Merujuk
ke tulisan Jangka dan jangkah: Visi dan Misi a la Jawa, dapat dianalogikan bahwa Jangka adalah kehendak dan Jangkah
adalah tindakan. Panjangka bukan
sekedar mimpi indah yang hilang begitu kita terbangun.
Panjangka adalah cita-cita yang hendak
diwujudkan dalam kurun waktu tertentu. Oleh sebab itu “jangka”
itu harus diikuti dengan “jangkah”
atau langkah-langkah yang terencana: Setiap jangka
harus ditindaklanjuti dengan jangkah,
dan setiap jangkah harus dilandasi jangka yang sudah mantap.
Banyak
hal bisa terjadi diantara kehendak (jangka) dan tindakan (jangkah). Di bawah
adalah beberapa peribahasa Jawa yang terkait dengan hal tersebut, kiranya ada
manfaatnya.
KEHENDAK YANG TIDAK BISA
DICEGAH
Seharusnya
sebelum melangkah, baik bagi yang semula sudah direncanakan maupun yang “krenteg” (dorongan hati) baru muncul
beberapa menit yang lalu, kita tetap hati-hati dan sekali lagi mereview situasi
dan kondisi seperti telah ditulis dalam Serat Wulangreh: Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa. Tetapi
ada diantara kita yang “karep” nya sudah tidak bisa ditahan lagi. Gambarannya
dapat dipirsani pada ungkapan-ungkapan di bawah ini:
1. DIPALANGANA MLUMPAT, DITALENANA
MEDHOT
Dipasangi
palang (barikade) akan melompat dan diikat dengan tali (ditalenana) akan
diputus (pedhot: putus). Ungkapan serupa adalah DIPALANGANA MLUMPAT, DIDHADHUNGANA MEDHOT. Disini tali diganti
dengan “dhadhung” (tali yang lebih tebal dan kuat). Menggambarkan orang yang
kalau sudah punya kehendak tidak ada lagi yang bisa mencegahnya.
Kehendak
bisa baik bisa pula buruk. Mencegah kehendak buruk, sudah jelas tujuannya baik.
Mencegah kehendak baik, tentunya juga punya maksud baik: Misalnya jangan
grusa-grusu. Sayang kalau niatnya baik tetapi mencelakakan diri sendiri.
Contohnya,
ada orang berkelahi. Yang berkelahi demikian seru dan menggunakan senjata
tajam. Ada yang maju mau melerai, dicegah teman-teman yang lain, tetapi nekad.
Akibatnya yang melerai malah terluka. Paribasannya adalah GORA GETIH NEMU RIRIS (Gora: mengerikan; Getih: darah; Riris: Grimis).
Demikian
pula ada orang nekad sendirian mengejar penjahat yang menyatroni desanya. Ia
tetap berkeras untuk NYENGKA TANDHING (melawan
musuh yang lebih kuat). Ia juga tidak memikirkan kalau penjahat yang kepepet
menjadi berani mati, seperti dikatakan dalam peribahasa DURJANA MATI RAGA. Akhirnya teman yang nekad ini menjadi NGGAYUH ING TAWANG PEJAH TAN
WIKARA: Niatnya mulia untuk menangkap penjahat tetapi tewas di tangan
penjahat.
2. LUPUT PECING
Pecing adalah kain usang (gombal) yang
dicelup air kencing, konon dulu amat manjur untuk mengusir hama babi hutan. Si
babi hutan pun menyingkir. Arti harfiah “luput
pecing” adalah tidak mempan diusir. Pengertiannya adalah orang punya niat
buruk yang tidak bisa dicegah lagi kehendaknya (seperti babi hutan yang tidak
mempan diusir dengan pecing)
3. LUPUT SEMBUR
Dalam
bahasa Jawa kita kenal kata suwuk dan sembur yang bermakna “doa”. Umumnya untuk
mengusir sesuatu yang jahat. Paribasan ini menggambarkan orang sudah tidak
mempan dengan nasihat.
4. MUNDUR UNCEG (UNCEK)
Unceg
(Uncek) adalah besi bulat panjang kecil yang ujungnya tajam. Berfungsi sebagai
‘bor” kecil, manual, primitif, untuk membuat lobang.
Cara
membuat lobang dengan unceg: Unceg dipegang dengan tangan, diputar-putar kekiri
dan kekanan di atas benda yang akan dilobangi. Biasanya kayu. Saat unceg
bergerak ke kiri, seolah-olah mundur. Tapi ia segera berbalik ke kanan dan
kembali ke kiri lagi sampai terjadi lobang seperti yang kita inginkan.
Orang
dikatakan “mundur unceg” kalau kehendaknya tidak bisa dicegah. Ia akan terus
mendesak, sampai apa yang diinginkan tercapai: Laksana unceg, walau gerakannya kembali
ke kiri, (melawan arah jarum jam), dalam waktu satu detik ia sudah kembali ke
kanan (searah jarum jam).
LIDING DONGENG
Perilaku
“Tidak bisa dicegah kalau sudah punya kehendak (baik atau buruk, membahayakan
diri atau aman)” seperti ini bisa terjadi pada siapa saja. Mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa, laki-laki atau perempuan, bawahan atau atasan.
Berupaya
mencegah orang-orang yang tidak bisa dicegah ini banyak tidak berhasilnya. Di
bawah adalah beberapa contoh dari dunia pedhalangan:
1. RAMAYANA
Kumbakarna,
(dapat dibaca di Serat Tripama) berupaya keras mencegah perang besar akibat
ulah kakaknya (Rahwana), yang menculik Dewi Shinta.
Tetapi Rahwana tidak
bergeming. Malah Kumbakarna dianggap mau mbalela (mengenai “mbalela” dapat
dibaca di Orang-orang Mbalela Dalam Paribasan Jawa). Kumbakarna pun mengalah,
ia pilih menyingkir dan tidur panjang.
Adik
Rahwana lainnya, Gunawan Wibisana, juga memberi nasihat supaya Rahwana mengembalikan
Dewi Shinta kepada Prabu Rama. Malah diusir dari kerajaan dan membelot ke Sri
Rama.
Dua contoh di atas, adalah urusan negara. Yang berupaya mencegah (walaupun saudara kandung) malah kalah.
2. MAHABHARATA
Dalam
awal kisah Mahabharata, Dewi Amba berkeras untuk mengikuti Dewabrata yang sukses memenangkan sayembara memperebutkan puteri.
Tetapi
Dewabrata menolak karena ia sudah bersumpah untuk tidak menikah (adapun puteri-puteri yang diperebutkan adalah untuk adik-adik Dewabrata yang masih lajang).
Ditakut-takuti
dengan panah pun Dewi Amba tidak gentar.
Tragedi terjadi ketika panah Dewabrata terlepas tanpa
disengaja, dan Dewi Amba terbunuh. Mengenai hal ini dapat dibaca di Sabda Pandhita Ratu (2): Kisah Wisrawa dan Dewabrata.
Kisah ini adalah urusan cinta. Yang dicegah mati, yang berupaya mencegah (kebetulan sebagai pelaku) menderita batin.
Dilanjutkan
ke ANTARA KEHENDAK DAN TINDAKAN DALAM PARIBASAN JAWA (2): YANG GRUSA-GRUSU DAN
YANG ANGIN-ANGINAN
No comments:
Post a Comment