Friday, May 31, 2013

ANTARA KEHENDAK DAN TINDAKAN DALAM PARIBASAN JAWA (2): YANG GRUSA-GRUSU DAN YANG ANGIN-ANGINAN

Melanjutkan tulisan ANTARA KEHENDAK DAN TINDAKAN DALAM PARIBASAN JAWA (1): KEHENDAK YANGTIDAK BISA DICEGAH, orang-orang yang tidak bisa dipenggak kekarepane ini dalam tindakan umumnya akan lebih banyak grusa-grusu tanpa petung daripada melakukan langkah-langkah taktis yang strategis.
 
Kita perlu hati-hati dalam mengawali langkah dan sebaiknya melakukan analisa situasi, sebelum bergerak: Misalnya dengan mereview kembali “Kekuatan, Kelemahan, Ancaman dan Peluang, atau mengikuti pitutur seperti telah ditulis dalam Serat Wulangreh: Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa.
 
Orang yang kehendaknya tidak bisa dicegah memang jelas-jelas sulit dikendalikan. Lain lagi dengan orang yang hangat-hangat tahi ayam: Kalau sedang semangat justru mudah diatur, sepanjang kita pandai memotivasi. Tetapi kalau tahi ayamnya sudah tidak hangat lagi (dan tahi ayam hangatnya tidak lama), maka ia tidak bisa diapa-apakan lagi. Menjadi sama dengan orang yang kehendaknya tidak bisa dicegah tetapi pengertiannya terbalik: Yang satu ini tidak bisa digerakkan.
 
Gambaran orang-orang grusa-grusu demikian pula orang yang dhong-dhongan dalam paribasan Jawa dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah:
 
 
 
1. ORANG YANG GRUSA-GRUSU
 
 
A. KADUK WANI KURANG DEDUGA
 
Menggambarkan orang yang terlalu berani (kaduk wani) tetapi kurang perhitungan (kurang deduga). Paribasan ini terutama ditujukan kepada kawula muda yang karena terdorong darah mudanya yang masih panas sering bertindak tanpa perhitungan.
 
 
B. DURUNG PECUS KESELAK BESUS
 
Pecus: mampu, kompeten; Besus: Suka berdandan atau bersolek. Menggambarkan orang yang belum punya kompetensi tetapi sudah punya keinginan macam-macam. Hasilnya akan mengecewakan. Ibarat buah belum masak, keburu dipetik. Rasanya tidak akan enak.
 
Dua peribahasa di atas dasarnya adalah “bonek” (Bandha nekad). Bedanya, yang pertama karena terlalu berani dan yang kedua karena ingin cepat memetik hasil.
 
 
C. NGGEGE MANGSA
 
“Banyu gege” adalah air yang digunakan untuk memandikan bayi (supaya cepat tumbuh kembang). Nggege mangsa adalah orang yang berupaya memendekkan waktu dari yang seharusnya. Maunya biar cepat beres, tetapi hasilnya belum tentu baik. Sama dengan “durung pecus keselak besus pada butir 2 di atas: Belum waktunya. Nggege mangsa berkonotasi waktu sedangkan durung pecus keselak besus konotasinya hasil kerja.
 
Cara nggege mangsa yang baik (misalnya hotel dan rumah sakit) adalah dengan melakukan "Soft Opening". Sebenarnya belum waktunya dibuka, tetapi sudah menerima pengunjung. sekalian untuk "uji coba", kalau ada kekurangan segera diperbaiki, dan pelanggan mendapatkan kompensasi dengan discount yang bagus.
 
 
D. ORA ANGON KOSOK
 
Kosok: Tali untuk memetik rebab (alat musik Jawa seperti biola). Maksudnya melakukan sesuatu tanpa melihat waktu yang pas.
 
Ibarat orkestra yang bermain dengan nada C tahu-tahu ada yang menggunakan nada F.
 
Memulai perbaikan jalan pada musim hujan bisa dikatakan sebagai ora angon kosok. hasilnya jalan cepat rusak. Tetapi kalau alasannya tahun anggaran  segera berakhir, mau apa lagi?
 
Kunjungan kerja pada hari libur bisa juga dikatakan ora angon kosok (kecuali inkognito, seperti yang dilakukan Sayidina Umar, yang dikunjungi tidak tahu kalau yang datang Khalifah sendiri).
 
Tetapi pasien yang datang pada hari libur jangan ditolak dengan alasan ora angon kosok, karena datangnya sakit juga ora angon mangsa.
 
Apakah tindakan-tindakan seperti contoh-contoh paribasan di atas ada yang berhasil? Hebatnya ada juga yang slamet.
 
 
E. GEMBLUNG JINURUNG EDAN KEWARISAN
 
Gemblung, Edan: Gila; Jurung: Setuju. Pengertiannya: Nekad tetapi untung atau ugal-ugalan tetapi selamat. Tentunya paribasan ini jangan dijadikan pegangan untuk berbuat nekad. Hal-hal diluar dugaan selalu ada, tetapi tidak banyak. Baiknya kita normatif saja.
 
 
2. ORANG YANG HANGAT-HANGAT TAHI AYAM
 
 
A. ROG-ROG ASEM
 
Rog: menggoncang; Rog-rog: menggoncang-goncang. Banyak orang memetik buah asam dengan menggoncang-goncang dahannya. Buah asam yang sudah masak pun berjatuhan. Kalau tidak digoncang-goncang, tidak ada buah asam jatuh. Kalau ada yang jatuh, paling hanya satu-satu secara insidentil.
 
Maksudnya adalah orang yang pada awalnya menggebu-gebu, misalnya menginisiasi bikin kelompok Facebook, bikin yayasan, dll tetapi tak lama kemudian hilang gaungnya. Dapat dibaca di posting Rog-Rog Asem
 
 
B. MBALUNG USUS
 
Balung: Tulang, sifatnya keras, kaku; Usus: sifatnya ketika kenyang keras, ketika lapar kendor. Orang yang punya sifat “mbalung usus”, maka tulangnya bersifat seperti usus, tidak selamanya kenceng, justru banyak kendornya.
 
 
 
LIDING DONGENG
 
Ditinjau dari aktifitas geraknya, maka dua jenis manusia ini jelas aktif bergerak. Yang grusa-grusu akan segera berkiprah, tanpa pikir panjang, pokok berani, cepat selesai, cepat petik hasil dan tidak bisa dicegah. Sementara orang kedua tidak kalah cekatannya. Ia akan segera mengambil langkah-langkah dengan semangat penuh ......... hanya pada awalnya saja. Habis itu ia kembali tidur, kembali kepada semangat dhong-dhongannya, kembali kepada sifat angin-anginannya. (Iwan MM)
 

Tuesday, May 28, 2013

ANTARA KEHENDAK DAN TINDAKAN DALAM PARIBASAN JAWA (1): KEHENDAK YANG TIDAK BISA DICEGAH

Merujuk ke tulisan Jangka dan jangkah: Visi dan Misi a la Jawa, dapat dianalogikan bahwa Jangka adalah kehendak dan Jangkah adalah tindakan. Panjangka bukan sekedar mimpi indah yang hilang begitu kita terbangun.
 
Panjangka adalah cita-cita yang hendak diwujudkan dalam kurun waktu tertentu. Oleh sebab itu  “jangka” itu harus diikuti dengan “jangkah” atau langkah-langkah yang terencana: Setiap jangka harus ditindaklanjuti dengan jangkah, dan setiap jangkah harus dilandasi jangka yang sudah mantap.
 
Banyak hal bisa terjadi diantara kehendak (jangka) dan tindakan (jangkah). Di bawah adalah beberapa peribahasa Jawa yang terkait dengan hal tersebut, kiranya ada manfaatnya.
 
 
KEHENDAK YANG TIDAK BISA DICEGAH
 
Seharusnya sebelum melangkah, baik bagi yang semula sudah direncanakan maupun yang “krenteg” (dorongan hati) baru muncul beberapa menit yang lalu, kita tetap hati-hati dan sekali lagi mereview situasi dan kondisi seperti telah ditulis dalam Serat Wulangreh: Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa. Tetapi ada diantara kita yang “karep” nya sudah tidak bisa ditahan lagi. Gambarannya dapat dipirsani pada ungkapan-ungkapan di bawah ini:
 
 
1. DIPALANGANA MLUMPAT, DITALENANA MEDHOT
 
Dipasangi palang (barikade) akan melompat dan diikat dengan tali (ditalenana) akan diputus (pedhot: putus). Ungkapan serupa adalah DIPALANGANA MLUMPAT, DIDHADHUNGANA MEDHOT. Disini tali diganti dengan “dhadhung” (tali yang lebih tebal dan kuat). Menggambarkan orang yang kalau sudah punya kehendak tidak ada lagi yang bisa mencegahnya.
 
Kehendak bisa baik bisa pula buruk. Mencegah kehendak buruk, sudah jelas tujuannya baik. Mencegah kehendak baik, tentunya juga punya maksud baik: Misalnya jangan grusa-grusu. Sayang kalau niatnya baik tetapi mencelakakan diri sendiri.
 
Contohnya, ada orang berkelahi. Yang berkelahi demikian seru dan menggunakan senjata tajam. Ada yang maju mau melerai, dicegah teman-teman yang lain, tetapi nekad. Akibatnya yang melerai malah terluka. Paribasannya adalah GORA GETIH NEMU RIRIS (Gora: mengerikan; Getih: darah; Riris: Grimis).
 
Demikian pula ada orang nekad sendirian mengejar penjahat yang menyatroni desanya. Ia tetap berkeras untuk NYENGKA TANDHING (melawan musuh yang lebih kuat). Ia juga tidak memikirkan kalau penjahat yang kepepet menjadi berani mati, seperti dikatakan dalam peribahasa DURJANA MATI RAGA. Akhirnya teman yang nekad ini menjadi NGGAYUH ING TAWANG PEJAH TAN WIKARA: Niatnya mulia untuk menangkap penjahat tetapi tewas di tangan penjahat.
 
 
2. LUPUT PECING
 
Pecing adalah kain usang (gombal) yang dicelup air kencing, konon dulu amat manjur untuk mengusir hama babi hutan. Si babi hutan pun menyingkir. Arti harfiah “luput pecing” adalah tidak mempan diusir. Pengertiannya adalah orang punya niat buruk yang tidak bisa dicegah lagi kehendaknya (seperti babi hutan yang tidak mempan diusir dengan pecing)
 
 
3. LUPUT SEMBUR
 
Dalam bahasa Jawa kita kenal kata suwuk dan sembur yang bermakna “doa”. Umumnya untuk mengusir sesuatu yang jahat. Paribasan ini menggambarkan orang sudah tidak mempan dengan nasihat.
 
 
4. MUNDUR UNCEG (UNCEK)
 
Unceg (Uncek) adalah besi bulat panjang kecil yang ujungnya tajam. Berfungsi sebagai ‘bor” kecil, manual, primitif, untuk membuat lobang.
 
Cara membuat lobang dengan unceg: Unceg dipegang dengan tangan, diputar-putar kekiri dan kekanan di atas benda yang akan dilobangi. Biasanya kayu. Saat unceg bergerak ke kiri, seolah-olah mundur. Tapi ia segera berbalik ke kanan dan kembali ke kiri lagi sampai terjadi lobang seperti yang kita inginkan.
 
Orang dikatakan “mundur unceg” kalau kehendaknya tidak bisa dicegah. Ia akan terus mendesak, sampai apa yang diinginkan tercapai: Laksana unceg, walau gerakannya kembali ke kiri, (melawan arah jarum jam), dalam waktu satu detik ia sudah kembali ke kanan (searah jarum jam).
 
 
LIDING DONGENG
 
Perilaku “Tidak bisa dicegah kalau sudah punya kehendak (baik atau buruk, membahayakan diri atau aman)” seperti ini bisa terjadi pada siapa saja. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, laki-laki atau perempuan, bawahan atau atasan.
 
Berupaya mencegah orang-orang yang tidak bisa dicegah ini banyak tidak berhasilnya. Di bawah adalah beberapa contoh dari dunia pedhalangan:
 
 
1. RAMAYANA
 
Kumbakarna, (dapat dibaca di Serat Tripama) berupaya keras mencegah perang besar akibat ulah kakaknya (Rahwana), yang menculik Dewi Shinta.
 
Tetapi Rahwana tidak bergeming. Malah Kumbakarna dianggap mau mbalela (mengenai “mbalela” dapat dibaca di Orang-orang Mbalela Dalam Paribasan Jawa). Kumbakarna pun mengalah, ia pilih menyingkir dan tidur panjang.
 
Adik Rahwana lainnya, Gunawan Wibisana, juga memberi nasihat supaya Rahwana mengembalikan Dewi Shinta kepada Prabu Rama. Malah diusir dari kerajaan dan membelot ke Sri Rama.
 
Dua contoh di atas, adalah urusan negara. Yang berupaya mencegah (walaupun saudara kandung) malah kalah.
 
 
2. MAHABHARATA
 
Dalam awal kisah Mahabharata, Dewi Amba berkeras untuk mengikuti Dewabrata yang sukses memenangkan sayembara memperebutkan puteri.
 
Tetapi Dewabrata menolak karena ia sudah bersumpah untuk tidak menikah (adapun puteri-puteri yang diperebutkan   adalah  untuk adik-adik Dewabrata yang masih lajang).
 
Ditakut-takuti dengan panah pun Dewi Amba tidak gentar.
 
Tragedi terjadi ketika panah Dewabrata terlepas tanpa disengaja, dan Dewi Amba terbunuh. Mengenai hal ini dapat dibaca di Sabda Pandhita Ratu (2): Kisah Wisrawa dan Dewabrata.
 
Kisah ini adalah urusan cinta. Yang dicegah mati, yang berupaya mencegah (kebetulan sebagai pelaku) menderita batin.
 
Dilanjutkan ke ANTARA KEHENDAK DAN TINDAKAN DALAM PARIBASAN JAWA (2): YANG GRUSA-GRUSU DAN YANG ANGIN-ANGINAN

Saturday, May 25, 2013

ORANG-ORANG YANG “ANUT GRUBYUG” (HANYA IKUT-IKUTAN) DALAM PARIBASAN JAWA

Dari sisi keteguhan pendirian, ada sisi positif dari “Mbeguguk ngutha watu” pada tulisan sebelum ini (ORANG-ORANG MBALELA DALAM PARIBASAN JAWA). Bila Ulat sudah madhep dan ati sudah karep maka ia ibarat “Bima akutha wesi” (Bima:anak ke dua dari keluarga Pandawa, Kutha: benteng dan wesi: besi). Ia akan sekokoh Bima sekaligus benteng besi, tidak ada lagi yang bisa mengubah pendiriannya.
 
Kejelekannya kalau sikap “Mbeguguk ngutha watu” dan “Bima akutha wesi” ini mengarah ke menolak perintah atasan dan melanggar peraturan perundang-undangan. Mengenai Bima dapat dibaca di “Bima: Cekak aos blaka suta”.
 
ANUT GRUBYUG adalah kata majemuk dengan dua kata yang artinya sama. Anut: Ikut; dan Grubyug: rame-rame ikut. Disini pengertian “ikut-ikutan”nya menjadi semakin kuat. Pertama sekedar “anut” (dalam otak) kemudian “grubyug” (ikut rame-rame dalam “tindak”). Kalau “anut”nya karena ulah provokator maka dapat dibayangkan bahwa “grubyug”nya bisa menimbulkan kerawanan sosial.
 
Mengenai “kata majemuk” dapat dibaca pada 3 seri tulisan yang dimulai dari Kata Majemuk (1): banyak yang mempunyai makna filosofis, jangan dibolak-balik pemakaiannya.
 
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak punya pendirian: Sekedar anut grubyug atau ikut-ikut saja? Di bawah ada beberapa contoh paribasan, kiranya dapat menjadi rujukan
 
 
1. BELO MELU SETON
 
Belo: anak kuda. Di alam bebas, anak kuda sama halnya dengan kebanyakan anak binatang lainnya, selalu mengikuti induknya.
 
Seton: adalah latihan bertanding di atas kuda pada jaman kerajaan dahulu, dengan menggunakan tombak tanpa mata tombak (hanya watang atau batang tombak saja, sehingga disebut watangan). Dilaksanakan di alun-alun pada hari Sabtu (Sabtu: dalam bahasa Jawa disebut “Setu”. Sehingga menjadi “Setu + an) yang artinya setiap Sabtu).
 
Bila ada “belo” ikut Seton tentunya si belo ini hanya ikut kemana induknya lari. Menggambarkan orang yang tidak punya pendirian. Hanya anut grubyug saja, ikut-ikut tanpa tahu apa tujuannya.
 
 
2. MAMBU ILU
 
Ilu: Ludah; Mambu: Bau. Pengertiannya adalah orang yang anut grubyug kaya belo melu seton tadi hanya karena ikut pendapat orang (digambarkan dengan bau ludah) tanpa punya keyakinan sendiri.
 

3. ENGGAK-ENGGOK LUMBU
 
Lumbu: Pohon talas. Batang talas apalagi kalau layu, amat lentur bisa ditekuk-tekuk dengan gampang. Pengertiannya sama dengan di atas, gambaran orang yang hanya ikut-ikut arus orang banyak tanpa punya ketetapan sendiri.

 
 
4. WERUH ING GRUBYUG ORA WERUH ING REMBUG
 
Pengertiannya sama: mengikuti gerak orang banyak tanpa tahu asal-mulanya bagaimana.
 
5. BYUNG-BYUNGAN TAWON KAMBU
 
Byung-byungan: Terbang datang dan pergi rame-rame (untuk lebah dan serangga lainnya)
 
Kambu: Terbang rame-rame pindah tempat (untuk lebah dan serangga lain)
 
Bila empat paribasan yang pertama menggambarkan perilaku perorangan yang ikut-ikutan, maka paribasan ini menggambarkan orang banyak  yang gerudak-geruduk ikut kesana-kemari (karena pengaruh berita).
 
 
LIDING DONGENG
 
Ikut-ikutan itu baik atau buruk? Secara umum boleh kita katakan tidak baik, apalagi kalau dimanfaatkan oleh provokator untuk hal-hal tidak baik. Banyak tindakan merusak yang dilakukan oleh orang-orang yang hanya ikut-ikutan.
 
Adakah ikut-ikutan yang baik? Secara lugas dapat dijawab “ada”. Anak kecil yang ikut sholat di belakang orang tuanya (atau disamping kalau sholat Jum’at di masjid), banyak yang belum hapal bacaan sholat. Hanya sekedar RUBUH-RUBUH GEDHANG: Mengikuti gerakan orang tua. Mengapa “rubuh-rubuh gedhang?” Barangkali membayangkan robohnya batang pisang yang ditebang seperti orang sedang Ruku’ atau Sujud. Tujuannya baik: Membiasakan sholat sejak kecil.
 
Apakah orang yang ikut-ikutan ini sama denga “yes man?” Agak sulit menjawabnya. Mangga dianalisis sendiri. Menurut pendapat saya, yang yes man ini masih punya motif pribadi untuk bilang “yes” sedang yang anut-grubyug murni sekedar melu-melu saja. (Iwan MM)

Wednesday, May 22, 2013

ORANG-ORANG MBALELA DALAM PARIBASAN JAWA

MBALELA adalah memberontak atau menentang perintah. Dalam dunia pedhalangan banyak lakon carangan dengan judul “ ........ Mbalela”. Misalnya Brajadentha Mbalela, Anggada Mbalela. 

Ada juga yang tanpa kata mbalela tetapi isinya kisah tentang seorang yang mbalela, misalnya Gareng Dadi Ratu, Petruk Dadi Ratu dan masih banyak lagi.

Motif mbalela juga tidak sama: Bisa baik, bisa tidak baik. Sebagai contoh dapat dibaca di Petruk: Pernah tidak kuat Drajat, Semat dan Kramat dan Gareng: Janma tan kena ingina.
 
gambar Anggada Mbalela dari jogjanews.com
 
Ada pula “Novel Jawa Modern” berjudul “Astirin Mbalela” yang dapat dibaca di internet: Mengisahkan Astirin gadis dusun di sekitar Ngunut, yang ikut MbokDhenya. Ia mbalela melarikan diri karena disuruh menikah sama Buamin pria pilihan keluarga. Hasil mbalelanya ternyata baik. Di bawah adalah kutipan alinea pertama dan terakhir novel tersebut:
 
Alinea pertama: Astirin prawan ndesa biasa, melu mbokdhene sing bakul sega pecel ing desa sisih kidul Kutha Ngunut. Kuwi tata laire. Sandhangane bedinan nggedhobroh diwenehi lungsuran saka mbok¬dhene. Rambute madhul-madhul ora tau kambon shampo lan jungkat
 
Alinea akhir: “Ah, slamet, Ndhuk! Kowe ora dadi bojone Buamin! Ngguhna rak dadi randhane prampok! Astirin mung mesem. 0, yen Astirin ora nuruti musike atine kudu minggat, kudu mbalela, bisa uga ya kaya mengkono kuwi! Astirin rumangsa beja, marga mbalela…! Ora! Astirin dudu prawan ndesa biasa. Dheweke warga negara klas kambing sing duwe kekuawatan urip luar biasa! Sanggup merangi rubeda sing diprangguli ing lelakon uripe. Dheweke yakin yen menang, kagayuh apa sing dadi kekarepane.
 
Beberapa contoh paribasan yang bernuansa “mbalela” dapat diwaos di bawah sebagai berikut:
 
1. MADAL SUMBI
 
Ada beberapa pengertian “Madal”. Yang cocok dengan peribahasa ini adalah: Menolak, tidak mau menurut. Analog dengan ungkapan “larane wis madal tamba”: Artinya penyakit yang sudah tidak bisa diobati: Seolah-olah menolak (madal) tamba (obat).
 
Adapun pengertian “sumbi” (lihat gambar di bawah) adalah bagian dari alat tenun, semacam bilah yang dibalut kapas untuk meregangkan yang ditenun. Arti harfiah “madal sumbi” adalah adanya sesuatu yang tidak halus, sehingga tenunan tidak rata, dengan adanya benjolan-benjolan kecil (Jawa: Njekethut).
 
Pengertian peribahasa “madal sumbi” menggambarkan orang yang menolak perintah, atau tidak segera melaksanakan perintah. Ibarat kain yang ditenun tidak mau diatur oleh sumbi.
 
 
 
2. MADAL WICARA
 
Ini lebih mudah dipahami daripada madal sumbi. Artinya sama: Orang yang menolak perintah. Bila madal sumbi masih ada “gojag-gajeg”nya dalam arti tidak segera melaksanakan perintah, maka dalam madal wicara jelas-jelas menolak dhawuh.
 
 
3. MBONDHAN TANPA RATU
 
Bondhan atau mbondhan adalah menari. Saking asyik dan senangnya menari seolah-olah merasa tidak ada raja (tanpa ratu). Pengertiannya adalah: Orang yang bertindak semaunya sendiri, tidak mempedulikan lagi bahwa hidup ini diatur berbagai norma. Misalnya norma agama, norma kemasyarakatan dan norma hukum.
 
 
4. NGALASAKE NEGARA
 
Negara dianggap hutan (ngalasake). Menggambarkan orang yang tidak mengindahkan norma hukum, bertindak semaunya, tidak mau menuruti peraturan perundang-undangan.
 
 
5. MIRONG AKAMPUH JINGGA
 
“Mirong” menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 adalah: (1) Menyelimutkan “kampuh” di pundak untuk menutupi badan. (2) Sikap menjauh, tidak mau berkumpul, mempunyai niat untuk memberontak.
 
“Mirong” sama dengan “Wirong” yang artinya (1) Sedih, susah; (2) Meninggalkan kelompok karena malu atau tidak suka.
 
“Kampuh” adalah kain panjang busana pria Jawa jaman dulu. “Kampuh jingga” adalah kampuh yang pinggirnya berwarna merah.
 
Pengertian “Mirong kampuh jingga” adalah memberontak. Bila butir 1 s/d 4 di atas bisa digunakan untuk orang-orang yang tidak mau melaksanakan perintah orang tua, atasan atau melanggar hukum, maka untuk “mirong kampuh jingga” lebih diarahkan kepada memberontak (kraman) kepada negara.
 
 
6. MBEGUGUK NGUTHA WATU
 
Mbeguguk: diam tidak mau bergerak seperti benteng batu (kutha watu). Terlanjur banyak disalah-ucapkan menjadi “MBEGUGUK NGUTHA WATON”.  Kita bisa bayangkan sebagai orang yang diam ditempat tidak mau digerakkan.
 
Pengertian umumnya adalah orang yang membangkang atas perintah.
 
Contoh paling mutakhir adalah almarhum Mbah Marijan yang tidak mau turun gunung saat erupsi Gunung Merapi sudah dalam tahapan paling bahaya. Padalah yang memerintahkan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono sendiri.
 
Banyak analisis mengenai hal ini: Mbah Marijan sebenarnya mbalela apa tidak.
 
 
 
Ini juga salah satu jenis mbalela yang masih OK. Ada orang-orang tertentu kalau kita suruh mengerjakan sesuatu banyak komentar (criwis). Baiknya ia “cawis” (siap). Jadi ia tetap mengerjakan dan hasilnya bisa baik bahkan amat baik. Hal ini tidak akan terjadi di kalangan Militer, karena tidak ada jawaban lain kecuali: Siap kerjakan!
 
 
LIDING DONGENG
 
Orang mbalela bagaimanapun harus diberi pengarahan. Apalagi kalau arahnya ke pelanggaran hukum atau makar, sebelum menjadi tindakan hukum. Siapa tahu hanya karena perbedaan sudut pandang atau salah persepsi.
 
Mbalela ringan dalam konotasi bandel, bisa dilakukan anak atau bawahan. Sebagai orang tua kita harus arif. Barangkali hanya cari perhatian, atau karena pendapatnya tidak didengar. Jangan patahkan semangatnya. Barangkali kita yang salah.
 
Yang penting jangan bosan-bosan memberi pengarahan dengan logika yang dapat diterima. Kita juga harus siap kalau yang kita beri pengarahan tetap “mbeguguk ngutha watu”. Walaupun sudah berulang-kali memberi pitutur paribasan “LAMBE SATUMANG KARI SAMERANG”, ibarat bibir kita yang tadinya sebesar tumang (ganjal untuk bibir tungku di dapur jaman masih pakai kayu, biasanya dari pecahan genting) tinggal sebesar merang (batang padi) kita harus tetap sabar. (Iwan M Muljono)

Monday, May 20, 2013

YANG MUDAH, YANG SUSAH DAN YANG TIDAK SELESAI DALAM PARIBASAN JAWA

Liburan di Jogja selalu menyenangkan. Tidak hanya kulinernya yang “ngangeni” tetapi juga kita bisa mendengar ungkapan-ungkapan yang lama tidak kita dengar. Bagi saya seperti mendengar lagu oldies yang lama tidak diputar.
 
“Sipil, pakdhe”. Saya menoleh dan senyum sendiri mendengar kata “sipil” yang sudah lama tidak saya dengar, dari Pak tambal ban. “Sipil” adalah “gampang sekali, nggak ada masalah”. Ia katakan demikian setelah seorang laki-laki setengah umur menyodorkan sepeda yang remnya macet.
 
Menyelesaikan sesuatu pekerjaan ada yang gampang, ada yang sulit ada pula yang tidak rampung. Sebenarnya semua bergantung kita sendiri. Mau cepat atau lambat, mau selesai atau tidak selesai.
 
Di bawah adalah beberapa ungkapan Jawa untuk hal-hal yang mudah diselesaikan, yang sulit dan yang berhenti di jalan, kiranta dapat dijadikan rujukan:
 
 
YANG AMAT MUDAH
 
1. SUWE MIJET WOHING RANTI
 
Ranti adalah buah seperti tomat tetapi kecil-kecil, kulit buahnya juga tipis dari tanaman perdu. Menggambarkan pekerjaan yang amat mudah dikerjakan, ibarat memijat buah ranti yang bisa dikerjakan oleh ibu jari dan jari telunjuk tanpa kesulitan.
 
Tukang tambal ban tadi kalau ditanya: “Lama apa tidak?” karena ia sudah berani mengatakan “sipil” maka ia bisa menjawab: “Nggak akan lama, suwe mijet wohing ranti”.
 
2. TIMUN JINARA
 
Kulit buah mentimun juga tipis, demikian pula daging buahnya. “Jara” adalah semacam bor. “Timun jinara artinya mentimun dibor”. Apa susahnya mengebor mentimun? Artinya sama dengan yang di atas: Pekerjaan yang amat mudah dilakukan.
 
3. EMPOL PINECOK
 
Kalau kita membelah kelapa yang sudah tua, maka di bawah lubang tempat ia akan bertunas akan kita temukan (lihat gambar di bawah) semacam benjolan bundar yang halus dan lunak. Kalau dimakan rasanya juga gurih. “Pecok” adalah memotong (dengan parang). Pasti tidak ada susahnya samasekali untuk memotong empol ini. Maksudnya sama dengan yang di atas: Pekerjaan yang amat mudah dilakukan

 
 
YANG AMAT SULIT
 
1. NUTUTI LAYANGAN PEDHOT
 
Barangkali banyak diantara kita yang pada masa kecil dulu suka ikut rame-rame mengejar layang-layang putus. Yang jelas happy-happy saja walau harus lari, kadang-kadang harus berebut, panjat pohon atau naik atap. Ada juga yang berakhir saling baku pukul.
 
Pengertian peribahasa ini adalah mengharap kembalinya barang kecil yang hilang; andaikan bisa didapatkan kembali hasilnya tidaik sepadan dengan jerih payah kita. jadi: Tingkat kesulitan tinggi, hasil tidak memadai
 
2. MECEL MANUK MABUR
 
“Pecel” menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, adalah lauk yang dibuat dari sayur-mayur dan sambal. “Mecel” adalah membuat pecel, bisa kita artikan dengan memasak lauk. “Manuk mabur” adalah burung terbang. Burung yang sedang terbang tentunya harus ditangkap dulu, dan seterusnya sampai bisa dimasak. Dalam hal ini kita berhasil “mecel manuk mabur”. Artinya: Kita sukses melaksanakan pekerjaan yang amat sulit.
 
3. MBURU KIDANG LUMAYU
 
Sering juga dikatakan NUTUTI KIDANG LUMAYU. Mburu dan Nututi artinya sama: mengejar. Lumayu: lari. Kijang terkenal sebagai pelari cepat. Dalam Serat Wulangreh kijang digambarkan sebagai makhluk sombong mewakili sifat Adigang, merasa paling kuat. (Serat Wulangreh: Adigang Adigung Adiguna).
 
Peribahasa “Mburu kidang lumayu” menggambarkan orang yang melakukan sesuatu yang belum jelas berhasil atau tidaknya. Yang jelas: “Success Rate” rendah. Andaikan sukses berarti kita berhasil “Mecel manuk mabur”.
 
4. NGATURAKE KIDANG LUMAYU
 
Serupa tapi tak sama dengan “mburu kidang lumayu”. Bila pada “Mburu kidang lumayu” kita mengejar sesuatu yang sulit untuk diri kita sendiri atau mengomentari kelakuan orang lain yang seperti itu, maka pada “Ngaturake” kidang lumayu kita menyuruh atau membujuk orang lain untuk melakukan sesuatu sulit atau hampir tidak mungkin untuk diperoleh.

 
 
5. KEKREK AREN
 
“Kekrek” artinya menyobek dengan pisau. Kata “kekrek” umumnya digunakan untuk sesuatu yang bisa “dikekrek” misalnya daun, kulit batang pohon, dll. Tapi disini yang “dikekrek” bukan batang atau daun pohon pisang melainkan pohon aren yang keras dan mungkin berduri. Pengertiannya: Seorang yang melakukan pekerjaan susah dengan rasa was-was melakukannya (karena tangan bisa terluka). Jadi: Sukses dengan was-was karena tingkat keamanan yang rendah.
 
6. NYERET PRING SAKA PUCUK
 
Pengertiannya: Pekerjaan mudah jadi susah karena salah cara mengerjakannya. Bila kita menebang bambu kemudian mau menariknya, tentu lebih mudah ditarik dari pangkal batangnya daripada dari pucuknya. Dapat dibaca pada posting Bambu dan ungkapan Jawa (2): Dongeng dan  Paribasan.

 
 
YANG TIDAK DISELESAIKAN
 
1. NGLANGI ING TENGAH MATI ING PINGGIR
 
Nglangi: berenang. Dalam hal ini kita berenang sampai di tengah kemudian berhenti. Tentu akan tenggelam dan terbawa lagi oleh air ke tepian dalam keadaan mati. Proyek yang mangkrak adalah contoh paling gampang untuk paribasan ini. Sudah setengah jadi kemudian berhenti. Pengelolanya bisa diusut. Oleh sebab itu hati-hati bila mengerjakan proyek yang “multiyears”, misalnya 3 tahun. Tahap pertama selesai tanpa masalah kemudian tahap ke dua anggaran tidak disetujui.
 
2. TINGGAL KOKOH
 
Meninggalkan (tinggal) “kokoh”. Pengertian kokoh adalah makan nasi dengan lauknya, sayur-sayuran berkuah. Dalam hal ini “kokoh” ditinggal pergi. Arti harfiahnya: Makan tidak diselesaikan, ditinggal pergi begitu saja. Makna peribahasa ini: meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.
 
Perilaku ini banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau yang ditinggalkan pekerjaan untuk urusan pribadi tentunya tidak mengganggu orang lain. Tetapi kalau untuk kepentingan bersama atau kepentingan orang lain, akan amat menghambat.
 
Bayangkan bila dua orang menyelesaikan dekor untuk tujuhbelasan kemudian yang satu “tinggal kokoh”. Maka penyelesaian jadi beban yang ditinggalkan. Tapi jangan berani-berani “tinggal kokoh” untuk proyek resmi yang harus ia selesaikan. Bisa masuk DPO.
 
3. MERANGI TATAL
 
Merangi (dari kata dasar “perang”) artinya “membacok Adapun “tatal  adalah potongan kayu kecil-kecil dari hasil orang membelah kayu.  Dalam hal ini kayunya sudah selesai dibelah atau dikerjakan, tatalnya masih dibacoki. Menggambarkan pekerjaan yang tidak diselesaikan sekali jadi. Dalam bahasa Jawa juga disebut: Mindho-gaweni (kerja dua kali).
 
“Merangi tatal” memang tidak jelek-jelek amat. Masih efektif tetapi tidak efisien. Sebagai contoh ketika pembantu rumah tangga pulang, maka seorang suami yang baik membantu isterinya mengepel lantai, sementara isterinya memasak. Ketika dapur bisa ditinggalkan sang isteri masuk ruang dalam melihat hasil kerja suaminya: “Pak, yang dibawah meja makan masih kotor”. Sang suami dengan bersungut-sungut mengambil kain pel lagi, memberihkan bawah meja makan yang tadi memang sengaja ia lewatkan. Ketahuan, terpaksa “merangi tatal”.

 
 
LIDING DONGENG
 
Pekerjaan bisa mudah bisa sulit. Kalau mudah tidak ada masalah asal kita tidak “nggampangake” (menganggap enteng).
 
Yang sulit bisa karena memang sulit (kekrek aren), bisa karena kita salah tehnik dalam mengerjakannya (nyeret pring saka pucuk), oleh sebab itu SOP (Standard Operating Procedure) perlu kita kuasai. Jangan LUMPAT KIDANG (mengerjakan pekerjaan tidak sesuai urutan yang seharusnya). Jangan mencari-cari pekerjaan yang hanya buang-buang energi (nututi layangan pedhot) atau peluang untuk menyelesaikannya nyaris tidak ada (nututi kidang lumayu).
 
Manajemen waktu perlu diutamakan (dapat dibaca di: Wektu ora bisa bali aja kongsi ana wektu liwat tanpa guna). Kalau hanya “merangi tatal” masih selamat. Tetapi jangan sampai “tinggal kokoh” dengan akibat “nglangi ing tengah mati ing pinggir”.
 
Manusia harus punya komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan didukung kompetensi yang cukup. Jangan mengharapkan ada “Tunjung tuwuh ing sela” (teratai tumbuh di batu) atau “Jamur tuwuh ing waton” (jamur tumbuh di bebatuan). Jangan pula “ NGEMPUKAKE WATU ITEM” (menganggap gampang sesuatu yang sulit). Iwan M Muljono

Most Recent Post


POPULAR POST