mas? (Maksudnya/penjelasannya gimana, mas?)

3.    Menjelaskan maksud yang sebenarnya: Misalnya menjawab pertanyaan pada butir 2 di atas, kita katakan “LIRe mangkene Dhi”. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kita katakan “Jlentrehe ngene lho Dhik”.

4.    Terkait dengan pengertian butir 3, LIR bisa diartikan juga sebagai “oleh sebab itu”. Misalnya kita katakan: LIRe wong urip iku kudu tulung-tinulung”. (Oleh sebab itu orang hidup harus tolong-menolong)

5.    Yang satu ini agak beda pengertiannya. DiLIRake: diabaikan, tidak diurus, tidak direken

6.    Demikian pula yang satu ini. SaLIRing: Kesemuanya. Misalnya “SaLIRing titah butuh mangan”. (Semua makhluk butuh makan).

PENGERTIAN “NIR”

Ada orang yang menyebut “menir” (pecahan beras yang agak lembut tetapi bukan tepung beras) dipendekikan menjadi NIR saja. Tapi yang dimaksud dengan kata NIR dalam bahasa Jawa yang  berasal dari basa Kawi adalah: HILANG atau TANPA.


PENUTUP

Kata-kata yang ditanyakan Mas Parmo tadi adalah kata penutup sambutan yang diketik "LIR". Yang benar adalah bukan "LIR" melainkan NIR baya, NIR wikara, NIR ing sambekala: Tidak ada bahaya, tidak ada masalah dan tidak ada halangan. Mas Parmo sebenarnya sudah tahu yang benar adalah NIR ing sambekala bukan LIR. Tapi ia rancu dengan kata NIR laba.

Tuesday, December 11, 2012

SERAT WULANGREH: TIDAK NARIMA YANG BAIK DAN TIDAK NARIMA YANG TIDAK BAIK

Ini lagi satu bukti bahwa yang namanya “Narima” itu tidak sekedar pasrah “srah” tanpa upaya. Bila pada tulisan sebelumnya diceriterakan tentang “Narima yang tidak baik dan Narima yang baik” maka sekarang kebalikannya. Bila yang pertama “Narima bisa salah” maka yang ini “tidak narima bisa betul”. Oleh sebab itu bila ada orang mengatakan “Aku ora trima” jangan cepat-cepat disalahkan walau jangan cepat-cepat pula dibenarkan. Lihat-lihat dulu situasinya.
 
Kebetulan hari Minggu yang lalu Darman mampir ke rumah. Ia ceritera barusan membantu tetangga yang SK Pensiunnya macet sudah hampir setahun. “Pak Drana itu betul-betul Jawa banget. Masa SK tidak keluar dia diam-diam saja. Dia bilang nanti kan ya keluar, dapat rapelan. Malah saya yang ora trima, Mas. Salahkan saya?”
“Tidak, Man”. Jawab saya tidak menggebu seperti ceritera Darman. “Ora trima itu boleh, kok. Yang bilang Sri Pakubuwana IV lho, Man. Dalam Serat Wulangreh”. Saya masuk ke kamar mengambil buku Wulangreh. Tapi ya harus menjelaskan, karena teman saya yang satu ini bukan orang Jawa.
 
SEKOLAH SAMPAI TINGGI: CONTOH ORA NARIMA YANG BECIK
Ada satu "tuladha" yang diberikan melalui pupuh Mijil bait ke 12 dan 13, bahwa “ora narima yang becik” itu ada. Contohnya adalah orang yang mencari ilmu. Sudah pandai tetapi masih belum puas karena merasa belum cukup. Ini narima yang baik.
Lengkapnya bait ke 12 dan 13 sebagai berikut:
12. wong kang tan narima dadi bêcik | titahing Hyang Manon | iki iya kita rerupane | kaya wong kang angupaya ngèlmi | lan wong sêdya ugi | kapintêran iku ||
13. uwis pintêr nanging iku maksih | gonira ngupados | ing undhake ya kapintêrane | utawa unggahing kawruh yêkti | durung marêm batin | lamun durung tutug ||
Memang bukan masalah SK terlambat keluar, tapi dari bait ke 12 dan 13 di atas dapat diambil kesimpulan bahwa “ora terima” itu bisa baik dan bisa dibolehkan. SK kan “hak”. Kalau kita menuntut hak masa nggak boleh. Tentunya dengan cara yang baik, kita klarifikasi dengan kepala tetap dingin. Pak Drono ya salah kalau dia adhem-ayem saja. Jangan-jangan ada berkas yang kurang, tetapi pemberitahuannya tidak sampai ke dia.
 
MAU CEPAT-CEPAT: CONTOH ORA NARIMA YANG JELEK
Adapun contoh “ora narima” yang jelek adalah orang yang “mau cepat-cepat”. Pokoknya yang serba mau cepat adalah tidak baik. Dalam kasus SK pensiun tadi, kalau baru sebulan kita tanyakan “Mana SK saya?” Tentunya tidak tepat. Kan harus diproses dan simpulnya cukup panjang. Beda dengan minta keterangan sakit ke Dokter, hari itu kita minta, hari itu pula kita dapat.
Pada bait ke 15 masih dalam Serat Wulangreh pupuh Mijil disebutkan:
15. yèn wong kang kurang narima ugi | iku luwih awon | barang gawe aja age-age | anganggoa sabar lawan ririh | dadi barang kardi | rêsik tur rahayu ||
Kita lihat bahwa “barang gawe aja age-age; anganggoa sabar lawan ririh”. Pokoknya yang mau serba cepat umumnya merupakan sifat “ora narima” yang jelek.
 
LIDING DONGENG
Kelebihan Darman, dia kalau diberi penjelasan selalu mendengar dengan saksama dan terakhir ia akan menyimpulkan dengan satu kalimat pendek:
“Jadi mas, nrima tanpa upaya adalah jelek. Tetapi upaya kalau kesusu, kembali jadi jelek. Masalahnya sekarang banyak orang kesusu, mas. Kesusu mau cepat kaya, mau cepat naik pangkat, mau cepat berkuasa. Pokoknya mau cepat-cepat dapat jeneng dan jenang. (IwMM)

Most Recent Post


POPULAR POST