Melanjutkan
Serat Rama dan Asta Brata (3): Memimpin Harus “Krama Tuhu” dan “Aja Atinggal sarat” Dikisahkan pada bait ke 13 dan 14 pupuh Pangkur,
bahwa seluruh aparat dan “wong cilik” dengan anak istrinya tidak ada yang
ketinggalan, semua bangkit untuk menjadi baik (milu tangi nedya ayu). Dua baris terakhir bait ke 14 menutup
dengan kata-kata: marmane wajibing raja agawe
tuladan bêcik (oleh
sebab itu kewajiban raja adalah memberikan keteladanan). Lengkapnya bait ke 13
dan 14 sebagai berikut:
Jadi
“keteladanan” adalah kata kuncinya, karena pemimpin adalah panutan.
PEMIMPIN:
YEKTI TINIRU SAJAGAD MUNGGUH ING REH ALA BECIK
Pemimpin
adalah panutan. Kelakuannya, yang baik maupun yang buruk (ing reh ala becik), akan ditiru seluruh rakyatnya (yekti tiniru sajagad). Yang baik akan
ditiru baik, yang buruk akan ditiru buruk (ala ya
tiniru ala yèn abêcik pêsthi tiniru bêcik). Demikian disebutkan pada bait ke 15 dan 16 pupuh Pangkur sebagai berikut:
Semua
mengikuti kelakuan pimpinannya, bahkan akan lebih seru, seperti dikatakan dalam
peribahasa Indonesia: Guru kencing berdiri murid kencing berlari. Bila kita
merujuk kepada ucapak Ki Hajar Dewantara: “Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” maka
posisi kalimat pertama: “ing ngarsa sung
tuladha” ini penting sekali.
LIDING
DONGENG
Menjadi
panutan itu sulit. Baris ke 5 bait ke 16 di atas mengisaratkan untuk meneladani
8 dewa (lawan sira elinga bathara wolu),
yaitu Bathara Endra, Bathara Surya, Bathara Bayu, Bathara Kuwera, Bathara Baruna,
Bathara Yama, Bathara Candra dan Bathara Brama.yang dapat dibaca pada bait ke 17 dan 18 sebagai berikut:
Delapan
sifat dewa tersebut yang kemudian kita kenal dengan sebutan Asta Brata (istilah ini tidak disebut dalam
Serat Rama) harus dimiliki semuanya kalau ingin menjadi pemimpin yang
sesungguhnya (sayêkti ing
narapati).
Dilanjutkan
ke Serat Rama dan Asta Brata (5): Bathara Endra
No comments:
Post a Comment