Menarik
sekali apa yang disampaikan Sri Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh mengenai “sifat
nerima” dalam pupuh Mijil bait ke 4 s/d 7. Pendapat bahwa “nrima” itu “pasrah
bongkokan” dan tanpa upaya samasekali menjadi buyar. Nerima ada yang baik dan
ada pula yang tidak baik. Tentunya jadi orang itu harus “nerima” tetapi “nerima”
yang baik.
Pada bait ke 4 disebutkan bahwa ada orang yang nerima justru berakhir tidak baik, sebaliknya ada orang yang tidak nerima, akhirnya malah jadi baik. Tetapi Sri Pakubuwana IV juga mengingatkan supaya jangan “salang-surup” (salah tafsir).
Pada bait ke 4 disebutkan bahwa ada orang yang nerima justru berakhir tidak baik, sebaliknya ada orang yang tidak nerima, akhirnya malah jadi baik. Tetapi Sri Pakubuwana IV juga mengingatkan supaya jangan “salang-surup” (salah tafsir).
Lengkapnya
bait ke 4 sebagai berikut:
4. ana wong narima wus titahing | Hyang pan dadi awon | lan ana wong tan
nrima titahe | ing wêkasan iku dadi bêcik | kawruhana ugi | aja salang-surup ||
Supaya
tidak salang surup maka dijelaskan pada bait ke 5 s/d 7
NARIMA
YANG TIDAK BAIK
Bait
ke 5 pupuh Mijil memberikan contoh “narima yang tidak baik” yaitu orang bodoh
yang menerima begitu saja kondisi kebodohannya, tidak mau tanya atau meniru
yang pandai. Oleh sebab itu orang tidak boleh malu bertanya, tidak boleh pula
malu mengakui kebodohannya. Dalam bait ke 22 pupuh Mijil disebutkan dèn kêrêp têtakon aja isin ngatokkên bodhone.
Selengkapnya
bait ke 5 sebagai berikut:
5. yèn wong bodho kang tan nêdya ugi | têtakon têtiron | anarima ing
titah bodhone | iku wong narima nora bêcik | dene ingkang bêcik | wong narima
iku ||
Orang
yang seperti ini bisa-bisa tujuh turunan tidak akan maju. Mengapa demikian?
Sebagai contoh, seorang bapak yang kerjaannya “ngarit” (mencari rumput) dan ia sudah nerima
seperti itu maka ia akan “ngarit” sampai mati. Bila ia juga tidak berupaya dan
memotivasi supaya anak-anaknya maju. Maka anak-anaknya kelak hanya akan
mengikuti jejak bapaknya “ngarit” atau yang sejenis “menggembalakan ternak”
milik orang lain. Tidak ada pikiran untuk punya ternak sendiri dan mampu
mengupah orang lain untuk menggembalakan.
Itulah
contoh “narima nora
bêcik”. Selanjutnya “dene ingkang bêcik wong narima iku”
dijelaskan seperti di
bawah
NARIMA
YANG BAIK
Sifat
“narima yang baik” dapat dibaca pada bait ke 6 dan 7. Contoh yang diberikan
adalah bagaimana seharusnya kita “ngawula” kepada raja; tentunya harus “narima”.
Ada beberapa tulisan dalam Serat Wulangreh dapat dipakai sebagai rujukan, yang intinya adalah “narima”. Saya kemas dalam untuk ngawula (ada empat): Ngawula itu tidak gampang, ngepluk asungkanan, rumeksa marang gusti dan tidak bolehminggrang-minggring.
Dijelaskan
pada bait ke 6 bahwa orang yang mengabdi lama-kelamaan juga akan tercapai
harapannya, misalnya dipromosikan jadi mantri atau bupati (tentunya dilandasi
empat pesan di atas). Kata kuncinya disini adalah “lawas-lawas
katêkan sêdyane”. Perhatikan
kata “lawas-lawas” atau “lama-kelamaan”. Selama kita berada dalam masa “lama” tentunya harus “narima”.
Lengkapnya
bait ke 6 sebagai berikut:
6. kaya upamane wong angabdi | amagang sang katong | lawas-lawas katêkan
sêdyane | dadi mantri utawa bupati | miwah saliyaning |ing tyase panuju
Selanjutnya
pada bait ke 7 dijelaskan supaya kita tetap “narima” dan tidak membangkang pada
raja (tan mèngèng ing katong) maka kecintaan raja (pimpinan) akan sampai kepada
keluarga kita. Itulah yang dikatakan sebagai “wong narima
bêcik kang mangkono iku”.
Lengkapnya
bait ke 7 sebagai berikut:
7. nuli narima têrus ing batin | tan mèngèng ing katong | tan rumôngsa
ing kanikmatane | sihing gusti têkèng anak rabi | wong narima bêcik | kang
mangkono iku ||
KESIMPULAN
“Narima”
yang tidak baik adalah orang yang tidak mau atau tidak berupaya untuk
memperbaiki nasib. Kalau orang satu desa semuanya punya sifat seperti ini, maka
desanya tidak akan pernah maju, tetap menjadi desa yang tertinggal. Kata kuncinya:
tanpa upaya.
“Narima”
yang baik adalah orang yang sabar. Ia laksanakan pengabdiannya dengan tulus dan
ikhlas. Ia kerjakan semuanya dengan rajin dan profesional tanpa menuntut
apapun. Yang “becik” akan “ketitik” maka “lawas-lawas” (lama kelamaan) “katekan
sedyane”. Kata kuncinya: Upaya dan sabar. (IwMM)
Dilanjutkan ke Serat Wulangreh: Tidak
narima yang baik dan tidak narima yang tidak baik
No comments:
Post a Comment