Monday, September 23, 2013

BERBAGAI MACAM “SUMBER AIR” DALAM BAHASA JAWA

Demikian kayanya bahasa Jawa sehingga yang namanya “SUMBER AIR” (Banyu) saja bisa macam-macam bergantung asal usul atau lokasi, besar dan cara memancarnya. Sumber air bisa menjadi obyek wisata bisa pula dianggap angker tetapi yang jelas sumber air adalah sumber kehidupan.
 
Sebagai catatan, yang dimaksud dengan “sumber air” dalam hal ini adalah sumber air tawar alami. Yang buatan manusia atau terlalu banyak dimanipulasi manusia, misalnya: Bendungan, Kolam (blumbang), bak penampung air hujan, tidak termasuk didalamnya.

Posting ini melengkapi tulisan AIR DAN UNGKAPAN JAWA (1), (2) dan (3) 
 
Beberapa contoh di bawah, saya dapatkan dari Serat Bauwarna, tulisan Ki Padmasusastra, Ngabehi Wirapustaka ing Surakarta, 1898 kiranya dapat dijadikan rujukan (Bahasa Jawanya saya sertakan).
 
 
KAWAH: Air panas di puncak gunung (Banyu panas ing sapucuking gunung)
 
TLAGA (TELAGA): Mata air besar yang berada di pegunungan, diapit gunung. Kebalikannya adalah “rawa” (Sendhang agung kang ana ing tanah pagunungan, kaapit ing gunung, kosokbaline rawa).
 
RAWA: Mata air besar yang berada di dataran rendah. Kebalikannya adalah “telaga” (Sendhang agung kang ana ing tanah ngare, kosokbaline tlaga). Dengan demikian dapat kita pahami mengapa “Rawa Pening” tidak disebut “Tlaga Pening”
 
SENDHANG: Mata air yang keluar dari tanah yang tidak dekat sungai. Berada di desa atau di luar desa. Air yang keluar dapat digunakan untuk mengairi sawah. (Tuk kang metu saka sawijining palemahan kang ora cedhak kali, ana sajero utawa sajabaning desa, banyune kena ginawe ngocori sawah sawatara).
 
SUMBER: Rembesan yang keluar dari tanah yang tidak dekat sungai. Berada di desa atau di luar desa. Air yang keluar dapat digunakan untuk kebutuhan desa tetapi tidak cukup mengairi sawah. (rerembesan metu saka sawijining palemahan kang ora cedhak kali, ana sajero utawa sajabaning desa, banyune kena ginawe kabutuhaning desa, ora cukup ginawe ngocori sawah)

BELIK: Rembesan yang keluar dari tanah didekat sungai, airnya mengalir ke sungai (Rerembesan metu saka palemahan sacedhaking kali, banyune mili marang kali. Mohon diperhatikan bahwa "belik" letaknya pasti dekat sungai sedangkan "sendhang" dan "sumber" pasti jauh dari sungai.
 
UMBUL: Keluar dari tanah datar, airnya memancar mengalir jadi sungai. Digunakan untuk mengairi sawah. (Metu saka sawijining panggonan ing tanah ngare, udale muncar mili dadi kali, kanggo sesawah)
 
GROJOGAN: Air yang keluar dari perut gunung, jatuh ke jurang menjadi sungai. (Banyu metu saka lambunging gunung, tiba ing jurang dadi kali). Dalam bahasa Indonesia kita sebut grojogan dengan AIR TERJUN. Kita kenal nama “Grojogan Sewu” yang kurang lazim kalau disebut Air Terjun Sewu, tetapi kita juga kenal Air Terjun Sedudha dan Air Terjun Coban Randha.
 
PANCURAN: Air rembesan dari gunung yang mengumpul kemudian diberi talang dari bambu, menjadi pancuran yang digunakan untuk kebutuhan desa (Banyu rerembesaning gunung kalumpuke tinalangan pring dadi pancuran, kanggo kabutuhaning desa).
 
TRITIS: Air yang keluar dari rembesan gunung batu atau padas, tersebar (ura) diseputar gunung, sehingga kelihatan gunung padas (rejeng) meneteskan air. (Banyu metu saka rerembesaning gunung watu utawa padhas, ura saubenging gunung, rerejenge padha tetes banyune). Kita kenal nama pantai Parang Tritis di selatan Yogyakarta. Parang: Karang atau padas, dan pengertian “tritis” sudah dijelaskan di atas.


GAMBAR

Di bawah adalah foto Telaga Ngebel (Ponorogo, Jawa Timur), Rawa Jombor (Klaten, Jawa Tengah) dan Sendang Keyongan (Grobogan, Jawa Tengah). Kiranya Bapak/Ibu dapat mencocokkan dengan pengertian menurut Ki Padmasusastra, 1898, tersebut di atas.

Bila kita merujuk ke Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939, pengertiannya memang berbeda karena bausastra adalah semacam kamus. Rawa dikatakan sebagai tanah cekung yang berisi air, atau telaga kecil. Sedangkan Sendhang adalah belik besar,  kemudian Belik adalah Sendhang kecil di dekat sungai.
 
Bawah: Telaga Ngebel (Ponorogo) gambar diambil dari www.tip.web.id
 
 
Bawah: Rawa Jombor (Klaten)  gambar diambil dari wisata.kompasiana.com
 
 
Bawah: Sendang Keyongan (Grobogan) gambar diambil dari www.berita86.com
 
 

Sunday, September 15, 2013

MASALAH YANG RUWET DAN BERTAMBAH PANJANG DALAM PARIBASAN JAWA

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu bergulat dengan masalah. Yang satu belum selesai, muncul lagi masalah baru. Melalui pendidikan kita belajar menyelesaikan masalah (problem solving). Tetapi sepertinya kita hanya jalan ditempat. Yang banjir tetap banjir dan yang macet tetap macet. Kata-kata indah pun muncul: Selesaikan masalah, bukan memasalahkan masalah.
 
Di bawah adalah beberapa contoh ungkapan Jawa yang berceritera tentang masalah yang ruwet dan bertambah besar.
 
 
1. BOLU RAMBATAN LEMAH
 
Bolu dalam hal ini bukan kue bolu yang enak tetapi tanaman (termasuk buahnya) yang merambat di tanah. Bila kita coba mengurai batangnya mulai dari pangkal sampai ke ujung pasti akan mengalami masalah besar, karena sudah saling berbelit satu sama lain.
 
Bolu rambatan lemah menggambarkan masalah yang satu sama lain saling terkait tetapi mengurainya sulit. Contoh yang paling umum adalah kemacetan lalulintas. Keterkaitannya amat banyak.
 
2. EMPRIT ABUNTUT BEDHUG
 
Emprit adalah burung kecil sedangkan bedug pasti barang besar. Burung emprit yang berekor bedug menggambarkan masalah yang awalnya kecil kemudian menjadi besar. Contoh sederhana ada orang keluar rumah pakai sandal jepit. Diingatkan temannya, mbok ya pakai yang alasnya lebih keras. Ia bilang ah cuma dekat saja kok. Ternyata ia menginjak paku dan tembus sampai ke telapak kaki. Disuruh ke dokter tidak mau karena hanya luka kecil. Seminggu kemudian kena tetanus.
 
Ada juga yang mengatakan peribahasa ini dengan PEKING ABUNTUT MERAK. Peking sejenis emprit juga dengan buntut kecil sementara merak ekornya besar. Dalam hal ini yang dilihat adalah ukuran ekornya, bukan keindahan ekornya. Kalau yang kita lihat keindahannya kan malah jadi bagus. Awal jelek akhir bagus.
 
3. KRIWIKAN DADI GROJOGAN
 
Pengertiannya sama dengan butir 2 di atas: masalah kecil yang menjadi besar. Ibarat kriwikan (selokan kecil) yang lama-kelamaan menjadi grojogan (air terjun)
 
4. ULA-ULA DAWA
 
Ula-ula adalah tulang belakang yang memang panjang (dawa) membentang dari tulang leher sampai tulang ekor. Dalam hal ini pengertiannya adalah masalah yang menjadi berkepanjangan.
 
5. JUJUL MUWUL
 
Menggambarkan masalah yang sudah berat (jujul) masih ditambahi (wuwul) masalah baru lagi sehingga beban semakin bertambah. Dalam hal ini juga bisa diartikan harta yang sudah cukup berlimpah masih mendapat banyak tambahan lagi.  Kalau harta yang makin berlimpah barangkali tidak pernah dikeluhkan sebagai masalah. Tetapi kalau beban hidup barulah orang berkeluh panjang pendek.
 
6. AMBUNTUT ARIT
 
Ibarat arit (sabit) yang pangkalnya kecil saja tetapi buntutnya panjang dan lengkung maka suatu hal yang kelihatannya sederhana dan lurus-lurus saja jangan dianggap enteng: jangan-jangan ambuntut arit. Semua hal perlu diteliti terlebih dahulu. Banyak tawaran-tawaran yang kelihatannya enak dan nyaman, ternyata di belakang tidak seenak yang ditawarkan bahkan bisa panjang urusannya. Hati-hatilah dengan kata-kata seperti: Cepat, murah, aman, gratis dll.
 
Kata ambuntut arit cukup istimewa karena disebutkan dalam Serat Wulangreh. Dapat dibaca di tulisan Enam watak yang tidak pantas dalam Serat Wulangreh: Lonyo, lemer, genjah, angrong pasanakan, nyumur gumuling danambuntut arit.
 
Bila ingin yang lebih sederhana maka ada paribasan lain dengan makna sama yang lebih mudah dipahami: MBENDHOL BURI.
 
LIDING DONGENG
 
Menyelesaikan masalah memang tidak gampang. Dalam hal ini orang Jawa punya ungkapan sendiri: OTHAK-ATHIK DIDUDUT ANGEL. Kita selalu othak-athik (antara lain melalui rapat, workshop dll), tetapi pada waktu harus “ndudut” (menarik untuk mengurai) ternyata tidak segampang itu.
 

Thursday, September 12, 2013

HUBUNGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM PARIBASAN JAWA

Melanjutkan dua tulisan terdahulu: Perilaku laki-laki dalam paribasan Jawa dan Nasib dan perilaku wanita dalam paribasan Jawa, maka pada tulisan ke tiga ini kita coba membahas bagaimana hubungan antara keduanya, yang dapat dipirsani pada beberapa contoh di bawah.
 
 
A. KENAL, PISAH DAN KUMPUL A LA KERBAU
 
1. TEPUNG KEBO
 
Digunakan untuk dua orang (laki-laki dan perempuan yang baru berkenalan tetapi belum tahu namanya. Mengapa yang digunakan kok “kerbau” dan bukan “sapi” sulit menjelaskannya. Teman saya Mas Parmo yang saat itu sedang tidak serius, mengatakan: Barangkali kerbau amat bodoh dan lamban, sehingga saat berkenalan lupa tanya nama. Mungkin perlu belajar dari lagu Juwita Malam: Tulislah nama, alamat serta, esok lusa boleh kita jumpa pula”
 
2. PISAH KEBO
 
Gambaran Suami Isteri yang sudah berpisah tetapi belum cerai. Menjelaskannya sama sulitnya: Mengapa kerbau bukan yang lain? Barangkali ini juga gambaran rakyat jaman dulu yang masih banyak dilanda kebutaan termasuk buta hukum, termasuk hukum agama: bahwa perceraian harus sisahkan secara hukum.
 
3. KUMPUL KEBO
 
Sepertinya istilah yang satu ini barang baru karena tidak pernah disebut-sebut dalam tulisan seabad yang lalu. Istilah kumpul kebo menggambarkan laki-laki dan perempuan tinggal serumah, melakukan hubungan suami isteri di luar nikah. Berarti melanggar norma dan hukum agama.
 
 
B. TERLALU DEKAT: BISA BAHAYA
 
1. KUCING SANDHING DHENDHENG
 
Laki-laki diibaratkan kucing dan wanita digambarkan sebagai dendeng. Kucing pasti suka dendeng dan akan berupaya memakannya. Maksud peribahasa ini kalau pria dan wanita terlalu berdekatan berpeluang untuk terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (ditinjau dari norma kesusilaan dan agama).
 
2. DUK SANDHING GENI
 
Duk: Ijuk; Geni: Api. Ijuk kalau dekat api risiko terbakar tentunya besar. Maksud peribahasa ini sama dengan “kucing sandhing dhendheng” di atas.
 
 
C. TIDAK JADI ATAU MENUNDA NIKAH
 
Mau nikah terpaksa tidak jadi (atau ditunda) karena saudara tua yang akan menikah ada yang belum menikah. Mau melangkahi, tidak berani. Dalam paribasan Jawa disebut CENGKIR KETINDHIHAN KIRING (Cengkir: buah kelapa yang masih amat muda; Kiring: buah kelapa yang sudah amat tua dan kering).
 
Sebenarnya dalam adat Jawa langkah melangkahi dalam pernikahan adalah hal biasa. Yang penting sebagai saudara muda kita minta ijin, dan secara adat sebelum acara “siraman” dimulai, dilakukan acara “langkahan” terlebih dahulu.
 
 
D. BEBERAPA ISTILAH TENTANG MANTU
 
Di luar rangkaian acara pernikahan dalam adat Jawa yang cukup panjang dan penuh perlambang, istilah orang mantu pun juga banyak, seperti contoh di bawah:
 
1. BALUNG TINUMPUK
 
Sering kita dibikin bingung kalau ada undangan resepsi pernikahan, pengantinnya dua pasang. Kadonya satu-satu atau jadi satu? Dalam ungkapan Jawa, menikahkan dua anak barengan dalam satu hari disebut “balung tinumpuk”. (balung: tulang; tinumpuk: ditumpuk).
 
2. MANTU MBATA RUBUH
 
Tumpukan bata kalau roboh pasti banyak dan suaranya heboh. Mantu mbata rubuh digunakan untuk menggambarkan orang mantu sekaligus lebih dari satu orang dinikahkan barengan. Balung tinumpuk termasuk mantu mbata rubuh, kalau tiga dimantu barengan, inilah yang mbata rubuh beneran.
 
3. MANTU MBANYU MILI
 
Mantu yang diibaratkan air mengalir. Menggambarkan orang yang tiap tahun mantu. Tentunya ini kisah jaman dulu dimana umumnya orang punya banyak anak. Setelah anak-anak dewasa maka manunya pun lumintu.
 
4. TUMPLAK PONJEN
 
Mantu yang terakhir. Tumplak: menumpahkan; Ponjen: kantong wadah jamu. Menggambarkan bahwa upacara mantu itu butuh biaya banyak. Diibaratkan semua uang yang di kantong ditumpahkan habis untuk membiayainya.
 
5. NGLUMAHAKE NGUREBAKE
 
Pengertian harfiahnya: menelentangkan dan menelungkupkan. Maksudnya dua pasutri yang saling berbesanan dua kali: Yang satu anak perempuan, satunya lagi anak laki-laki.
 
 
LIDING DONGENG
 
Hubungan laki-laki dan perempuan yang cukup dekat dan bukan saudara, bisa saja diawali dengan tepung kebo, dan supaya tidak menjadi kucing sandhing dhendheng seharusnyalah diselesaikan dengan pernikahan yang sah sesuai dengan hukum agama. (Iwan MM)

 

Monday, September 9, 2013

NASIB DAN PERILAKU WANITA DALAM PARIBASAN JAWA

Tidak hanya laki-laki seperti pada tulisan sebelum ini: Perilaku Laki-laki Dalam Paribasan Jawa, maka cukup banyak juga paribasan Jawa tentang wanita. Di bawah adalah beberapa contoh, khususnya perilaku dan nasib yang kurang baik. Perlu diingat dan dimaklumi bahwa paribasan ini usianya sudah cukup lama. Isu “pemberdayaan perempuan” pada masa itu belum ada.
 
 
A.  BERGANTUNG LAKI-LAKI
 
1. WONG WADON IKU SWARGA NUNUT NRAKA KATUT
 
Wanita itu senang atau susah nasibnya bergantung suaminya. Suami jadi pejabat ikut mukti, suami jadi penjahat dan ditangkap aparat ikut menderita. Jaman sekarang nasib wanita yang seperti ini sudah banyak berkurang karena sudah amat banyak wanita berpendidikan tinggi dan mempunyai penghasilan sendiri yang tinggi pula.
 
2. WONG WADON COWEK GOPEL
 
Derajat wanita diibaratkan Cowek (Cobek) yang Gopel (Retak dan sebagian pecah), tidak ada harganya samasekali. Cowek yang gopel mau dipakai masih bisa, mau dibuang dan ganti yang lain tidak masalah. Terserah laki-laki. Tentunya di era “kesetaraan gender” sekarang ini hal tersebut sudah amat berkurang.
 
3. GONDHELAN KOLOR KATHOK
 
Pada masa itu yang kathoknya (celana) pakai kolor hanya laki-laki; Luarnya akan ditutup dengan bebed (kain panjang untuk laki-laki). Wanita diibaratkan hanya bisa gondhelan kolor kathok, dengan pengertian wanita hanya bisa menurut pada suaminya.
 
Dulu mayoritas wanita nasibnya seperti ini. Walau demikian, laki-laki yang kalah sama isterinya juga ada. Dapat dibaca pada tulisan sebelum ini (Perilaku Laki-laki Dalam Paribasan Jawa).
 
4. GLUNDHUNG SEMPRONG
 
Wanita yang sejak awal hidup berkeluarga tidak membawa apa-apa. Jadi pokoknya glundhung semprong ikut saja sama suami. Wanita seperti ini posisi tawarnya (bargaining position) rendah. Sebaliknya laki-laki yang sejak awal berkeluarga tidak membawa apa-apa, pokoknya ikut isteri (yang barangkali kaya) disebut sebagai GLUNDHUNG SULING. Mengapa yang satu sejmprong sedang satunya suling, sumangga.
 
 
B. ORANG TUA PUN KURANG MENGHARGAI
 
Dulu bahkan orang tua pun ada yang menganggap anak perempuannya tidak terlalu berharga.
 
1. NITIPAKE DAGING SAEREP
 
Menitipkan daging sepotong. Diucapkan orangtua yang menyerahkan anak perempuannya kepada calon besan atau calon menantu.
 
2. NUMPANG SAJI
 
Ini perilaku orang tua yang nakal. Sudah menerima uang tukon (semacam mas kawin) dari laki-laki yang melamar anak perempuannya, tetapi anak perempuan tersebut dinikahkan dengan laki-laki lain yang juga sudah memberi uang. Jadi si bapak menerima uang dua kali.
 
 
C. TUGASNYA BERANAK
 
1. LENGKAK-LENGKOK ORA WURUNG NGUMBAH POPOK
 
Wanita yang berbelit-belit masih enggan punya suami, lama-lama terpaksa juga menikah dan akhirnya punya anak yang digambarkan dengan: ngumbah (mencuci) popok bayi.
 
2. JUMAMBAK MANAK JUMEBENG METENG
 
Gambaran wanita yang tiap tahun (sering) beranak. Pada saat rambut anaknya sudah bisa dijambak (ditarik dengan tangan), ia melahirkan (manak). Sebelum itu pada saat rambut anaknya (bayinya) baru dapat dijebeng (sebelum bisa dijambak, hanya bisa dipegang tapi belum bisa ditarik), si ibu hamil (meteng).


D. WARISAN

Warisan  untuk wanita bagiannya tidak sebanyak laki-laki. Kita kenal paribasan SAPIKUL SAGENDHONGAN. Laki-laki dapat satu pikul yang berarti dua bagian dan wanita dapat satu gendongan yang berarti satu bagian (memikul: dua wadhah; menggendong: satu wadah).


E. YANG TIDAK LAKU

Gadis kenes tetapi tidak laku karena tidak ada laki laki yang mau melamar. Dalam paribasan Jawa disebut dengan: GAMBRET SINGGANG MRAKATAK ORA ANA SING NGENENI.

Keterangan
Singgang: Tumbuhan padi yang muncul setelah sawah dipanen; Gambret: Singgang generasi kedua (gambretnya gambret). Ya siapa yang mau memanen (ngeneni) tumbuhan yang seperti ini. Mutunya pasti tidak baik.


E. PESOLEK YANG TIDAK EMPAN PAPAN

Wanita yang mengenakan perhiasan serba gemebyar dan menempuh jalan yang berbahaya (ada begal/rampok) digambarkan sebagai KUTUK NGGENDHONG KEMIRI. Ikan kutuk (ikan gabus) yang membawa buah kemiri.

F. WANITA NAKAL

Wanita yang mau memberikan kehormatannya kepada sebarang laki-laki (wanita nakal) disebut dengan KENDHO TAPIHE (Kendho: kendhor; Tapih: kain panjang yang dipakai wanita. Adapun wanita nakal (WTS) yang sudah sadar dan menghentikan perilakunya disebut LENDHI MAHAS. Lendhi: pelacuran; Mahas: pergi.

Guyonan dari seorang teman, ia mengatakan: Sekarang tidak ada lagi wanita nakal. Lho koq bisa gitu? Iya karena sekarang jarang kita temukan wanita pakai tapih.


LIDING DONGENG

Contoh paribasan di atas banyak mengemas kisah jaman dulu. Jaman sudah berubah. Satu contoh lagi pada masa sekarang apakah masih ada laki-laki Jawa yang menyebut isterinya sebagai “kanca wingking?” (wingking = belakang; badhe dateng wingking = mau ke kamar kecil).

Sebenarnya kata “kanca wingking” bukannya tidak menghormati wanita. Bagian “wingking” (belakang) sebenarnya adalah bagian yang rahasia. Dalam keluarga, siapa lagi tempat kita berbagi untuk hal-hal yang rahasia kalau bukan isteri kita sendir? (Iwan MM)
 
 

Friday, September 6, 2013

PERILAKU LAKI-LAKI DALAM PARIBASAN JAWA

Paribasan Jawa demikian kayanya. Perilaku laki-laki dalam kaitan dengan kelaki-lakiannya pun ada dalam paribasan, seperti contoh di bawah.
 
 
A. SUKA MENGGANGGU PEREMPUAN
 
1. BRAMARA MANGUN LINGGA
 
Gambaran laki-laki yang gemagus (suka jual tampang) khususnya dihadapan wanita yang menarik hatinya. (Bramara: kumbang; Mangun: membentuk supaya serasi; Lingga: Bisa diartikan tubuh atau kemaluan laki-laki).
 
2. NGRABEKAKE SIKUT
 
Laki-laki yang sengaja menjenggol wanita ditempat keramaian. Diibaratkan dengan mengawinkan (rabi, ngrabekake) siku (sikut). Mungkin anak muda jaman sekarang akan komentar: “nyenggol saja kok sampai jadi paribasan”. Ya, jaman dulu bisa nyenggol memang sudah hebat.
 
3. NGOYAG-OYAG TURUS IJO
 
Ngoyag-oyang: mengguncang-guncang; Turus: Batang tanaman yang masih kecil; Ijo: Hijau. Pengertiannya: Laki-laki yang suka mengganggu gadis yang belum dewasa.
 
4. NGRUSAK PAGER AYU: Mengganggu wanita yang sudah bersuami
 
5. ANGRONG PASANAKAN: Menyukai istri saudara atau teman
 
 
B. ADA MAKSUD TIDAK LANGSUNG
 
1. NUGRAHA ATI KIRDA
 
Nugraha: Ganjaran; Kirda: Krida. Maksudnya: Seorang laki-laki yang memberi sesuatu pada seorang wanita (bukan saudara sendiri) dengan maksud supaya wanita tersebut menyukainya.
 
2. SAWAT ABALANG WOHE
 
Sering juga dikatakan: Nyawat mbalang wohe. Disini ada dua kata yang artinya sama yaitu sawat dan balang, yaitu sesuatu yang dipakai untuk melempar. Dalam hal ini pengertian harfiah kalimat tersebut adalah: Kita melempar dengan sesuatu (katakanlah: batu) untuk mendapatkan buahnya (woh).
 
Maksud paribasan ini: Kita mendekati seorang wanita melalui saudaranya, supaya lebih mudah. Jelasnya: Pakai perantara. Anak muda sekarang mungkin akan tanya: “Kok pakai perantara segala?” Ya, jaman memang sudah beda. Jaman dulu untuk berkenalan dengan lawan jenis sama-sama malunya.
 
 
C. MENIKAH SAMA SIAPA?
 
1. ASU MUNGGAH ING PAPAHAN
 
Munggah: naik; Papahan: dalam bahasa jawa yang lain disebut “paga” (semacam rak untuk menaruh makanan dan atau perlengkapan makan). Menggambarkan seorang laki-laki yang menikahi janda saudara tuanya.
 
Dalam paribasan lain yang sama artinya desebut juga dengan: NUNGGAK BOJO.
 
2. KURUNG MUNGGAH LUMBUNG: Pembantu dijadikan isteri.
 
3. ANAK-ANAKAN TIMUN
 
Mengambil anak angkat, setelah dewasa dijadikan isteri. Mengapa menggunakan “timun” sebagai sanepa, kita bisa merujuk ke tanaman mentimun. Waktu buahnya masih kecil kita rawat baik-baik, setelah besar kita makan. Mengapa bukan mengambil contoh terong atau durian? Barangkali mentimun yang sudah masak lebih pantas untuk digendong-gendong. Kalau tidak, mengapa ada gadis cantik yang namanya Timun Emas, bukan Terong Emas?
 
4. NYUNGGI LUMPANG KENTHENG
 
Nyunggi: membawa barang ditaruh di atas kepala; Lumpang kentheng: Lumpang besar dari batu. Bisa kita bayangkan betapa beratnya, dan untuk apa disunggi-sunggi segala. Maksud paribasan ini adalah seorang laki-laki yang cari isteri dengan derajat lebih tinggi (misalnya: kebangsawanan, kekayaan, intelektual). Tujuannya cari shelter alias nunut mukti. Ternyata pengayoman yang dia peroleh tidak imbang dengan beban yang ia sangga. (diibaratkan dengan “nyunggi lumpang kentheng”).
 
 
D. LAKI-LAKI YANG DI BAWAH TELAPAK KAKI PEREMPUAN
 
1. DICEKOKI INDHING (KUDHUNG INDHING)
 
Dicekoki: Contohnya anak yang tidak mau minum obat (mungkin karena pait) lalu diminumkan secara paksa oleh orang tuanya. Indhing: Kain yang digunakan wanita saat datang bulan (pembalut wanita).
 
Paribasan ini menggambarkan laki-laki yang kalah wibawa dengan isterinya. Hanya menurut saja apa kata isterinya.
 
2. GONDHELAN PONCODING TAPIH, NGETUTAKE PONCODING TAPIH dan KESASABAN TAPIH
 
Tiga paribasan, agak sama, dan memang maksudnya sama. Gondhelan: berpegangan; Ngetutake: mengikuti; Kesasaban: ketutupan, tertutup oleh ... ; Tapih: kain panjang yang dipakai wanita.
 
Pengertiannya sama dengan contoh pertama, yaitu laki-laki yang isterinya lebih berwibawa sehingga ia hanya ikut apa kata isterinya.
 
 
LIDING DONGENG
 
“Begitulah laki-laki, dan apapun yang dia lakukan pada awal, banyak yang akhirnya tekuk lutut di sudut kerling wanita”. Demikian Mas Parmo mengomentari penjelasan saya saat istirahat pada acara kerjabakti tujuhbelasan yang lalu. Lalu dia sambung lagi: “Pokoke aja dadi wong LANANG KEMANGI”.
 
“Apa maneh iku Mas?” Tanya Mbah Harjo yang hari itu ikut meramaikan suasana kerjabakti RT.
 
“Wong lanang sing jirih (penakut)”. Jawab Mas Parmo dengan suara dikeraskan.
 
“Lire piye kemangi kok dadi jirih?” Mbah Harjo mengejar dengan pertanyaan. (catatan: pengertian “LIR” dapat dirujuk ke tulisan Sering ditanyakan: Lir atau Nir
 
“Ya embuh, kit biyen ngertiku ya ngono kuwi”. Mas Parmo mulai kisinan. Barangkali Bapak Ibu ada yang tahu, mengapa laki-laki penakut disanepakan dengan KEMANGI?


 

Tuesday, September 3, 2013

PERILAKU MAKAN DAN PARIBASAN JAWA

Makan tidak akan lepas dari kehidupan manusia. Setidaknya manusia makan tiga kali sehari. Demikian pula dalam paribasan Jawa, ada beberapa yang terkait dengan urusan makan ini. Umumnya adalah perilaku makan yang kurang sopan, seperti contoh di bawah:
 
 
A. RAKUS
 
1. KERE NEMONI MALEM
 
Pada acara “maleman” (maksudnya peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW), pasti ada selamatan, nasi dengan lauk pauk komplit. Dapat dibayangkan bagaimana makannya seorang Kere (pengemis) yang biasanya serba kurang ketika bertemu dengan makanan yang disajikan pada “maleman”. Pasti ambil banyak, makan banyak dengan cepat supaya bisa ambil lagi. Hati-hati jangan sampai saat kita makan bersama (kalau makan sendirian urusan sendiri) teman-teman kemudian ada yang nyemoni atau ngasani “mangane kok kaya kere nemoni malem”. Kita pasti malu kecuali termasuk golongan orang tidak tahu malu. (Dapat dibaca di tulisan Dua Peribahasa Dengan Kere)
 
2. CANGKEM RUSAK GODHONG JATI KRASA OPAK
 
Gambaran orang yang rakus (Jawa: nggragas). Dikatakan “cangkem rusak” (mulutnya sudah rusak, dalam kaitan dengan cita rasa makanan). Sehingga apa saja walau tidak enak akan dia makan. Dalam hal ini dikatakan “Godhong jati (daun jati) krasa opak (terasa seperti opak, yaitu sejenis makanan seperti kerupuk).
 
3. MOGEL ILATE
 
Mogel: Bergerak-gerak ujungnya (seperti ekor); Ilat: Lidah. Pengertian umumnya: Lidah yang menari-nari. Mengggambarkan orang yang suka makan enak.
 
4. WADHUK BERUK
 
Wadhuk: Lambung, perut; Beruk: Tempurung kelapa yang digunakan untuk menakar beruk. Jaman dulu di desa orang kalau beli beras ukurannya bukan kilo tetapi beruk. Seorang dikatakan “wadhuk beruk” (perutnya seperti tempurung takaran beras) kalau jatah makanannya banyak sekali diluar ukuran orang normal. Tidak hanya suka makan, tetapi makannya juga amat banyak.
 
 
B. HANYA NONTON SAJA, TIDAK IKUT MAKAN
 
Bila pada contoh di atas menggambarkan orang yang nggragas, rakus dan banyak makan maka yang satu ini gambaran orang yang (bisa rakus) tetapi tidak ikut makan karena tidak ditawari. ketika ditanya temannya: “Lawuhe enak-enak ya Mas?”, maka ia akan menjawab dengan muka asam: “Enak mbahmu, wong mung PANEN MATA PAILAN GULU”.
 
Keterangan:
 
Panen mata: Matanya panen bisa melihat makanan banyak dan enak. Pailan (paceklik) gulu (leher): Pengertiannya tidak ada makanan yang melewati lehernya (saluran makan). Hanya melihat saja tetapi tidak ada yang masuk mulutnya.
 
C. TIDAK KEBAGIAN MAKAN
 
Andaikan kita datang terlambat, bukan hanya terlambat dari aspek waktu tetapi juga orang-orang sudah selesai makan (karena ada hidangan makan) maka kita akan dikatakan: SEKUL PAMIT. (Sekul: Nasi). Dalam hal ini kita datang, nasinya sudah berpamitan.
 
 
D. TIDAK KHAWATIR SOAL MAKAN
 
Yang ini mengandung makna filosifis tinggi. Gambaran orang yang nerima tetapi optimis. ANA DINA ANA UPA. Dina: hari; Upa: butir nasi). Sepanjang masih ada “hari” (dimana kita bisa bekerja) pasti bisa makan. (Dapat dibaca pada tulisan Ana dina ana sega; Ana awan ana pangan)
 
 
LIDING DONGENG
 
Makan pun ceriteranya bisa banyak. Selama kita hidup bermasyarakat, sebaiknya dalam hal makan kita perlu hati-hati supaya tidak dianggap tidak mengerti subasita atau tatakrama. Mengenai hal ini dapat merujuk ke tulisan Subasita Jawa (9): Makan




Most Recent Post


POPULAR POST