Sunday, October 30, 2011

KEBO (4): KEBO KABOTAN SUNGU


Kabotan: Abot: berat; Sungu: tanduk. Kalau kita melihat tanduk kerbau dan kita bandingkan dengan tanduk sapi atau banteng, memang berbeda. Tanduk kerbau lebih-lebih kerbau Toraja, jauh lebih besar daripada tanduk sapi atau banteng. Posisi tanduk kerbau pun bukan posisi tempur seperti tanduk banteng, sementara posisi tanduk sapi lebih netral.

Melihat kerbau jalan yang kepalanya lebih banyak tunduk seolah-olah dia memang menyangga beban (tanduk) terlalu berat. Padahal gaya kerbau memang demikian. Bagaimanapun itu perumpamaan yang bagus. Rusa tidak terlalu akrab dengan manusia, dan kalau dijadikan perumpamaan dengan tanduk indah yang bercabang-cabang rusa tetap tegak dan larinya tetap kencang.

Kebo kabotan sungu” melambangkan orang atau keluarga yang terlalu berat menyangga beban hidup. Umumnya dikaitkan dengan anak atau hutang yang terlalu banyak. Dulu jaman gencar-gencarnya kampanye KB, kata-kata “kebo kabotan sungu” ini cukup ampuh untuk membuka wawasan masyarakat khususnya di desa yang menggunakan bahasa Jawa. Bukan ungkapan yang ndakik-ndakik dan menggunakan contoh binatang yang akrab dalam kehidupan masyarakat.

Masalahnya adalah memberikan kesadaran bahwa kita “kabotan sungu” Kalau tadi dikatakan apakah si kerbau merasa kelebihan beban? Maka pertanyaan yang sama juga saya ajukan pada manusia: “Apakah manusia merasa kabotan sungu?” Jawabannya bisa berbelit belit. Di desa yang masih ada kerbaunya peluang kita mendapat jawaban “inggih” lebih besar daripada di kota yang gambar kerbau saja sudah sulit didapatkan.

Ketika Rumah Sakit berkembang menjadi Puskesmas besar dan Puskesmas menggelembung menjadi Rumah Sakit kecil rasanya juga tidak ada yang bertanya apa lama-lama tidak menjadi “ kebo kabotan sungu?” Demikian pula dulu ketika program “Basic Seven” di Puskesmas membengkak menjadi “Basic Seventeen” padahal jumlah tenaga Puskesmas kala itu umumnya dibawah 10 orang, juga tidak terdengar keluh-keluh. Semua tetap bekerja mengerjakan semua pekerjaan, hanya kinerjanya seperti apa perlu dievaluasi.

Orang sekarang makin pandai, evaluasi kinerja pun dapat dilihat langsung dalam satu dashboard di laptop. Bagus dan cepat. Hasil kinerja dinilai dengan angka 0 sampai 100, kalau raport banyak merahnya berarti kinerja buruk dengan segala resikonya. Apakah kinerja buruk sama dengan tidak bisa kerja? Jangan-jangan karena kabotan sungu. Salah diagnosa bisa fatal. Ibarat orang yang perutnya perih disuruh diet oleh dokter. Padahal keluhan lambungnya bukan karena sakit maag tetapi karena lapar.

EPILOG:

Kerbau tetap berjalan menunduk dengan tanduk besarnya. “Kabotan sungu” tidak ada kaitannya dengan kinerja. Kinerja kerbau tidak berubah sepanjang namanya masih kerbau. Kalau gajah mati meninggalkan gading, maka kerbau mati juga meninggalkan tanduk. Walaupun tidak semahal gading gajah dan tidak dijadikan peribahasa, tetapi hiasan dari tanduk kerbau juga ada di toko cenderamata (IwMM).
 

lanjutan dari Kebo (3) Aja Cedhak Kebo Gupak

No comments:


Most Recent Post


POPULAR POST