Suatu saat saya diajak
teman makan sate ayam angkringan. Angkring yang betul-betul dipikul, bukan
angkring pajangan di restoran mewah. Ada tulisan yang sudah agak kusam di
angkring itu: “Aja Dumeh”. Terjemahan
bebasnya yang hampir semua orang tahu kurang lebih: Jangan sombong, atau jangan mentang-mentang. Beberapa
contoh kalimat yang juga banyak didengar misalnya:
1.
Aja dumeh kuwasa, banjur degsiya (jangan mentang-mentang sedang kuasa
lalu sewenang-wenang)
2. Aja
dumeh sugih banjur lali karo sing ringkih (jangan mentang-mentang kaya lalu mengabaikan yang
miskin)
3.
Aja dumeh pinter banjur keblinger (jangan mentang-mentang pandai lalu
menggunakan ilmunya di jalan yang sesat).
Sialnya saya tertarik
untuk mengomentari tulisan di angkring pak tua itu. Lebih celaka lagi saya gunakan basa krama andapan yang akhirnya saya akui
sebagai ungkapan kesombongan otomatis dari orang yang merasa dirinya lebih tinggi
kedudukannya sebagai manusia: “Seratan
aja dumeh niki nyindir sinten to pak. Sing disindir rak boten teng mriki”
(tulisan aja dumeh itu menyindir siapa to pak? Orang yang disindir kan tidak
ada disini).
Pak penjual sate
melihat ke saya sejenak. Saya jadi malu dibuatnya karena dia menjawab dengan
basa Jawa krama inggil. Demikian seterusnya ia selalu bicara dengan basa Jawa
mlipis: “Lha punapa aja dumeh punika
namung kagem priyantun sugih, pinter kaliyan kuwaos to pak?” (Apakah aja
dumeh hanya berlaku untuk orang kaya, pandai dan kuasa saja?)
Pengertian yang
tertanam di otak saya memang seperti itu: Aja dumeh sugih, kuwasa, menang,
kuat, bagus, ayu dan seterusnya. “Yang saya tahu memang begitu pak. Barangkali
ada pandangan lain mohon saya diparingi
wawasan”. Kalimat ini saya sampaikan juga dalam krama Inggil.
Pak penjual sate ketawa
sambil mengipas-ngipas sate di pembakaran. “Kalau dibalik bagaimana pak. Aja dumeh aku mung dodol sate terus disapa
nganggo krama andhapan”.
Wah ini sindiran halus
tapi telak. Untung malam hari sehingga dia tidak melihat muka saya yang
semestinya memerah. “Jarwanipun aja dumeh
kadospundi to pak? (arti aja dumeh itu apa?)”
“Lha bapak ini orang
Jawa atau bukan? Aja sama dengan
jangan dan dumeh artinya lantaran atau karena sesuatu hal. Contohnya aja
dumeh aku wong miskin terus diarani nyolongan.”
Masuk akal juga
penjelasan pak penjual sate tadi kalau definisi “dumeh” yang ia kemukakan benar. Demikian pula tulisan “aja dumeh” di pikulan satenya. Ya sudah pas
ditempatkan di situ. Kebetulan satenya sudah jadi maka pembahasan singkat
tentang “aja dumeh” pun berhenti,
berganti dengan pertarungan dengan sate yang ternyata enak sekali.
EPILOG
Saya pamitan dengan pak
penjual sate dengan ucapan terimakasih bahwa hari ini saya mendapat guru yang
patut dihormati. Saya tutup dengan kata-kata: Aja dumeh mung sate angkringan terus dikira ora enak”. Pak penjual
sate tertawa dan balik mengucapkan terimakasih.
Malam itu juga saya
buka Bausastra Jawanya Poerwadarminta. Saya cari arti kata “dumeh”. Ternyata benar pak tua itu: Dumeh: (1) mung amarga .... (hanya
karena ....); (2) jalaran saka .... (karena
....). Jadi kata “aja dumeh” artinya
“jangan hanya karena ......”.
Kenapa pengertiannya menjadi “jangan
mentang-mentang”. Memang kalau anak kalimat ini dipakai untuk orang Kaya, Pandai dan Kuasa
maksudnya tidak berubah; tetapi tidak bisa diterapkan untuk orang kecil, sedangkan “aja dumeh”nya bapak yang jual sate tadi
dapat dinikmati semua orang, termasuk rakyat kecil.
Jaman sekarang ini yang
namanya “bahasa” saja kok ya bisa-bisanya ikut-ikut tidak memihak rakyat. Saya
tutup tulisan ini dengan kalimat yang tidak berpihak karena berlaku untuk semua
orang termasuk saya sendiri: “Aja dumeh bisa muni, terus waton muni”. (IwMM)
No comments:
Post a Comment