Saturday, May 25, 2013

ORANG-ORANG YANG “ANUT GRUBYUG” (HANYA IKUT-IKUTAN) DALAM PARIBASAN JAWA

Dari sisi keteguhan pendirian, ada sisi positif dari “Mbeguguk ngutha watu” pada tulisan sebelum ini (ORANG-ORANG MBALELA DALAM PARIBASAN JAWA). Bila Ulat sudah madhep dan ati sudah karep maka ia ibarat “Bima akutha wesi” (Bima:anak ke dua dari keluarga Pandawa, Kutha: benteng dan wesi: besi). Ia akan sekokoh Bima sekaligus benteng besi, tidak ada lagi yang bisa mengubah pendiriannya.
 
Kejelekannya kalau sikap “Mbeguguk ngutha watu” dan “Bima akutha wesi” ini mengarah ke menolak perintah atasan dan melanggar peraturan perundang-undangan. Mengenai Bima dapat dibaca di “Bima: Cekak aos blaka suta”.
 
ANUT GRUBYUG adalah kata majemuk dengan dua kata yang artinya sama. Anut: Ikut; dan Grubyug: rame-rame ikut. Disini pengertian “ikut-ikutan”nya menjadi semakin kuat. Pertama sekedar “anut” (dalam otak) kemudian “grubyug” (ikut rame-rame dalam “tindak”). Kalau “anut”nya karena ulah provokator maka dapat dibayangkan bahwa “grubyug”nya bisa menimbulkan kerawanan sosial.
 
Mengenai “kata majemuk” dapat dibaca pada 3 seri tulisan yang dimulai dari Kata Majemuk (1): banyak yang mempunyai makna filosofis, jangan dibolak-balik pemakaiannya.
 
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak punya pendirian: Sekedar anut grubyug atau ikut-ikut saja? Di bawah ada beberapa contoh paribasan, kiranya dapat menjadi rujukan
 
 
1. BELO MELU SETON
 
Belo: anak kuda. Di alam bebas, anak kuda sama halnya dengan kebanyakan anak binatang lainnya, selalu mengikuti induknya.
 
Seton: adalah latihan bertanding di atas kuda pada jaman kerajaan dahulu, dengan menggunakan tombak tanpa mata tombak (hanya watang atau batang tombak saja, sehingga disebut watangan). Dilaksanakan di alun-alun pada hari Sabtu (Sabtu: dalam bahasa Jawa disebut “Setu”. Sehingga menjadi “Setu + an) yang artinya setiap Sabtu).
 
Bila ada “belo” ikut Seton tentunya si belo ini hanya ikut kemana induknya lari. Menggambarkan orang yang tidak punya pendirian. Hanya anut grubyug saja, ikut-ikut tanpa tahu apa tujuannya.
 
 
2. MAMBU ILU
 
Ilu: Ludah; Mambu: Bau. Pengertiannya adalah orang yang anut grubyug kaya belo melu seton tadi hanya karena ikut pendapat orang (digambarkan dengan bau ludah) tanpa punya keyakinan sendiri.
 

3. ENGGAK-ENGGOK LUMBU
 
Lumbu: Pohon talas. Batang talas apalagi kalau layu, amat lentur bisa ditekuk-tekuk dengan gampang. Pengertiannya sama dengan di atas, gambaran orang yang hanya ikut-ikut arus orang banyak tanpa punya ketetapan sendiri.

 
 
4. WERUH ING GRUBYUG ORA WERUH ING REMBUG
 
Pengertiannya sama: mengikuti gerak orang banyak tanpa tahu asal-mulanya bagaimana.
 
5. BYUNG-BYUNGAN TAWON KAMBU
 
Byung-byungan: Terbang datang dan pergi rame-rame (untuk lebah dan serangga lainnya)
 
Kambu: Terbang rame-rame pindah tempat (untuk lebah dan serangga lain)
 
Bila empat paribasan yang pertama menggambarkan perilaku perorangan yang ikut-ikutan, maka paribasan ini menggambarkan orang banyak  yang gerudak-geruduk ikut kesana-kemari (karena pengaruh berita).
 
 
LIDING DONGENG
 
Ikut-ikutan itu baik atau buruk? Secara umum boleh kita katakan tidak baik, apalagi kalau dimanfaatkan oleh provokator untuk hal-hal tidak baik. Banyak tindakan merusak yang dilakukan oleh orang-orang yang hanya ikut-ikutan.
 
Adakah ikut-ikutan yang baik? Secara lugas dapat dijawab “ada”. Anak kecil yang ikut sholat di belakang orang tuanya (atau disamping kalau sholat Jum’at di masjid), banyak yang belum hapal bacaan sholat. Hanya sekedar RUBUH-RUBUH GEDHANG: Mengikuti gerakan orang tua. Mengapa “rubuh-rubuh gedhang?” Barangkali membayangkan robohnya batang pisang yang ditebang seperti orang sedang Ruku’ atau Sujud. Tujuannya baik: Membiasakan sholat sejak kecil.
 
Apakah orang yang ikut-ikutan ini sama denga “yes man?” Agak sulit menjawabnya. Mangga dianalisis sendiri. Menurut pendapat saya, yang yes man ini masih punya motif pribadi untuk bilang “yes” sedang yang anut-grubyug murni sekedar melu-melu saja. (Iwan MM)

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST