Dari
sisi keteguhan pendirian, ada sisi positif dari “Mbeguguk ngutha watu” pada
tulisan sebelum ini (ORANG-ORANG MBALELA DALAM PARIBASAN JAWA). Bila Ulat sudah
madhep dan ati sudah karep maka ia ibarat “Bima akutha wesi” (Bima:anak ke dua
dari keluarga Pandawa, Kutha: benteng dan wesi: besi). Ia akan sekokoh Bima
sekaligus benteng besi, tidak ada lagi yang bisa mengubah pendiriannya.
Kejelekannya
kalau sikap “Mbeguguk ngutha watu” dan “Bima akutha wesi” ini mengarah ke
menolak perintah atasan dan melanggar peraturan perundang-undangan. Mengenai Bima
dapat dibaca di “Bima: Cekak aos blaka suta”.
ANUT GRUBYUG adalah kata majemuk dengan dua kata yang artinya sama. Anut: Ikut; dan Grubyug: rame-rame ikut. Disini pengertian “ikut-ikutan”nya menjadi semakin kuat. Pertama sekedar “anut” (dalam otak) kemudian “grubyug” (ikut rame-rame dalam “tindak”). Kalau “anut”nya karena ulah provokator maka dapat dibayangkan bahwa “grubyug”nya bisa menimbulkan kerawanan sosial.
Mengenai “kata majemuk” dapat dibaca pada 3 seri tulisan yang dimulai dari Kata Majemuk (1): banyak yang mempunyai makna filosofis, jangan dibolak-balik pemakaiannya.
Lalu
bagaimana dengan orang yang tidak punya pendirian: Sekedar anut grubyug atau ikut-ikut saja? Di
bawah ada beberapa contoh paribasan, kiranya dapat menjadi rujukan
1. BELO MELU SETON
Belo:
anak kuda. Di alam bebas, anak kuda sama halnya dengan kebanyakan anak binatang
lainnya, selalu mengikuti induknya.
Seton:
adalah latihan bertanding di atas kuda pada jaman kerajaan dahulu, dengan
menggunakan tombak tanpa mata tombak (hanya watang atau batang tombak saja,
sehingga disebut watangan). Dilaksanakan di alun-alun pada hari Sabtu (Sabtu:
dalam bahasa Jawa disebut “Setu”. Sehingga menjadi “Setu + an) yang artinya
setiap Sabtu).
Bila
ada “belo” ikut Seton tentunya si belo ini hanya ikut kemana induknya lari. Menggambarkan
orang yang tidak punya pendirian. Hanya anut
grubyug saja, ikut-ikut tanpa tahu apa tujuannya.
2. MAMBU ILU
Ilu:
Ludah; Mambu: Bau. Pengertiannya adalah orang yang anut grubyug kaya belo melu
seton tadi hanya karena ikut pendapat orang (digambarkan dengan bau ludah)
tanpa punya keyakinan sendiri.
3. ENGGAK-ENGGOK LUMBU
Lumbu:
Pohon talas. Batang talas apalagi kalau layu, amat lentur bisa ditekuk-tekuk
dengan gampang. Pengertiannya sama dengan di atas, gambaran orang yang hanya
ikut-ikut arus orang banyak tanpa punya ketetapan sendiri.
4. WERUH ING GRUBYUG ORA WERUH ING
REMBUG
Pengertiannya
sama: mengikuti gerak orang banyak tanpa tahu asal-mulanya bagaimana.
5. BYUNG-BYUNGAN TAWON KAMBU
Byung-byungan:
Terbang datang dan pergi rame-rame (untuk lebah dan serangga lainnya)
Kambu:
Terbang rame-rame pindah tempat (untuk lebah dan serangga lain)
Bila
empat paribasan yang pertama menggambarkan perilaku perorangan yang
ikut-ikutan, maka paribasan ini menggambarkan orang banyak yang gerudak-geruduk
ikut kesana-kemari (karena pengaruh berita).
LIDING DONGENG
Ikut-ikutan
itu baik atau buruk? Secara umum boleh kita katakan tidak baik, apalagi kalau
dimanfaatkan oleh provokator untuk hal-hal tidak baik. Banyak tindakan merusak
yang dilakukan oleh orang-orang yang hanya ikut-ikutan.
Adakah
ikut-ikutan yang baik? Secara lugas dapat dijawab “ada”. Anak kecil yang ikut
sholat di belakang orang tuanya (atau disamping kalau sholat Jum’at di masjid),
banyak yang belum hapal bacaan sholat. Hanya sekedar RUBUH-RUBUH GEDHANG: Mengikuti gerakan orang tua. Mengapa “rubuh-rubuh
gedhang?” Barangkali membayangkan robohnya batang pisang yang ditebang seperti
orang sedang Ruku’ atau Sujud. Tujuannya baik: Membiasakan sholat sejak kecil.
No comments:
Post a Comment