Sunday, October 30, 2011

KEBO (6): KEBO MULIH MENYANG KANDHANGE

 

Kerbau dalam menapaki hidupnya, di padang penggembalaan, di sawah maupun di kubangan, sore hari akan pulang juga ke kandangnya. Demikian pula manusia yang berkelana, suatu saat akan kembali ke rumah. Bedanya dengan kerbau, manusia pulang tidak tentu. Bisa nanti sore, tiga hari lagi, seminggu atau lebih bergantung seberapa jauh dan seberapa lama DL (Dinas Luar)nya. Pulang DL menulis laporan sambil minum kopi atau apa saja sesuai kebiasaannya. Adalah kerbau yang selalu pulang tepat waktu. Kita anggap saja kerbau (dalam hal ini kerbau Jawa) bisa menulis. Sambil nggayemi (memamah biak) ia menulis kata demi kata di laptopnya:

Andaikan saya berada di Ranah Minang, nasib saya lebih bagus. Nama Minangkabau kira-kira artinya “menang kerbau”. Tutup kepala perempuan di sana ditata apik seperti tanduk kerbau. Bahkan “Rumah Bagonjong”, rumah adat disana dibentuk seperti tanduk kerbau.

Andaikan saya berada di Tanah Toraja, makin banyak tanduk kerbau disusun di depan rumah, adalah lambang kekayaan. Bila ada yang meninggal dunia, makin terhormat yang meninggal, makin banyak kerbau yang di potong.

Andaikan saya berada di Kalimantan Selatan, ada peternakan kerbau air (kerbau rawa), kandangnya dalam air juga, bahkan ada acara budaya “Pacu Kerbau Air”. Paling tidak ada kesempatan unjuk kompetensi sesama kerbau.

Andaikan saya berada di Cina, saya malah mendapat apresiasi sebagai satu dari duabelas binatang yang dipakai sebagai nama Shio. Walau Shio ini nasibnya “pekerja keras”.

Tetapi kenapa dalam khasanah peribahasa Indonesia maupun Melayu, perumpamaan tentang aku sama saja dengan peribahasa Jawa?

(1) Mandi kerbau: artinya mandi tidak bersih; (2) Bagai kerbau terkejut oleh gung: ini tidak enak juga, sepertinya aku makhluk kagetan; (3) Bagai kerbau dicocok hidung: Duh, kenapa aku lagi? (4) Wah yang ini bagus, aku dipadankan dengan manusia walau aku tetap perumpamaan yang lemah. Tapi paling tidak masih mau menyindir manusia: Jika kerbau dipegang talinya, manusia dipegang katanya dan kerbau sekawan dapat dikawali, manusia seorang tiada dapat dimaklumi. (5) Nah kalau ini barangkali paling OK diantara yang lain, Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak: Manusia harus pandai menyesuaikan diri dimana-mana, dan namaku dipakai sebagai perumpamaan.

OK barangkali sudah waktunya saya simpulkan: Apa yang tersirat dari pengakuan manusia tentang diriku adalah aku pekerja keras, penurut dan tidak banyak tuntutan. Akibatnya aku dianggap bodoh dan lemah. Bagaimanapun aku masih beruntung, tidak dianggap agresif dan anarkhis.

EPILOG:

Sang kerbau mulai memejamkan mata sambil tetap nggayemi. Tiba-tiba tersentak, kepalanya terangkat: “Oh ya, kenapa aku terus? Kok bukan sapi?” Laptop dihidupkan lagi, browsing. Koneksi lemot akhir-akhir ini, tapi pelan-pelan dapat juga jawabnya dari postingan di Kaskus: “Karena sebelum Australia mengekspor sapi, tidak ada sapi di negerimu” (IwMM).


Lanjutan dari Kebo (5) Kebo bule mati setra
Bersambung ke Kebo (7): Kebo ilang tombok kandang

KEBO (5): KEBO BULE MATI SETRA


Kebo bule: Kebo albino, yang warnanya putih atau pink muda; Setra: Tempat pembuangan (Poerwadarminta). “Kebo bule” melambangkan orang cerdik pandai. Menjadi paradoks ketika “kebo” secara umum adalah personifikasi orang bodoh tetapi ketika menjadi “kebo bule” justru melambangkan orang pandai. Pikiran saya, “kebo bule” itu sulit dicari dan pada jaman dulu orang pandai memang bisa dihitung dengan njari, amat langka.

Kebo bule” pasti istimewa. Buktinya “Kebo bule” dipelihara juga di Kraton Kesunanan Surakarta, kita bisa melihatnya di Alun-alun Selatan. Konon sudah ada sejak jamannya Sri Pakubuwana II, diberi nama Kyai Slamet.  Adapun yang ada sekarang adalah keturunannya. Dikeramatkan orang sudah tentu, dan saya tidak menyalahkan. Jangankan kerbau, orang bule (bukan bule albino) pun tanpa melihat kompetensi dan reputasinya selalu kita anggap lebih pandai dan kita hormati lebih daripada yang tidak bule?
 
Setra” ada yang mengartikan mati tanpa dikubur. Saya terjemahkan saja dengan “dibuang”. Sedangkan “Kasetran” menurut Poerwadarminta adalah tempat pembuangan. Kemudian kata “mati” disini bukan berarti lepasnya jiwa dari raga. Orang hidup yang terputus dari semua aspek kehidupan dunia bisa dikatakan mati. Tidak heran bila Oliver Wendell Holmes mengatakan “Live is to function”.
 
Jadi pengertian “Kebo bule mati setra” adalah orang cerdik pandai yang tidak dimanfaatkan kecendekiaannya” kalau kemudian dikatakan “mati setra” merana dalam keterasingan, maka hal ini bergantung pada pelaku masing-masing.
 
Pada jaman sekarang dimana populasi kebo bule meningkat pesat dan persaingan makin kuat bukan hal yang luar biasa kalau kebo bule yang tidak dikenal tidak terpakai, yang kalah bersaing terpinggirkan dan yang merepotkan ... dinaikkan kedudukannya.
 
Tulisan ini saya tutup dengan kutipan Serat Kalatidha, anggitan R Ng Ranggawarsita, Pujangga Kraton Surakarta dalam tembang Sinom. Saya ambil bait ke 4 sebagai berikut:
 
(1) Dasar karoban pawarta; (2) Babaran ujar lamis; (3) Pinudya dadya pangarsa; (4 Wekasan malah kawuri; (5) Yen pinikir sayekti; (6) Mundhak apa aneng ngayun; (7) Andheder kaluputan; (8) Siniraman banyu lali; (9) Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
 
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut, Baris 1 dan 2: Karena kabar angin (pawarta + lamis) yang terlalu banyak (karoban); Baris 3 dan 4: Akan ditempatkan di depan (pangarsa) tetapi malah di belakang (kawuri); Baris 5 dan 6: Kalau direnungkan, untuk apa berada di depan (aneng ngayun); Baris 7: (hanya) Menabur kesalahan; baris 8 dan 9: Bila ditambah lupa (diri) akan menghasilkan kesulitan (beka).
 
EPILOG:
 
Komedi “kebo bule” sudah ada sejak dulu di seluruh muka bumi yang ada habitat manusianya. Si kerbau seolah tidak peduli dibilang apa saja kaumnya oleh manusia. Ia jalani rutinitas hidupnya sebagai amanah: Mensejahterakan manusia (IwMM)
 

KEBO (4): KEBO KABOTAN SUNGU


Kabotan: Abot: berat; Sungu: tanduk. Kalau kita melihat tanduk kerbau dan kita bandingkan dengan tanduk sapi atau banteng, memang berbeda. Tanduk kerbau lebih-lebih kerbau Toraja, jauh lebih besar daripada tanduk sapi atau banteng. Posisi tanduk kerbau pun bukan posisi tempur seperti tanduk banteng, sementara posisi tanduk sapi lebih netral.

Melihat kerbau jalan yang kepalanya lebih banyak tunduk seolah-olah dia memang menyangga beban (tanduk) terlalu berat. Padahal gaya kerbau memang demikian. Bagaimanapun itu perumpamaan yang bagus. Rusa tidak terlalu akrab dengan manusia, dan kalau dijadikan perumpamaan dengan tanduk indah yang bercabang-cabang rusa tetap tegak dan larinya tetap kencang.

Kebo kabotan sungu” melambangkan orang atau keluarga yang terlalu berat menyangga beban hidup. Umumnya dikaitkan dengan anak atau hutang yang terlalu banyak. Dulu jaman gencar-gencarnya kampanye KB, kata-kata “kebo kabotan sungu” ini cukup ampuh untuk membuka wawasan masyarakat khususnya di desa yang menggunakan bahasa Jawa. Bukan ungkapan yang ndakik-ndakik dan menggunakan contoh binatang yang akrab dalam kehidupan masyarakat.

Masalahnya adalah memberikan kesadaran bahwa kita “kabotan sungu” Kalau tadi dikatakan apakah si kerbau merasa kelebihan beban? Maka pertanyaan yang sama juga saya ajukan pada manusia: “Apakah manusia merasa kabotan sungu?” Jawabannya bisa berbelit belit. Di desa yang masih ada kerbaunya peluang kita mendapat jawaban “inggih” lebih besar daripada di kota yang gambar kerbau saja sudah sulit didapatkan.

Ketika Rumah Sakit berkembang menjadi Puskesmas besar dan Puskesmas menggelembung menjadi Rumah Sakit kecil rasanya juga tidak ada yang bertanya apa lama-lama tidak menjadi “ kebo kabotan sungu?” Demikian pula dulu ketika program “Basic Seven” di Puskesmas membengkak menjadi “Basic Seventeen” padahal jumlah tenaga Puskesmas kala itu umumnya dibawah 10 orang, juga tidak terdengar keluh-keluh. Semua tetap bekerja mengerjakan semua pekerjaan, hanya kinerjanya seperti apa perlu dievaluasi.

Orang sekarang makin pandai, evaluasi kinerja pun dapat dilihat langsung dalam satu dashboard di laptop. Bagus dan cepat. Hasil kinerja dinilai dengan angka 0 sampai 100, kalau raport banyak merahnya berarti kinerja buruk dengan segala resikonya. Apakah kinerja buruk sama dengan tidak bisa kerja? Jangan-jangan karena kabotan sungu. Salah diagnosa bisa fatal. Ibarat orang yang perutnya perih disuruh diet oleh dokter. Padahal keluhan lambungnya bukan karena sakit maag tetapi karena lapar.

EPILOG:

Kerbau tetap berjalan menunduk dengan tanduk besarnya. “Kabotan sungu” tidak ada kaitannya dengan kinerja. Kinerja kerbau tidak berubah sepanjang namanya masih kerbau. Kalau gajah mati meninggalkan gading, maka kerbau mati juga meninggalkan tanduk. Walaupun tidak semahal gading gajah dan tidak dijadikan peribahasa, tetapi hiasan dari tanduk kerbau juga ada di toko cenderamata (IwMM).
 

lanjutan dari Kebo (3) Aja Cedhak Kebo Gupak

KEBO (3): AJA CEDHAK KEBO GUPAK


Saya hanya bisa memberikan empati kepada kerbau. Posting saya kemarin berceritera tentang kerbau yang dianggap bodoh dilanjutkan dengan kerbau yang bodoh itu malah menyusu pada anaknya (gudel), sekarang kerbau dengan nuansa lain yaitu “Aja cedhak kebo gupak. Aja: Jangan; Cedhak: Dekat; Gupak: Terkena sesuatu yang kotor.
 
Sebenarnya masih ada ungkapan dalam bahasa Jawa juga yang artinya sama: “Kebo gupak ajak-ajak”. Saya kurang suka dengan yang terakhir ini karena konotasinya kerbau aktif mengajak kita untuk kena kotoran. Padahal bukan maksud kerbau untuk mengajak kita menjadi kotor.
 
Kembali kepada yang pertama, memang sudah menjadi risiko pekerjaan kerbau, untuk gupak kotoran. Dalam tugas pokok dan fungsi kerbau untuk membajak sawah “so pasti” kerbau akan berlepotan lumpur. Kerbau akan “gupak” lumpur. Orang yang dekat-dekat kerbau “gupak” lumpur tentu saja termasuk golongan “high risk” untuk kecipratan lumpur.
 
Saya kagum dengan nenek moyang yang begitu pandai mencari perumpamaan sekaligus memberi makna. Kekecewaan saya hanya satu, kenapa hanya kerbau yang dipersonifikasi. Yang satu lambang kebodohan dan ini satu lagi arahnya ke perbuatan tidak baik. Bukankah untuk mewakili bodoh ada binatang lain misalnya keledai? Tapi keledai bukan binatang asli Indonesia. Jadi kalau saat ini pemerintah dengan susah payah melalui berbagai peraturan dan himbauan meminta kita menggunakan produk lokal, dulu tidak usah diatur-atur kita selalu menggunakan produk lokal, paling tidak melalui kerbau. Mungkin juga nenek moyang kita saat itu kurang melihat dunia. Dalam bait terakhir lagu “Witing klapa” disebutkan: “Kula sampun jajah praja ing Ngayogya Surakarta” (Saya sudah menjelajah negeri di Yogya dan Surakarta).
 
Ya, hanya disitu-situ saja, seputar "Joglo", antara Yogya dan Solo.
 
Saya tidak mau melenceng lagi dari judul, makna ungkapan “Aja cedhak kebo gupak” adalah: Dalam pergaulan hidup carilah teman yang benar. Jangan berteman dengan orang-orang yang berlepotan (gupak) dengan perbuatan yang melanggar aturan dan norma. Misalnya “Ma Lima”, Madat, Main, Maling, Minum dan Madon (Kecanduan, Judi, Mencuri, Mabok-mabokan dan main perempuan). Peluangnya besar untuk kecipratan perbuatan itu.
 
Ada teman yang memberi komentar: “Bukankan orang-orang yang gupak ini justru harus kita dekati, kita coba bersihkan supaya kembali ke jalan yang benar?”. Jempol seribu untuk komentar ini. Memang harus demikian bagi yang imannya kuat. Pesan moral nenek moyang kita melalui kerbau ini adalah untuk masyarakat umum supaya “hati-hati dalam memilih teman”. Dalam ilmu pengendalian penyakit kira-kira masuk upaya promotif dan sebagian preventif yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat.
 
EPILOG:
 
Kebo gupak asli yang “bukan” dalam arti kiasan setelah selesai membajak akan dibawa ke air oleh gembalanya untuk berkubang sekaligus membersihkan diri. Setelah itu si gembala naik ke punggung kerbau (tentusaja sudah tidak gupak lagi) sambil berdendang atau meniup seruling, mengantar ke kandang, menyediakan santap malam dan menyilakan istirahat malam. Kerja keras untuk gupak lagi menanti esok pagi (IwMM).
 

KEBO (2): KEBO NYUSU (NUSU) GUDEL

 

Gudel adalah sebutan untuk anak kerbau dalam bahasa Jawa. Seperti pedhet, cempe dan belo, masing-masing untuk anak sapi, kambing dan kuda. Binatang-binatang yang akrab dalam kehidupan orang Jawa dulu.
 
Kenapa kok disebut kebo nusu gudel, bukan sapi nusu pedhet, kita kembalikan kepada label atau stigma yang diberikan kepada kerbau sebagai binatang yang bodoh. Dengan demikian kebo nusu gudel dapat diartikan sebagai orang tua belajar pada anak, orang yang lebih tua belajar kepada yang lebih muda atau guru belajar pada murid, atau atasan belajar kepada bawahan.
 
Saya lebih condong kepada pengertian yang lebih universal yaitu “orang yang lebih tua belajar kepada yang lebih muda”. Tadinya saya ingin mengartikan “Orang bodoh (karena kerbau dianggap bodoh) belajar kepada yang lebih pintar”. Tapi gudel kan anak kerbau, masa lebih pintar dari bapaknya? Mungkin kalau peribahasanya diubah menjadi “kebo nusu jaran”  baru betul,karena jaran (kuda) dianggap lebih pintar. Anak saya pun pasti akan protes. Pasti dia merasa tidak lebih bodoh daripada bapaknya. Contohnya kalau ada trouble dengan komputer saya, rujukan pertama saya adalah anak saya.
 
Saya tidak tahu jaman dulu bagaimana, karena ungkapan ini kan dilahirkan pada jaman dulu. Rasanya dulu orang tua merasa tidak begitu pas kalau harus belajar kepada yang lebih muda. Masih jaman agak dulu, seorang dokter puskesmas muda usia banyak yang merasa dianggap gudel oleh perawatnya yang usia di atas lima puluh tahun. Akibatnya suasana kerja tidak harmonis.
 
Pada jaman sekarang, ungkapan kebo nyusu gudel ini mestinya sudah tidak perlu ada. Wajar-wajar saja orang tua belajar pada orang muda.
 
Dokter muda usia tadi waktu sekolah dokter pasti dosen-dosennya lebih tua. Ketika dia mengambil S2 di luar negeri pada usia tigapuluhan, banyak dosen-dosennya yang usia sebaya. Akhirnya ketika ia melanjutkan ke S3 pada usia limapuluhan banyak dosen yang seusia keponakannya. Apa harus dianggap kebo nusu gudel?
 
Pemimpin  jaman sekarang banyak yang usianya lebih muda daripada bawahannya, dan itu pasti terjadi karena jabatan makin ke atas makin mengerucut. Pasti hanya beberapa saja yang menyalip dan melaju  sementara lainnya yang jumlahnya lebih banyak, kariernya hanya   berputar-putar bak obat nyamuk bakar
 
EPILOG:
 
Satu pesan saja kepada yang tua (saya juga sudah tua) jangan lagi ada anggapan bahwa yang lebih muda itu gudel. Mereka sudah menjadi kerbau, hanya kerbau yang lebih muda. Jadi .... sama-sama kerbau. Awas, bukan maksud saya mengatakan sama sama bodoh. Kalau ada yang berpendapat demikian, salah sendiri (IwMM)
 

KEBO (1): BODHO KAYA KEBO


Bodoh seperti kerbau. Sungguh malang nian nasib kerbau, dijadikan perumpamaan untuk orang tolol. Bagi yang sudah agak tua, mungkin masih ingat lirik lagu “kodhok ngorek” yang sederhana dengan solmisasi sederhana pula: sol mi mi mi, sol mi mi mi, sol la sol fa mi re, sol re re re, sol re re re, sol la sol mi re do. Intinya yang pinter itu dokter yang bodo itu kebo.

Kodhok ngorek kodhok ngorek, ngorek pinggir kali, theyot teblung theyot teblung theyot theyot teblung. Bocah pinter bocah pinter besuk dadi dokter, bocah bodho bocah bodho besuk kaya kebo.

Jaman dulu memang anak-anak SMA yang pandai, banyak diterima di Fakultas Kedokteran (sombong sedikit: termasuk saya). Orang tua dulu pun kalau ngudang (bahasa Indonesianya saya tidak tahu) dan menggadang-gadang (mengharapkan) anak atau cucunya, banyak yang “sekolah sing pinter suk gedhe ben dadi dokter”.


KERBAU: DULU UNTUK NAMA ORANG

Kembali ke kerbau pada jaman dulu sebelum yang dulu, kira-kira jaman Kerajaan Singasari dan Majapahit, justru menggunakan nama binatang, misalnya Gajah Mada, Mahisa Anabrang, termasuk Kebo Ijo adalah kehormatan. Kebo Ijo adalah tertuduh pembunuh Tunggul Ametung atas akal Ken Arok dengan meminjamkan Keris Empu Gandring biar dibawa-bawa dulu oleh Kebo Ijo sebelum dipakai Ken Arok untuk membunuh, dan akhirnya Kebo Ijo mati dibunuh Ken Arok. Orang akan bilang Kebo ijo ini “Stupid”, kok mau-maunya dipinjami keris.


KERBAU: BODOH KARENA PENURUT?

Kerbau memang binatang yang amat penurut. Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa “seperti kerbau dicucuk hidung” artinya adalah orang yang amat penurut, mungkin karena saking bodohnya. Dipukuli pun kerbau tak pernah protes, disamping itu pemeliharaannya juga amat mudah: Kandang seadanya, santapan cukup rumput dan dedaunan lokal. Untuk relaksasi kerbau tidak butuh macam-macam. Asal bisa berendam di air atau lumpur yang sudah disediakan alam dengan gratis, masuk kandang sudah nyaman dan esok kerja keras lagi.


KERBAU DIAJARI MEMBACA

Adalah sebuah ceritera ngayawara, seorang petani punya anak yang sulit diajar membaca. Saking pegalnya dia masuk kandang kerbau dan mencoba mengajari kerbaunya membaca. Walau dipukuli si kerbau hanya bisa menguak, bukan membaca. Pak petani kembali masuk rumah lalu bilang pada anaknya:”kamu bodoh plonga-plongo kayak kerbau”. Bu petani yang lebih arif menjawab: “Hanya kerbau beranak kerbau, pak”.

Beruntunglah anak buah jaman sekarang karena sudah hampir tidak pernah lagi ada boss memaki dengan menggunakan kata kerbau. Mungkin sudah lupa kalau ada binatang namanya kerbau karena di kota tidak ada kerbau. Kerbau sudah termarginalkan semakin ke perifer. Mungkin juga kerbau sudah terhapus dari alam sadarnya, masuk alam bawah sadar.


EPILOG:

Saya tetap bersimpati pada kerbau. Bolehlah bodoh, tapi kerbau adalah pekerja keras, tuntutannya tidak banyak dan loyalitasnya dapat diandalkan. Kerbau juga siap menyerahkan kepalanya untuk tumbal pembangunan gedung atau jembatan. Bahkan kerbau bule (albino) mempunyai kedudukan tinggi diantara kerbau-kerbau lainnya. (IwMM)
 

Friday, October 28, 2011

OMONG KLOBOT



Klobot adalah kulit buah jagung, ringan, warnanya kekuningan, yang kalau kering ditumpuk-tumpuk tentusaja bunyinya kresek-kresek. Dulu dipakai sebagai pengganti kertas rokok, sehingga dikenal “rokok klobot” yang biasanya ada campurannya, selain klembak juga menyan. Disamping sebagai pengganti kertas rokok juga dipakai sebagai pembungkus makanan tradisional, khususnya jenang-jenangan.
 
“Omong klobot” sepertinya ini istilah “Jawa Timuran” adalah omong-omong ringan sambil cangkrukan atau sambil istirahat melepas lelah. Konon doeloe ibu-ibu sambil “petan” juga omong kresek-kresek ini. Aslinya omong klobot memang omongan enteng tentang kehidupan sehari-hari. Guyon bareng-bareng, nggedabrus sama-sama. Tidak ada diskusi berat yang menimbulkan silang pendapat. Katanya “omong klobot” ini sama dengan terapi kelompok tapi tanpa dokter jiwa. Selesai omong-omong kepala dan pundak terasa ringan, beban hidup hilang, senyum kembali merekah.
 
Seiring dengan kemajuan jaman, klobot pun meningkat menjadi komoditas yang lebih tinggi. Dengan sentuhan kreatifitas artistik klobot bisa disulap menjadi cenderamata yang manis. Demikian pula “omong klobot” kalau dulu harus kumpul-kumpul cangkrukan atau jagongan, sekarang bisa secara virtual di dunia maya melalui facebook, twitter, atau jejaring sosial lainnya (walau tidak semua demikian).
 
Ada teman yang tanya: “Mas, kalau perbincangan yang di TV itu termasuk omong klobot apa tidak?” Agak sulit menjawabnya. memang fungsi klobot telah meningkat tetapi apa fungsi omong klobot yang kemresek entheng itu juga harus ditingkatkan? Setelah saya pikir agak lama, akhirnya saya jawab demikian: “Rumusnya demikian dik. Sepanjang itu hanya dari kita ke kita, tidak marah-marahan, tidak debat, tidak mencampuri urusan orang lain dan selesai omong-omong kita bisa tidur nyenyak maka itulah omong klobot” (IwMM).

NUCUK NGIBERAKE


 
Nucuk: Mematuk makanan (untuk burung). Ngiberake: Membawa terbang. Dalam ungkapan bahasa Jawa bukan berarti mematuk makanan terus dibawa terbang melainkan “sudah makan masih membawa pulang”. Kalau mau lebih jelas lagi, sudah diberi suguhan, masih ngantongi. Tapi tolong jangan disamakan kalau kita menghadiri selamatan atau hajatan. Memang itu sudah adat istiadat, selesai baca doa lalu makan bersama dan waktu mau pulang kita diberi berkatan. Hanya kalau kemudian sudah diberi berkatan kita masih ngukuti makanan yang tidak habis untuk dibawa pulang, barangkali itu termasuk “nucuk ngiberake”.
 
Orang bisa mengatakan perilaku seperti ini tidak pantas atau “saru”. Misalnya pada acara-acara rapat, sudah makan komplit dan kenyang masih mencari tas kresek untuk membawa pulang makanan yang tersisa. Saru tetapi kadang-kadang bermanfaat juga, karena tidak ada lagi left over.
 
Perilaku  “Nucuk ngiberake” ini tidak pandang bulu. Tidak harus orang miskin. Orang mampu dan (maaf) ibu-ibu berpenampilan aksi pun bisa saja melakukan. Ada yang mengatakan ini sudah watak jadi tak bisa diubah lagi. Orang Jawa yang suka padanan kata mengatakan ada “Tiga Wa” yang bersifat tidak bisa ditahan, yaitu “Watak, Wahing dan Watuk” (watak, bersin dan batuk).
 
Walau ungkapan ini berasal dari bahasa Jawa, kelihatannya berlaku universal. saya lihat orang-orang bukan Indonesia pun ada yang tidak malu-malu berbuat itu. Tamu-tamu asing pun ada yang cukup pedhe melakukan itu.
 
Dulu saya pernah tugas di salah satu negara Afrika dan masih merokok, kalau dimintai rokok, tidak saya berikan dengan bungkusnya. Saya ambil satu batang lalu saya berikan. Soalnya punya pengalaman ketika saya berikan bungkusnya, satu batang dia masukkan mulut dan tiga batang masuk kantong.
 
Saya hanya memberi contoh makanan dan rokok saja. Yang enteng-enteng saja. Demikian pula pertanyaan saya ringan-ringan saja : Kalau kita naik pesawat dan ditawari permen oleh pramugari, kita ambil satu genggam, satu masuk mulut dan sisanya masuk kantong, termasuk “nucuk ngiberake” apa tidak? (IwM)

Thursday, October 27, 2011

TULUNG MENTHUNG

Suatu saat saya naik taksi dari Bandara Soekarno Hatta, sopirnya muda dan ramah. Ia bertanya tentang diri saya: “Bapak dari Jawa?” Saya jawab pendek: “Iya”. “Jawa mana Pak?” Si sopir melanjutkan pertanyaannya. “Aslinya Jogja, dik,” jawab saya tetap pendek. Sopir yang kemudian saya tahu bernama Parno itu menjadi semangat: “Saya juga Jawa Pak, tapi Jawa ngapak-ngapak, asli Cilacap. Kalau Bapak orang Jogja saya mau belajar!” Sepercik kebanggaan sebagai orang Jogja muncul dalam diri saya:  “Lha wong bahasa Jawamu baik gitu lho, mau belajar apa?” “Saya mau tanya peribahasa, tulung menthung itu artinya apa Pak?” Jawab dia.

Dalam hati saya berpikir, kalau hanya “tulung menthung”, orang yang tidak ngerti bahasa Jawa saja pasti ngerti artinya. Sudah ditolong malah menyulitkan yang menolong. Mungkin dalam bahasa  Indonesia hampir sama dengan peribahasa air susu dibalas dengan air tuba. Dengan agak dongkol saya jawab: “Sudah jelas gitu lho, gampangnya sampeyan pinjam sepeda motor, saya kasihkan malah dibawa lari”.

“Ya itu Pak, yang saya bingung,” sahut Parno. “Kan hanya kata dasar tulung. Kenapa kita hanya berpikir sudah ditulung malah menthung? Kan bisa juga punya arti nulung sekaligus menthung?”

Wah ini sopir cerdas, pikir saya. “Kamu kok pinter dik, saya malah nggak berpikir kesitu”. “Bapak, malah sekarang lebih banyak yang nulung menthung daripada yang ditulung menthung”, kata Parno, lalu dia lanjutkan dengan contoh-contoh mulai penolong korban kecelakaan sambil nyopet dompet, kacamata dan cincin, banyaknya kreditor dan rentenir, bahkan sampai ke proyek.

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kenapa embah-embah kita dulu menggunakan kata “tulung menthung”. Jaman dulu mungkin lebih banyak orang yang diberi pertolongan tetapi tidak tahu diri, sedang saat itu kalau kita menolong pasti ikhlas. Tetapi apa ya demikian seterusnya?  Oleh sebab itu amrih luwesnya digunakan tembung lingga (kata dasar) “tulung” yang belum ditambah awalan, akhiran atau sisipan.

“Tulung menthung” dalam pengertian “ditulung menthung” juga menjadi salah satu lagu Didi Kempot, demikian pula dalam lelagon Jawa Campursari, saya pernah mendengar lirik .....  apa ra kelingan biyen kowe kuwi sapa, lara tak obati bareng mari kowe lali (apa tidak ingat dulu itu kamu siapa, sakit saya obati setelah sembuh kamu lupa) ........ ilat tanpa balung wis ditulung malah menthung (lidah tidak bertulang sudah ditolong malah menthung).

Karena penasaran sampai di rumah saya browsing internet. Ternyata penafsiran “tulung menthung” memang ada dua. Walau demikian hampir semuanya menafsirkan dengan “ditulung menthung”, kecuali beberapa orang ditambah Parno yang sopir taksi tadi. Pendapat minoritas, tetapi belum tentu salah.

Oh ya, satu lagi barusan dapat masukan seorang teman “tulung menthung” bisa diartikan membantu menthung. Teman saya ini pernah melihat tukang copet ketangkap lalu dipenthungi rame-rame, kemudian ditolong Polisi. Wah kalau ini sih kira-kira cerita lain lagi.

Bagaimanapun kita memang berada di tengah-tengah tarikan dua kutub: Tulung tinulung (saling tolong) dan Penthung pinenthung (saling penthung), diantara dua kutub itulah terdapat  ditulung menthung dan nulung menthung”. Yang penting kita kalau ditolong maupun menolong janganlah sekali-sekali menthung (IwMM).

KAPOK LOMBOK


 
Seorang yang matanya merah dan berair sulit dibedakan apakah sedang nangis, habis kecolok atau kepedasan. Kecuali kita tahu dia sedang makan dan ada sambal atau lombok di meja makannya. Hebatnya manusia adalah habis kepedasan, bilang kapok, besoknya mencari sambal lagi. Rupanya ada nikmat dibalik pedasnya lombok.

“Kapok” bisa diartikan jera atau taubat. Pengertian “kapok lombok” adalah jera tetapi tidak jera. Tetapi "Kapok yang tidak kapok kan bukan kapok?”  Kata mas Bagyo ahli browsing kita yang punya referensi lagu “kapok lombok”nya Waljinah melalui youtube
 

Makanya kita harus kembali ke definisi yang sebenarnya dari kapok, yaitu jera atau taubat”, kata mbah Hardjo. "Taubat berarti sadar dan menyesali perbuatan buruknya kemudian berjanji untuk tidak mengulangi lagi”

“Makan lombok kan bukan perbuatan buruk, mbah. Apa perlu taubat?”, sergah Toni yang memang suka makan pedas.

“Susahnya kata taubat dalam kehidupan sehari-hari sudah menjadi sekedar kata seru untuk menyatakan kekagetan atau kekesalan, mbah”, Darman menimpali.

Mas Bagyo yang dokter umum menengahi: “Begini, ketika kapok lombok menjadi laten maka kapok seolah-olah hilang tapi penyakitnya tetap ada. Sama dengan sifilis atau framboesia yang ada fase latennya dan tidak kelihatan sakit. Tapi suatu saat akan muncul lagi dalam stadium yang lebih berat kalau tidak diobati dari awal”. Perilaku "kapok lombok" amat menghambat pembangunan bidang kesehatan.

“Nah kali ini sampeyan betul mas”, kata Darman. “Obatnya hanya taubat, tapi ketika pernyataan taubat menjadi rutin, dan penggunaannya tidak sesuai petunjuk Allah, maka tinggal tunggu masuk neraka saja kan?” sambungnya lagi.

“Oleh sebab itu marilah kita kembali ke taubat dalam terminologi agama, dan sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima Taubat bagi ummatNya yang sungguh-sungguh bertaubat”, timpal mbah Harjo sekaligus bermaksud menutup forum diskusi.

Tapi Toni masih meneruskan “Mbah, memangnya yang punya kelakuan kapok lombok itu banyak?”

“Bangsa kita ini kan pemakan lombok, Ton. Kalau lombok mahal kan teriak-teriak” Kali ini mbah Harjo sukses menutup diskusi tanpa sanggahan (IwM).

Wednesday, October 26, 2011

RAI GEDHEG ALIAS MUKA TEMBOK


“Rai gedheg” (ada yang menulis “gedhek”) merupakan ungkapan metaforik Jawa yang berarti “ora duwe isin” alias tidak punya malu. Rai samasekali tidak ada hubungannya dengan Pak Rai teman saya yang orang Bali, tetapi “rai” disini berarti wajah atau muka, sedangkan “gedheg” adalah dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

Mengapa “gedheg” dikambing-hitamkan untuk mewakili orang-orang yang tak tahu malu agak sulit menjelaskannya. Ada yang berpendapat bahwa dinding anyaman bambu itu permukaannya tidak rata dan jalinan antar bilah bambu tidak bisa sepenuhnya rapat sehingga ada celah-celah berlubang. Ketidak-rataan dan bolong-bolong inilah yang konon berkonotasi jelek.

Disisi lain dalam bahasa Indonesia kita kenal muka tembok dan muka tebal yang artinya setali tiga uang dengan “rai gedheg” yaitu tidak tahu malu. Ungkapan lain yang sama maknanya adalah: Rai teki (teki: rumput teki); Rai dhingklik (dhingklik: tempat duduk yang kakinya amat pendek); Rai trumpah (Trumpah: terompah, bakiak).


PANEL DISKUSI GEDHEG

Teman-teman yang suka berdiskusi interaktif tanpa keputusan pernah membahas hal ini di rumah mbah Harjo yang selalu dengan senang hati menyediakan kopi dan gorengan.

Kenapa rai gedheg sama dengan muka tebal atau muka tembok, padahal yang satu tidak rata sedang satunya rata?” Mas Bagyo yang suka browsing mengawali pembahasan.

Toni yang impulsif dan dijuluki Toni Boster (Waton muni ndobose banter) langsung menyahut: “Gedheg itu bahasa Jawa jadi  tidak tahu malu yang bersifat lokal Jawa, sedang tembok tebal karena dalam bahasa Indonesia ya bersifat nasional”.

“Gak bisa gitu,” kata Darman, “Gedheg jelas untuk orang-orang jaman dulu waktu negara kita masih banyak rumah gedheg. Sekarang karena sudah maju dan banyak rumah tembok ya tidak rai gedheg lagi.

“Tapi kenapa koran sekarang suka sebut-sebut rai gedheg?” Kembali mas Bagyo pelanggan koran elektronik gratis unjuk bicara. Mbah Harjo yang dari tadi diam angkat bicara dengan kalem: “Karena gedheg sudah comeback menjadi komoditas modern. Coba lihat sekarang banyak rumah makan dan hotel besar di kota besar memakai gedheg untuk aksesori.”

Karena "gedheg" sudah jadi identitas modern, tidak heran kalau perilaku "ora duwe isin" ini semakin merebak. Mbah Harjo lalu memberikan beberapa contoh: NUCUK NGIBERAKE (sudah ikut makan, masih bawa pulang). NYALULU NRUWELU (Truwelu: kelinci). Maksudnya orang tidak ikut diundang hajatan, tapi datang sekedar cari makan. Mengapa Kelinci yang dijadikan contoh? Dapat kita lihat perilaku kelinci yang kita umbar di pekarangan. Kalau kita keluar, ia akan datang walau tidak dipanggil. NUMPAL KELI (Orang yang bepergian tanpa biaya samasekali karena nunut teman. Ikut naik mobilnya, ikut makan kalau mampir di warung, ikut semuanya). Walau disindir-sindir, tetap saja pakai TESMAK BATHOK (Tesmak: Kacamata; Bathok: Tempurung kelapa) dan KANDEL KUPINGE (Kandel: tebal) alias tutup mata dan telinga.

Diskusi tanpa solusi ini selalu berhenti sendiri seiring dengan merayapnya malam dan kosongnya gelas kopi dan piring gorengan. Mbah Harjo putri punya cara yang cukup bijak untuk menyetop konsumsi sekaligus menghentikan diskusi pada saat yang pas sehingga tidak terjadi pertumpahan ludah diantara sesama teman.


LIDING DONGENG

Hari demi hari kita senantiasa berjumpa dan berurusan dengan orang-orang yang rai gedheg  dan muka tembok yang tebal ini. Wah interupsi .... Ada ketokan pintu dari luar. Ketika saya bukakan, tanpa salam sang tamu langsung nyerocos: “Nanti sore bikin hajatan ya? Saya kok tidak diundang?” Wah apeslah saya. Mas Jiman ini tidak diundang karena saya kira belum pulang dari desa.

Ketika dia sudah di luar rumah, saya menggerutu: “Dasar rai gedheg, tidak diundang saja kok nagih”. Padahal diluar sana, mas Jiman barangkali juga ngomel dalam nada yang sama: “Dasar rai gedheg, bikin hajatan gak mau undang teman”. Jadi .... siapa sebenarnya yang rai gedheg? Kalau toh saya, pasti saya tidak mau mengakuinya. (IwMM).

GIRI LUSI, JANMA TAN KENA INGINA

"Giri lusi, jalma tan kena ingina". (Giri: Gunung; Lusi: Cacing, ada yang mengatakan rumput; Tan kena: tidak boleh Ingina: dihina) Kenapa giri? Karena giri yang bukan mas Giri itu tinggi, sedangkan lusi yang bukan mbak Lucy, walaupun hanya cacing tetapi letaknya di atas gunung. Jadi lusi masih bisa merayap sampai lebih tinggi daripada giri.

Dengan meneladani “giri lusi” maka kita tidak boleh merendahkan atau menghina sesama manusia. Bahwa cacing pun (mengibaratkan manusia yang kelihatan "ora pakra") bisa berada di atas sana.
Satu contoh sederhana, saya pernah menyetir mobil tiba-tiba ban kempes. Protapnya saya sudah hapal. Pinggirkan mobil, pasang segitiga pengaman dan ganti dengan ban serep. Ternyata menurunkan ban serep saja setengah mati. Ketika mendongkrak, saya gagal. Untung ada orang yang dalam bahasa Jawa tampangnya “tidak pakra” seperti saya sebut di atas, menghampiri saya.

Awalnya saya kawatir juga, jangan-jangan dia mau merampok. Tapi dengan lembut dia berkata: “Pak, njenengan salah meletakkan dongkraknya, jadi mobil tidak mau naik”. Astagafirullah, bahkan orang ini mengambil alih pekerjaan saya, menyelesaikan dalam tempo singkat, dan tidak mau menerima uang walaupun saya paksa. Padahal keringatnya berleleran karena bekerja di terik matahari jam dua siang. “Tiyang gesang kedah tulung-tinulung Pak”. (orang hidup harus tolong-menolong). Kata-kata: “Giri lusi, jalma tan kena ingina” terngiang di telinga saya.
Pernahkan kita menyepelekan orang? Ternyata semua orang punya kelebihan masing-masing. Masih banyak sekali hal-hal yang kita “tidak bisa” tetapi orang lain “bisa” dan orang yang bisa itu tampangnya bisa biasa-biasa saja.

Di dunia ini banyak orang yang NYOLONG PETHEK. Kalau kita termasuk orang-orang yang suka menyepelekan sesama, ingatlah pituturnya: Jalma tan kena ingina. Kalau kita ingin tahu reasoningnya, ingatlah “giri lusi”  cacing di atas gunung. Tak usah malu meneladani cacing yang bermukim  di bawah rumput. Ebiet G Ade pun menanyakan pada rumput yang bergoyang. (IwMM).


Tulisan terkait:
Serat Wulangreh: Jangan lihat orangnya tetapi makna ucapannya
Bathok bolu isi madu
Gareng: Jalma Tan Kena Ingina

Tuesday, October 25, 2011

AJA OMONG WATON NANGING OMONGA NGANGGO WATON


"Aja omong waton nanging omonga nganggo waton". Awalnya saya melihat sebagai rangkaian kata-kata sederhana yang ditata dengan indah dan runtut, menggunakan Purwakanthi. lama-lama saya sadar bahwa maknanya tidak sesederhana kata-katanya. Orang yang kurang paham bahasa Jawa akan sulit memahami terjemahannya.

"Waton" dalam bahasa Jawa bisa berarti "asal-asalan" bisa berarti pula "aturan". Sehingga Aja omong waton nanging omonga nganggo waton dapat   diartikan sebagai Jangan asal bicara tetapi bicaralah dengan aturan. Maksudnya kira-kira sama tetapi keindahan kata-katanya hilang.

Andaikan cuma diambil "Aja omong waton" sebenarnya sudah jelas: "Jangan asal bunyi". Tapi kemudian hanya menjadi teguran tanpa pitutur. Orang Jawa umumnya enggan kalau hanya menegur tanpa pitutur. Dalam tehnik supervisi pun kita tidak boleh sekedar menunjukkan kesalahan seseorang yang disupervisi. Harus ditambah dengan "Tell them what to do" bahkan  harus dilengkapi dengan "Show them how to do".

Kembali ke ungkapan Jawa tadi, lalu pituturnya mana? Pituturnya ada pada "Omonga nganggo waton", berbicaralah pakai aturan. Bicara pakai aturan tentu saja bukan sekedar bicara halus penuh basa rinengga, tapi juga bicara yang benar, pakai dipikir lebih dahulu (Deduga, prayoga, watara dan reringa), serta  bukan janji kosong (kakehan gludhug kurang udan). Bukan Asbun (asal bunyi) bukan pula Omdo (omong doang). Ada paribasan mengenai orang yang omong ceplas-ceplos tanpa dipikir dulu, bisa apa saja termasuk ucapan yang tidak sopan. Orang seperti ini dikatakan ngomong Car-cor kaya kurang janganan. (jangan: sayur berkuah; car-cor: menuang terus). Barangkali orang-orang seperti ini lupa bahwa "ajining diri dumunung ana ing lati".

Ada sebuah peribahasa dalam bahasa Indonesia "Mulutmu harimau kamu", kita bisa apes karena omongan kita sendiri. Jaman mungkin sudah berubah, kalau kita tidak banyak ngomong kapan kita akan dikenal orang? Tapi banyak terbukti pula bahwa salah ngomong banyak berakhir dengan salah tingkah. Pitutur di atas, bukannya melarang kita ngomong banyak, tetapi: "Aja omong waton nanging omonga nganggo waton". (IwMM)

CATATAN: Beberapa pitutur terkait dengan mutu omong

BICARA: HARUS DIPIKIR DULU

Yen kowe arep rembugan pikiren luwih dhisik tetembungan sing arep kok wetokake. Apa wis ngenggoni telung prekara: Bener, manis, migunani. Ewa semono sing bener iku isih perlu dithinthingi maneh yen gawe gendrane liyan prayoga wurungna. Dene tembung manis kudu ora duwe pamrih, yen ana pamrihe ya mung agawe senenge liyan kang tundhone migunani tumrape jagading bebrayan.

TERJEMAHAN: Bila kamu akan berbicara, pikirkan lebih dahulu kata-kata yang akan kau ucapkan apakah sudah memenuhi tiga hal: Benar, manis dan bermanfaat. Bagaimanapun juga kata-kata yang “benar” masih harus diteliti lagi, kalau hanya akan menimbulkan pertengkaran lebih baik dibatalkan. Adapun perkataan yang “manis” harus tanpa pamrih. Kalau ada pamrih hanyalah untuk membuat senang orang lain yang amat bermanfaat bagi pergaulan manusia.

BICARA: TERTATA DIDUKUNG TINDAKAN NYATA

Wicara kang wetune kanthi tinata runtut kang awujud sesuluh kang amot piwulang becik, ajine pancen ngungkuli mas picis rajabrana, bisa nggugah budi lan nguripake pikir. Nanging kawuningana yen grengsenging pikir lan uriping jiwa iku ora bisa yen mung kagugah sarana wicara bae. Kang wigati yaiku wicara kang mawa tandang minangka tuladha. Jer tuladha mono sing bisa nuwuhake kapitayan. Luwih-luwih mungguhing para manggalaning praja kang wis pinitaya ngembani nusa lan bangsa

TERJEMAHAN: Bicara yang disampaikan dengan sistimatis dan berisi penerangan yang memuat “pitutur” utama, nilainya melebihi harta benda. Mampu menggugah jiwa dan menghidupkan pikir. Tetapi semangatnya pikir dan hidupnya jiwa tidak bisa dibangkitkan hanya dengan bicara. Harus ada bukti berupa tindakan yang dapat diteladani. Karena hanya keteladanan yang menumbuhkan kepercayaan. Hal ini penting sekali untuk para pimpinan negara yang dipercaya mengasuh nusa dan bangsa

BICARA: SEGERA DIIKUTI TINDAKAN

Wong kang mung dhemen celathu lan muni-muni, mangka ora gelem tumandang gawe, genah ora sumurup marang kaluputane celathune, sebab celathu mono mung obahing ati kang ana ing lati, dudu obahing tangan sing kanggo tumandang. Nanging yen wis tumandang gawe dhewe, cetha bakal meruhi marang luputing celathune. Mula saiba begjane wong kang bisa celathu kalawan enggal-enggal tumandang gawe dhewe

TERJEMAHAN: Orang yang hanya banyak bicara dan mengumpat padahal tidak mau melakukan jelas tidak tahu kesalahan bicaranya. Bicara hanya gerakan hati yang di bibir, bukan gerakan tangan yang digunakan untuk bertindak. Kalau sudah melakukan sendiri baru akan tahu salah omongnya. Alangkah beruntungnya orang yang bisa bicara dan segera bertindak sendiri.

BANYAK BICARA BISA TERPELESET

Sugih omong kanggo nggayengake pasamuwan pancen apik. Nanging yen mung kanggo golek suwure awake dhewe sok ketrucut miyak wewadine dhewe. Pira bae cacahe wong kang kepleset uripe mung marga anggone sugih omong. Mula sabecik-becike wong iku ora kaya wong kang meneng. Nanging menenge wong kang darbe bobot kang anteb sing bisa dadi panjujugane para pawongan kang mbutuhake rembug lan pituduh

TERJEMAHAN: Banyak bicara untuk menambah semaraknya pergaulan memang baik. Tetapi kalau hanya untuk mencari ketenaran bisa kelepasan membuka rahasia sendiri. Berapa banyak sudah  orang yang terpeleset hidupnya gara-gara omongnya yang terlalu banyak. Oleh sebab itu tidak ada yang lebi baik daripada orang yang diam. Yaitu diamnya orang yang punya bobot mantap yang bisa menjadi tujuan dari orang-orang yang membutuhkan pembicaraan dan nasihat.

LEBIH BAIK SEDIKIT BICARA

Wong juweh, kawruhe tumempel ing lambe, kumrecek ngebaki pasamuwan, katut samirana mrana-mrene. Beda karo wong meneng, kawruhe sumimpen ana ing ati wening. Wetune ora sarana lambe, nanging katampan ing pucuking pen, mili amber ing kertas putih, rinasakake ing wong sajagad.

TERJEMAHAN: Orang yang banyak bicara ilmunya menempel di bibir, berceloteh memenuhi ruangan, terbawa angin kesana kemari. Berbeda dengan orang yang diam. Keluarnya ilmu tidak melalui bibir, tetapi diterima oleh ujung pena, mengalir di kertas putih dirasakan manfaatnya oleh orang diseluruh penjuru jagad.

SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI

“Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" adalah ungkapan bahasa Jawa yang paling saya sukai. Maknanya kurang lebih: Keberanian, kedigdayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan panembah. Segala sifat angkara, lebur dengan kesabaran dan kelembutan. Kata-kata bijak ini bisa kita baca dimana-mana, bahkan ditempel dimana saja, mungkin juga yang menulis atau menempel tidak terlalu paham artinya.

"Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" adalah bagian dari salah satu bait "Pupuh Kinanthi" dalam "Serat Witaradya" buah karya R Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) pujangga besar Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan R Citrasoma, putra Sang Prabu Aji Pamasa di negara Witaradya.

PEMAHAMAN MAKNA TEMBANG
Selengkapnya "Pupuh Kinanthi" tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Jagra angkara winangun; (2) Sudira marjayeng westhi; (3) Puwara kasub kawasa; (4) Sastraning jro Wedha muni*); (5) Sura dira jayaningrat; (6) Lebur dening pangastuti
*) ada yang menulis (4) “Wasita jro wedha muni”
Terjamahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:
(1) Jagra: Bangun (dalam pengertian “melek”); Angkara: Angkara; Winangun: Diwujudkan (Wangun: Wujud);  (2) Sudira: Amat berani; Marjayeng: Jaya ing, menang dalam ... ; Westhi: Marabahaya; (3) Puwara: Akhirnya; Kasub: terkenal, kondang; Kawasa: Kuasa;  (4) Sastra: Tulisan, surat-surat, buku-buku; Jro: Jero, Di dalam; Wedha: Ilmu pengetahuan, Kitab-kitab ilmu; Muni: berbicara;  (5) Sura: Berani; Dira: Berani, kokoh; Jaya: menang; Ningrat: Bangsawan, tetapi Ning: Di; Rat: Jagad (6) Lebur: Hancur; Dening: Oleh; Pangastuti: pamuji, pangalem, pangabekti, panembah.
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Baris ke 1 sd 3 menunjukkan orang yang karena keberanian dan kesaktiannya ia tidak pernah terkalahkan, akhirnya tidak kuat memegang kekuasaan dan tumbuh sifat angkara. Sedangkan baris ke 4 sd 6 menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab ilmu pengetahuan, sifat angkara tersebut dapat dikalahkan dengan kelembutan.
Di bawah adalah kisah pendukung “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti” yang dapat dibaca pada Serat Witaradya, tentang kesetiaan seorang istri yangt dapat mencegah niat buruk laki-laki dengan “pangastuti”

KISAH NYAI PAMEKAS
Alkisah sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama Nyai Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak hanya cantik lahiriyah tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung sedang dinas luar, beliau mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk menyatakan maksud hatinya yang mabuk kepayang
Dengan tutur kata lembut dan "ulat sumeh" Nyai Pamekas berupaya menyadarkan R Citrasoma dari niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat seorang ksatria dan melanggar norma-norma kesusilaan, tetapi sang Pangeran tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan mengingatkan bahwa ada banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma, kecuali di"sirep" (dibuat tidur dengan ilmu sirep)
Bagi seorang yang sakti mandraguna seperti R Citrasoma, tentu saja me"nyirep" orang bukan hal besar. Ketika semua orang tertidur, kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua orang yang belum tidur yaitu Nyai Pamekas dan R Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada satu lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan R Citrasoma, yaitu Allah yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
R Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai Pamekas berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga kalau keras dilawan keras justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan kekerasan.

YUDISTIRA DAN CANDRABIRAWA
Menjelang akhir perang Bharayuda, Yudistira dipasang untuk melawan Prabu Salya yang sakti mandraguna dan memiliki aji-aji Candrabirawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh akan hidup lagi bahkan jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bima dan Harjuna sudah kewalahan. Dipukul gada atau dipanah, tidak mati malah bertambah banyak. Akhirnya Candrabirawa berhadapan dengan Yudistira, raja yang dikenal berdarah putih, tidak pernah marah apalagi perang. Raksasa raksasa Candrabirawa tidak dilawan.Bahkan didiamkan saja. Raksasa-raksasa Candrabirawa pun kembali ke tuannya

KELEMBUTAN MAMPU MENGUASAI JAGAD
Orang lemah lembut sering dianggap lemah. Ini masalahnya. Sehingga lebih banyak orang yang berupaya menunjukkan kekuasaan dengan pamer kekuatan yang bermanifestasi sebagai tindak angkara. Ia lupa bahwa sikap memberikan “pangastuti” mampu melebur tingkah yang “sura dira jaya ning rat  Masih dalam Serat Witaradya, pupuh Kinanti R Ng Ranggawarsita menjelaskan seperti apa manusia yang sudah mampu mengendalikan menata hawa nafsunya sebagai berikut:
(1) Ring janma di kang winangun; (2) Kumenyar wimbaning rawi; (3) Prabangkara dumipeng rat; (4) Menang kang sarwa dumadi; (5) Ambek santa paramarta; (6) Puwara anyakrawati
Terjamahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:
(1) Ring (Maring: Kepada); Janma: Manusia; Di (Adi: baik); Kang: Yang; Winangun: Ditata; (2) Kumenyar: Bercahaya; Wimba:Seperti; Rawi: matahari (3) Prabangkara: Matahari; Dumipeng: Sampai ke; Rat: Jagad (4) Menang: Mengalahkan; Kang: Yang; sarwa: serba; Dumadi: Semua makhluk (5) Ambek: Sifat; Santa: sabar; Paramarta: Adil bijaksana (6): Puwara: Akhirnya; Anyakrawati: Memerintah
Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Pada  orang utama yang sudah mampu menata hawa nafsunya (tidak bersifat angkara murka); Bercahaya seperti sinar matahari; Sinarnya menerangi jagad; menguasa seluruh isi jagad; wataknya sabar, adil dan bijaksana; Akhirnya bisa menguasai jagad (maksudnya pemerintahan).

Pangastuti (panembah) disini dapat diartikan dengan penerapan laku-linggih dan solah muna-muni (perilaku dan ucapan) dalam penerapan Basa Basuki.
Itulah "Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti", yang mampu mengalahkan sifat yang mengarah ke “Adigang Adigung Adiguna”. Sebuah ajaran yang patut kita renungkan pada abad ke 21 ini. (IwMM)


Most Recent Post


POPULAR POST