Ini
lagi satu bukti bahwa yang namanya “Narima” itu tidak sekedar pasrah “srah”
tanpa upaya. Bila pada tulisan sebelumnya diceriterakan tentang “Narima yang tidak baik dan Narima yang baik” maka sekarang kebalikannya. Bila yang pertama “Narima
bisa salah” maka yang ini “tidak narima bisa betul”. Oleh sebab itu bila ada
orang mengatakan “Aku ora trima” jangan cepat-cepat disalahkan walau jangan
cepat-cepat pula dibenarkan. Lihat-lihat dulu situasinya.
Kebetulan
hari Minggu yang lalu Darman mampir ke rumah. Ia ceritera barusan membantu tetangga
yang SK Pensiunnya macet sudah hampir setahun. “Pak Drana itu betul-betul Jawa
banget. Masa SK tidak keluar dia diam-diam saja. Dia bilang nanti kan ya
keluar, dapat rapelan. Malah saya yang ora trima, Mas. Salahkan saya?”
“Tidak,
Man”. Jawab saya tidak menggebu seperti ceritera Darman. “Ora trima itu boleh,
kok. Yang bilang Sri Pakubuwana IV lho, Man. Dalam Serat Wulangreh”. Saya masuk
ke kamar mengambil buku Wulangreh. Tapi ya harus menjelaskan, karena teman saya
yang satu ini bukan orang Jawa.
SEKOLAH
SAMPAI TINGGI: CONTOH ORA NARIMA YANG BECIK
Ada
satu "tuladha" yang diberikan melalui pupuh Mijil bait ke 12 dan 13, bahwa “ora
narima yang becik” itu ada. Contohnya adalah orang yang mencari ilmu. Sudah
pandai tetapi masih belum puas karena merasa belum cukup. Ini narima yang baik.
Lengkapnya bait ke 12 dan 13 sebagai berikut:
12. wong kang tan narima dadi bêcik | titahing Hyang Manon | iki iya
kita rerupane
| kaya wong kang angupaya ngèlmi | lan wong sêdya ugi | kapintêran iku ||
13. uwis pintêr nanging iku maksih | gonira ngupados | ing undhake ya
kapintêrane | utawa unggahing kawruh yêkti | durung marêm batin | lamun durung
tutug ||
Memang bukan masalah SK terlambat keluar, tapi dari bait ke 12 dan 13 di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa “ora terima” itu bisa baik dan bisa dibolehkan. SK kan
“hak”. Kalau kita menuntut hak masa nggak boleh. Tentunya dengan cara yang baik, kita
klarifikasi dengan kepala tetap dingin. Pak Drono ya salah kalau dia adhem-ayem
saja. Jangan-jangan ada berkas yang kurang, tetapi pemberitahuannya tidak
sampai ke dia.
MAU
CEPAT-CEPAT: CONTOH ORA NARIMA YANG JELEK
Adapun
contoh “ora narima” yang jelek adalah orang yang “mau cepat-cepat”. Pokoknya
yang serba mau cepat adalah tidak baik. Dalam kasus SK pensiun tadi, kalau baru
sebulan kita tanyakan “Mana SK saya?” Tentunya tidak tepat. Kan harus diproses
dan simpulnya cukup panjang. Beda dengan minta keterangan sakit ke Dokter, hari
itu kita minta, hari itu pula kita dapat.
Pada bait ke 15 masih dalam Serat Wulangreh pupuh Mijil disebutkan:
15. yèn wong
kang kurang narima ugi | iku luwih awon | barang gawe aja age-age | anganggoa
sabar lawan ririh | dadi barang kardi | rêsik tur rahayu ||
Kita
lihat bahwa “barang gawe aja age-age;
anganggoa sabar lawan ririh”. Pokoknya yang mau serba cepat umumnya
merupakan sifat “ora narima” yang jelek.
LIDING
DONGENG
Kelebihan
Darman, dia kalau diberi penjelasan selalu mendengar dengan saksama dan
terakhir ia akan menyimpulkan dengan satu kalimat pendek:
“Jadi mas, nrima
tanpa upaya adalah jelek. Tetapi upaya kalau kesusu, kembali jadi jelek. Masalahnya
sekarang banyak orang kesusu, mas. Kesusu mau cepat kaya, mau cepat naik
pangkat, mau cepat berkuasa. Pokoknya mau cepat-cepat dapat jeneng dan jenang.
(IwMM)
No comments:
Post a Comment