Gambar 1: Ngepluk asungkanan |
Pada posting Serat Wulangreh,Pesan untuk ngawula (1): Ngawula tidak gampang, disebutkan pada butir ke 7 bahwa orang
ngawula tidak boleh “ngepluk asungkanan”.
“Ngepluk adalah orang yang tidak punya rasa malu bahwa ia malas, dan pengertian “sungkan” adalah malas. Jadi “ngepluk asungkanan” adalah orang yang dobel malas dan nggak malu atas kemalasannya.
“Ngepluk adalah orang yang tidak punya rasa malu bahwa ia malas, dan pengertian “sungkan” adalah malas. Jadi “ngepluk asungkanan” adalah orang yang dobel malas dan nggak malu atas kemalasannya.
Manusia seperti ini manfaatnya hampir tidak ada. Sudah pasti termasuk orang-orang yang lumuhan dan masih lebih aji godhong jati aking, seperti disebutkan Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama
MANUSIA YANG TIDAK
LAYAK NGAWULA
Mengenai orang yang “ngepluk asungkanan ini Sri Pakubuwana IV menggarisbawahi sebagai orang yang tidak pantas “ngawula”. Dikatakan pada bait ke 26 pupuh Maskumambang sebagai sejelek-jelek manusia (luwih ala-alane jalma ngaurip) dan tidak pantas ngawula kepada siapa saja, tidak hanya kepada raja (tan patut ngawulèng aji; angèngèra sapa-sapa).
Mengenai orang yang “ngepluk asungkanan ini Sri Pakubuwana IV menggarisbawahi sebagai orang yang tidak pantas “ngawula”. Dikatakan pada bait ke 26 pupuh Maskumambang sebagai sejelek-jelek manusia (luwih ala-alane jalma ngaurip) dan tidak pantas ngawula kepada siapa saja, tidak hanya kepada raja (tan patut ngawulèng aji; angèngèra sapa-sapa).
Pada bait ke 27 bahkan
disebutkan bahwa orang sungkanan seperti ini walau ikut orang tuanya sendiri (amilua
ing bapa biyung pribadi)
tidak urung akan dimarahi (datan wurung dèn srêngêni), bahkan kalau melawan (milawanana) bisa dipukul (pinala).
Selanjutnya pada bait
ke 28 dikatakan orang seperti itu apa ya pantas untuk ngawula (mapan kaya
mangkono ngawulèng gusti). Kalau sembrana (kalamun lêleda) maka akhirnya akan celaka (tan wurung manggih bilai) dan di belakang hari jangan menyesal (ing wuri aja
ngêrsula).
PENUTUP
Ada paribasan “Keduwung nguntal wedung”. Keduwung adalah menyesal, perumpamaan dalam paribasan
ini, karena orang sudah terlanjur menelan (nguntal)
wedung (senjata semacam belati). mau apa lagi wedung sudah masuk perut, mau
dimuntahkan susah, ditunggu keluar bersama kotoran sama susahnya. Tidak beda halnya
dengan orang sungkanan di atas. Sudah terlanjur malas. Mau bangkit badan
sakit-sakit, mau tetap malas pasti ewes ewes ewes bablas untuk selanjutnya amblas.
Pada bait ke 29 di bawah, Sri Pakubuwana IV mengingatkan bahwa celaka itu karena perbuatan kita sendiri (pan kinarya dhewe bilainirèki). Bila kita kembali ke bait 28: (ing wuri aja ngêrsula) maka betul bahwa "Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna". (IwMM)
Dilanjutkan ke Serat Wulangreh, pesan untuk ngawula (3): Rumeksa marang gusti
CATATAN: PENGERTIAN
SUNGKAN
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ada tiga macam:
a.
Malas atau enggan mengerjakan sesuatu (Ia sungkan
bekerja di kebun)
b.
Merasa tidak enak hati (Ia sungkan
menegur orang itu)
c.
Menaruh hormat, segan (Ada perasaan sungkan
di hatiku terhadap guru itu)
Menurut Bausastra Jawa,
Poerwadarminta, hanya satu pengertian, yaitu: Suthik tumandang (tidak mau
mengerjakan), kesed (malas).
Pengertian
yang disebut dalam Serat Wulangreh sama dengan Bausastra Jawa, yaitu “malas”. Dalam
percakapan sehari-hari orang Jawa jaman sekarang ini, kata sungkan lebih umum
digunakan dengan pengertian tidak enak hati dan rasa segan (butir b dan c Kamus
Besar Bahasa Indonesia). Sungkan dalam pengertian “malas” kemungkinan tidak
begitu dipahami lagi.
No comments:
Post a Comment