Uler: Ulat; Nguler: seperti ulat; Kambang: Terapung. Lalu terjemahannya apa menjadi “seperti ulat terapung?”. Ini memang bahasa Jawa yang agak sulit. Orang Jawa yang sudah tidak mengerti “wangsalan” akan sulit mereka-reka dengan logika biasa. “Wangsalan” semacam teka-teki. Kalau bisa menjawab artinya maka akan mengerti yang dimaksud. Contoh yang sederhana adalah “Njanur gunung”. Janur adalah daun kelapa. Kelapa apa yang ada di gunung? Jawabnya pohon “aren”. Dengan kata kunci “aren” kalau kita dikatakan: “Kok njanur gunung” tanpa diteruskan kata-katanya kita sudah tahu maksudnya, yaitu “Kadingaren”, (kadingaren: Tumben). Jadi kalau kita muncul setelah lama tidak kelihatan, jangan kaget kalau disapa dengan: “Njanur gunung”
Kembali ke “uler kambang” yang dimaksud adalah “lintah”. Dulu orang Jawa yang bertani di sawah amat akrab dengan lintah. Binatang seperti ulat dan berada di air atau tempat-tempat basah ini disebut sebagai “uler kambang”, ulat yang ada di air. Sekarang kita sudah tahu kata kuncinya yaitu “lintah”. Lalu apa sambungan katanya yang bunyinya mirip-mirip lintah? Mohon maaf kalau sambungannya juga bahasa Jawa: “Sak titahe, sak kersane, alon-alon. "Titah" bisa berarti bicara, bisa juga berarti jalan. Jadi kalau kita ditegur dengan “mbok jangan nguler kambang to mas” berarti kita ini dianggap lamban ya omongnya ya jalannya.
Pada jaman dulu, jaman kita tidak saling kejar dengan orang dan waktu, mungkin sifat “nguler kambang” ini masih OK. Hari saat itu masih panjang walaupun hitungan 24 jam dulu dan sekarang sama saja. “Mbok bakul” yang mau berangkat jualan di pasar, menyiapkan dengan pelan, berjalan pelan menuju pasar sambil bersendagurau dengan sesama “mbok bakul” dalam perjalanan. Pasar tidak akan pergi, yang beli akan datang dan tempatnya tidak direbut orang lain. Mau pulang juga berkemas pelan-pelan, tidak ada yang diburu yang memburu pun tidak ada. “Alon-alon waton klakon” memang ungkapan Jawa tetapi bukan milik orang Jawa saja. Dalam bahasa Indonesia ada pepatah "biar lambat asal selamat" demikian pula dalam bahasa Inggris kita kenal “Beter late than never”.
Jaman sekarang adalah “Jet Age” kita harus berpacu sekaligus bersaing. Orang yang tidak punya daya saing akan terbanting. “Mbok bakul” yang berjualan di di kota, tidak kelihatan “nguler kambang” lagi. Bahkan sering timbul pertengkaran antar mereka. Sudah tidak banyak lagi penjual keliling jalan kaki. Sekarang sudah naik sepeda, bahkan sepeda motor.
Sekarang kita harus serba cepat. Kalau belum, ya harus dimulai. Lebih dari 30 tahun yang lalu ketika TV masih hitam putih ada film serial “doctor Kildare” saya malah merasa heran melihat gerakan dokter dan paramedis yang setengah berlari. Saat itu saya memang jarang melihat orang lari kecuali mengejar bis atau mengejar copet. Nyetir mobil juga begitu. Dulu dengan kecepatan 60 km/jam saja sudah ditanya, apa kamu kebelet berak? Sekarang dengan kecepatan itu malah dianggap nyetirnya “nguler kambang” dan mengganggu pengendara yang lain. Klakson dari belakang bisa berdentang-dentang dan ketika mereka berhasil menyalip, kadang-kadang noleh juga, ingin tahu sopirnya kayak apa.
Kebalikan dari “nguler kambang” adalah “kebat keliwat”. Kebat: cepat, tergesa-gesa; Keliwat: terlewat. Yang ini memang bukan wangsalan, jadi tidak perlu dipikir dua kali artinya. Tidak ada teka-teki atau kata terselubung. Disini kita diingatkan, kalau kita mengerjakan sesuatu dengan buru-buru maka hati-hatilah karena pasti ada yang terlewat. Jadi: Dengan “nguler kambang” kita bisa tidak sampai-sampai ke tujuan dan dengan “kebat keliwat” kita bisa tidak kesampaian maksudnya. Pilih mana? (IwM)
No comments:
Post a Comment