Melanjutkan Serat Rama dan dan Astabrata (2): Pulihna praja Ngalengka, Bait
ke 10 pupuh Pangkur diawali dengan kata “ngentekna
pituturira”. Sri Rama rupanya ingin menuntaskan habis-habisan wejangannya,
dalam upaya menyiapkan Wibisana memegang tampuk kekuasaan tertinggi di
Ngalengka sepeninggal Rahwana.
TAN
KURANG ING WIWEKA, NORANTEK ING KRAMA TUHU
Disini
Gunawan Wibisana yang terkenal baik hati diingatkan untuk senantiasa waspada (tan kurang ing wiweka). Sudah jamak
bahwa orang kalau diingatkan supaya tidak kehilangan kewaspadaan maka ia
menjadi “over”, dengan perilaku “mudah curiga”. Oleh sebab itu dilanjutkan
dengan kata “norantek ing krama tuhu”.
Tetaplah memegang teguh tatakrama. Subasita jangan ditinggalkan. ”Krama tuhu”
dapat disamakan dengan “susila anor raga”
yang telah saya tulis beberapa bulan yang lalu.
AJA ATINGGAL
SARAT
Susahnya
orang memberi pitutur adalah: Ngomong gampang tetapi apa ia juga menetapi
pituturnya sendiri? Ini yang sering menjadi bumerang bagi pimpinan yang pandai
ngomong tetapi lupa omongannya sendiri. Kalau ia memerintahkan apel pagi jam
07.00 tepat kemudian ia baru “kledhang-kledhang” datang setelah jam 08 tentu
hilang kredibilitasnya di mata bawahan. Satu contoh lagi yang banyak dilanggar
adalah pada “era bebas asap rokok” seperti sekarang ini maka kita dilarang
untuk merokok di ruangan. Bapak dan Ibu sudah tahu kelanjutannya, jadi tidak
saya teruskan.
Pada baris
akhir pupuh Pangkur bait ke 10 di atas yang dilanjutkan ke bait 11 dikatakan: Kalau
kita memerintah bawahan untuk berbuat baik supaya mereka mau mengikuti, maka “aja atinggal sarat”. Artinya: Syarat
yang telah kita berikan jangan dilanggar sendiri. Itu kewajiban orang yang
memberi pitutur: Komitmen kepada ucapannya sendiri. Dapat dibaca pada tulisan
saya tentang “Sabda Pandita Ratu” yang dapat di “klik” pada tulisan “memimpin”
pada gambar “pandawa” di sebelah kanan. Adapun bait ke 11 lengkapnya sebagai
berikut:
LIDING
DONGENG
Kalau kita
sudah bisa menetapi apa yang kita ucapkan maka tidak sulit mengendalikan anak
buah. Akan mudah bagi kita untuk membiasakan anak buah agar berperilaku baik
dengan dilandasi tatakrama (reh ayu
kramaniti) yang sewajarnya.
Hal ini dapat kita baca pada bait ke 12 sebagai berikut:
Hal ini dapat kita baca pada bait ke 12 sebagai berikut:
Mengapa
Sri Rama menekankan dua hal: (1) Nora
entek ing krama tuhu dan (2) Reh ayu
kramaniti (krama tuhu) karena satu hal yang perlu diingat para calon
pemimpin bahwa “wajibing raja agawe tuladan bêcik” (yang merupakan judul tulisan berikutnya (IwMM)
No comments:
Post a Comment