MBALELA
adalah memberontak atau menentang perintah. Dalam dunia pedhalangan banyak
lakon carangan dengan judul “ ........ Mbalela”. Misalnya Brajadentha Mbalela,
Anggada Mbalela.
Ada juga yang tanpa kata mbalela tetapi isinya kisah tentang seorang yang mbalela, misalnya Gareng Dadi Ratu, Petruk Dadi Ratu dan masih banyak lagi.
Motif mbalela juga tidak sama: Bisa baik, bisa tidak baik. Sebagai contoh dapat dibaca di Petruk: Pernah tidak kuat Drajat, Semat dan Kramat dan Gareng: Janma tan kena ingina.
Ada juga yang tanpa kata mbalela tetapi isinya kisah tentang seorang yang mbalela, misalnya Gareng Dadi Ratu, Petruk Dadi Ratu dan masih banyak lagi.
Motif mbalela juga tidak sama: Bisa baik, bisa tidak baik. Sebagai contoh dapat dibaca di Petruk: Pernah tidak kuat Drajat, Semat dan Kramat dan Gareng: Janma tan kena ingina.
![]() |
gambar Anggada Mbalela dari jogjanews.com |
Ada
pula “Novel Jawa Modern” berjudul “Astirin Mbalela” yang dapat dibaca di
internet: Mengisahkan Astirin gadis dusun di sekitar Ngunut, yang ikut
MbokDhenya. Ia mbalela melarikan diri karena disuruh menikah sama Buamin pria
pilihan keluarga. Hasil mbalelanya ternyata baik. Di bawah adalah kutipan
alinea pertama dan terakhir novel tersebut:
Alinea pertama:
Astirin prawan ndesa biasa, melu mbokdhene sing bakul sega pecel ing desa sisih
kidul Kutha Ngunut. Kuwi tata laire. Sandhangane bedinan nggedhobroh diwenehi
lungsuran saka mbok¬dhene. Rambute madhul-madhul ora tau kambon shampo lan
jungkat
Alinea akhir:
“Ah, slamet, Ndhuk! Kowe ora dadi bojone Buamin! Ngguhna rak dadi randhane
prampok! Astirin mung mesem. 0, yen Astirin ora nuruti musike atine kudu
minggat, kudu mbalela, bisa uga ya kaya mengkono kuwi! Astirin rumangsa beja,
marga mbalela…! Ora! Astirin dudu prawan ndesa biasa. Dheweke warga negara klas
kambing sing duwe kekuawatan urip luar biasa! Sanggup merangi rubeda sing
diprangguli ing lelakon uripe. Dheweke yakin yen menang, kagayuh apa sing dadi
kekarepane.
Beberapa
contoh paribasan yang bernuansa “mbalela” dapat diwaos di bawah sebagai
berikut:
1. MADAL SUMBI
Ada
beberapa pengertian “Madal”. Yang
cocok dengan peribahasa ini adalah: Menolak, tidak mau menurut. Analog dengan
ungkapan “larane wis madal tamba”: Artinya
penyakit yang sudah tidak bisa diobati: Seolah-olah menolak (madal) tamba (obat).
Adapun
pengertian “sumbi” (lihat gambar di bawah) adalah bagian dari
alat tenun, semacam bilah yang dibalut kapas untuk meregangkan yang ditenun.
Arti harfiah “madal sumbi” adalah adanya
sesuatu yang tidak halus, sehingga tenunan tidak rata, dengan adanya
benjolan-benjolan kecil (Jawa: Njekethut).
Pengertian
peribahasa “madal sumbi” menggambarkan
orang yang menolak perintah, atau tidak segera melaksanakan perintah. Ibarat
kain yang ditenun tidak mau diatur oleh sumbi.
2. MADAL WICARA
Ini
lebih mudah dipahami daripada madal sumbi. Artinya sama: Orang yang menolak
perintah. Bila madal sumbi masih ada “gojag-gajeg”nya dalam arti tidak segera
melaksanakan perintah, maka dalam madal
wicara jelas-jelas menolak dhawuh.
3. MBONDHAN TANPA RATU
Bondhan atau mbondhan adalah menari. Saking asyik dan senangnya menari
seolah-olah merasa tidak ada raja (tanpa
ratu). Pengertiannya adalah: Orang yang bertindak semaunya sendiri, tidak
mempedulikan lagi bahwa hidup ini diatur berbagai norma. Misalnya norma agama,
norma kemasyarakatan dan norma hukum.
4. NGALASAKE NEGARA
Negara
dianggap hutan (ngalasake).
Menggambarkan orang yang tidak mengindahkan norma hukum, bertindak semaunya,
tidak mau menuruti peraturan perundang-undangan.
5. MIRONG AKAMPUH JINGGA
“Mirong” menurut Bausastra Jawa,
Poerwadarminta, 1939 adalah: (1) Menyelimutkan “kampuh” di pundak untuk menutupi badan. (2) Sikap menjauh, tidak
mau berkumpul, mempunyai niat untuk memberontak.
“Mirong” sama dengan “Wirong” yang artinya (1) Sedih, susah; (2) Meninggalkan kelompok
karena malu atau tidak suka.
“Kampuh” adalah kain panjang busana pria Jawa
jaman dulu. “Kampuh jingga” adalah
kampuh yang pinggirnya berwarna merah.
Pengertian
“Mirong kampuh jingga” adalah
memberontak. Bila butir 1 s/d 4 di atas bisa digunakan untuk orang-orang yang
tidak mau melaksanakan perintah orang tua, atasan atau melanggar hukum, maka
untuk “mirong kampuh jingga” lebih
diarahkan kepada memberontak (kraman)
kepada negara.
6. MBEGUGUK NGUTHA WATU
Mbeguguk:
diam tidak mau bergerak seperti benteng batu (kutha watu). Terlanjur banyak
disalah-ucapkan menjadi “MBEGUGUK NGUTHA WATON”. Kita bisa bayangkan sebagai orang yang diam
ditempat tidak mau digerakkan.
Pengertian umumnya adalah orang yang membangkang
atas perintah.
Contoh paling mutakhir adalah almarhum Mbah Marijan yang tidak
mau turun gunung saat erupsi Gunung Merapi sudah dalam tahapan paling bahaya. Padalah
yang memerintahkan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono sendiri.
Banyak analisis mengenai
hal ini: Mbah Marijan sebenarnya mbalela apa tidak.
7. CRIWIS CAWIS
Ini
juga salah satu jenis mbalela yang masih OK. Ada orang-orang tertentu kalau
kita suruh mengerjakan sesuatu banyak komentar (criwis). Baiknya ia “cawis”
(siap). Jadi ia tetap mengerjakan dan hasilnya bisa baik bahkan amat baik. Hal
ini tidak akan terjadi di kalangan Militer, karena tidak ada jawaban lain
kecuali: Siap kerjakan!
LIDING DONGENG
Orang
mbalela bagaimanapun harus diberi pengarahan. Apalagi kalau arahnya ke
pelanggaran hukum atau makar, sebelum menjadi tindakan hukum. Siapa tahu hanya
karena perbedaan sudut pandang atau salah persepsi.
Mbalela
ringan dalam konotasi bandel, bisa dilakukan anak atau bawahan. Sebagai orang
tua kita harus arif. Barangkali hanya cari perhatian, atau karena pendapatnya
tidak didengar. Jangan patahkan semangatnya. Barangkali kita yang salah.
Yang
penting jangan bosan-bosan memberi pengarahan dengan logika yang dapat
diterima. Kita juga harus siap kalau yang kita beri pengarahan tetap “mbeguguk
ngutha watu”. Walaupun sudah berulang-kali memberi pitutur paribasan “LAMBE SATUMANG KARI SAMERANG”, ibarat
bibir kita yang tadinya sebesar tumang (ganjal untuk bibir tungku di dapur
jaman masih pakai kayu, biasanya dari pecahan genting) tinggal sebesar merang
(batang padi) kita harus tetap sabar. (Iwan M Muljono)
No comments:
Post a Comment