Monday, January 30, 2012

GEDHEG LAN ANTHUK, DUDUDAN LAN ANCULAN

Gedheg: menggelengkan kepala; Anthuk: Menganggukkan kepala. Ungkapan yang berbunyi: “Kaya si gedheg lan si anthuk”, seperti si geleng dan si angguk, menggambarkan perilaku dua orang manusia yang amat kompak, bersatu seia-sekata, sayangnya bukan untuk kebaikan melainkan untuk mengerjai orang lain.

Ada ungkapan lain dalam bahasa Jawa juga, tetapi lebih sulit bahasanya: “Kaya dududan lan anculan”. (Anculan: Hantu sawah, yang biasa digunakan untuk menakut-nakuti burung pemakan padi; Dududan: Dudud berarti “tarik”, dududan adalah alat penarik berupa tali penghubung hantu sawah tersebut di atas. Bila tali ditarik, hantu sawah bergerak-gerak, burungpun terbang). Sama saja artinya dengan “kaya si gedheg lan si anthuk”, disini yang satu menarik satunya bergerak.


TRIK KUNO KEMASAN BARU

Perilaku “gedheg lan antuk” demikian pula “dududan lan anculan” sudah ada sejak dulu. Jaman sekarang dimana ucapan bahasa Jawa ini sudah jarang terdengar, justru perilaku seperti ini merebak. Pasangan penipu yang sudah “gedheg lan anthuk” ini ada dimana-mana. Saat ini orang banyak mencari “second opinion”, pendapat kedua. Seseorang yang pergi ke dokter kemudian dikatakan menderita penyakit tertentu, berhak untuk mendapatkan “second opinion” ke dokter yang lain. Demikian pula orang yang mau beli mobil atau motor. Pasti akan mencari opinion opinion sebelum memutuskan mau beli mobil yang mana.

Si “gedheg lan anthuk” jaman globalisasi ini juga memanfaatkan “second opinion” ini untuk mengelabui korbannya, sehingga orang yang ragu menjadi yakin. Dengan kemampuan bicaranya plus bantuan orang kedua yang juga pintar bicara, rejeki pun diraup dengan cara yang tidak benar. Korban baru sadar dia tertipu setelah transaksi dan beberapa waktu setelah “si gedheg lan anthuk” pergi. Korban mungkin akan mengatakan kena gendam, atau hipnotis.


HANYA CONTOH, JANGAN DITIRU

Coba saja duduk sendirian. Boleh di terminal bis, bandara udara, rumah sakit atau tempat-tempat umum lainnya. Mungkin akan ada orang mendatangi dan duduk dengan acuh di sebelah kita. Tak lama kemudian datang seseorang, katakan menawarkan arloji merek terkenal, murah dan asli. Bila kita tertarik untuk melihat, maka 50% kemenangan sudah dimiliki si penjual.

Ketika kemudian kita ragu, dengan berbagai alasan tentunya, orang di samping kita yang semula diam tiba-tiba unjuk bicara. Dengan cara macam-macam juga tentunya. Mungkin ia lihat dan bolak-balikkan arloji itu kemudian bilang: “Ini betul asli, kalau bapak tidak ambil, akan saya beli”.

Wah kalau hati tidak kuat kita pasti mulai tergiur. Barangkali harga yang ditawarkan masih lebih tinggi dari uang yang ada di dalam dompet kita, maka kita mengatakan, uang saya tidak cukup. Orang disebelah kita pun pasti tidak tinggal diam: “Sayang mas, kesempatan emas lepas”, katanya sambil tetap menimang-nimang jam bagus tersebut.

Karena uang memang tidak banyak, kita bilang uang tidak cukup. Si Gedheg menunjuk ke cincin yang kita pakai: “Cincin yang mas pakai kan kalau 10 gram saja ada. Gimana kalau kita tukeran saja. Mas kasih cincin saya kasih jam plus kembalian 500 ribu”. Si Anthuk nimbrung: “Ya jangan 500 ribu. Satu juta lah”. Seraya menoleh ke kita. “Gak rugi mas, toko emas ada dimana-mana, harga sama. Toko jam juga ada dimana-mana, tapi yang ini murah betul”.

Akhirnya lepaslah cincin dari jari berganti jam di pergelangan tangan dan tambahan uang 500 ribu di dompet. Si Gedheg pergi dengan mendoakan semoga kita banyak rejeki, dan si Anthuk tentusaja tidak segera menyusul pergi. Besoknya di kantor kita ditanya teman yang lihat jam baru di pergelangan tangan: “Beli di Batam ya. Seindah aslinya dan terjangkau harganya”.

Hati-hati, si Gedheg dan si Anthuk dengan dududan dan anculannya ini ada dimana-mana. Kuncinya "Prayitna" seperti kata peribahasa Yitna Yuwana Lena Kena yang waspada selamat, yang lengah kena".

Satu-satunya upaya kita adalah sikap waspada lebih-lebih bila sedang sendirian. Seorang teman yang sering saya sebut ustadz mengatakan: “Kalau kamu tertipu, penyebabnya dua hal. Pertama ada sifat serakah dalam dirimu dan ke dua shodakohmu kurang. Beristigfarlah”. (IwMM)


Sunday, January 29, 2012

MENYAMPAIKAN PITUTUR DENGAN WANGSALAN 3: WANGSALAN DENGAN TEMBANG

Posting ke tiga atau terakhir “Pitutur dengan wangsalan” ini memuat “wangsalan” yang saya anggap sulit karena tersembunyi dalam tembang. Dalam budaya Jawa kita kenal tiga jenis tembang: Tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhe. Macapat termasuk tembang cilik dan tengahan. Adapun contoh pitutur di bawah termasuk dalam tembang gedhe.

Tembang gedhe sendiri ada empat jenis sesuai jumlah baitnya, yaitu: Salisir, Siliran, Raketan dan Dhendha. Masing-masing (1-10, 11-20, 21-30 dan di atas 30) bait. Contoh di bawah termasuk dalam tembang Salisir karena terdiri atas 7 bait. Sering dipakai dalam gerongan atau sindhenan, sehingga kita sebur dengan “Gerongan Salisir”. Isinya pitutur untuk pria dan wanita yang disampaikan dalam bentuk “wangsalan. Dapat kita baca pada buku “Sendhon Langen Swara”. Empat bait pertama dari tembang tersebut adalah sebagai berikut:

Bait pertama: Pitutur untuk wanita

Parabe sang Smarabangun (PRIYAMBADA); Sepat domba kali Oya (Sepat domba: ikan sepat besar yaitu GERAMEH atau gurami); Aja dolan lan wong PRIYA; Gung REMEH nora prasaja

Maknanya: Wanita supaya berhati-hati bila pergi dengan laki-laki (yang bukan suaminya). Bisa menimbulkan dugaan macam-macam, akhirnya menjadi orang remeh, tidak berharga, dalam pergaulan di masyarakat

Bait ke dua: Pitutur untuk pria

Garwa Sang Sindura Prabu (WAITATAMBANG); Wicara mawa karana (TARKA); Aja dolan lan WANITA; Tan nyata asring KATARKA

Maknanya: Demikian pula untuk laki-laki, jangan suka pergi dengan wanita yang bukan istrinya. Walaupun tidak melakukan apa-apa tetapi sering menimbulkan kecurigaan, diterka yang bukan-bukan

Bait ke tiga: Pitutur untuk wanita

Sembung langu munggwing gunung (daun SENGGUGU); Kunir wisma kembang rekta (PUSPANYIDRA); Aja NGGUGU ujarira; Wong lanang sok asring CIDRA

Maknanya: Hati-hatilah para wanita, jangan percaya omongan laki-laki karena laki-laki sering ingkar janji

Bait ke empat: Pitutur untuk laki-laki

Gentha geng kang munggweng panggung (JAM); Jawata pindha Harjuna (KAMAJAYA); JAMan mengko kawruhana; Wong wadon keh NGAMAndaka

Maknanya: Kepada para laki-laki, supaya hati-hati bergaul dengan wanita, karena banyak wanita yang lamis (ngamandaka: lamis)

Wangsalan pitutur dalam tembang memang sulit bagi kita yang awam dalam tembang. Mari kita tangkap jiwa dan makna yang tersirat melalui tembang ini. Pria dan wanita, berhati-hatilah dalam pergaulan. (IwMM).

Tulisan terkait:
Menyampaikan Pitutur Dengan Wangsalan (1): Pengertian
Menyampaikan Pitutur Dengan Wangsalan (2): Wangsalan Sederhana

Friday, January 27, 2012

MENYAMPAIKAN PITUTUR DENGAN WANGSALAN 2: WANGSALAN SEDERHANA

Melanjutkan posting pertama Menyampaikan Pitutur Dengan Wangsalan (1): Pengertian di bawah ini adalah beberapa contoh wangsalan sederhana yang pada masanya pernah menjadi ungkapan sehari-hari dalam pergaulan, sebagai berikut:

Bila ada yang mengatakan: “Jenang gula” walaupun tidak dilanjutkan kita pasti sudah tahu bahwa lanjutannya adalah “Kowe aja lali”. Teka-tekinya adalah “Jenang gula” yang maksudnya adalah “GLALI” (gulali). Jawabnya ada pada kalimat ke dua: “Kowe aja LALI”. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia gampang saja: “Jenang gula, kamu jangan lupa”. Hanya saja ini bukan lagi wangsalan. Jenang gulanya memang GULALI tetapi di kalimat kedua dalam bahasa Indonesia yang muncul bukan LALI melainkan LUPA. Tidak sambung. Seorang teman bertanya, apa tidak bisa bikin “wangsalan” dalam bahasa Indonesia? Jawabnya tentusaja “bisa” tetapi jangan menterjemahkan wangsalan Jawa ke dalam bahasa Indonesia.

Seorang pimpinan menegur bawahannya yang tidak mau mendengar nasihat, atau barangkali pura-pura tidak dengar. Andaikan dikatakan blak-blakan, sebenarnya teguran ini keras bahkan kasar: “Mbok ya aja njangan gori”. (Jangan: sayur; gori: buah nangka yang masih muda; sayur nangka muda kita kenal dengan nama GUDEG). Maksud dari kata-kata “Mbok ya aja njangan gori” adalah mbok ya aja MBUDHEG”, kalau diberitahu mbok ya didengarkan. Anak jaman sekarang kalau diberitahu seperti ini mungkin akan berkomentar: “Ngasih pitutur saja mbulet”.

Kalau yang ini sedikit sulit, karena disamping harus tahu bahasa Jawa juga harus tahu pula pengetahuan lain, dalam hal ini tentang wayang: Kalimat pertama berbunyi: “Kolik priya, priyagun Anjani putra”. (Keterangan: Ada sejenis burung, yang betina disebut “kolik” sedangkan yang jantan disebut “tuhu”. Kolik priya berarti burung kolik jantan, yaitu TUHU. Dewi Anjani adalah wayang kera wanita pada kisah Ramayana. “Priyagung Anjani putra” berarti laki-laki anak dewi Anjani, ANOMAN. Lalu apa jawaban yang sekaligus pitutur pada kalimat ke dua? Inilah kalimat ke dua: “TUHU eman wong ANOM wedi kangelan”, Sangat disayangkan orang muda takut menghadapi kesulitan.

Kemudian yang ini adalah “wangsalan” yang termasuk baru. Ada teman dari Solo mengatakan dalam bahasa Indonesia campur sedikit Jawa sebagai berikut: “Sudah sewajarnya kalau seorang bawahan itu bisa MENTHUNG KARET kepada pimpinan”. Bagi yang tidak “dhong” mungkin akan tertawa karena membayangkan seorang staf menggebuk pimpinannya dengan pentungan karet, alat pukul yang biasa dipegang-pegang satpam. Sebenarnya teman saya ini bicara dengan menggunakan “wangsalan”. PENTHUNG KARET dalam bahasa Jawa disebut KENUT. “Menthung karet” maksudnya MANUT (menurut). Jadi ia memberi pitutur supaya anak buah itu menurut pada atasan, jangan semaunya sendiri.

Saya kok capek ya. Roning mlinjo (daun pohon mlinjo disebut SO). Sampun sayah nyuwun NGASO. Sudah capek, mohon ijin untuk istirahat. Pada posting berikut  saya lanjutkan dengan Menyampaikan Pitutur Dengan Wangsalan (3): Wangsalan Dengan Tembang (IwMM)



 

Thursday, January 26, 2012

MENYAMPAIKAN PITUTUR DENGAN WANGSALAN 1: PENGERTIAN

Orang Jawa sekarang mungkin sudah banyak yang kurang paham dengan “wangsalan” Berbeda dengan “parikan” dan “purwakanti”, maka “wangsalan” menuntut pengetahuan “vocabulary” atau perbendaharaan kata dalam bahasa Jawa yang cukup.


“Wangsalan” adalah semacam “cangkriman” atau teka-teki, bisa terdiri dari satu kalimat dengan anak kalimat atau dalam dua kalimat, bahkan juga bisa tersembunyi dalam tembang. Teka-tekinya terdapat pada anak kalimat atau pada kalimat pertama, kemudian jawabannya ketemu pada kalimat ke dua. Kita harus mampu menebak teka-teki yang disampaikan pada awal kalimat, melalui “othak-athik” yang pas. Untungnya “clue” atau petunjuk untuk jawabannya sudah disebut pada kalimat awal tersebut. “Wangsalan” yang sudah “umum” biasanya tidak dilselesaikan kalimatnya. Dianggap kita sudah mengerti maksudnya.

“Wangsalan” bisa digunakan sebagai teka-teki murni, tetapi bisa juga dipakai untuk menyindir atau memberi pitutur maupun teguran. Hal ini cocok dengan watak orang Jawa (setidak-tidaknya orang Jawa jaman dulu) yang tidak suka menyampaikan segala sesuatu secara langsung. Keterbatasan wangsalan karena hanya bisa digunakan untuk komunikasi oleh orang yang tidak sekedar bisa berbahasa Jawa tetapi harus betul-betul mengerti bahasa Jawa dan otaknya tidak “telmi” untuk mengothak-athik kata. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bisa-bisa saja, tetapi menjadi kehilangan makna.

Sebagai contoh sederhana, misalnya saya  bertamu ke rumah seseorang yang sudah lama sekali tidak saya kunjungi atau bahkan belum pernah samasekali ke rumahnya, kemudian disambut tuan rumah dengan kata-kata: “Wah, wah, wah .... kok NJANUR GUNUNG .....”  Kalimatnya tidak dilanjutkan karena wangsalan ini sudah amat umum digunakan dalam pergaulan sehati-hari.

Saya pun senyum-senyum kecut, karena tahu lanjutan kalimat yang terhenti di kata “njanur gunung” adalah “kadiNGAREN ......” (kadingaren: tumben). Memang walaupun sudah lama jadi tetangga satu RT, saya belum pernah bertamu ke rumahnya. Apa hubungan antara NJANUR GUNUNG dan kadiNGAREN? Inilah “wangsalan”. “NJANUR GUNUNG” adalah teka-tekinya. Janur adalah daun kelapa. Janur gunung berarti pohon kelapa yang tumbuh di gunung. Jawabannya adalah pohon AREN. Sindiran “njanur gunung” maksudnya “kadingaren” alias “tumben”. Tumben kamu kesini, begitulah maksudnya.

Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: “Wah, wah, wah .... kok seperti janur gunung ....”. Sampai disini masih OK, termasuk menemukan “pohon aren”nya. Tetapi karena menggunakan bahasa Indonesia, maka jawab kita bukan “kadingaren” melainkan “tumben”. Makna wangsalannya menjadi hilang. Aren tidak “match” dengan tumben.

Mudah-mudahan dengan satu contoh ini, Bapak Ibu yang samasekali belum mengenal “wangsalan” bisa langsung paham, bahkan mampu membuat “wangsalan” sendiri. Asal sudah tahu jiwanya, rumusnya sederhana saja. Buat kalimat ke dua dulu (sebagai jawaban) baru karang kalimat pertamanya (teka-tekinya).  (IwMM)

Dilanjutkan ke Menyampaikan Pitutur Dengan Wangsalan (2): Wangsalan Sederhana

Wednesday, January 25, 2012

ANA DINA ANA SEGA; ANA AWAN ANA PANGAN

Maksud ungkapan ini sebenarnya adalah “Rejeki dari Allah SWT ada setiap hari”. Tetapi tidak berhenti sampai disitu. Lanjutannya sebenarnya ada: “Sepanjang manusia berusaha”. Karena ada juga ungkapan “Sapa Obah, Mamah” (Obah: Bergerak; Mamah: Mengunyah (tentunya nasi). Jadi Ada hari ada nasi, ada siang ada pangan dan jangan lupa yang satu ini, “Sapa obah, mamah”.

Kembali musuh kita adalah orang-orang malas. Sehingga dalam bahasa Jawa juga ada ungkapan “Thenguk-thenguk nemu kethuk” dan “Njagakake endhoge si blorok”. (si Blorok: Ayam yang bulunya berwarna blorok, kira-kira campur hitam dan putih).

Andaikan kata “Sapa obah, mamah” di eliminasi, maka lengkaplah sudah dukungan ungkapan untuk orang malas. Kita boleh thenguk-thenguk (duduk bermalas-malasan) karena akan nemu “kethuk” (Alat pemukul gamelan) dan siapa tahu si blorok bertelur, karena bukankah selama ada hari atau ada siang, pasti ada nasi dan pangan?.

Ada dua ceritera yang mau saya sampaikan. Yang pertama saya sendiri agak bingung, orang ini pemalas atau orang “nrima” dan yang kedua memang benar-benar orang yang berpedoman “sapa obah, mamah”

Ceritera pertama: Saya pernah bertugas di sebuah kota kecil. Bila ada kesempatan, kadang-kadang kami sekeluarga menyempatkan mengunjungi kota ini. Nginap di hotel. Pagi-pagi istri saya ke pasar. Naik becak, dan tukang becaknya disuruh menunggu. Jadi naik becak PP dengan becak yang sama. Sampai di hotel, tukang becak diberi uang yang cukup banyak. Tukang becaknya ditanya oleh istri saya: “Habis ini kemana Pak?”. Jawabnya mengagetkan: “Wangsul (pulang), Bu”. “Masih pagi gini lho, Pak. Kok pulang”. Sambung istri saya. Jawab Pak Becak lebih mengejutkan lagi: “Paringane pun cekap Bu, saged istirahat” (Pemberiannya sudah cukup Bu, bisa istirahat). Kejadian ini menjadi bahan perdebatan antara saya dan istri saya. Karena dia berpendapat bahwa  si abang becak ini orang pemalas sedangkan saya mengatakan dia orang yang Nrima dan tidak ngaya.

Ceritera ke dua: Di Jakarta saya naik taksi tua dengan sopir orang Jawa,  kira-kira setua saya. Jadi sudah tua juga. Dia berceritera bahwa dulu bekerja di perusahaan lalu kena PHK. Dapat pesangon, dan dia samasekali tidak menyalahkan perusahaan bekas tempat dia bekerja. Dia tetap optimis. “Ayam saja dilepas bisa cari makan sendiri. Masa manusia kalah sama ayam”. Jadilah dia sopir taksi, sampai sekarang sudah 10 tahun. Ketika saya tanya, enak mana kerja di perusahaan atau jadi sopir taksi? Dia menjawab jangan dikira jadi sopir taksi itu tidak enak. Ada enaknya kalau kita bisa mensyukuri nikmat Allah. Semua enak, kalau kita bisa menyenangi apa yang kita kerjakan. Selebihnya serahkan pada Allah. “Ana dina ana upa” (upa: butir nasi).


Itulah dua ceritera terkait dengan ungkapan “Ana dina ana sega dan ana awan ana pangan” sesuai dengan persepsi masing-masing pelaku. Yang pertama begitu yakin bahwa setiap hari pasti ada rejeki. Sehingga kalau dirasa hari iini sudah cukup, ia berhenti walau masih pagi. Sedangkan yang kedua, ia memiliki keyakinan yang sama, dengan catatan harus bergerak. (IwMM)

Tuesday, January 24, 2012

AKAL DAN OKOL

“Akal” dan “okol” adalah dua sumber kekuatan manusia. Yang pertama adalah kekuatan intelektual dan yang ke dua adalah kekuatan fisik atau kekuatan otot. Umumnya orang tua kita menginginkan kita sekolah supaya jadi orang pandai, punya kekuatan “akal” untuk bekal di hari tua.

Ada lagu dolanan anak-anak, lagu “Kodhok ngorek” liriknya seperti ini: “Kodhok ngorek kodhok ngorek, ngorek pinggir kali; Teyot teblung teyot teblung, teyot teyot teblung; Bocah pinter bocah pinter besok dadi dokter; bocah bodho bocah bodho besuk kaya kebo”.

Ada pengertian negatif tentang “akal” dan “okol” karena ada ungkapan “kalau tidak bisa pakai akal ya pakai okol”. Konotasinya kalau tidak bisa pakai cara halus ya pakai cara kasar. Jelas ini tidak baik, tapi ada juga orang yang mempraktekkan cara-cara seperti ini dalam kesehariannya.

Pada awalnya saya berpendapat bahwa “akal” adalah milik kamum intelektual dan “okol” kaplingnya pekerja kasar. Ternyata dua-duanya diperlukan. Akal dan okol adalah karunia Tuhan kepada manusia. Berbahagialah yang memiliki keduanya. Pemain bola, petinju dan atlit-atlit lainnya, tidak akan menjadi hebat kalau hanya mengandalkan “okol” saja.

Jadi, manusia harus punya keduanya, “akal” dan “okol”. Tetapi saya pernah ditanya seseorang: “kalau kamu harus memilih salah satu, mana yang kau pilih”. Setelah berpikir sejenak, saya jawab: “Pilih akal”. Orang itu adalah guru SMP saya. Beliau menepuk-nepuk pundak saya: “Kamu pintar. Rajin-rajinlah belajar, supaya jadi dokter”. Saat itu yang saya ingat justru bukan lagu “Kodhok ngorek” melainkan “dongeng kancil”. Kancil yang ototnya tidak menonjol tetapi mampu mengalahkan binatang-binatang besar yang berotot. Ketika saya “matur” tentang kancil kepada bapak guru saya, beliau mengingatkan: “Asal jangan keminter, nanti kalah sama-kura-kura”.

Ingatan tentang lagu “Kodhok ngorek” justru muncul ketika seorang dokter puskesmas berceritera tentang seorang tukang becak yang patah kakinya gara-gara becaknya tabrakan dengan mobil.


Tukang becak itu menangis mengeluhkan pembiayaannya. Dokter itu berjanji akan membantu (termasuk setengah memaksa pengendara mobil untuk membantu biaya) dan minta keringanan ke Rumah Sakit.

Beribu terimakasih disampaikan oleh pak becak. Satu hal menyentuh yang dikatakannya adalah: “Beginilah jadi orang bodoh. Hanya punya okol saja. Sekarang okolnya tidak bisa dipakai, entah berapa lama. Untung istri bekerja jualan di pasar. Kalau tidak lalu bagaimana anak-anak makan?”

Saya suruh dokter itu menyanyikan lagu “Kodhok ngorek”. Mungkin dia pikir saya sudah tidak beres, barangkali karena kala itu saya adalah bossnya, dia nyanyi juga. Hanya tahu depannya. Saya lanjutkan belakangnya: “Bocah pinter bocah pinter ......... Bodho Kaya Kebo” Dia tertawa: “Oo begitu Pak. Lagu dolanan sederhana tetapi memotivasi”. (IwMM).

Monday, January 23, 2012

ALON-ALON WATON KLAKON

Ungkapan ini diketahui hampir semua orang walaupun bukan orang Jawa. Sama dengan peribahasa Indonesia, Biar lambat asal selamat. Dalam bahasa Inggris pun ada “Better late than never”. Yang jadi masalah adalah, pengertiannya yang salah. Baik orang yang berbahasa ibu “Jawa” maupun “bukan Jawa” menangkapnya sama. “Telat gak apa-apa, pokoknya sampai. Kalau diluruskan, malah yang salah yang berusaha meluruskan. Sudah terlanjur jadi “salah kaprah”.

Pengertian “alon-alon” disini mengandung unsur hati-hati, tidak grusa-grusu dan penuh ketelitian (Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa).Pada jaman serba cepat ini kalau kita tampak alon-alon, pasti dicela banyak orang. Padahal dalam kealon-alonan ini, target waktu pasti sudah diperhitungkan (Baca juga posting: Tata, titi, tatas, titis).

Pada jaman sekarang memang orang yang kelihatan bekerja cepat yang mendapat pujian. Dikerjakan cepat, selesai cepat, padahal beberapa bulan kemudian ternyata hasilnya juga cepat rusak. Orang bekerja cepat belum tentu orang gila kerja. Mungkin saja dia tidak cepat memulai sehingga dikejar dead line. Dalam posting: Nguler Kambang dan Kebat Keliwat telah saya bicarakan. Awalnya karena dianggap “Belanda masih jauh” kita tenang-tenang, “nguler kambang”. Ketika waktunya sudah dekat, kita kerjakan cepat-cepat (kebat). Hasilnya memang selesai tetapi ada yang kelewatan.

Pengertian “alon-alon” di sini jangan disamakan dengan “nguler kambang”.Tidak ada ungkapan “nguler kambang waton kelakon”. Orang yang nguler kambang pasti tidak kelakon. Adapun “kelakon” dari hasil “alon-alon” adalah “kelakon” yang “slowly but sure”, alon-alon yang efisien, efektif dan akuntabel, dapat dipertanggung-jawabkan. (IwMM).

Saturday, January 21, 2012

SERAT WULANGREH: “LAKU ING SASMITA AMRIH LANTIP”


Penguasaan ilmu lahir dan batin tercermin dalam kalimat “Ing sasmita amrih lantip” pada Serat Wulangreh, anggitan Sri Pakubuwana IV, pada Pupuh Kinanti bait pertama.

Umumnya yang terbayang dalam benak kita adalah melalui nglakoni atau tirakat yang interpretasinya bisa macam-macam: Mulai dari yang paling sederhana, misalnya mutih, sampai menyepi di tempat-tempat sunyi dan wingit. Tetapi apakah sebenarnya demikian? Kita lihat saja bait pertama pupuh Kinanthi di bawah, seperti apa langkah-langkah atau "laku" untuk nggegulang kalbu yang seharusnya kita lakukan amrih lantip.


Terjemahannya: Latihlah kalbumu (padha gulangen ing kalbu); Supaya kamu menguasai “sasmita” (ilmu lahir dan batin); sehingga menjadi pandai (lantip). Jangan hanya makan  (mangan) dan tidur (nendra); Berkonsentrasilah pada keperwiraan (kaprawiran den kesthi atau kaesthi); upayakan dengan sungguh-sungguh (pesunen) dirimu; Kurangilah (cegahen) makan (dhahar)  dan tidur (guling).

Saya belajar tembang ini sudah lama. Sudah lupa juga apakah semasa SD atau SMP. Yang jelas diajarkan di sekolah. Penjelasan ibu guru saya waktu itu “Belajarlah yang rajin, jangan hanya makan dan tidur melulu”. Sederhana tetapi pas, untuk ukuran anak-anak.

EMPAT KATA KUNCI


Yang saya heran, mengapa bait ke dua seperti pada gambar di sebelah, dulu tidak diajarkan. Padahal bait ke dua Pupuh Kinanti ini lebih menjelaskan lagi makna “Padha gulangen ing kalbu” dan “Pesunen sariranira” sebagai berikut:

Supaya dijadikan “laku”mu (Laku: dapat diartikan langkah-langkah dasar untuk menguasai ilmu lahir dan batin); Kurangi makan (dhahar) dan tidur (guling); Jangan suka foya-foya/hura-hura (kasukan-sukan); Berpakaianlah yang sederhana (anganggoa sawatawis); Jelek watak orang berfoya-foya; Karena akan mengurangi kewaspadaan (prayitna) batin.


Jadi ada empat kata kunci untuk “laku ing sasmita amrih lantip”. "Laku" mengendapkan ilmu lahir dan batin sehingga kita pandai dan waskitha:
 
1.    Pertama: Kurangi makan;
2.    Ke dua: Kurangi tidur;
3.    Ke tiga: Jangan foya-foya;
4.    dan ke empat: Sederhana.
 
Disebut pula bahwa foya-foya mengurangi kewaspadaan batin. Berarti akan menjadi orang yang “tidak tanggap ing sasmita”.


NGELMU IKU KELAKONE KANTI LAKU


Di tempat lain dalam Serat Wedhatama, Anggitan Sri Mangkunegara IV dalam Pupuh Pucung, Bait pertama pada gambar di sebelah, disebutkan:

Ilmu itu dapat diraih dengan “laku”; Diawali dengan kemauan kuat (Kas, akas: kuat); artinya “kas” memberi kekuatan; Selanjutnya perlu dilandasi komitmen untuk menaklukkan nafsu angkara.


KESIMPULAN

Jadi: Empat “Laku”  sesuai kata kunci di atas harus dilandasi kemauan kuat (kas) , yang akan memberi kekuatan untuk menaklukkan nafsu angkara. Menjadi “lantip” dan “tanggap ing sasmita” memang bukan mudah. Rumusnya sederhana sebenarnya: Kemauan kuat + Laku = Lantip.  (IwMM).

Friday, January 20, 2012

TANGGAP DAN TANGGAP ING SASMITA

TANGGAP: Mampu menangkap (pembicaraan, arah pembicaraan); SASMITA: Informasi simbolis. Jadi TANGGAP ING SASMITA berarti kemampuan menangkap informasi simbolik”.

Orang kalau diajak bicara tidak menangkap maksudnya, adalah orang yang tidak tanggap atau tidak ngamper. Tapi awas ada juga orang yang mengambil sikap pura-pura tidak “dhong”, karena kalau dia “dhong” akan menyusahkan dia sendiri. Contoh sederhana adalah kalau kita kedatangan orang mau pinjam uang. Yang datang juga malu mau ngomong langsung, maka dia bicara berputar-putar. Sikap kita juga pura-pura tidak tahu. Sebaliknya kalau yang datang orang mau nagih utang, Dia ngomongnya pasti langsung, tetapi kita yang berputar-putar.

“Tanggap ing sasmita” akan lebih rumit lagi. Sasmita simbolis bisa verbal, misalnya kita bertamu, sudah duduk lama kemudian tuan rumah mengatakan “Kok sudah waktunya sholat Dhuhur, ya”. Mestinya kita tanggap, lalu mohon diri. Walaupun ada juga yang mengatakan, “Kalau begitu saya sekalian nunut sholat sekalian”.


Pemahaman bahasa tubuh juga merupakan sifat “Tanggap ing sasmita”. Misalnya wajah lawan bicara kita tiba-tiba berubah berona merah, atau pucat. Mungkin juga duduknya menjadi gelisah. Pasti ada sesuatu yang terjadi.

Pada waktu kita menghadap pimpinan, katakan mau menyampaikan atau memohon sesuatu, kemudian beliau tersenyum, ini juga  bahasa tubuh. Hanya saja yang satu ini sulit. Senyum orang Jawa yang sudah mengendap ilmunya, susah dipahami. Maknanya bisa macam-macam.

Beberapa hari yang lalu ada teman yang tanya: “Mas, jaman dulu kalau kita menyampaikan suatu masalah kepada pimpinan, kan sering dapat jawaban, kamu atur saja bagaimana baiknya. Kemudian kita melaksanakan perintah mengatur tersebut sesuai penangkapan kita. Apa dalam hal ini pimpinan memberi sasmita dan kita tanggap ing sasmita?”

Jawabnya menjadi sulit kalau dibuat sulit. Memang bener yang satu memberi sasmita dan satunya tanggap ing sasmita. Tetapi tidak seharusnya dilakukan karena menimbulkan multitafsir. Yang memberi sasmita yang tidak benar. Perintah harus jelas. Yang menerima perintah juga seharusnya bertanya: “Maksudnya diatur itu apa, Pak?”


Lalu apa perilaku “Tanggap ing sasmita” dalam budaya Jawa itu salah? Atau sudah bukan jamannya lagi?. Jawabnya “Samasekali tidak salah. Kalau ada yang salah, maka yang salah adalah manusianya. Supaya orang bisa “Tanggap ing sasmita” syaratnya berat. Syarat tersebut terdapat dalam Serat Wulangreh, Anggitan Sri Pakubuwana IV, pada Pupuh Kinanti bait pertama: Padha gulangen ing kalbu; Ing sasmita amrih lantip; Aja pijer mangan nendra; Kaprawiran den kaesti; Pesunen sariranira sudanen dhahar lan guling”

Supaya “Lantip” (menguasai) dalam “Sasmita” maka kalbu harus di”gulang” (dilatih). Kita harus konsentrasi pada keperwiraan dan jangan hanya “Mangan” (makan) dan “nendra” (tidur). Apakah pada jaman ini masih banyak orang yang seperti ini? (IwMM).

Thursday, January 19, 2012

LIMA BINATANG DALAM SERAT WULANGREH

Ada lima binatang yang dijadikan perumpamaan dalam serat Wulangreh anggitan Ssusuhunan Sri Pakubuwana IV. Semuanya binatang yang cukup akrab dengan orang Jawa pada masa itu, yaitu Kijang, Gajah, Ular, Kerbau dan Anjing. Gajah memang bukan binatang asli Jawa, tetapi semua orang tahu gajah.

KIJANG, GAJAH, ULAR

Tentang KIJANG, GAJAH dan ULAR, telah saya tulis dalam posting pertama blog ini, Serat Wulangreh: Adigang Adigung Adiguna. Dalam Pupuh ke tiga (Sekar Gambuh) bait ke 4 sd 10 ketiga binatang itu dibahas dengan jelas. Kijang mewakili sifat Adigang yaitu kekuatan, Gajah mewakili sifat Adigung yaitu kekuasaan dan Ular mewakili sifat Adiguna, yaitu kepandaian.


Pada bait ke 4 di bawah, disebutkan bahwa Sifat Adigang diwakili oleh "Kijang", Adigung oleh Gajah (esthi) dan Adiguna oleh ular.

Terjemahan bait ke 4:  Adalah ceritera; Adiguna adigang adigung; Kijang adalah adigang dan gajah adalah adigung; Adiguna adalah ular; Ketiganya mati bersama (sampyuh)

Apa yang diandalkan oleh kijang, gajah dan ular dapat dilihat pada bait ke 5 di bawah. Kijang sombong dengan kecepatannya melompat, gajah dengan badannya yang tinggi besar dan ular dengan bisanya yang mematikan.

Ungkapan “Adigang Adigung dan Adiguna” sampai saat ini masih populer dan banyak yang mengerti maksudnya. Hanya binatang yang menjadi contoh mungkin banyak yang tidak tahu kalau tidak membaca “Serat Wulangreh”

KERBAU

Selanjutnya tentang KERBAU juga telah banyak saya tulis, salah satunya silakan merujuk Serat Wulangreh: Manusia dan Kerbau.

Sudah nasib kerbau dianggap sebagai binatang yang lamban dan bodoh. Beruntunglah saya membaca Serat Wulangreh. Terhiburlah hati saya, karena dalam pupuh ke 11, sekar Asmaradana bait ke lima disebutkan:


Terjemahannya: Tidak gampang orang hidup; Kalau tidak tahu hidupnya; Hidupnya sama dengan kerbau; Lebih baik daging kerbau; masih boleh dimakan; Sedangkan daging manusia; Kalau dimakan pasti haram.
 
Pada pupuh pupuh sebelumnya telah banyak pitutur (nasihat) dan wewaler (larangan) yang disampaikan Susuhunan Pakubuwana IV supaya manusia bisa melaksanakan kehidupannya dalam berhubungan dengan sesama manusia maupun dalam berhubungan dengan Allah Swt. Manusia yang tidak tahu tentang itu, disamakan dengan kerbau. Bahkan masih lebih baik kerbau karena dagingnya bisa dimakan.

Tiga binatang yang pertama, Kijang, Gajah dan Ular mewakili manusia yang sombong karena punya kelebihan. Selanjutnya yang ke empat adalah Kerbau, mewakili sifat kebalikannya, yaitu orang yang tidak tahu bagaimana harus hidup (mengikuti pituduh dan tidak nerak wewaler seperti banyak disebutkan dalam pupuh-pupuh yang lain dalam Serat Wulangreh ini)


ANJING


Adapun binatang ke lima atau terakhir adalah ANJING. Disini Anjing mewakili sifat “Dahwen ati open”. Ungkapan ini mengandung arti orang yang suka mencela tetapi sebenarnya ingin. Mungkin Sri Pakubuwana IV mengambil contoh anjing karena suka menyalak. Dapat dibaca pada Pupuh ke dua, sekar Kinanthi, pada bait ke 15.
 
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Seperti anjing; Orang yang seperti itu juga; “Dahwen open” tidak pantas; Bila kamu duduk berdekatan; Tidak urung ketularan; Lebih baik kau singkiri.

Itulah lima binatang yang mendapat kehormatan dijadikan contoh oleh Sri Pakubuwana IV. Pertanyaannya: Seperti yang manakah kita? Kijang, Gajah, Ular, kerbau atau Anjing? Jangan-jangan kelima-limanya ada dalam diri kita. Merasa kuat, merasa kuasa, merasa pandai, sekaligus dimana saja dan kapan saja selalu mencela. Tetapi karena saking tololnya, dikasih tahu juga tetep tidak “dhong”. (IwMM)

Wednesday, January 18, 2012

SERAT WEDHATAMA: BERILMU TIDAK HARUS “TUA”


Jaman dulu gambaran seorang profesor adalah laki-laki tua, botak, berkacamata plus pelupa saking tuanya. Sekarang ini sudah banyak profesor muda. Usianya belum mencapai limapuluh tahun, dan tidak botak. Saat itu nunut berbahagialah orang botak, Sepanjang dia tutup mulut, bisa dianggap sebagai orang pandai. Apalagi kalau pakai kacamata tebal.

Demikian pula gambaran orang berilmu harus kelas atas dan kaya sebenarnya dari dulu mestinya sudah dihilangkan. Memang untuk bisa sekolah tinggi harus punya biaya. “Jer basuki mawa beya”. Tetapi saya banyak melihat orang tua yang ingin anaknya “jadi orang” akan mengorbankan segala-galanya supaya anak bisa sekolah. Demikian pula anak yang ulet, temen dan punya kemauan akan membantu semampunya untuk meringankan beban orang tua.

Sri Mangkunegara IV, menyebutkan dalam Serat wedhatama, Pupuh Pangkur, bait ke 11:

 
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:

Coba nak, tanyakan; Kepada para sarjana yang menguasai ilmu; Kepada jejak hidup yang menjadi suri tauladan; Mampu menahan hawa napsu; Ketahuilah bahwa senyatanya ilmu; Tidak harus dikuasai orang tua; Bisa juga dikuasai orang muda atau orang miskin, nak.

“Kawawa nahen hawa" (mampu menahan hawa napsu) merupakan kata kunci penguasaan ilmu. Anak muda yang “taberi”, mengorbankan kesenangan hidup usia mudanya dan lebih memprioritaskan belajar sekaligus mencari sendiri biaya untuk belajar, termasuk anak yang “kawawa nahen hawa”. Buahnya dipetik kemudian.

Tigapuluh tahun lalu saya membantu mengajar di Sekolah Perawat Kesehatan, setingkat SMA. Murid-murid yang pandai selalu saya tanya: “kenapa kamu tidak masuk SMA saja, lalu mendaftar di Fakultas Kedokteran?” Pada umumnya semua menjawab: “Supaya bisa langsung kerja” (dalam pengertian orang tuanya tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi).

Tigapuluh tahun kemudian ketika saya ketemu, banyak diantara mereka yang sudah meraih gelar S-2 bahkan S-3 dalam maupun luar negeri pada usia yang belum tua.  Mereka pandai, dan banyak yang berhasil mendapat beasiswa. Mereka termasuk anak-anak yang "kawawa nahen hawa" Mereka semua anak orang kecil yang tidak kaya.

Intinya, penguasaan ilmu itu  “Tan mesthi ing janma wredha” bisa pada kaum “mudha tuwin sudra” sepanjang “kawawa nahan hawa” (IwMM)

Tuesday, January 17, 2012

SERAT WEDHATAMA: ORANG BERILMU “SABAR DAN TIDAK SOMBONG”


Meneladani padi yang makin berisi makin tunduk, sementara padi yang kosong tetap tengadah, demikian pula orang berilmu harus makin tunduk dalam pengertian makin tidak suka pamer, makin tidak suka membual, walaupun yang dibualkan ilmunya. Apakah “ilmu padi” masih kita pahami? Banyak diantara kita sudah tidak pernah lagi melihat beras, apalagi tanaman padi. Tahunya sudah jadi nasi di piring.
Mengingatkan kembali bait ke empat Pupuh Pangkur, Serat Wedhatama, Sri Mangkunegara IV  berceritera tentang kelakuan si "pengung" (si tolol) yang tidak menyadari (nora nglegawa) situasinya, bicaranya semakin banyak (sangsayadra denira cecariwis), semakin tinggi (ngandhar-andar angandhukur) dan semakin tidak masuk akal (kandhane nora kaprah dan sangsaya elok alongka-longkanganipun). Dalam hal ini yang pandai lebih baik ngalah (si wasis waskitha ngalah) menutupi aib si tolol (ngalingi marang si pingging)


Berarti orang yang pandai harus banyak belajar mengalah. Melawan orang seperti ini hasilnya cuma "kalah wirang, menang ora kondhang".  Selanjutnya pada bait ke lima di bawah lebih dirinci lagi sikap orang berilmu harus bagaimana.
 
Ilmu sebenarnya harus dimanfaatkan untuk membuat hati orang senang (sanyatane mung weh reseping ati).Tentusaja tidak untuk dipamer-pamerkan. Siapa sih yang suka dipameri? Disebutkan pula pada bait ke lima bahwa orang berilmu memang harus sabar. Hati tetap senang walau dibilang tolol (bungah ingaranan cubluk). Hati tetap gembira walau dihina (sukeng tyas yen den ina). Jadi tidak seperti si dungu (nora kaya si punggung) yang hari-hari omong besar (anggung gumrunggung) dan ingin dipuji (ugungan).Dunia akan tenteram kalau seperti ini.


Dewasa ini adu ilmu dipamerkan sampai di media. Bahkan menjadi komoditi. Orang senang bisa debat, bisa menyalahkan ilmu orang dan mengatakan saya yang paling benar. Debat dilihat orang banyak, bahkan mendapat tepuk tangan. Bagi yang tepuk tangan tidak ada masalah. Pertama kita diajari tepuk tangan sejak kecil: “Ayo tepuk tangan, anak-anak” atau “Mana tepuk tangannya?” Setelah dewasa kita tahu bahwa “Keplok ora tombok”, alias tepuk tangan itu gratis, siapa tahu malah dikasih uang.

Kembali ke Serat Wedhatama, orang yang betul-betul berilmu jiwanya sudah mengendap. Batinnya  tenang dan tenteram. Jadi baik dikatakan bodoh maupun dihina, hatinya akan tetap senang. Ia akan tampil “ririh, rereh dan ruruh”, tampil sabar dan tenang, walau mungkin saja “sinamun ing samudana”. Tidak seperti si dungu yang “nggugu karsaning priyangga”, selalu sombong, hari-hari maunya dipuji. Orang yang berilmu tidak butuh pujian.

Kepada orang “ugungan sadina-dina” yang  “kandhane nora kaprah” dan hanya “nggugu karsaning priyangga” inilah Sri Mangkunegara IV berpesan melalui baris terakhir bait ke lima Pupuh Pangkur dalam Serat Wedhatama: “Aja mangkono wong urip”, orang hidup jangan seperti itu (IwMM)

Monday, January 16, 2012

SERAT WEDHATAMA: SINAMUN ING SAMUDANA, SESADON INGADU MANIS



Pengertian "samudana" adalah wajah yang "sumeh" atau ramah walaupun mungkin perasaan hatinya tidak senang. "Samun" artinya adalah "tidak kentara". "Disamun" atau "sinamun" berarti disamarkan. Dengan demikian pengertian "sinamun ing samudana" adalah menyembunyikan perasaan yang sebenarnya dengan tetap menunjukkan ekspresi wajah "ramah" atau bersahabat.

"Sadu" adalah bicara dengan manis. "Adu" artinya berhadapan. Jadi kalau Samudana adalah sikap tubuh atau bahasa tubuh kita, kita maka dalam hal ini melalui "sesadon ingadu manis" tidak hanya dituntut sikap saja yang "sumeh" tetapi juga bicara kita harus paralel dengan kesumehan tersebut. Tetap lembut, tetap manis, tetap bersahabat


RESEP MENGHADAPI ORANG YANG "GUGU KAREPE PRIYANGGA"


Seperti apa orang yang nggugu karepe dhewe (gugu karepe priyangga) dapat dipirsani  pada bait ke 3 pupuh Pangkur, Serat Wedhatama di atas: Ngomong (angling) tanpa pertimbangan (nora nganggo peparah). Tapi tidak mau dikatakan bodoh (lumuh ingaran balilu). Maunya dipuji-puji (guru aleman). 

Karena tidak ada yang memperingatkan, atau mungkin juga ia tidak mau mendengar nasihat orang lain maka semakin kacau-balaulah dia. Dalam hal ini Sri Mangkunegara mengingatkan kepada "janma ingkang wus waspadeng semu" (manusia yang mengerti gelagat) supaya berperilaku "sinamun ing samudana, sesadon ingadu manis"

Hanya orang yang sudah mengendap saja lah kira-kira yang mampu melakukan "sinamun ing samudana" sekaligus "sesadon ingadu manis". Pertanyaannya adalah: Mengapa mesti samudana, kok  tidak kita labrak saja orang seperti ini. Jawabnya ada pada bait ke empat di bawah:


Si dungu (pengung) tidak menyadari (nora nglegewa); Omongannya semakin banyak (sangsayadra denira cecariwis) dan semakin tinggi (ngandhar-andhar angandhukur), tidak masuk akal (nora kaprah saya elok alongka-longkanganipun). Pokoknya  Bicara makin ngelantur, makin aneh, makin tidak masuk akal dan tidak ada putusnya.

Itulah celakanya orang yang suka menuruti maunya sendiri. “Saya suwe saya ndadi”, makin lama bukannya menjadi ngati-ati malah makin "ndadi". Yang mendengar sebenarnya amat sebal, tetapi bagaimanapun ingat pesan Sri Mangkunegara IV: Bersikaplah “sinamun ing samudana” plus  "sesadon ingadu manis".

Perlu dicatat bahwa "samudana BUKAN LAMIS. Lamis adalah "manis di mulut buruk di hati" sedangkan "samudana" adalah "manis di mulut manis di hati" bukan mengandung maksud terselubung termasuk mengambil hati. Tujuan kita bersamudana hanyalah untuk menjaga situasi dan yang terpenting adalah menutupi aib orang (ngalingi marang si pingging).


SI WASIS WASKITHA NGALAH

Masih satu lagi pesan Sri Mangkunegara IV: "Si wasis waskitha ngalah". Yang memang berilmu (wasis) ya yang "waskitha", yang mengerti situasi, maka: ngalah saja lah. Tidak sampai di situ saja, kita tidak perlu mempermalukan orang tolol itu, justru kita alingi supaya tidak mendapat aib dimuka umum (ngalingi marang si pingging). Yang merasa pandai dan betul-betul pandai, lebih baik mengalah. Kenyataannya  memang hanya buang-buang energi. Menang debat pun tidak ada hasilnya.


PENUTUP

Dalam bahasa yang lebih sederhana: Buat apa meladeni orang tolol seperti itu. “Kalah wirang. Menang ora kondang”, kita menang pun tidak akan tenar, sebaliknya kalau kalah malu-maluin.  Dalam bahasa yang lebih populer: “Yang waras, ngalah”. Kata kunci disini: Sinamun ing samudana; Sesadon ingadu manis; Si wasis waskitha ngalah. (IwMM)

Saturday, January 14, 2012

SERAT WEDHATAMA: ORANG TUA YANG "GONYAK-GANYUK NGLELINGSEMI"


Anak muda kadang-kadang merasa sebal dengan orang “tua” yang banyak memberi nasihat. Sementara orang “tua” karena merasa lebih pengalaman maka sering mencela sekaligus menasihati orang yang lebih muda. Kemudian orang muda merasa nasihat yang disampaikan sudah ketinggalan jaman. Memang benar bahwa apa yang diceriterakan adalah pengalaman masa lalu di tempat yang berbeda, pada waktu yang berbeda pula terhadap orang yang juga berbeda.

Menjadi orang “tua” apalagi jaman sekarang memang harus lebih hati-hati. Anak muda sekarang lebih kritis, pengetahuan bisa jadi memang lebih luas. Satu-satunya yang kalah adalah “pengalaman”. Bila pada jaman dulu “Kebo Nusu Gudel” seolah-olah “aib” bagi orang tua, pada jaman sekarang harus dipertimbangkan lagi tingkat keaibannya.


ORANG TUA JANGAN GONYAK GANYUK


Sri Mangkunagara IV, dalam Serat Wedhatama, Pupuh Pangkur, bait ke dua di atas, menyampaikan bahwa hal ini disajikan dalam Wedhatama (jinejer neng Wedhatama), agar tidak kendor (mrih tan kemba) muatan nalar kita (kembenging pambudi). Walaupun orang sudah amat tua (mangka nadyan tuwa pikun), kalau tidak memahami ilmu (yen tan mikani rasa), pasti sepi dan hambar (yekti sepi asepa) seperti ampas kosong (lir sepah samun). Bila bertemu orang banyak (samangsane pakumpulan), perilakunya memalukan (gonyak-ganyuk nglelingsemi).

Catatan: (Tan: tidak; Kemba: tidak mantap, tidak rajin; Tan kemba: berarti “rajin”; Kembeng: genangan; Budi: Nalar, pikir, watak; Wikan: tahu;  Rasa: bisa diartikan “ilmu”; Sepa: hambar; Samun: sepi, kosong, kabur; Gonyak-ganyuk: tindak-tanduk yang tidak pas).

Menggaris-bawahi perilaku “gonyak-ganyuk” karena “serat” ini menyebutkan dalam “pasamuan” (pertemuan, pergaulan, ketemu orang banyak, pasti   terkait  dengan “bicara”) Pasamuan jaman sekarang tidak hanya tatap muka temu muka saja, tetapi bisa lebih luas dan cepat bila yang "ditatapkan" adalah muka dengan laptop, komputer tablet, BB, iPad dan sejenisnya, berkomunikasi melalui jejaring sosial. Risiko salah persepsi akan lebih besar dan lebih luas. Maka orang tua yang masih ingin sukses dalam pergaulan harus tetap tidak "kemba" (kendor) dalam "mikani rasa" (mengetahui ilmu) dan "budi" (nalar) harus terus "ngembeng" (menggenang).

Perilaku gonyak-ganyuk sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Poerwadarminta, 1939, menyebutkan sebagai "tandang tanduk sing ora urus". Maksudnya menjadi jelas kalau kita lihat kaitan bait ke dua "samangsa pakumpulan/pasamuan"  dan "gugu karepe priyangga" pada baik ke tiga di bawah.


JANGAN NGGUGU KARSANING PRIYANGGA


Bait ke tiga dapat dilihat pada gambar di atas  Priyangga adalah "diri sendiri". Jadi yang dimaksud "gugu karepe priyangga" adalah orang yang menuruti maunya sendiri, tidak mau dengar orang lain. Apa yang orang ini lakukan? "Nora nganggo peparah" (tidak pakai pertimbangan) kalau ngomong (lamun angling). Bahasa kasarnya ya "waton njeplakke congor". Sudah ngomongnya ngawur tetapi tidak mau dibilang bodoh (lumuh ingaran balilu). Justru ia suka dipuji-puji (guru aleman).

Jelasnya “Menuruti kemauan sendiri” terdiri dari tiga hal:

(1) Bicara tanpa pertimbangan (nora nganggo peparah lamun angling) ,
(2) tidak mau dianggap bodoh (lumuh ingaran balilu)  dan
(3) ingin dipuji-puji (guru aleman).

Saya sendiri sudah cukup tua, “Serat” ini juga mengingatkan pada diri saya. Jangan sampai saya “gonyak-ganyuk nglilingsemi samangsa pasamuan”. Siapa tahu ngomong banyak tanpa dipikir, dibilang salah tidak mau, kalau nggak ada yang muji-muji tidak suka. Di depan mungkin tidak masalah tetapi di belakang dirasani orang banyak.


PENUTUP

Bila kita berhadapan dengan orang yang seperti itu, gonyak-ganyuk dan nggugu karsaning priyangga, Sri Mangkunegara IV memberi resep (sepanjang kita sudah waspada ing semu, sudah mengendap, tahu gelagat, tahu menempatkan diri), yaitu: Sinamun ing samudana (tetap berekspresi "sumeh" atau ramah) dan sesadon ingadu manis (tetap bertutur kata lembut). Mengenai hal ini dapat dibaca pada Serat Wedhatama: Sinamun ing samudana dan sesadon ingadu manis (IwMM)


Most Recent Post


POPULAR POST