Tuesday, October 30, 2012

SERAT WULANGREH, PESAN UNTUK NGAWULA (3): RUMEKSA MARANG GUSTI

Merujuk kembali ke penutup tulisan Serat Wulangreh, Pesan Untuk Ngawula (2): Ngepluk Asungkanan, pada bait ke 29 pupuh Maskumambang Sri Pakubuwana IV mengingatkan bahwa celaka itu karena perbuatan kita sendiri (pan kinarya dhewe bilainirèki). Baris selanjutnya menyatakan semestinya kita bersungguh-sungguh lahir batin tidak menyingkir (tan suminggah) dalam melaksanakan perintah pimpinan atau raja. Lengkapnya sebagai berikut: (29) pan kinarya dhewe bilainirèki | lamun tinêmênan | sabarang karsaning gusti | lair batin tan suminggah ||
 
Mengapa kita harus bersungguh-sungguh lahir batin dalam pengabdian, bukan karena hal lain kecuali bahwa pimpinan kita memang pantas untuk dibela. Hal ini dijelaskan pada bait ke 30-34 pada pembahasan selanjutnya.
 
 
MENGAPA RUMEKSA ING GUSTI
 
Pengertiannya dapat dibaca pada bait ke 30 dan 31 pupuh Maskumambang sebagai berikut:
 
Pada bait ke 30 dijelaskan bahwa raja tidak mempunyai saudara, anak, keluarga bahkan istri (siwi, sanak prasanakan, garwa kekasih).  Dilanjutkan pada bait ke 31 bahwa raja hanya memikirkan hukum, keadilan dan adat istiadat (kukum adil adat waton kang dèn èsthi). Oleh sebab itu marilah (mulane ta padha) menjaga raja (rumeksa marang gusti)
 
Itulah alasan mengapa tidak kita bela mati-matian kalau punya pemimpin seperti itu: Ambeg adil sekaligus paramarta dalam mengendalikan roda pemerintahan serta tidak dibebani urusan keluarga dan teman. Mulane ta padha rumeksa ing gusti. Bait ke 31 ditutup dengan kata: Apakah yang dimaksud rumeksa (endi lire wong rumeksa?)
 
Lengkapnya bait ke 30 dan 31 sebagai berikut:

 

BAGAIMANA RUMEKSA ING GUSTI

Intinya adalah gemi, nastiti, ngati-ati (dipun gemi nastiti angati-ati) dan bisa menjaga rahasia pimpinan (dèn bisa arawat  ing wêwadi sang siniwi). Dijelaskan pada bait ke 32-34 dengan penjelasan sebagai berikut:

(1) GEMI: Dalam hal ini gemi mring kagungan ing gusti (gemi terhadap milik pimpinan kita; bisa disamakan dengan milik negara). Oleh sebab itu kalau dipercaya memegang anggaran ya harus pandai menyimpan dan menghindari penggunaan yang tidak perlu misalnya pemborosan dan pembocoran uang negara.

(2) NASTITI: Terkait dengan “gemi” pada bait ke 32 maka pengertian “nastiti” adalah kecermatan pengelolaan anggaran. Terkait dengan “nastiti” pada bait ke 33 (nastiti barang parentah), berarti kecermatan dalam pengelolaan barang. Jadi supaya bisa “gemi” maka pengelolaan “uang dan barang” harus nastiti. Hebat tidak? Pengelolaan uang dan barang yang sampai sekarang ini tetap menjadi isu utama sudah disinggung dalam Serat Wulangreh. Bahkan masih diingatkan lagi untuk:

(3) ANGATI-ATI: kata “ngati-ati” sering disatukan dalam sebuah kata majemuk “nastiti-ngati-ati”. Ada kesamaan makna, tetapi juga penjenjangan makna. Orang yang “nastiti” pasti tindakannya “ngati-ati”.
 

a)    Laku “hati-hati” amat luas penjabarannya. Check dan recheck adalam sikap hati-hati. Melakukan analisis SWOT dan menyusun rencana kontingensi merupakan sikap hati-hati. Dalam ungkapan Jawa, kita dapat menggunakan rumus manajemen: Tata, Titi, Tatas dan Titis yang pelaksanaannya harus: Tatag, teteg, Tangguh, Tanggon, Tanggap danTutug.

b)    Oleh sebab itu diingatkan pada baris terakhir bait ke 32: Supaya jangan sekali-kali menggampangkan (ywa sira wani anggêgampang). Memang “gemi, nastiti dan ngati-ati adalah tugas berat”.

c)    Masih satu lagi tentang “angati ati ini, seperti pesan pada bait ke 34:Ngati-ati dalam ngawula adalah 24 jam (ngati-ati ing rina lawan ing wengi). Berlaku untuk menjaga dan melaksanakan perintah (ing rumêksanira lan nyadhang karsaning gusti).

 
(4) ARAWAT ING WEWADI: Disebutkan pada dua kata terakhir bait ke 31 dan lanjut ke bait selanjutnya: lawan aja wani-wani nuturkên wadining gusti; dèn bisa arawat  ing wêwadi sang siniwi. Ngawula harus bisa menjaga rahasia. Dalam pertemuan apa yang diucapkan raja atau pimpinan bisa merupakan rahasia negara yang tidak semua orang boleh mengetahui. Oleh sebab itu kita tidak boleh membuka rahasia dan mampu menjaga dengan baik.

 

PENUTUP

Kita bisa gemi, nastiti, angati-ati dan arawat ing wewadi kalau ada rasa  “rumangsa melu handarbeni” atau ikut merasa memiliki. Karena sudah merasa ikut memiliki maka ia pasti merasa “wajib melu hangrungkebi”, ia akan membela habis-habisan, bahkan ditohi pati dengan pecahing dada wutahing ludira. Ngawula itu berat; ngawula tidak gampang. Oleh sebab itu kalau kita memang punya karep kuat untuk ngawula, sekali lagi perlu “mulat sarira”;  bila hati memang “hangrasa wani”, teruskan langkah. (IwMM).

 
Dilanjutkan ke Serat Wulangreh, Pesan Untuk Ngawula (4): Tidak boleh “minggrang-minggring”

Sunday, October 28, 2012

MANUSIA HARUS PUNYA TEMAN (3): KISAH HUTAN, HARIMAU DAN MANUSIA

Pada tulisan manusia harus punya teman (2): Kisah Garuda, Naga dan Batara Sramba diceriterakan tentang persahabatan antara orang biasa dan orang berkedudukan tinggi yang punya sifat utama dan sembada. Sedangkan pada  tulisan Manusia harus punya teman (1): Kisah kura-kura, kera, dan ketam, menjelaskan persahabatan antara dua orang yang setingkat. Maka pada posting ini dikisahkan bagaimana kalau persahabatan yang sudah ada itu retak.
 
Kisah ini dapat dibaca pada Serat Panitisastra, karya Yasadipura II, pada pupuh ke3, tembang gambuh bait ke 4 s/d 11 sebagai berikut:
 
(4) Ing pawong mitra tuhu, aywa kadi Sang Singa rehipun, lan Sang Wana atut arukun ing nguni, reksa rineksa akukuh, mulya kalike balero,
 
(5) Sayekti nora wurung, rinusak dening manusya gupuh, binabadan ginaganan dadya tegil, parandene alas iku, ngresula kanggonan ing mong.
 
(6) Iya Sang Singa iku, mangsa nuli mangiha rahayu, pasthi enggal pinaten ing manungsyeki, parandening marang ingsun, asring pangucapen awon.
 
(7) Mangkana singa gupuh, kesah saking ing panggenanipun, tilar wana memereng tepining tegil, tan antara gya kadulu, mring wong desa awawartos.
 
(8) Sanjang myang tangganipun, prapta sagagamane gumrubyug, singa sampun kinepung rinujak mati, pinurak ing manusya gung, rikang sapejahireng mong.
 
(9) Sang wana mari sintru, ilang kumarane sonya sampun, binabadan dening wong desa sirnanting, dene wus tanpa pakewuh, babyane wus mecethot.
 
(10)Tan rininga dhusun, singa wana sareng rusakipun, macan mati alas binabad tinegil, yeku alaning tumuwuh, bangkelan waon-waonan.
 
(11) Rebut reh rebut unggul, palaning tan rukun nora arus, prayogane sagung aurip puniki, darbea mahasraya nung, tegese kang winiraos.
 
 
Adapun terjemahan bebasnya sebagai berikut:
 
 
PERSAHABATAN ANTARA HARIMAU DAN HUTAN
 
Dikisahkan bahwa pada awalnya hutan dan harimau merupakan dua sahabat karib, amat rukun dan saling menjaga. Hutan menyediakan pangan sekaligus tempat perlindungan bagi harimau, dan harimau menjaga hutan dari gangguan tangan-tangan jail manusia. Manusia tidak segampang itu merusak hutan karena dihuni harimau.
 
Entah siapa yang menjadi provokator, persahabatan itu pada akhirnya retak. Barangkali hutan merasa “take and give” nya lebih menguntungkan harimau. Harimau merasa sakit hati, pergilah ia dan bermukim di tegalan pinggir hutan. Melihat harimau pergi, hutan tidak berupaya mencegah, malah dalam hati mengkata-katai: “Dasar harimau suka ngomong jelek, di tempat terbuka apa kamu akan selamat, pasti dibunuh manusia. Hutan lupa akan pepatah “rukun agawe santosa, crah marahi bubrah”. Putus arang sudah, persahabatan lama antara harimau dan hutan
 
 
HARIMAU DIBUNUH MANUSIA, HUTAN DIRUSAK MANUSIA

Tak lama kemudian harimau yang berada di tegalan pinggir desa pun ketahuan manusia yang segera kabar-kabar ke penduduk sedesa. Rame-rame orang membawa senjata, harimau dikepung dan menemui ajalnya. Hutan melihat dari jauh “Nah, salahmu sendiri. Tanpa harimau, aku tidak patheken,” barangkali demikian pikirnya. Hutan lupa, dengan sepeninggal harimau, wibawanya pun ikut hilang. Manusia dengan leluasa masuk hutan karena menganggap hutan sekarang aman. Pohon-pohon pun ditebang, ladang diperluas. Harimau mati, hutan ikut mati. Manusia berpesta-pora.


LIDING DONGENG
 
Pada bait ke 4 disebutkan bahwa dalam persahabatan jangan seperti kisah hutan dan harimau (Disebut “singa” tetapi juga “mong”. Mong adalah dasanama harimau. Dalam terjemahan bebas semua saya tulis sebagai “harimau”). Ketika hutan “ngresula kanggonan ing “mong” (bait 5) maka harimau pun terpaksa menyingkir, “singa gupuh kesah saking panggenanipun” (bait 7). Ada masalah mestinya diselesaikan dengan semangat persaudaraan. Manusia sering lupa bahwa kebersamaan adalah kekuatan. Mestinya mereka harus mempertahankan semangat “ sabaya mukti sabaya pati”, senang sama dinikmati, sengsara sama dijalani. Yang terjadi akhirnya malah mati satu persatu karena terpecah-belah (IwMM
 

Friday, October 26, 2012

MANUSIA HARUS PUNYA TEMAN (2): KISAH GARUDA, NAGA DAN BATARA SRAMBA

Bila pada tulisan Manusia harus punya teman (1): Kisah kura-kura, kera, dan ketam, menjelaskan persahabatan antara dua orang yang setingkat, maka dalam kisah garuda dan ular ini, yang diceriterakan adalah persahabatan antara dua orang yang berbeda tingkatannya.
 
Kisah ini dapat dibaca pada Serat Panitisastra, karya Yasadipura II, pada pupuh ke 4, tembang Pocung bait ke 1 s/d 10 selengkapnya sebagai berikut:
 
(1) Pucungipun den mateng denya kakaruh, pawong mitra lawan, wong utama kang linewih, kang sembada berbudi tindak raharjo.
 
(2) Kaya iku Sang Naga pantes tiniru, duk binuru marang, nenggih ri Sang Endra Paksi, dumadakan Sang Naga kapanggih lawan.
 
(3) Mitranipun, Batara Sramba lingipun, heh Naga ta sira, angapa lumayu gendring, turing Naga amba punika Bathara.
 
(4) Binabujung mring sang garudha pukulun, saking jrih kalintang, tan wande kula binukti, turing Naga pan sarwi ajulalatan.
 
(5) Wuwusipun, Bathara sramba sireksu, heh ta Naga iya, sira apa arsa urip, iya ingsun kang tutulung marang sira.
 
(6) Aturipun, Sang Naga inggih kalangkung, kawularsa gesang, nuhun pitulung sayekti ing Bathara dadya manggiha raharjo
 
(7) Angling arum, Sang Bathara sramba wau, enggal kumalunga, sira aneng jongga mami, sigra nembah Naga mulet ing Bathara.
 
(8) Praptanipun, Sang Endra paksi andulu, yen Naga wus ana, Sang Bathara sarireki, dadya ilang krodanira Sang Garuda.
 
(9) Ajrihipun, maring Bathara Srambeku, dadya arsa nembah, wirang mring Naga tan sipi, tan nembaha ajrih maring Sang Bathara.
 
(10) Bok kasiku, keneng ila-ilanipun, dadya Sang Garudha, ngabekti saking wiyati, wusnya atur sembah Garuda gya kesah.
 
 
TERJEMAHAN (BEBAS): NAGA DIKEJAR GARUDA
 
 
Alkisah seekor naga dalam perjalanannya kepergok musuh bebuyutannya yaitu burung garuda (Sang Endra Paksi). Terbirit- birit ia melarikan diri. Beruntunglah ia ketemu sahabatnya yaitu Batara Sramba.
 
Melihat Naga yang terengah-engah dan ketakutan, Batara Sramba menyapa: “Hai Naga, mengapa kamu lari lintang pukang seperti itu?”
 
Duh pukulun, saya dikejar-kejar Sang Garuda,” jawab Nada dengan mata jelalatan
 
Batara Sramba yang baik menjawab dengan halus: “ Hai Naga, kamu masih ingin hidup apa tidak? Kalau belum mau mati ya aku akan menolongmu”
 
Hati Naga senang sekali, terbata-bata ia matur kepada Batara Sramba: “Saya sungguh masih ingin hidup. Saya mohon pertolongan Batara supaya selamat”.
 
Batara Sramba dengan lembut berkata: “Kalau begitu Naga, mendekatlah, dan segera kalungkan dirimu di leherku. Selebihnya urusanku”. Naga pun menyembah lalu mengalungkan badannya di leher Batara Sramba.
 
Ketika Garuda datang, lemaslah ia karena melihat Naga nyaman bergulung di leher Batara Sramba. Ia menjadi serba salah. Mau menyembah ia malu kepada Naga. Mau tidak menyembah, ia takut kepada Batara Sramba, bisa-bisa kuwalat. Maka ia segera terbang ke angkasa dan menyembah dari ketinggian, kemudian pergi jauh-jauh.
 
 
LIDING DONGENG
 
Disebutkan pada bait pertama dan kedua: Beruntunglah orang yang punya sahabat orang yang utama, linuwih, sembada dan berbudi tindak raharja. Contohnya adalah kisah Sang Naga waktu diburu sang Endra Paksi. Batara Sramba tentunya punya kedudukan yang lebih tinggi dari Naga, tetapi ia tidak segan menolong Naga yang dalam kesusahan. (IwMM)
 

Thursday, October 25, 2012

MANUSIA HARUS PUNYA TEMAN (1): KISAH KURA-KURA, KERA DAN KETAM

Pada tulisan “Ngilo githoke dhewe, belajar bisa rumangsa” dijelaskan bahwa manusia tidak mungkin melihat tengkuknya sendiri. Dia butuh cermin ke dua. Merupakan kiasan bahwa manusia butuh orang lain. Dalam hal ini adalah untuk membantu menilai kekurangan-kekurangannya (secara jujur)
 
Kisah kura-kura dan kera adalah dongeng anak-anak yang saya baca di Majalah Kejawen, Balai Pustaka,1940, yg dimuat di Web Yayasan Karya Lestari, Surakarta. Dalam ceritera ini, ternyata manusia tidak hanya butuh orang lain untuk membantu menilai kekurangannya, tetapi juga membantu melengkapi kekuranganhnya, sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya sendiri.
 
 
KURA-KURA KEHILANGAN SERULING
 
Alkisah kura-kura sedang asyik bermain seruling, kemudian datanglah kera. Si kura-kura sebenarnya sudah merasa tidak nyaman karena kera dikenal sebagai binatang nakal. Tetapi mau apa lagi, kera sudah duduk disampingnya.
 
“Serulingmu bagus, ya. Aku boleh pinjam?” Demikian sapa kera dengan serta-merta merebut seruling dari tangan kura-kura, tanpa menunggu ijin lebih dahulu. Malah langsung meniupnya kuat-kuat dan memainkan sebuah lagu.
 
Kura-kura hanya mampu bersabar. Setelah dirasa cukup lama dipakai bermain kera,  kura-kura pun meminta serulingnya dikembalikan. Si kera tidak bilang apa-apa, sambil ketawa-ketawa ia memanjat sebatang pohon, sampai tinggi, tanpa ada tanda-tanda mengembalikan seruling.
 
“Hai kera, kembalikan serulingku!” teriak Kura-kura dari bawah
 
Kera mengejek dari atas pohon: “OK kura, aku kembalikan, tapi ambillah kesini”
 
Tentusaja kura-kura tidak bisa memanjat pohon. Dengan hati sedih ia meninggalkan tempat itu menuju ke rumah sahabatnya, seekor ketam, untuk minta nasihat.
 
“Kera memang kurang ajar”, kata ketam. “Sudahlah kura, ini sudah sore, sekarang kamu istirahat di tempatku saja. Besok pagi kita sama-sama cari dia.”
 
“Kamu mau bantu saya? Bisakah?” Tanya kura-kura dengan ragu.
 
Ketam tertawa: “Demi persahabatan kita, kura. Dan aku punya akal”. Lalu ia menjelaskan siasatnya.
 
 
KERA MENDAPAT PELAJARAN
 
 
Besok paginya kura-kura dan ketam jalan beriringan mencari si kera. Tidak sulit menemukannya karena ia sedang bermain seruling. Arah bunyinya bisa dilacak. Ketemulah dia, bertengger di atas pohon mangga.
 
Sesuai petunjuk ketam, kura-kura berteriak-teriak dari bawah: “Hai kura, sudah sehari kau pinjam serulingku, ayo kembalikan sekarang, ganti aku yang main”
 
Sambil “cengingas-cengingis” si kera menjawab. “Kan sudah aku bilang, ambillah keatas!”
 
Sementara kera dan kura-kura saling berbantah, diam-diam ketam merambat ke atas pohon. Tak terlalu lama kemudian, tiba-tiba kera berteriak kesakitan “Aduh-aduh ...” seruling pun dijatuhkan. Ternyata ketam merayap ke ekor si kera, menggigitnya kuat-kuat.
 
Kera meloncat-loncat dengan tetap berteriak kesakitan. Rupanya ketam juga amat geregeten dengan perilaku kera yang kurang ajar. Capitnya tidak kunjung dilepaskan dari ekor kera. Gantian kura-kura ketawa: “Wah, kau rupanya hobi menari juga ya, kera. Mari aku iringi dengan sebuah lagu, biar tambah semangat”. Lalu ia mainkan sebuah lagu gembira.
 
Lama-lama ketam kasihan kepada si kera. Kalau kelamaan menggigitnya, bisa membahayakan dirinya juga. Kera lama-lama pasti tahu kalau ekornya ketempelan ketam. Maka ia melepaskan gigitannya, menjatuhkan diri dan berguling di rerumputan.
 
 
LIDING DONGENG
 
“Itulah manfaatnya punya teman”, kata kura-kura setelah menyampaikan terima kasih kepada ketam.
 
Ketam menjawan dengan lembut: “Sudah kewajiban antara dua sahabat, apalagi sederajat,  saling tolong menolong. Sabaya mukti, sabaya pati. Senang dinikmati bersama, susahpun ditanggung bersama”. (IwMM)
 

Tuesday, October 23, 2012

NGILO GITHOKE DHEWE, BELAJAR BISA RUMANGSA


Manusia memang ketempatan sifat egois. Kata “Saya” adalah kata yang jauh lebih banyak diucapkan daripada “kita” atau “anda”. Semua yang paling baik dan benar adalah “saya” dan kalau ada yang tidak baik atau tidak benar maka itu adalah kapling “anda”. barangkali ada yang masih ingat ceritera masa kanak-kanak dulu tentang “putri salju”, sang ibu tiri yang setiap hari  bercermin di hadapan cermin ajaibnya: “Wahai cermin ajaib, siapakah wanita yang paling cantik? Jawaban selalu “andalah yang tercantik”, kecuali setelah kedatangan si putri salju. Tidak mau mengakui kelemahan diri ini tercermin pula dalam peribahasa Indonesia: “Buruk rupa cermin dibelah”.
 
Dalam kehidupan Jawa sebenarnya perilaku seperti di atas amat tidak disarankan. Masalahnya “Jawa panggonane semu” sehingga budaya Jawa tidak terus terang mengatakan kamu harus begini atau begitu, kamu kurang ini atau kurang itu. Ungkapannya disamarkan.
 
 
MULAT SARIRA DAN BISA RUMANGSA
 
Keduanya adalah ungkapan tingkat tinggi. “Mulat sarira hangrasa wani” adalah ajaran Sri Mangkunegara I, bagian dari tiga kalimat “Tri Dharma”, dimana sebelumnya diawali dengan “Rumangsa melu handarbeni dan Wajib melu hangrungkebi”. Pengertian “mulat sarira” sendiri adalah menilai diri sendiri, atau introspeksi, baik keunggulan maupun kelemahan. Perlu dicatat bahwa menilai keunggulan diri jauh lebih mudah daripada menilai kelemahan diri. “Mulat sarira” harus mampu menempatkan diri pada posisi tidak memihak, sehingga kita akan mencapai hasil “BISA RUMANGSA”, bisa sadar khususnya hal-hal yang kurang dari diri kita, sehingga bisa diperbaiki supaya lebih sempurna.
 
Kalau perlu, kita minta penilaian orang lain. Hal itu tidak gampang sehingga tidak banyak yang mau. Yang disuruh menilai juga merasa tidak enak dan ada kekhawatiran salah terima karena ia harus “Blaka” seperti Werkudara yang selalu “Cekak aos blaka suta” atau assertive. Karena “Jawa panggonane semu” maka amat sulit bagi orang Jawa untuk assertive atau blaka suta. Jadi kita kembali kepada diri kita sendiri, kita harus mampu “Mulat sarira” supaya “bisa rumangsa”
 
 
AMBUNEN SIKUTMU DHEWE
 
Salah satu hal yang tidak mungkin dilaksanakan: “mencium siku kita sendiri”. Kalau tidak percaya boleh dicoba, pasti tidak sampai ke siku, hanya mendekati siku saja. Ungkapan ini seolah-olah memperkuat pendapat bahwa introspeksi diri itu tidak mungkin 100 persen benar. Contohnya ada orang yang suka marah-marah dan diingatkan oleh temannya. Ia menyangkal kalau pemarah. Maka temannya mengatakan: “jajal ambunen sikutmu dhewe”. Ya mana bisa. Yang jelas sikut itu tidak berbau seperti ketiak. Untuk membaui ketiak sendiri, kita masih bisa, apalagi ketiak memang sumber bau. Tetapi membaui siku yang banyak tidak berbaunya sekaligus tidak terjangkau, mana mungkin?
 
Maksud si teman mengatakan “ambunen sikutmu dhewe” adalah: Tidak ada orang yang mampu menilai diri sendiri dengan benar. Dengan kata lain, butuh orang lain. Oleh sebab itu ungkapan selanjutnya adalah “Ngiloa githokmu dhewe”
 
 
NGILOA GITHOKMU DHEWE
 
Jelas tidak mungkin kita melihat belakang kepala kita. Biarpun pakai cermin, tetap tidak mungkin. Ungkapan ini bisa digunakan untuk menegur atau menasihati, tetapi yang biasa dipakai adalah untuk ngrasani: “Ana wong kok ora gelem ngilo githoke dhewe” (Orang kok tidak mau bercermin ke tengkuknya sendiri).
 
Misalnya saya ditegur “Mbok ngiloa githokmu dhewe”. Kalau dipikir malah merupakan teguran sia-sia. Menegur secara tidak jelas untuk satu hal yang saya tidak tahu. Kecuali saya cukup arif, tahu kalau tidak mungkin ngerti, maka dengan lapang dada saya mau bertanya: “Lalu apa kekurangan saya? Yang satu omong semu dan satunya tanggap.
 
 
PENUTUP
 
Bukankah melihat tengkuk hanya bisa dilakukan dengan dua cermin? Berarti dalam pengembangan diri sebagai manusia, kita butuh orang lain. Dalam menapaki hidup ini, kita  butuh teman. Apakah ada orang yang berani mengatakan “Rumangsa ora butuh kanca?"  (IwMM)

Monday, October 22, 2012

SISI LAIN DARI “AJA DUMEH”

Suatu saat saya diajak teman makan sate ayam angkringan. Angkring yang betul-betul dipikul, bukan angkring pajangan di restoran mewah. Ada tulisan yang sudah agak kusam di angkring itu: “Aja Dumeh”. Terjemahan bebasnya yang hampir semua orang tahu kurang lebih: Jangan sombong, atau jangan mentang-mentang. Beberapa contoh kalimat yang juga banyak didengar misalnya:
 
1.    Aja dumeh kuwasa, banjur degsiya (jangan mentang-mentang sedang kuasa lalu sewenang-wenang)

2.    Aja dumeh sugih banjur lali karo sing ringkih (jangan mentang-mentang kaya lalu mengabaikan yang miskin)

3.    Aja dumeh pinter banjur keblinger (jangan mentang-mentang pandai lalu menggunakan ilmunya di jalan yang sesat).

Sialnya saya tertarik untuk mengomentari tulisan di angkring pak tua itu. Lebih celaka lagi saya gunakan basa krama andapan yang akhirnya saya akui sebagai ungkapan kesombongan otomatis dari orang yang merasa dirinya lebih tinggi kedudukannya sebagai manusia: “Seratan aja dumeh niki nyindir sinten to pak. Sing disindir rak boten teng mriki” (tulisan aja dumeh itu menyindir siapa to pak? Orang yang disindir kan tidak ada disini).
 
Pak penjual sate melihat ke saya sejenak. Saya jadi malu dibuatnya karena dia menjawab dengan basa Jawa krama inggil. Demikian seterusnya ia selalu bicara dengan basa Jawa mlipis: “Lha punapa aja dumeh punika namung kagem priyantun sugih, pinter kaliyan kuwaos to pak?” (Apakah aja dumeh hanya berlaku untuk orang kaya, pandai dan kuasa saja?)
 
Pengertian yang tertanam di otak saya memang seperti itu: Aja dumeh sugih, kuwasa, menang, kuat, bagus, ayu dan seterusnya. “Yang saya tahu memang begitu pak. Barangkali ada pandangan lain mohon saya diparingi wawasan”. Kalimat ini saya sampaikan juga dalam krama Inggil.
 
Pak penjual sate ketawa sambil mengipas-ngipas sate di pembakaran. “Kalau dibalik bagaimana pak. Aja dumeh aku mung dodol sate terus disapa nganggo krama andhapan”.
 
Wah ini sindiran halus tapi telak. Untung malam hari sehingga dia tidak melihat muka saya yang semestinya memerah. “Jarwanipun aja dumeh kadospundi to pak? (arti aja dumeh itu apa?)”
 
“Lha bapak ini orang Jawa atau bukan? Aja sama dengan jangan dan dumeh artinya lantaran atau karena sesuatu hal. Contohnya aja dumeh aku wong miskin terus diarani nyolongan.”
 
Masuk akal juga penjelasan pak penjual sate tadi kalau definisi “dumeh” yang ia kemukakan benar. Demikian pula tulisan “aja dumeh” di pikulan satenya. Ya sudah pas ditempatkan di situ. Kebetulan satenya sudah jadi maka pembahasan singkat tentang “aja dumeh” pun berhenti, berganti dengan pertarungan dengan sate yang ternyata enak sekali.
 
 
EPILOG
 
Saya pamitan dengan pak penjual sate dengan ucapan terimakasih bahwa hari ini saya mendapat guru yang patut dihormati. Saya tutup dengan kata-kata: Aja dumeh mung sate angkringan terus dikira ora enak”. Pak penjual sate tertawa dan balik mengucapkan terimakasih.
 
Malam itu juga saya buka Bausastra Jawanya Poerwadarminta. Saya cari arti kata “dumeh”. Ternyata benar pak tua itu: Dumeh: (1) mung amarga ....  (hanya karena ....); (2) jalaran saka .... (karena ....). Jadi kata “aja dumeh” artinya “jangan hanya karena ......”.
 
Kenapa pengertiannya menjadi “jangan mentang-mentang”. Memang kalau anak kalimat ini dipakai untuk orang Kaya, Pandai dan Kuasa maksudnya tidak berubah; tetapi tidak bisa diterapkan untuk orang kecil, sedangkan “aja dumeh”nya bapak yang jual sate tadi dapat dinikmati semua orang, termasuk rakyat kecil.
 
Jaman sekarang ini yang namanya “bahasa” saja kok ya bisa-bisanya ikut-ikut tidak memihak rakyat. Saya tutup tulisan ini dengan kalimat yang tidak berpihak karena berlaku untuk semua orang termasuk saya sendiri:  “Aja dumeh bisa muni, terus waton muni”. (IwMM)
 

Saturday, October 20, 2012

SERAT WULANGREH, PESAN UNTUK NGAWULA (2): NGEPLUK ASUNGKANAN

Gambar 1: Ngepluk asungkanan
 
Pada posting Serat Wulangreh,Pesan untuk ngawula (1):  Ngawula tidak gampang,  disebutkan pada butir ke 7 bahwa orang ngawula tidak boleh “ngepluk asungkanan”.

“Ngepluk adalah orang yang tidak punya rasa malu bahwa ia malas, dan pengertian “sungkan” adalah malas. Jadi “ngepluk asungkanan” adalah orang yang dobel malas dan nggak malu atas kemalasannya.
 
Manusia seperti ini manfaatnya hampir tidak ada. Sudah pasti termasuk orang-orang yang lumuhan dan masih lebih aji godhong jati aking, seperti disebutkan Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama
 
 
MANUSIA YANG TIDAK LAYAK NGAWULA


Mengenai orang yang “ngepluk asungkanan ini Sri Pakubuwana IV menggarisbawahi sebagai orang yang tidak pantas “ngawula”. Dikatakan pada bait ke 26 pupuh Maskumambang sebagai sejelek-jelek manusia (luwih ala-alane jalma ngaurip) dan tidak pantas ngawula kepada siapa saja, tidak hanya kepada raja (tan patut ngawulèng aji; angèngèra sapa-sapa).
 
Pada bait ke 27  bahkan disebutkan bahwa orang sungkanan seperti ini walau ikut orang tuanya sendiri (amilua ing bapa biyung pribadi) tidak urung akan dimarahi (datan wurung dèn srêngêni), bahkan kalau melawan (milawanana) bisa dipukul  (pinala).
 
Selanjutnya pada bait ke 28 dikatakan orang seperti itu apa ya pantas untuk ngawula (mapan kaya mangkono ngawulèng gusti). Kalau sembrana (kalamun lêleda) maka akhirnya akan celaka (tan wurung manggih bilai) dan di belakang hari jangan menyesal (ing wuri aja ngêrsula).
 
 
PENUTUP
 
Ada paribasan “Keduwung nguntal wedung”. Keduwung adalah menyesal,  perumpamaan dalam paribasan ini, karena orang sudah terlanjur menelan (nguntal) wedung (senjata semacam belati). mau apa lagi wedung sudah  masuk perut, mau dimuntahkan susah, ditunggu keluar bersama kotoran sama susahnya. Tidak beda halnya dengan orang sungkanan di atas. Sudah terlanjur malas. Mau bangkit badan sakit-sakit, mau tetap malas pasti ewes ewes ewes bablas untuk selanjutnya amblas.
 
Pada bait ke 29 di bawah, Sri Pakubuwana IV mengingatkan bahwa celaka itu karena perbuatan kita sendiri (pan kinarya dhewe bilainirèki). Bila kita kembali ke bait 28: (ing wuri aja ngêrsula) maka betul bahwa "Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna".  (IwMM)
 
 
Dilanjutkan ke Serat Wulangreh, pesan untuk ngawula (3): Rumeksa marang gusti
 
 
CATATAN: PENGERTIAN SUNGKAN
 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga macam:
 
a. Malas atau enggan mengerjakan sesuatu (Ia sungkan bekerja di kebun)
b. Merasa tidak enak hati (Ia sungkan menegur orang itu)
c. Menaruh hormat, segan (Ada perasaan sungkan di hatiku terhadap guru itu)
 
Menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta, hanya satu pengertian, yaitu: Suthik tumandang (tidak mau mengerjakan), kesed (malas).
 
Pengertian yang disebut dalam Serat Wulangreh sama dengan Bausastra Jawa, yaitu “malas”. Dalam percakapan sehari-hari orang Jawa jaman sekarang ini, kata sungkan lebih umum digunakan dengan pengertian tidak enak hati dan rasa segan (butir b dan c Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sungkan dalam pengertian “malas” kemungkinan tidak begitu dipahami lagi.

Most Recent Post


POPULAR POST