“Sabda Pandita Ratu” adalah ucapan pimpinan yang seharusnya memang demikian dan merupakan harapan rakyat kepada
mereka. Dalam hal ini “Ratu”
tidak hanya mewakili pimpinan tertinggi pada khususnya tetapi juga “umaroh”
pada umumnya. Sedangkan “Pandita”
adalah “Ulama”. Bila dikaitkan dengan posisi raja pada jaman dulu, bahwa raja
adalah senapati ing ngalaga (panglima perang), khalifatulah (raja) sekaligus
sayidin panatagama (pimpinan agama), maka tanggungjawab raja adalah berat. Tiga
hal jadi satu. Jadi untuk berucap harus benar-benar berhati-hati, mengingat ia
harus “Bawa laksana”, atau kesamaan
ucapan dan tindakan.
“Sabda” adalah ucapan. Jadi apa yang
diharapkan dari ucapan seorang ratu? Disebutkan “Sabda pandita ratu tan kena wola-wali” atau juga “Sabda brahmana raja sepisan dadi tan kena
wola-wali”. Artinya ucapan seorang pimpinan (pemerintahan maupun agama)
harus “sepisan dadi, tan kena wola-wali”.
Sekali diucapkan ya itu yang harus dilakukan, tidak boleh berubah-ubah. Kalau “molak-malik” apalagi yang diucapkan
adalah sebuah janji, tidak hanya membingungkan dan menyakiti rakyat tetapi juga
merusak citra.
Sebenarnya
“Sabda pandita ratu” tidak melulu
pesan untuk pimpinan, tetapi juga pesan untuk kita semua: Kalau berbicara
hendaknya dipikir lebih dahulu. Pakai deduga,prayoga, watara dan reringa. Jangan waton nylekop, tahu-tahu ucapannya
salah, dengan dua konsekwensi, mau meralat atau tidak meralat. Keduanya
sama-sama tidak menyenangkan. Pada umumnya yang dilakukan adalah “tidak”
meralat karena pesan dibelakangnya adalah “sepisan
dadi” dan/atau “tan kena wola-wali”. Manusia hidup harus "sabda laksana" menetapi apa yang telah diucapkan.
Risiko
“Sabda pandita ratu” amat besar. Dua contoh di bawah ini saya ambil dari kisah
Ramayana dan Mahabharata, sebagai berikut
RAJA
DASARATA DARI AYODYA
Prabu Dasarata mempunyai isteri tiga: Dewi Kausalya yang berputra Ramawijaya, Dewi Kaikayi berputra Barata dan Dewi Sumitra berputra dua, yaitu Laksmana dan Satrugna. Saat sang prabu merasa sudah waktunya lengser keprabon, maka ia memutuskan untuk menobatkan Ramawijaya sebagai suksesornya di kerajaan Ayodya. Semua pembesar kerajaan dan rakyat mendukung dengan gegap gempita putusan raja sepuh tersebut.
Prabu Dasarata mempunyai isteri tiga: Dewi Kausalya yang berputra Ramawijaya, Dewi Kaikayi berputra Barata dan Dewi Sumitra berputra dua, yaitu Laksmana dan Satrugna. Saat sang prabu merasa sudah waktunya lengser keprabon, maka ia memutuskan untuk menobatkan Ramawijaya sebagai suksesornya di kerajaan Ayodya. Semua pembesar kerajaan dan rakyat mendukung dengan gegap gempita putusan raja sepuh tersebut.
Sayang
masalahnya tidak berhenti disini. Mantara, abdi kinasih Dewi Kaikayi sekaligus
pengasuh pangeran Barata, mengingatkan sang puteri akan janji raja waktu
meminang Dewi Kaikayi: Bahwa putra Kaikayi lah yang akan dinobatkan sebagai
pengganti raja. Walaupun Dewi Kaikayi pada awalnya merelakan, lama-lama
terbakar juga dan menuntut janji sang raja. Tidak hanya menuntut Barata jadi
raja, tetapi juga meminta supaya Rama (sekaligus Dewi Shinta, istrinya) dibuang
ke hutan. Rama
demi netepi jejering satriya, ikhlas menyerahkan hak atas tahta kepada Barata,
termasuk siap dibuang di hutan. Barata sendiri sebenarnya tidak menghendaki
dirinya jadi raja.
Tidak ada pilihan lain bagi prabu Dasarata. “Sabda pandita ratu” harus dipegang. Sang raja pun curhat tentang hal ini, kepada Dewi Kausalya, ibunda Rama. Selesai berceritera, raja wafat. Barata bersedia menjadi raja atas nama Rama, dengan menempatkan terompah Rama di singgasana.
Tidak ada pilihan lain bagi prabu Dasarata. “Sabda pandita ratu” harus dipegang. Sang raja pun curhat tentang hal ini, kepada Dewi Kausalya, ibunda Rama. Selesai berceritera, raja wafat. Barata bersedia menjadi raja atas nama Rama, dengan menempatkan terompah Rama di singgasana.
RAJA
SANTANU DARI HASTINAPURA
Prabu Santanu adalah raja Hastinapura yang secara legal merupakan leluhur Pandawa. Alkisah saat sang raja berburu di tepi sungai Gangga, bertemu dengan seorang wanita cantik, Dewi Gangga yang sebenarnya bidadari yang dikutuk dewa dan diturunkan ke bumi. Dewi Gangga bersedia jadi isteri Santanu dengan syarat apapun yang ia lakukan, tidak boleh ditanya apalagi dilarang. Santanu pun langsung OK.
Prabu Santanu adalah raja Hastinapura yang secara legal merupakan leluhur Pandawa. Alkisah saat sang raja berburu di tepi sungai Gangga, bertemu dengan seorang wanita cantik, Dewi Gangga yang sebenarnya bidadari yang dikutuk dewa dan diturunkan ke bumi. Dewi Gangga bersedia jadi isteri Santanu dengan syarat apapun yang ia lakukan, tidak boleh ditanya apalagi dilarang. Santanu pun langsung OK.
Masalahnya
Dewi Gangga sudah terlanjur janji untuk membantu 8 Wasu yang juga kena
kutuk dan diturunkan jadi manusia. Kedelapan wasu akan lahir sebagai anak Dewi
Gangga setelah punya suami, dan minta dibunuh dengan ditenggelamkan di Sungai
Gangga, sehingga bisa kembali ke kahyangan.
Ketika
Dewi Gangga setiap melahirkan selalu membawa bayinya dan membuangnya ke Sungai
Gangga, Santanu tidak bisa berbuat apa-apa karena terikat janji. Bagaimanapun kesabaran manusia ada batasnya.
Pada kehamilan yang ke delapan Prabu Santanu memperingatkan Dewi Gangga untuk
menghentikan perbuatannya. Sang Dewi bersedia menghentikan, ia menjelaskan
masalahnya, kemudian masuk ke kedalaman Sungai Gangga dan tidak kembali lagi ke
Hastinapura. Kelak ia mengirimkan putranya yang bernama Dewabrata. Pemuda
tampan dan sakti, calon penerus tahta Hastina.
Kita
pindah ke Sungai Yamuna. Adalah seorang nelayan yang mempunyai anak wanita amat
cantik dan baunya harum semerbak, sehingga dikenal sebagai Dewi Gandawati
(Ganda: bau) selanjutnya lebih tenar dengan nama Dewi Satyawati. Berita ini
terdengar oleh Prabu Santanu yang sudah lama menduda. Sang raja pun akhirnya
melamar untuk memperisteri, tetapi terhambat pada permintaan orang tua
Gandawati bahwa tahta Hastina harus diberikan kepada keturunan Gandawati.
Santanu pun kembali ke Hastina dan jatuh sakit.
Dewabrata
sebagai anak yang tanggap, mencari tahu penyebab ayahandanya sakit. Setelah
tahu, ia pun mencari Dewi Gandawati dan melamarkan untuk ayahnya. Sekaligus
ia memenuhi semua permintaan dan bersumpah tidak menikah supaya tidak menimbulkan
pertikaian antar keturunan. Para dewa menaruh hormat pada sumpah Dewabrata,
selanjutnya ia dikenal dengan nama Bisma.
LIDING
DONGENG
Menetapi
“Sabda Pandita Ratu” memang amat
berat. Prabu Dasarata harus mengorbankan Rama dan meninggal dalam kesedihan.
Demikian pula Dewabrata yang menyerahkan hak atas tahta demi kebahagiaan
ayahnya yang tidak mau melanggar “Sabda
Pandita Ratu.” Kata kuncinya untuk bahasa sekarang sederhana saja “memegang
komitmen”. Gampang diucapkan, susah dilaksanakan (IwMM).
Dilanjutkan ke Sabda Pandita Ratu (2): Kisah Wisrawa dan Dewabtara
Dilanjutkan ke Sabda Pandita Ratu (2): Kisah Wisrawa dan Dewabtara
No comments:
Post a Comment