Melanjutkan posting pertama Menyampaikan Pitutur Dengan Wangsalan (1): Pengertian di bawah ini adalah beberapa contoh wangsalan sederhana yang pada masanya pernah menjadi ungkapan sehari-hari dalam pergaulan, sebagai berikut:
Bila ada yang mengatakan: “Jenang gula” walaupun tidak dilanjutkan kita pasti sudah tahu bahwa lanjutannya adalah “Kowe aja lali”. Teka-tekinya adalah “Jenang gula” yang maksudnya adalah “GLALI” (gulali). Jawabnya ada pada kalimat ke dua: “Kowe aja LALI”. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia gampang saja: “Jenang gula, kamu jangan lupa”. Hanya saja ini bukan lagi wangsalan. Jenang gulanya memang GULALI tetapi di kalimat kedua dalam bahasa Indonesia yang muncul bukan LALI melainkan LUPA. Tidak sambung. Seorang teman bertanya, apa tidak bisa bikin “wangsalan” dalam bahasa Indonesia? Jawabnya tentusaja “bisa” tetapi jangan menterjemahkan wangsalan Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
Seorang pimpinan menegur bawahannya yang tidak mau mendengar nasihat, atau barangkali pura-pura tidak dengar. Andaikan dikatakan blak-blakan, sebenarnya teguran ini keras bahkan kasar: “Mbok ya aja njangan gori”. (Jangan: sayur; gori: buah nangka yang masih muda; sayur nangka muda kita kenal dengan nama GUDEG). Maksud dari kata-kata “Mbok ya aja njangan gori” adalah mbok ya aja MBUDHEG”, kalau diberitahu mbok ya didengarkan. Anak jaman sekarang kalau diberitahu seperti ini mungkin akan berkomentar: “Ngasih pitutur saja mbulet”.
Kalau yang ini sedikit sulit, karena disamping harus tahu bahasa Jawa juga harus tahu pula pengetahuan lain, dalam hal ini tentang wayang: Kalimat pertama berbunyi: “Kolik priya, priyagun Anjani putra”. (Keterangan: Ada sejenis burung, yang betina disebut “kolik” sedangkan yang jantan disebut “tuhu”. Kolik priya berarti burung kolik jantan, yaitu TUHU. Dewi Anjani adalah wayang kera wanita pada kisah Ramayana. “Priyagung Anjani putra” berarti laki-laki anak dewi Anjani, ANOMAN. Lalu apa jawaban yang sekaligus pitutur pada kalimat ke dua? Inilah kalimat ke dua: “TUHU eman wong ANOM wedi kangelan”, Sangat disayangkan orang muda takut menghadapi kesulitan.
Kemudian yang ini adalah “wangsalan” yang termasuk baru. Ada teman dari Solo mengatakan dalam bahasa Indonesia campur sedikit Jawa sebagai berikut: “Sudah sewajarnya kalau seorang bawahan itu bisa MENTHUNG KARET kepada pimpinan”. Bagi yang tidak “dhong” mungkin akan tertawa karena membayangkan seorang staf menggebuk pimpinannya dengan pentungan karet, alat pukul yang biasa dipegang-pegang satpam. Sebenarnya teman saya ini bicara dengan menggunakan “wangsalan”. PENTHUNG KARET dalam bahasa Jawa disebut KENUT. “Menthung karet” maksudnya MANUT (menurut). Jadi ia memberi pitutur supaya anak buah itu menurut pada atasan, jangan semaunya sendiri.
Saya kok capek ya. “Roning mlinjo (daun pohon mlinjo disebut SO). Sampun sayah nyuwun NGASO. Sudah capek, mohon ijin untuk istirahat. Pada posting berikut saya lanjutkan dengan Menyampaikan Pitutur Dengan Wangsalan (3): Wangsalan Dengan Tembang (IwMM)
No comments:
Post a Comment