“Malu
bertanya sesat di jalan” adalah peribahasa Indonesia yang sudah amat kita
kenal. Banyak orang enggan bertanya karena takut dikira bodoh. Padahal di dunia
ini tidak ada orang yang sempurna. Pasti ada kekurangan dan ketidak-tahuan.
Itulah gunanya ada orang lain, untuk tempat bertanya. Ada teman yang
memplesetkan peribahasa ini menjadi “lebih baik malu bertanya, daripada sesat
di jalan”. Alasannya ia pernah menanyakan “jalan” tetapi orang yang ditanya
sengaja menunjukkan arah yang berbeda.
Dalam Serat Wulangreh, Pupuh Mijil bait ke 22, Sri Pakubuwana IV menyebutkan yang intinya kurang lebih: “Oleh sebab itu pesan saya; seringlah bertanya; jangan malu menunjukkan kebodohan; karena dari bodohlah asal mula kepandaian; hanya Nabi saja; yang pandai tanpa diajari.
Dalam Serat Wulangreh, Pupuh Mijil bait ke 22, Sri Pakubuwana IV menyebutkan yang intinya kurang lebih: “Oleh sebab itu pesan saya; seringlah bertanya; jangan malu menunjukkan kebodohan; karena dari bodohlah asal mula kepandaian; hanya Nabi saja; yang pandai tanpa diajari.
Kata
kuncinya adalah: Banyaklah bertanya, jangan malu dianggap bodoh, karena sebelum
menjadi pandai kita ini bodoh. Bertanya disini maksudnya “berguru” dan kalau
ada yang tidak tahu jangan diam saja, tetapi tanyakan.
Dalam
kehidupan sehari-hari pun kalau ada yang tidak tahu, ya harus bertanya. Hal ini
dijelaskan pada bait ke 23 bahwa lumrah dalam hidup ini bahwa manusia harus
pandai bertanya.
Sasaran
pesan ini adalah kawula muda. Jadi Sri Pakubuwana IV melanjutkan: Oleh sebab
itu wahai anak muda, rajinlah; menuntut ilmu supaya menyadi penguat lahir dan batin(pikukuh).
Kata
kunci disini adalah: Orang pandai akan kokoh dan asal mula pandai adalah dari
banyak bertanya. Kalau kita kembali ke bait 22 maka syarat orang mau banyak
tanya adalah tidak malu dikatakan bodoh.
LIDING
DONGENG
Banyak
diantara kita punya sifat “malu bertanya” karena merasa “mahatahu”. Justru
sifat “mahatahu” inilah kita menjadi suka “ngendhak
gunaning janma” atau meremehkan kemampuan orang lain. Akibatnya yang rugi
diri sendiri: Tanpa sadar tersesat dalam kebodohan.
Dalam bahasa yang
sederhana, merujuk ke bait 22 di atas: Kita ini bukan Nabi. Nabi pun merasa
“tidak” maha tahu. Hanya Allah SWT yang maha tahu. Kembali kita diingatkan
untuk “Mulat sarira”, mawas diri, atau
introspeksi diri. (IwMM)
No comments:
Post a Comment